Siapa penulis favoritmu?
Kalau dari luar (negeri), aku suka Meg Cabot. Kalau dari Indonesia, aku suka Hoeda Manis.
Kenapa suka karya Hoeda Manis?
Dia unik—cara dan gaya menulisnya lain dari yang lain. Tulisannya juga selalu berbobot, tapi asyik. Dia tuh bisa menyebut nama-nama besar macam Kierkegaard, Nietchsze, Emerson, Rumi, Sartre, dengan cara yang sangat santai, seolah itu nama-nama sohibnya atau tetangganya sendiri. Hahaha... Pokoknya keren!
Kalau dari luar (negeri), aku suka Meg Cabot. Kalau dari Indonesia, aku suka Hoeda Manis.
Kenapa suka karya Hoeda Manis?
Dia unik—cara dan gaya menulisnya lain dari yang lain. Tulisannya juga selalu berbobot, tapi asyik. Dia tuh bisa menyebut nama-nama besar macam Kierkegaard, Nietchsze, Emerson, Rumi, Sartre, dengan cara yang sangat santai, seolah itu nama-nama sohibnya atau tetangganya sendiri. Hahaha... Pokoknya keren!
—Lidya Renata, mahasiswi dan model iklan
dalam wawancara dengan majalah Voila! (Indonesia Edition),
Nomor 79, Agustus-September 2009
dalam wawancara dengan majalah Voila! (Indonesia Edition),
Nomor 79, Agustus-September 2009
Lebih dari seminggu yang lalu, saya dihubungi editor Penerbit Gramedia, yang memberitahukan kalau buku saya, Mengapa Cewek Cantik Pacaran dengan Cowok Jelek, akan dicetak ulang. Oh, itu kabar yang menyenangkan. Dan saya pun berharap buku itu masih akan dicetak ulang setidaknya dua puluh kali lagi. :D
Well, ada yang ingin saya ceritakan mengenai buku tersebut, yakni latar belakang penulisannya, hingga buku itu kemudian ter-display di toko-toko buku, dan mungkin sekarang telah ada di tanganmu. Bukan soal bestseller-nya, melainkan proses kreatif selama penulisannya.
Selama lebih dari sepuluh tahun menjadi penulis, saya sampai pada kesimpulan pribadi bahwa penulis adalah seorang kreator—sama seperti pencipta musik atau pelukis.
Karena seorang kreator, maka tugas penulis bukan hanya menulis, melainkan juga merambah wilayah-wilayah baru yang belum terjamah dalam dunia kepenulisan, sehingga tidak hanya mampu menyuguhkan materi tulisan yang lebih baik, tetapi juga dapat menciptakan model atau gaya menulis yang baru.
Nah, hal terakhir itulah yang selama ini menjadi objek pemikiran saya. Dalam kultur penulisan fiksi dan nonfiksi, ada perbedaan yang sangat mencolok. Dalam penulisan fiksi, penulis memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi gaya penulisannya, sehingga dunia fiksi pun cepat berkembang dengan berbagai model atau gaya penulisan. Hasilnya, dunia penulisan fiksi terus dinamis, bahkan hingga di masa sekarang.
Sayangnya, kenyataan semacam itu sepertinya tidak terjadi dalam penulisan nonfiksi. Dalam dunia nonfiksi, gaya penulisan yang lazim sepertinya sulit diubah atau setidaknya dikembangkan—dengan berbagai alasan. Akibatnya, seperti yang dapat kita lihat, dunia nonfiksi pun kurang dinamis sebagaimana dunia fiksi. Banyak penulis baru lahir dengan berbagai buku nonfiksi mereka, tetapi gaya penulisan mereka tidak membawa banyak perubahan.
Poin itulah yang terus-menerus saya pikirkan beberapa tahun belakangan. Saya ingin menawarkan gaya atau model penulisan baru kepada para pembaca, sehingga buku nonfiksi dapat berkembang dan dinamis sebagaimana buku-buku fiksi. Lebih dari itu, saya juga ingin orang menikmati buku nonfiksi dengan asyik sebagaimana mereka menikmati novel atau buku fiksi.
Beberapa tahun yang lalu, saya membaca novel berjudul “No Way to Treat a First Lady” yang ditulis Christopher Buckley.
Di dalam novel ini, Buckley memadukan thriller dengan humor yang mampu membuat pembaca tegang sekaligus cekikikan. Bagi saya, itu adalah salah satu novel paling keren yang pernah saya baca, sehingga saya sampai tidak melakukan apa pun sebelum mengkhatamkannya. Selama membacanya, saya terus-menerus tegang sekaligus tertawa cekikikan—sesuatu yang tidak saya dapatkan di novel mana pun!
Yang dilakukan Christopher Buckley itu bisa dikatakan hal yang baru dalam dunia fiksi, karena memadukan thriller dengan humor adalah sesuatu yang langka, sulit, bahkan belum pernah dilakukan penulis lain sebelumnya.
Nah, saya membayangkan, bagaimana kalau formula semacam itu diterapkan dalam buku nonfiksi? Bagaimana kalau teori-teori ilmiah yang rumit dibuat sederhana, dan kemudian diolah bersama humor yang membuat pembacanya cekikikan? Sejauh yang saya tahu, tidak ada peraturan yang menyatakan bahwa buku nonfiksi harus ditulis dengan muka murung. Artinya, sejauh ini tidak ada larangan memasukkan humor ke dalam penulisan buku nonfiksi.
