Jumat, 20 Desember 2024

Terperangkap Sistem Nilai Kuno

Sambil nunggu udud habis.

Ada cukup banyak istilah Jawa yang sampai sekarang belum aku tahu padanannya dalam bahasa Indonesia. Di antaranya “kénger”. Kalau kita bangun tidur dan merasakan leher kaku gara-gara salah posisi waktu tidur, itu disebut “kénger”. Apa padanan bahasa Indonesia untuk istilah itu?

Selain “kenger”, orang Jawa juga punya istilah lain yang sampai sekarang belum kutemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu “mentas”. Jika diterjemahkan, “mentas” adalah “naik ke permukaan”. Dalam kehidupan orang Jawa, istilah itu punya makna denotatif dan konotatif.

Kalau anak-anak terlalu lama keasyikan bermain di kolam renang, misalnya, orang tua di Jawa biasanya mengingatkan, “Wis, ayo mentas!” Maksudnya, “Sudah, ayo keluar [dari kolam renang, biar kamu tidak menggigil kedinginan].” Itu penggunaan istilah “mentas” dalam makna denotatif.

Istilah “mentas” itu kadang juga digunakan secara konotatif, misalnya ada ibu-ibu berkata pada anak tetangga atau familinya yang masih lajang, “Kapan mentas?” 

Pertanyaan itu memiliki maksud, “Kapan kamu akan menikah?” Jadi “mentas” di situ dipakai sebagai konotasi “menikah”.

“Mentas”—naik ke permukaan—yang digunakan sebagai pengganti istilah “menikah”, menunjukkan bahwa sebagian orang (dalam konteks ini orang Jawa) masih menganggap menikah adalah satu tahap yang menempatkan seseorang lebih tinggi daripada orang yang tidak/belum menikah.

Dan kalau diperhatikan, sepertinya memang begitu. Di lingkungan kita, sepertinya orang yang menikah (berkeluarga) dianggap atau bahkan dinilai lebih tinggi daripada orang yang lajang (tidak/belum menikah). Satu lagi warisan zaman purba yang masih dilanggengkan hingga kini.

Kita, kalau dipikir-pikir, hidup dengan terperangkap sistem nilai kuno yang mestinya sudah dihapus dan dihilangkan, tapi terus dipelihara dan dilestarikan. Ini menjadikan kita seperti mengalami “kénger”—tidur (hidup) pada posisi yang salah, hingga leher (kesadaran) terasa sakit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Agustus 2021.

Beban Terberat Pacaran

Beban terberat pacaran—setidaknya bagiku—bukan uang, bukan kesetiaan, bukan tanggung jawab (aku punya semua itu)... tapi waktu. Aku tidak punya waktu! Sementara pacaran menuntut banyak waktu. Dari waktu nilpon, chatting, sampai ketemuan, dan lain-lain.

Cewek tuh ya—tolong maafkan kalau ini kasar—waktu belum jadian, sok jaimnya selangit. Tapi kalau sudah jadian, penginnya ketemuuuuuuuuuu terus. Bahkan sudah ketemuan lama saja, sering kali tidak cukup. Cewek masih butuh diperhatikan, ditilpon, dan lain-lain.

Karenanya, menurutku, aktivitas pacaran hanya cocok untuk orang-orang selo, yang punya banyak waktu luang, lebih bagus lagi kalau pengangguran! Orang-orang sibuk yang punya banyak kerjaan biasanya kewalahan kalau pacaran, karena sulit membagi waktu yang terbatas.

Terkait hubungan dengan perempuan, aku percaya bahwa setiap pria menghadapi dua pilihan... dan dia harus memilih! Pertama, mengejar impiannya. Atau kedua, menjalin hubungan dengan perempuan. Mungkin ada yang bisa mendapatkan keduanya, tapi itu satu banding sejuta.

Semakin tinggi impian/ambisi seorang pria, semakin sedikit waktu yang dimilikinya. Dan itu artinya, sekali lagi, dia harus memilih. And then, inilah hasilnya: Jika pria mengejar impiannya, perempuan akan mengikuti. Tapi jika pria mengejar perempuan, impiannya akan hilang.

Jadi, di sisi lain, perempuan juga menghadapi dua pilihan. Pilihan pertama, pria yang punya banyak waktu luang hingga bisa terus asyik pacaran, tapi tidak punya masa depan... atau pilihan kedua, pria yang jarang punya waktu luang untuk pacaran tapi punya masa depan.

Mungkin memang ada pria yang punya banyak waktu luang untuk pacaran, sekaligus punya masa depan gemilang. Tapi, realistis sajalah, itu satu banding sejuta! Kamu benar-benar beruntung kalau bisa seperti itu, atau punya pacar yang seperti itu... jika bukan utopia. 

