Jumat, 18 Mei 2012

Jadi Kentir karena Pengin Kawin

Kapan kawin? Kawin kapan?
Nanti, kalau aku sudah bisa menceraikan diri sendiri.
@noffret


Setengah bulan yang lalu saya stres berat, karena tekanan pekerjaan tanpa henti, dan waktu yang sepertinya tak bisa diajak kompromi. Meski sudah berusaha efisien, saya merasa terus tertinggal oleh detik jam. Dan kondisi penuh tekanan semacam itu menjadikan insomnia saya makin parah.

Sudah bertahun-tahun saya sulit tidur setiap malam. Mungkin karena insomnia. Mungkin pula karena saya tidak terlalu suka tidur. Oh, well, mungkin ini terdengar aneh. Tapi saya sering merasa “eman-eman” untuk tidur kalau sedang asyik mengerjakan sesuatu—entah membaca buku yang bagus, atau sedang asyik memuntahkan isi pikiran di komputer, atau sedang meneliti dan meriset sesuatu. Karena itulah kemudian insomnia menyerang dengan sangat parah.

Tingkat keparahan itu makin menjadi-jadi kalau pekerjaan sedang menumpuk dan diburu waktu. Entah kenapa atau bagaimana, saya tak pernah bisa tidur kalau pikiran belum tenang, semisal pekerjaan yang belum rampung. Bahkan setelah mata sangat mengantuk dan tubuh sangat lelah sekalipun, tetap saja sulit tidur.

Seperti setengah bulan kemarin. Sebegitu sulit tidurnya, sampai-sampai saya membuat “rekor” dalam hal tidak tidur. Karena ingin sekali menyelesaikan tanggung jawab, saya sampai tidak tidur empat hari empat malam. Selama begadang terus-menerus tanpa henti itu, yang saya khawatirkan bukan kondisi fisik saya, tapi kondisi komputer. Saya benar-benar berdoa semoga komputer yang saya ajak begadang tidak meledak atau mati tiba-tiba.

Setelah empat hari tidak tidur, badan saya serasa tak bisa digunakan lagi. Letih lahir batin. Fisik sudah lemah, otak tak bisa lagi diajak mikir. Akhirnya, setelah tak lupa mematikan komputer—dan benar-benar memastikan benda itu mati sewajarnya karena shut down—saya pun melangkah sambil merem ke kamar tidur. Begitu badan menyentuh tempat tidur, saya langsung terlelap.

Dan tidur selama dua hari.

Ketika bangun tidur, rasanya seperti… jetlag. Sewaktu bangkit dari tempat tidur, dan duduk sambil bengong, saya baru menyadari kalau saya terbangun akibat kelaparan—karena dua hari tertidur dan tidak makan. Perut rasanya keroncongan campur dangdutan. Mungkin, kalau tidak lapar, saya pasti masih enak-enak tertidur dan entah akan bangun kapan.

Saya duduk dengan lemas sambil menatap jam di dinding kamar. Jarum jam menunjukkan pukul 4. Sesaat, saya kebingungan itu jam 4 pagi atau jam 4 sore. Lalu saya ambil ponsel, untuk memastikan waktu. Rupanya jam 4 pagi. Ketika melihat hari dan tanggal, saat itulah saya menyadari sudah tertidur dua hari.

Saya bangkit, dan menuju kamar mandi untuk cuci muka. Lalu membuat kopi. Dan merokok. Sambil merasakan badan yang masih letih serta perasaan seperti jetlag. Sedang perut keroncongan bukan main. Dan saya mikir, ke mana harus mencari warung makan sepagi ini?

Masalahnya bukan hanya mencari warung pada pukul empat pagi. Kalau saya memaksakan diri untuk keluar, mau tak mau harus memanaskan mesin kendaraan, karena dua hari tak dipakai. Dan itu tentu akan mengganggu tetangga kanan kiri, karena masih sangat pagi. Standar etika saya tidak bisa diajak kompromi.

Akhirnya, sambil menahan lapar, saya pun menyabar-nyabarkan diri menunggu subuh tiba. Nanti, seusai subuh, saya bisa mulai memanaskan mesin dan keluar cari makan. Untuk menghibur diri—dan membunuh waktu—saya pun membaca buku. Dan bikin kopi lagi. Sambil diam-diam berharap tidak tertidur lagi. Karena, jika itu sampai terjadi, saya khawatir tidak akan bangun lagi.

Seusai subuh, saya mulai memanaskan mesin, lalu kabur mencari warung. Sambil menyusuri jalanan yang masih sepi, saya lirak-lirik kanan kiri, mencari warung makan yang sudah buka. Sampai akhirnya, di tempat yang cukup jauh, ada satu warung yang telah buka, dan terlihat masih sepi. Saya pun masuk ke sana. Dan segera makan dengan lahap.