Selama ini memang ada buku nonfiksi yang mampu membuat pembacanya tertawa, tetapi penulisan buku itu memang ditujukan untuk hiburan. Yang saya inginkan adalah membuat buku nonfiksi yang serius dan ilmiah, namun mampu memberikan hiburan yang menyenangkan bagi pembaca—setidaknya membuat mereka cekikikan selama membaca dan mempelajarinya.
Hal itulah yang kemudian mulai saya terapkan di dalam buku Mengapa Cewek Cantik Pacaran dengan Cowok Jelek. Buku itu mengusung teori-teori psikologi yang berat dan rumit, tapi saya berupaya menguraikannya sesederhana mungkin, dan menyelipkan humor di sana-sini.
Selama menulis naskahnya, saya berkali-kali mengalami trial and error, atau bahkan error and error—karena memang tidak mudah memasukkan humor ke dalam topik-topik yang serius dan ilmiah, khususnya lagi yang memenuhi standar penerbit.
Ini memang bukan pekerjaan yang mudah, tapi setidaknya saya telah mulai melakukannya. Dan saya bersyukur buku pertama yang menggunakan formula tersebut dapat diterima publik pembaca dengan baik, sehingga langsung cetak ulang dalam tiga bulan—cukup prestisius untuk ukuran buku ilmiah yang ditujukan untuk anak muda.
Buku itu juga merupakan pintu pembuka bagi saya untuk semakin dalam mengeksplorasi dunia penulisan. Dalam menulis, saya tidak ingin hanya asyik pada topik yang saya tulis, tetapi juga dalam gaya penulisannya.
Meski sebagian pembaca mungkin telah mengenal ciri khas saya dalam menulis, namun saya ingin terus memperkaya dan mengembangkan gaya penulisan itu. Kalau menggunakan contoh dari dunia musik, saya ingin seperti gaya bermusiknya DEWA. Mereka mengubah-ubah gaya musik mereka setiap kali menelurkan album, meski ciri khas mereka tetap melekat.
Saya ingin sekali bisa seperti itu, dan melalui blog inilah saya mengasah kemampuan dalam hal itu. Kalau kalian perhatikan isi blog ini, dari posting ke posting, saya telah berulang kali menggunakan berbagai macam gaya penulisan yang berbeda, namun mengupayakan agar ciri khas saya tetap melekat. Mungkin memang belum sempurna, tapi setidaknya saya telah berusaha dan terus memperbaikinya.
Penulis adalah kreator, itulah keyakinan saya. Karenanya, selain harus terus memperkaya pikiran dan batin dengan ilmu pengetahuan baru, penulis juga harus mampu memperkaya gaya menulisnya, sehingga dapat terus memberikan kejutan menyenangkan bagi para pembacanya. Mengikuti tren mungkin bagus, tapi saya pikir menciptakan dan memulai tren baru jauh lebih bagus. Dan saya lebih suka memulai hal yang baru.
Lebih dari itu, saya memang menginginkan buku-buku saya sebagai karya yang “evergreen”, yakni buku-buku yang terus dibaca tanpa terikat waktu atau tren. Beberapa karya awal saya yang terbit pada tahun 2000-an telah mampu melakukan hal itu, sehingga buku-buku tersebut terus dicetak ulang meski sudah sepuluh tahun sejak diterbitkan.
Mungkin sungguh menyenangkan kalau buku karya kita mampu menciptakan kehebohan dan laris dalam waktu singkat. Tapi saya lebih senang jika buku saya tidak perlu menciptakan kehebohan macam-macam, namun terus dicetak ulang dan dibaca hingga bertahun-tahun… bahkan hingga saya telah meninggal. Buku adalah guru abadi bagi pembacanya, dan setiap penulis adalah jembatan di antara mereka.
Hari ini, saya membaca pemikiran-pemikiran Immanuel Kant, Jean Paul Sartre, Milan Kundera, Al-Ghazali, Sayid Qutub, Aldous Huxley, Muhammad Iqbal, Kahlil Gibran, bahkan Tan Malaka dan para pemikir lainnya, meski mereka telah berpuluh-puluh tahun meninggal dunia. Dan saya pun ingin… kelak, generasi yang akan datang tetap membaca buku-buku saya meski telah berpuluh-puluh tahun saya meninggal dunia.
Saya percaya bahwa setiap manusia pasti bertumbuh—tidak hanya fisiknya, tetapi juga pikirannya. Artinya, kalau sekarang mereka menyukai bacaan-bacaan ringan karena faktor usia mereka (baik usia fisik maupun usia psikologis), tapi mereka akan terus bertumbuh. Pada suatu saat, mereka akan melangkah dari bacaan ringan ke bacaan berat. Dan… saya ingin buku-buku saya menjadi jembatan tempat mereka menyeberang.
Jadi itulah misi saya dalam menulis. Dan untuk misi itu, saya tidak akan pernah berhenti belajar, agar tak pernah berhenti berproses. Setiap penulis adalah kreator, dan setiap kreator terus berproses. Untuk tumbuh… dan bukan membusuk.