Politik dan Fondasi

Ingin membicarakan politik bersama mbakyuku. Apppeeeuuuuuhh...

Omong-omong soal politik, aku jadi ingat istilah lain; pondasi. Siapa sebenarnya yang pertama kali menulis “pondasi” dalam artikel/berita, lalu ditiru banyak orang lain hingga menjadi kekeliruan massal? Merujuk KBBI, yang benar adalah “fondasi”, bukan “pondasi”—pakai f, bukan p.

Dalam beberapa tahun terakhir, aku telah membaca/menemukan tak terhitung banyaknya artikel/berita yang di dalamnya termuat kata “pondasi”, ketika si penulis seharusnya menggunakan kata “fondasi”. Dan selama itu pula, aku mikir, apa memang penulisan kata itu sudah berubah?

Ternyata tidak, karena yang benar tetap “fondasi”. Mengutip KBBI, beginilah deskripsi formalnya; fondasi/fon•da•si/ n dasar bangunan yang kuat, biasanya (terdapat) di bawah permukaan tanah tempat bangunan itu didirikan; fundamen. 

(Tambahan; fundamental, bukan pundamental).

Sebenarnya aku tahu media apa yang pertama kali keliru menulis “pondasi”, hingga ditiru media-media lain sampai sekarang, tapi gak enak kalau aku sebutkan di sini. Sekadar saran, kalau ada pekerja media yang kebetulan orang Sunda, ingatkan dia untuk patuh pada bahasa Indonesia.

Ini tidak bermaksud rasis lho, ya. Cuma, seperti kita tahu, orang Sunda punya semacam kebiasaan menggunakan P untuk kata yang seharusnya F. Bisa jadi, penulisan “pondasi” itu berawal dari orang Sunda yang, karena terbiasa menggunakan P, akhirnya mengubah “fondasi” jadi “pondasi”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Agustus 2021.

Tidak Doyan Suatu Makanan Itu Biasa

Ada orang yang suka nasi akas, pun ada orang yang suka nasi lembek. Manakah yang benar dan manakah yang salah? Tidak ada yang benar atau salah, wong itu selera, kok! Ini negara demokrasi. Jangankan beda selera nasi, beda pilihan presiden saja tidak apa-apa.

Orang tidak doyan suatu makanan, sering kali bukan karena kehendaknya, tapi karena “kondisinya memang begitu”. Contoh, ada orang tidak doyan durian. Bagi kita yang suka durian, orang itu pasti goblok, wong durian enak kok tidak doyan. Tapi dia benar-benar tidak doyan!

Kita tidak bisa memaksa orang yang tidak doyan durian agar doyan durian, karena dia tidak akan doyan. Jangankan memakannya, bahkan mencium bau durian saja bisa muntah. Begitu pula orang yang tidak doyan nasi lembek, atau orang yang tidak doyan nasi akas.

Ada orang, misalnya, suka nasi lembek, dan tidak doyan nasi akas. Apakah salah? Tentu saja tidak!

Begitu pun, aku tidak doyan nasi lembek, apalagi yang menggumpal. Apapun yang terjadi, aku tidak akan memakannya, karena memang tidak doyan. 

Orang tidak doyan suatu makanan itu bukan menghina makanan, tapi karena kondisi pada dirinya yang menyebabkan dia tidak doyan. Ada orang tidak doyan durian, tidak doyan susu, tidak doyan keju, tidak doyan pizza—mereka memang tidak doyan, bukan menghina makanan.

So, jika sewaktu-waktu kita mendapati siapa pun tidak doyan suatu makanan tertentu, tak perlu repot-repot menceramahi dia betapa enaknya makanan itu. Cukup maklumi saja, karena tidak doyan suatu makanan adalah hal alamiah yang banyak terjadi pada orang-orang di mana pun.

Ketinggalan Zaman

Layanan dengan nomor [telepon] ekstensi sebenarnya sudah ketinggalan zaman, selain tidak efektif dan berpotensi merugikan pengguna/pelanggan. Sayangnya, layanan semacam itu masih dipakai perusahaan dengan manajemen yang sama-sama ketinggalan zaman.

Meriang Parah

Seminggu ini meriang parah, dan sampai sekarang kayaknya belum ada tanda-tanda sembuh. Mau apa-apa bawaannya males banget. 

Barusan sudah bertekad untuk datang ke dokter besok, dan sekarang baru ingat kalau besok Minggu!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Juni 2021.

Memprihatinkan

Semua ini... memprihatinkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2021.

