Minggu, 01 Desember 2024

Pengetahuan Sejati

Gordon Pennycook, peneliti psikologi misinformasi, University of Regina, Kanada, mengatakan, “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran, ia memberi insentif pada keterlibatan.” 

Kalimat itu diucapkan Pennycook, setelah melakukan penelitian terkait penyebaran hoax atau berita palsu di berbagai media sosial. Dalam penelitian, Pennycook menemukan bahwa orang [sebenarnya] bisa mengenali mana berita palsu atau hoax. 

Yang mencengangkan, Pennycook juga mendapati bahwa, bahkan setelah mengetahui itu hoax atau berita palsu, orang tetap memiliki keinginan untuk menyebarkannya. Kenapa? Jawabannya tentu bukan untuk menyebarkan kebenaran, karena mereka tahu itu hoax.

Orang-orang punya kecenderungan menyebarkan apa saja di media sosial—termasuk hoax dan kebohongan—merujuk penelitian Pennycook, tidak bermaksud menyebarkan pengetahuan atau kebenaran, melainkan demi mendapat “keterlibatan” (retweet, share, love).

Itulah kenapa Pennycook sampai pada kesimpulan, “Media sosial tidak memberi insentif terhadap kebenaran, ia memberi insentif pada keterlibatan.” 

Karenanya, dari dulu—bahkan sebelum ada media sosial—aku percaya bahwa pengetahuan sejati ada dalam keheningan.

Orang Suci yang Tidak Suci-suci Amat

Dulu aku pernah mengira Mahatma Gandhi orang suci. Bahkan kata “Mahatma” pada namanya menyiratkan hal mulia. “Mahatma” berasal dari bahasa Sanskerta, yang berakar dari kata mahā dan ātman yang secara harfiah berarti "Jiwa Agung". 

Mohandas Karamchand Gandhi adalah orang pertama yang mendapat sebutan mulia semacam itu, hingga terkenal sebagai Mahatma Gandhi. Penyebutan “Mahatma” diberikan kepadanya sebagai penghargaan atas perjuangannya melawan penjajahan hingga kemuliaannya sebagai pribadi.

Jadi, awal mengenalnya dari buku-buku sejarah, aku sempat terpikir kalau dia memang orang suci, mengingat catatan sejarah benar-benar memuliakan sosoknya, hingga terkesan glorifikasi. Sampai belakangan aku tahu bagaimana dia sebenarnya... dan, yeah, dia manusia biasa.

Mahatma Gandhi tidak sesuci yang dipikirkan banyak orang. Di balik kehebatan dan kemuliaannya, dia memiliki sisi gelap yang bahkan sejarah pun enggan menulisnya.

Tapi kalau misal ada orang-orang yang menganggap Gandhi sebagai orang suci, ya silakan saja, wong itu hak pribadi. Asal tidak maksa-maksa orang lain agar ikut meyakini hal serupa, it’s okay.

Bukan Soal Apa yang di Luar, tapi Apa yang di Dalam

Dari dulu aku percaya, kalau suami istri bahagia, anak akan ikut bahagia. Sebaliknya, jika suami istri stres, tertekan, banyak beban pikiran, anak akan ikut menanggung dampaknya. Karena perlakuan orang tua kepada anak sering kali tergantung pada suasana hati dan pikiran orang tua.

Ketika seorang anak melakukan kenakalan atau kesalahan kecil—misal menumpahkan minuman—perlakuan yang akan diterimanya tergantung dari suasana hati dan kondisi pikiran orang tuanya. Ini bukan soal apakah orang tua tahu parenting atau tidak, tapi kondisi pikiran.

Bagi orang tua yang bahagia, kenakalan kecil anak bukanlah masalah. Tapi bagi orang tua yang sedang stres, tertekan, banyak beban pikiran, kenakalan atau kesalahan kecil anak akan dianggap masalah besar. Latar belakang itu yang membedakan sikap dan perlakuan mereka pada si anak.