Tidur Siang

Memasuki waktu Indonesia bagian tidur siang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Juni 2021.

Berita Duka

Masuk Twitter, dan langsung disuguhi berita duka. Harmoko dan Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia. Turut berduka cita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Juli 2021.

Ala-ala

Oooh... ala-ala.

Selasa, 10 Desember 2024

Catatan Kaki untuk Catatan Tangan

Kayaknya aku perlu ngasih footnote untuk catatan ini: Neraka Keburu Membeku

Yang berpotensi bias kelas sebenarnya bukan cuma nasihat kesehatan. Tapi semua nasihat yang bersifat umum hampir bisa dipastikan bias kelas. Meski “kelas” yang dimaksud belum tentu kelas sosial.

Aku mengartikan “bias kelas” secara luas. Bukan cuma kelas sosial (kaya-miskin), tapi juga pada hal lain—misal kelas nalar. Anak SD dan anak kuliah tentu punya perbedaan nalar yang jauh. Jika kita memberi nasihat yang sama pada mereka, nasihat kita akan bias kelas (kelas nalar).

Legenda Mesir kuno, misalnya, punya cerita bahwa manusia pertama di dunia adalah “hasil muntahan” sesosok makhluk-entah-apa. Makhluk itu muntah, dan yang keluar adalah sepasang manusia yang kemudian menjadi orang-orang pertama di bumi, lalu mereka beranak pinak.

Sebagian orang mungkin bisa menerima kisah semacam itu, dan percaya memang begitulah asal usul manusia. Tapi tentu ada sebagian lain yang tidak bisa menerima kisah semacam itu, dan lebih percaya penjelasan lain yang lebih logis—misalnya. Itu contoh perbedaan nalar.

Karenanya, di dunia kesehatan, dokter biasanya tidak gegabah ketika mendiagnosis penyakit seseorang. Meski sama-sama sakit kepala, misalnya, diagnosisnya bisa berbeda, dan dokter akan memberi resep serta obat yang berbeda. Nasihat yang tepat untuk orang (masalah) yang tepat.

Omong-omong soal kesehatan, aku pernah punya teman yang malang. Sebut saja namanya X. Si X ini dianggap sangat “mbeling”—bahkan orang tuanya pun ngomong begitu. Mereka sudah “lepas tangan” dengan Si X, karena, menurut mereka, “sudah tak bisa dinasihati”.

Selama bertahun-tahun, X mendapat aneka tuduhan dari masyarakatnya—tetangganya, saudara-saudaranya, sampai dari keluarganya sendiri. Ada yang bilang kalau X “dirasuki setan”. Ada yang menuduh X “kurang ibadah”. Ada pula yang menyebut X “korban salah pergaulan”, dll. 

Lalu, suatu hari, X kecelakaan di jalan—dia ditabrak mobil, ketika sedang menyeberang. Si penabrak bertanggung jawab, dan membawa X, yang waktu itu nyaris tak sadar, ke rumah sakit. Di rumah sakit, X menjalani pemeriksaan, khususnya pemeriksaan bagian kepala. 

Saat pemeriksaan itulah, “sesuatu yang tak biasa” ditemukan di kepala X. Singkat cerita, dokter menyarankan X melakukan operasi di bagian kepala. Waktu itu belum ada BPJS kesehatan, dan keluarga X menolak saran itu, karena tidak ada biaya. 

Untungnya, dan ini sungguh ajaib, waktu itu X kecelakaan di jalan, dan untungnya pula orang yang menabrak benar-benar baik. Meski “masalah di kepala X” bukan akibat kecelakaan, dia bersedia membiayai operasi itu—mungkin juga karena dilatari perasaan bersalah karena sudah menabrak X.

Singkat cerita, usai menjalani operasi, dan dokter telah membereskan masalah di kepalanya, X seperti “terlahir kembali”. Dia masih hidup, seperti semula, seperti biasa, tapi semua kesan “mbeling” yang ada pada dirinya benar-benar lenyap. Dia jadi orang baru yang berbeda.

Sampai saat ini, X masih hidup, dan hampir tidak pernah bikin masalah. Dia telah menikah dan punya seorang anak. Dia menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab, menjadi ayah yang menyayangi anaknya, dan menjalani kehidupan normal seperti umumnya orang-orang lain.

Jadi, sekian tahun lalu, ketika X masih remaja dan terkenal “sangat mbeling”, dia bukan “dirasuki setan”, bukan karena “kurang ibadah”, juga bukan karena “salah pergaulan”. Tapi karena ada gangguan pada kepalanya yang bersifat medis, yang tidak dipahami orang-orang awam.