Dalam contoh ekstrem, kalau kamu hidup bahagia, dan anakmu memecahkan guci seharga sepuluh juta, misalnya, mungkin kamu hanya akan marah sebentar, lalu menyadari kalau anakmu masih kecil. Guci pecah itu urusan sepele, toh kamu bisa menggantinya dengan guci yang lain.

Tapi kalau kamu hidup penuh tekanan, stres, banyak masalah, dikejar-kejar cicilan, dan anakmu memecahkan gelas yang harganya paling sepuluh ribu rupiah, kamu bisa ngamuk dan menganiaya anakmu habis-habisan. Anakmu jadi korban—bukan karena gelas pecah, tapi karena kondisimu.

Kenyataan dan kesadaran itulah yang membuatku bersumpah pada diri sendiri, aku tidak akan menikah—apalagi punya anak—sebelum bisa membahagiakan diriku sendiri.

Yang Benar-benar Terjadi

Kalau iman memang penting, jangan lupakan pula kesadaran untuk mau membuka mata dan hati, untuk menyaksikan serta mau menerima kebenaran terkait apa yang benar-benar terjadi.

Pejuang Selangkangan

Ada istilah aneh sekaligus konyol, yang hanya ada di Indonesia; "pejuang nikah muda". 

Daripada "memperjuangkan" diri dan orang-orang lain cepat kawin, mending memperjuangkan pendidikan yang lebih baik, atau memperjuangkan lingkungan agar jadi tempat yang nyaman dihuni bersama.

Daripada nikah muda, mending meruntuhkan peradaban.

"Pejuang nikah muda" itu menunjukkan sempitnya pikiran mereka, karena yang diurusi terus menerus cuma selangkangan. Oh, well, tentu saja dengan dalih ajaran agama dan segala macam. Tapi intinya sama saja; selangkangan!

Pejuang nikah muda = pejuang cepat kawin = ... Ya, kau tahu.

Jika memang yang menjadi concern adalah pernikahan, jauh lebih baik memperjuangkan kesadaran dan kematangan pikiran/mental sebelum menikah. Itu lebih baik dan lebih mulia, karena mengajak orang menikah secara bertanggung jawab, dengan persiapan yang benar-benar baik dan matang.

Sayangnya, para "pejuang nikah muda" itu menempatkan selangkangan di tempat teratas, karena "yang penting nikah aja dulu, urusan lain biar diurus belakangan."

Tentu saja itu "trik jualan", agar "perjuangan" mereka laku dan menarik banyak pengikut. Bukan begitu, para "pejuang"?

Dalam pikiranku, para "pejuang nikah muda" itu bukan memperjuangkan sesuatu agar lebih baik, tapi sedang menjual sesuatu dan berharap dagangannya laku. Karenanya, mereka tak peduli kalau perkawinanmu bubar di tengah jalan (akibat tidak ada persiapan), karena mereka cuma jualan.

Mereka juga menjual slogan tolol, "Daripada zina lebih baik nikah muda". Slogan itu dengan jelas menunjukkan seperti apa isi otak mereka. Kalau memang otakmu hanya berisi urusan selangkangan, silakan! Tapi jangan menyamaratakan semua orang punya otak sekotor isi otakmu!

Slogan "Daripada zina lebih baik nikah muda" itu mungkin berasal dari orang yang isi otaknya cuma selangkangan, lalu berpikir semua orang sekotor dirinya. Pola pikir semacam itu dengan jelas menunjukkan seperti apa isi pikiran penggagas dan "pejuang"nya. Ya jualan selangkangan!

Kenyataannya, selangkangan memang selalu laku dijual, apalagi dibungkus dengan embel-embel agama. Dan para penjualnya menyebut diri mereka sebagai "pejuang nikah muda". Benar-benar cara berjualan yang licik sekaligus menyesatkan! Dan anak-anak merekalah yang kelak menjadi korban!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3-4 Agustus 2019.