Karenanya, hampir semua nasihat yang bersifat umum, meski tidak semuanya, biasanya akan bias. Entah bias kelas, bias nalar, sampai bias realitas. Tidak hanya nasihat kesehatan, tapi juga nasihat-nasihat lainnya, apalagi “nasihat-nasihat dangkal” yang biasa kita dengar sehari-hari.

Nasihat semacam, “Menikahlah, dan kau akan bahagia serta lancar rezeki,” itu bias kelas! Kalau kau menikah dengan konglomerat, dan kebetulan kalian saling cinta, kemungkinan besar kalian memang akan bahagia dan lancar rezeki. Tapi tentu tidak semua orang pasti begitu jika menikah.


Fuck fact: 

Nasihat sering kali cuma refleksi diri sendiri yang tidak kesampaian, lalu dibiaskan ke orang lain; sesuatu yang kita anggap [dan harapkan] benar, padahal belum tentu. Karenanya, “nasihat-nasihat umum” sering kali terdengar indah, bahkan ideal. You know that.

Cara Cepat Menghasilkan Uang Besar

Dalam suatu obrolan terkait bisnis, seseorang pernah berkata, “Cara cepat menghasilkan uang besar adalah membangun perusahaan rokok. Kita bikin merek rokok baru, lakukan kampanye besar-besaran hingga bisa penetrasi pasar. Lalu biarkan perusahaan rokok luar [negeri] melakukan akuisisi.”

Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Tapi secara hitungan bisnis, itu memang masuk akal. Ada perusahaan-perusahaan rokok besar (dalam maupun luar negeri) yang tidak ingin mendapat saingan. Ketika di pasar ada pesaing baru—yang tentu skalanya lebih kecil—mereka akan ambil alih, akuisisi.

Perusahaan besar itu akan membeli perusahaan rokok saingannya, sering kali bukan untuk dikembangkan, tapi untuk dimatikan. Setelah akuisisi, mereka akan membubarkan perusahaan, memberi pesangon para karyawan, dan satu saingan potensial hilang dari pasar.

Apakah hal semacam itu pernah terjadi? Bukan hanya pernah, tapi sering! 

Jika kita flashback ke belakang, dari awal 2000-an, ada banyak sekali merek rokok baru yang muncul lalu terkenal. Kemudian, satu per satu rokok baru itu hilang begitu saja. Padahal rokok itu masih laris dan masih terkenal di kalangan para perokok. Kemana hilangnya rokok-rokok itu?

Jika kasus semacam itu hanya satu dua, mungkin kita bisa mengatakan penyebab hilangnya rokok-rokok baru itu karena masalah internal, apapun itu. Tapi karena kasus semacam itu terjadi puluhan kali, kemungkinan yang lebih rasional adalah akuisisi. Bukan untuk dikembangkan, tapi untuk dimatikan.

Tiba-tiba Ingat, Lalu Kangen

Waktu semester 3 di kampus dulu, aku mengalami kecelakaan di jalan. Tangan kanan patah, jadi gak bisa digunakan, termasuk untuk menulis. Kebetulan, waktu itu pas ujian semesteran. Akhirnya aku datangi dosen-dosen di kampus, untuk minta ujian lisan aja. Mereka setuju.

Setelah dijadwalkan, aku datangi dosen-dosenku satu per satu di kantor mereka masing-masing. Kami duduk berdua, dan aku siap mendapat ujian lisan. Bayanganku waktu itu, dosen akan menanyakan soal-soal yang ada di kertas ujian, dan aku akan menjawabnya secara lisan.

Ternyata bayanganku keliru. Saat aku menemui mereka satu per satu, para dosen itu tidak mengajukan soal apa pun. Kami malah ngobrol asyik aja, sampai sekitar 1 jam, habis itu “ujian” dianggap rampung. Dan belakangan aku dapat nilai A.

Kadang kangen masa-masa itu. 

Bertanya ‘Kapan Kawin?’ Lalu Mati

Di Kalsel, ada kasus pembunuhan sadis yang sekilas tampak rumit, tapi ternyata sangat sederhana. Seorang wanita yang baru menikah ditemukan tewas di kamarnya, tergeletak di kasur, dengan leher tergorok. Ada pisau di dekatnya, tapi bersih seperti habis dicuci.

Suami si wanita mengaku sedang di tempat kerja, ketika peristiwa itu terjadi, dan kondisi di TKP tampak seperti latar novel misteri ala Agatha Christie. Pengantin baru terbunuh dengan kejam, senjata ditemukan di dekatnya, tapi bersih tercuci. Dan ada terlalu banyak darah. 

Hanya butuh dua hari bagi polisi untuk menangkap pelakunya, sekaligus menguak misteri pembunuhan itu. Ternyata sangat sederhana. Pelaku pembunuhan itu adalah anak tetangga korban, pisau yang ditinggalkan di TKP bukan senjata yang digunakan untuk membunuh, dan motivasi pembunuhan itu juga sepele, yakni karena pelaku sakit hati akibat sering diejek korban. Pelaku adalah seorang pria berusia 24 tahun, sosok yang biasa menerima ejekan (yang kerap dianggap pertanyaan wajar) dari tetangganya, berbunyi, “Kapan kawin?”

Kita selalu bisa menormalisasi apa pun yang keluar dari mulut kita. Semisal bertanya “kapan kawin?” yang kita normalisasi sebagai “bentuk perhatian”. Tapi bagaimana kalau orang yang ditanya menganggap itu sebagai ejekan, dan menormalisasi dirinya saat balas dendam?

Segala macam pertanyaan yang diawali “kapan”—dalam apa pun bentuknya—tidak relevan diajukan kepada siapa pun, KECUALI kita terlibat di dalamnya. Misal Si A pacaran dengan Si B, dan Si A bertanya, “Kapan kita akan menikah?” Itu relevan, karena memang ada hubungan.

Tapi kalau status kita cuma teman, tetangga, apalagi orang asing, tidak relevan jika mengajukan pertanyaan “kapan kawin?”—kecuali kalau kamu memang akan menikah dengannya. 

Ada baiknya mengingat kasus sadis di Kalsel sebelum mengejek orang lain, apapun bentuknya.

Jujur Saja

Jujur saja, kalau kau menyatakan pasanganmu luar biasa, perkawinanmu bahagia, dan keluargamu sempurna... tapi ke mana-mana kau bertanya “kapan kawin?” pada siapa pun yang kautemui, maka aku akan tahu bahwa pasanganmu menjengkelkan, perkawinanmu menyedihkan, dan keluargamu berantakan.

Orang-orang lain mungkin bisa tertipu, tetapi... tolong tak usah repot-repot menipuku.

Nyicil Utang Seribu Triliun Per Tahun

Ekonom INDEF, Didik J. Rachbini, menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi mewariskan utang sangat besar, dan, sebagai konsekuensinya, Indonesia harus bayar utang Rp 1.000 triliun per tahun. 

Beban tanggungan Rp 1.000 triliun per tahun itu, masih menurut Didik J. Rachbini, adalah 1.500 persen dari anggaran untuk pendidikan. Jadi, negara kita lebih mementingkan mencicil utang, daripada mengurus pendidikan. Apa kabar anak-anak sekolah yang harus meniti jembatan di atas sungai?

Didik J. Rachbini juga mengatakan, peningkatan utang pemerintah yang naik signifikan mulai terjadi pada era Presiden Joko Widodo. Dan karenanya, Presiden Indonesia setelahnya akan tertimpa beban utang, sebab jumlah utang yang diwariskan sangat besar.

Narasi itu mungkin terdengar biasa, andai kita tidak mengingat “idealisme” Jokowi ketika belum menjabat Presiden Indonesia. Sebelum jadi presiden, Jokowi terang-terangan mengatakan “akan membubarkan Bank Dunia, IMF dan semacamnya”, karena dinilainya “merusak”.

Politik adalah soal sistem. Orang bisa ngoceh macam-macam sebelum masuk ke dalamnya. Saat orang masuk ke dalam sistem, mau tak mau dia harus ikut aturan mainnya. Dan aturan dalam sistem politik sekarang, menumpuk utang adalah salah satunya. Akan ke mana semua ini menuju?

Dalam konteks utang pemerintah, kebanyakan orang melakukan pembelaan dengan mengajukan argumentasi multiplier effect (dampak berganda). Secara teoritis, berdasarkan perspektif ilmu ekonomi, utang memang bisa menumbuhkan suatu bisnis, atau negara, agar tumbuh lebih besar.

Tetapi, yang perlu diingat, itu secara teoritis. Ketika teori diaplikasikan dalam praktik, siapa yang bisa menjamin prosesnya akan sama dengan teori? Dan kalau prosesnya belum tentu sama, siapa yang bisa menjamin hasilnya akan sesuai yang diteorikan (tumbuh lebih besar) sesuai ilmu ekonomi?

Mari gunakan analogi sederhana, agar urusan ini lebih mudah dipahami. Andaikan saya mau bikin startup, tapi terbentur masalah modal. Saya punya visi yang bagus mengenai suatu usaha, yang hampir bisa dipastikan akan sangat menguntungkan. Tapi, sekali lagi, modal saya terbatas.