Bocah Udud

Netflix bikin film berjudul “Gadis Kretek”, yang [kalau aku tidak keliru] diadaptasi dari novel berjudul sama, karya Ratih Kumala. Aku jadi kepikiran untuk bikin novel serupa, agar sama difilmkan, mungkin judulnya “Bocah Udud”.

Lagi Kaget

Lagi kaget. Film terbaru Russell Crowe, The Exorcism, ratingnya cuma 4,4. Film terbaru Aaron Eckhart, Chief of Station, ratingnya cuma 4,7. Gara-gara rating serendah itu, aku gak nonton, padahal mereka dua aktor favoritku. Rating 5 aja udah sangat minimal untuk ukuran mereka.

Sepertinya mereka mengikuti “jejak” Bruce Willis. Makin berumur, kualitas filmnya makin turun. Begitu pula Van Damme, yang filmya makin “lucu”. Dan sebelum mereka ada Steven Seagal. Kayaknya, yang kualitas filmnya masih terjaga seiring usia aktor makin tua hanyalah Liam Neeson. Separah apapun, ratingnya masih 5 ke atas.

Mana yang Lebih Dulu Ada?

Mana yang lebih dulu ada di dunia? Moral, atau agama? Jawabannya tergantung pada kecenderungan cara kita berpikir.

Orang yang berpikir berdasarkan keyakinan, pasti akan menjawab agama lebih dulu lahir daripada moral, karena juga berkeyakinan manusia pertama adalah adalah Nabi Adam. Dan karena seorang nabi, Adam tentu beragama. Artinya, agama muncul bersama orang pertama di dunia.

Sementara orang yang berpikir berdasarkan pengetahuan, tentu akan menjawab moral lebih dulu lahir daripada agama. Sisanya tidak perlu dijelaskan.

Waba

Saya sedang membaca sesuatu, dan mendapati kata yang asing—“waba”. Saya tidak tahu apa itu waba. Dan meski sudah memikirkan cukup lama, dengan memperkirakan sambungan dengan kata sebelum dan setelahnya, saya tetap tidak paham apa itu waba.

Jadi, saya pun lalu menelepon penulisnya.

“Aku lagi baca tulisanmu,” ujar saya di telepon, “dan menemukan kata ‘waba’. Apakah mungkin maksudmu ‘wabah’?”

“Tidak,” dia menjawab, “maksudku memang waba.”

“Waba, huh?”

“Yeah, waba.”

Setelah selesai menelepon, saya melanjutkan membaca.

Dan saya berpikir, betapa hidup ini sungguh sia-sia.

Orang Baik dan Orang Jahat

Ada banyak kejahatan di dunia yang pelakunya tidak dapat ditangkap, karena tidak adanya bukti yang langsung terkait dengannya. Sering kali, penjahat berbahaya tidak seperti di film-film, yang tampak jahat dan bengis. Sebaliknya, mereka sering tampak lemah, santun, tipe “orang biasa”.

Ketika orang berangasan atau tampak jahat dan bengis diduga terkait suatu kejahatan, kita sangat mudah menuduhnya—“pasti dia pelakunya!” Tapi bagaimana jika suatu kejahatan mengarah pada orang yang tampak ramah, lemah lembut, jenis orang yang “tidak mungkin berbuat jahat”?

Persepsi kita telah lama dirusak oleh film mengenai orang jahat dan orang baik, hingga kita—tanpa sadar—sok tahu mana “orang baik” dan mana “orang jahat”. Kita sangat mudah menuduh orang yang “seperti anu” pasti baik, dan orang yang “seperti itu” pasti orang jahat. 

Faktanya, orang baik dan orang jahat sering kali tidak bisa diidentifikasi melalui penampakan, penampilan, atau wujud luar mereka. Tanyakan pada Densus 88, apakah para teroris yang mereka tangkap tampak seperti bajingan? Tidak! Para teroris itu justru tampak seperti orang baik.

Prentah

Oh... prentah.

 
;