Dalam kondisi seperti itu, saya mengajukan utang ke bank, dengan jaminan sertifikat rumah. Bank menggelontorkan pembiayaan, seperti yang saya inginkan. Sampai di sini, segala hal bisa terjadi, dan praktik yang saya lakukan bisa melenceng jauh dari teori yang tertulis dalam ilmu ekonomi.

Ketika pembiayaan dari bank sudah cair, saya bisa melakukan apa pun dengan uang yang kini ada di genggaman. Saya bisa menggunakan sepenuhnya untuk membesarkan startup seperti rencana semula, tapi saya juga bisa menggunakannya separo untuk bersenang-senang ala bocah hedon.

Di atas semua itu, saya juga dihadapkan pada fakta ini; apakah visi saya terkait startup tadi benar-benar menjanjikan, atau itu cuma khalayan? 

Oh, ya, dan jangan lupakan sertifikat rumah yang saya jadikan jaminan utang tadi. Suatu saat, jika saya kolaps, bank akan punya kuasa menyita rumah saya.

Dua Macam Masalah

Ada dua macam masalah. Yang terlihat dan yang tak terlihat. Yang terlihat tampak merisaukan. Yang tak terlihat lebih mengkhawatirkan.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Juni 2014.  

Birokrasi

Hidup mungkin akan jauh lebih mudah dijalani, kalau saja tidak ada sistem terkutuk bernama birokrasi.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 April 2019.

Twitter Kenapa?

Ini @Twitter kenapa? Kalau aku meng-quote tweet, atau tweet balasanku agak panjang (untuk thread), tombol "Tweet"-nya menghilang (ke bawah hingga tidak bisa diklik). Cuma aku yang mengalami, atau orang lain juga sama? 

Ngetwit jadi gak nyaman kalau gini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 29 Desember 2022.

Semremeng Asu

Pengapuran adalah huruf, ya?

Iya.

Kita semua adalah huruf, ya?

Iya.

....
....

Oh, oh.

Asu.

Petuah

Katanya petuah.

Minggu, 01 Desember 2024

Pengetahuan Sejati

Gordon Pennycook, peneliti psikologi misinformasi, University of Regina, Kanada, mengatakan, “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran, ia memberi insentif pada keterlibatan.” 

Kalimat itu diucapkan Pennycook, setelah melakukan penelitian terkait penyebaran hoax atau berita palsu di berbagai media sosial. Dalam penelitian, Pennycook menemukan bahwa orang [sebenarnya] bisa mengenali mana berita palsu atau hoax. 

Yang mencengangkan, Pennycook juga mendapati bahwa, bahkan setelah mengetahui itu hoax atau berita palsu, orang tetap memiliki keinginan untuk menyebarkannya. Kenapa? Jawabannya tentu bukan untuk menyebarkan kebenaran, karena mereka tahu itu hoax.

Orang-orang punya kecenderungan menyebarkan apa saja di media sosial—termasuk hoax dan kebohongan—merujuk penelitian Pennycook, tidak bermaksud menyebarkan pengetahuan atau kebenaran, melainkan demi mendapat “keterlibatan” (retweet, share, love).

Itulah kenapa Pennycook sampai pada kesimpulan, “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran, ia memberi insentif pada keterlibatan.” 

Karenanya, dari dulu—bahkan sebelum ada media sosial—aku percaya bahwa pengetahuan sejati ada dalam keheningan.

Orang Suci yang Tidak Suci-suci Amat

Dulu aku pernah mengira Mahatma Gandhi orang suci. Bahkan kata “Mahatma” pada namanya menyiratkan hal mulia. “Mahatma” berasal dari bahasa Sanskerta, yang berakar dari kata mahā dan ātman yang secara harfiah berarti "Jiwa Agung". 

Mohandas Karamchand Gandhi adalah orang pertama yang mendapat sebutan mulia semacam itu, hingga terkenal sebagai Mahatma Gandhi. Penyebutan “Mahatma” diberikan kepadanya sebagai penghargaan atas perjuangannya melawan penjajahan hingga kemuliaannya sebagai pribadi.

Jadi, awal mengenalnya dari buku-buku sejarah, aku sempat terpikir kalau dia memang orang suci, mengingat catatan sejarah benar-benar memuliakan sosoknya, hingga terkesan glorifikasi. Sampai belakangan aku tahu bagaimana dia sebenarnya... dan, yeah, dia manusia biasa.

Mahatma Gandhi tidak sesuci yang dipikirkan banyak orang. Di balik kehebatan dan kemuliaannya, dia memiliki sisi gelap yang bahkan sejarah pun enggan menulisnya.

Tapi kalau misal ada orang-orang yang menganggap Gandhi sebagai orang suci, ya silakan saja, wong itu hak pribadi. Asal tidak maksa-maksa orang lain agar ikut meyakini hal serupa, it’s okay.

Bukan Soal Apa yang di Luar, tapi Apa yang di Dalam

Dari dulu aku percaya, kalau suami istri bahagia, anak akan ikut bahagia. Sebaliknya, jika suami istri stres, tertekan, banyak beban pikiran, anak akan ikut menanggung dampaknya. Karena perlakuan orang tua kepada anak sering kali tergantung pada suasana hati dan pikiran orang tua.

Ketika seorang anak melakukan kenakalan atau kesalahan kecil—misal menumpahkan minuman—perlakuan yang akan diterimanya tergantung dari suasana hati dan kondisi pikiran orang tuanya. Ini bukan soal apakah orang tua tahu parenting atau tidak, tapi kondisi pikiran.

Bagi orang tua yang bahagia, kenakalan kecil anak bukanlah masalah. Tapi bagi orang tua yang sedang stres, tertekan, banyak beban pikiran, kenakalan atau kesalahan kecil anak akan dianggap masalah besar. Latar belakang itu yang membedakan sikap dan perlakuan mereka pada si anak.

Dalam contoh ekstrem, kalau kamu hidup bahagia, dan anakmu memecahkan guci seharga sepuluh juta, misalnya, mungkin kamu hanya akan marah sebentar, lalu menyadari kalau anakmu masih kecil. Guci pecah itu urusan sepele, toh kamu bisa menggantinya dengan guci yang lain.

Tapi kalau kamu hidup penuh tekanan, stres, banyak masalah, dikejar-kejar cicilan, dan anakmu memecahkan gelas yang harganya paling sepuluh ribu rupiah, kamu bisa ngamuk dan menganiaya anakmu habis-habisan. Anakmu jadi korban—bukan karena gelas pecah, tapi karena kondisimu.

Kenyataan dan kesadaran itulah yang membuatku bersumpah pada diri sendiri, aku tidak akan menikah—apalagi punya anak—sebelum bisa membahagiakan diriku sendiri.

Yang Benar-benar Terjadi

Kalau iman memang penting, jangan lupakan pula kesadaran untuk mau membuka mata dan hati, untuk menyaksikan serta mau menerima kebenaran terkait apa yang benar-benar terjadi.

Pejuang Selangkangan

Ada istilah aneh sekaligus konyol, yang hanya ada di Indonesia; "pejuang nikah muda". 

Daripada "memperjuangkan" diri dan orang-orang lain cepat kawin, mending memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, atau memperjuangkan lingkungan agar jadi tempat yang nyaman dihuni bersama.

Daripada nikah muda, mending meruntuhkan peradaban.

"Pejuang nikah muda" itu menunjukkan sempitnya pikiran mereka, karena yang diurusi terus menerus cuma selangkangan. Oh, well, tentu saja dengan dalih ajaran agama dan segala macam. Tapi intinya sama saja; selangkangan!

Pejuang nikah muda = pejuang cepat kawin = ... Ya, kau tahu.

Jika memang yang menjadi concern adalah pernikahan, jauh lebih baik memperjuangkan kesadaran dan kematangan pikiran/mental sebelum menikah. Itu lebih baik dan lebih mulia, karena mengajak orang menikah secara bertanggung jawab, dengan persiapan yang benar-benar baik dan matang.

Sayangnya, para "pejuang nikah muda" itu menempatkan selangkangan di tempat teratas, karena "yang penting nikah aja dulu, urusan lain biar diurus belakangan."

Tentu saja itu "trik jualan", agar "perjuangan" mereka laku dan menarik banyak pengikut. Bukan begitu, para "pejuang"?

Dalam pikiranku, para "pejuang nikah muda" itu bukan memperjuangkan sesuatu agar lebih baik, tapi sedang menjual sesuatu dan berharap dagangannya laku. Karenanya, mereka tak peduli kalau perkawinanmu bubar di tengah jalan (akibat tidak ada persiapan), karena mereka cuma jualan.

Mereka juga menjual slogan tolol, "Daripada zina lebih baik nikah muda". Slogan itu dengan jelas menunjukkan seperti apa isi otak mereka. Kalau memang otakmu hanya berisi urusan selangkangan, silakan! Tapi jangan menyamaratakan semua orang punya otak sekotor isi otakmu!

Slogan "Daripada zina lebih baik nikah muda" itu mungkin berasal dari orang yang isi otaknya cuma selangkangan, lalu berpikir semua orang sekotor dirinya. Pola pikir semacam itu dengan jelas menunjukkan seperti apa isi pikiran penggagas dan "pejuang"nya. Ya jualan selangkangan!

Kenyataannya, selangkangan memang selalu laku dijual, apalagi dibungkus dengan embel-embel agama. Dan para penjualnya menyebut diri mereka sebagai "pejuang nikah muda". Benar-benar cara berjualan yang licik sekaligus menyesatkan! Dan anak-anak merekalah yang kelak menjadi korban!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3-4 Agustus 2019.

Bocah Udud

Netflix bikin film berjudul “Gadis Kretek”, yang [kalau aku tidak keliru] diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Ratih Kumala. Aku jadi kepikiran untuk bikin novel serupa, agar sama difilmkan, mungkin judulnya “Bocah Udud”.

Lagi Kaget

Lagi kaget. Film terbaru Russell Crowe, The Exorcism, ratingnya cuma 4,4. Film terbaru Aaron Eckhart, Chief of Station, ratingnya cuma 4,7. Gara-gara rating serendah itu, aku gak nonton, padahal mereka dua aktor favoritku. Rating 5 aja udah sangat minimal untuk ukuran mereka.

Sepertinya mereka mengikuti “jejak” Bruce Willis. Makin berumur, kualitas filmnya makin turun. Begitu pula Van Damme, yang filmya makin “lucu”. Dan sebelum mereka ada Steven Seagal. Kayaknya, yang kualitas filmnya masih terjaga seiring usia aktor makin tua hanyalah Liam Neeson. Separah apapun, ratingnya masih 5 ke atas.

Mana yang Lebih Dulu Ada?

Mana yang lebih dulu ada di dunia? Moral, atau agama? Jawabannya tergantung pada kecenderungan cara kita berpikir.

Orang yang berpikir berdasarkan keyakinan, pasti akan menjawab agama lebih dulu lahir daripada moral, karena juga berkeyakinan manusia pertama adalah adalah Nabi Adam. Dan karena seorang nabi, Adam tentu beragama. Artinya, agama muncul bersama orang pertama di dunia.

Sementara orang yang berpikir berdasarkan pengetahuan, tentu akan menjawab moral lebih dulu lahir daripada agama. Sisanya tidak perlu dijelaskan.

Waba

Saya sedang membaca sesuatu, dan mendapati kata yang asing—“waba”. Saya tidak tahu apa itu waba. Dan meski sudah memikirkan cukup lama, dengan memperkirakan sambungan dengan kata sebelum dan setelahnya, saya tetap tidak paham apa itu waba.

Jadi, saya pun lalu menelepon penulisnya.

“Aku lagi baca tulisanmu,” ujar saya di telepon, “dan menemukan kata ‘waba’. Apakah mungkin maksudmu ‘wabah’?”

“Tidak,” dia menjawab, “maksudku memang waba.”

“Waba, huh?”

“Yeah, waba.”

Setelah selesai menelepon, saya melanjutkan membaca.

Dan saya berpikir, betapa hidup ini sungguh sia-sia.

Orang Baik dan Orang Jahat

Ada banyak kejahatan di dunia yang pelakunya tidak dapat ditangkap, karena tidak adanya bukti yang langsung terkait dengannya. Sering kali, penjahat berbahaya tidak seperti di film-film, yang tampak jahat dan bengis. Sebaliknya, mereka sering tampak lemah, santun, tipe “orang biasa”.

Ketika orang berangasan atau tampak jahat dan bengis diduga terkait suatu kejahatan, kita sangat mudah menuduhnya—“pasti dia pelakunya!” Tapi bagaimana jika suatu kejahatan mengarah pada orang yang tampak ramah, lemah lembut, jenis orang yang “tidak mungkin berbuat jahat”?

Persepsi kita telah lama dirusak oleh film mengenai orang jahat dan orang baik, hingga kita—tanpa sadar—sok tahu mana “orang baik” dan mana “orang jahat”. Kita sangat mudah menuduh orang yang “seperti anu” pasti baik, dan orang yang “seperti itu” pasti orang jahat. 

Faktanya, orang baik dan orang jahat sering kali tidak bisa diidentifikasi melalui penampakan, penampilan, atau wujud luar mereka. Tanyakan pada Densus 88, apakah para teroris yang mereka tangkap tampak seperti bajingan? Tidak! Para teroris itu justru tampak seperti orang baik.

Prentah

Oh... prentah.

 
;