Pada waktu makan itulah, inti cerita ini dimulai.

Ketika sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba terdengar suara lelaki berteriak-teriak tidak jelas. Lelaki itu sepertinya di dekat warung tersebut, dan terus berteriak-teriak sendiri, mengeluarkan kata-kata yang semrawut dan tidak terstruktur. Sepertinya dia tidak pernah belajar grammar. Atau conversation. Entahlah.

Berdasarkan pendengaran saya sambil makan, inilah yang diucapkan lelaki itu sambil teriak-teriak, “Pokoknya…! Haiyyaaa, pokoknya kawin! Aku kan kawin saja ini itu sama kawin. Mosok sulit sekali padahal aku tidak pernah bilang begitu selain kawin. Ya, kan? Hahahaaaa…! Aku ingin berlomba-lomba untuk kawin, masyarakaaaaat. Haiyyaaa, pokoknya! Pokoknya kawin! Sudah saja, ketika semua orang berlomba-lomba untuk kawin, aku malah ingin kawin. Hahahahaaaa! Benar-benar supaya! Oaaah, supaya! Masyarakaaaaaat! Mau kawin aja kok susah!”

(Tentu saja kalimat-kalimat itu berdasarkan ingatan saya yang mungkin tidak akurat, dengan penerjemahan sekadarnya, dan sensor ketat atas kata-kata tidak senonoh di sana-sini).

Karena penasaran dan tergelitik dengan ocehannya, saya pun melongok keluar, dan menyaksikan lelaki itu sedang semangat ngoceh sambil berdiri dengan gaya orasi. Dilihat dari penampilan fisiknya, sepertinya dia berumur 35 tahunan. Pakaiannya terlihat bersih, tidak terkesan orang gila yang tidak terurus. Dia terus ngoceh, dan kata “kawin” terus-menerus terselip dalam ocehannya.

Saya pun bertanya pada ibu si penjual warung makan, “Siapa tuh, Bu?”

“Itu orang kentir (tidak waras), Mas,” jawabnya. Kemudian ibu itu bercerita, “Dia tuh dulu pengin kawin, tapi nggak tahu kenapa selalu gagal. Pernah pacaran, terus bubar. Malah dulu pernah tunangan, tapi juga putus di tengah jalan. Lama-lama dia jadi kentir, ya mungkin karena kepenginannya kawin nggak kesampaian. Tiap pagi selalu teriak-teriak gitu. Kata orang-orang sih, mungkin dia bakal waras lagi kalau udah kawin.”

Saya terdiam. Karena bingung mau jawab apa. Juga karena tiba-tiba saya menatap diri sendiri. Sampai segede ini, hati saya kok belum terketuk ingin kawin. Dan tiba-tiba saya khawatir jadi kentir kalau dipaksa kawin. Oh, well, kalau ada orang yang jadi kentir karena pengin kawin, tentu logis kalau ada pula orang yang jadi kentir karena dipaksa kawin padahal belum pengin kawin.

Tiba-tiba saya merasa tidak normal. Sebenarnya sih dari dulu saya memang tidak normal. Kalau normal tentu saya sudah pengin kawin!

Kadang-kadang, saya “memanas-manasi” diri sendiri dengan menyaksikan teman-teman saya yang sudah punya istri. Atau sengaja menjebak diri sendiri ke dalam kamecatan malam Minggu, agar bisa memelototi pasangan-pasangan yang sedang asyik malam Mingguan. Ya, kadang-kadang upaya itu memang berhasil—tapi temporer.

Ketika melihat teman-teman saya tersenyum bahagia dengan istri-istri mereka, atau menyaksikan pasangan-pasangan yang sedang bergandengan tangan, saya memang merasakan keinginan untuk memiliki pasangan. Atau bahkan sampai kawin—dan berumah tangga. Tetapi, setelah pemandangan itu sirna, dan saya kembali sendirian, semua keinginan itu pun ikut sirna. Saya telah telanjur jatuh cinta pada keheningan.

Ketika merasakan hening, sendirian, di rumah yang sunyi, tanpa suara, sering kali saya bersyukur karena tidak memiliki istri dan anak-anak. Kehadiran mereka pasti akan merenggut keheningan dari hidup saya.

Sering kali, ketika sedang asyik mengerjakan sesuatu hingga lupa waktu dan lupa segalanya, saya pun membayangkan, “Untung aku tidak punya istri. Kalau ada istri, dia pasti akan ngamuk-ngamuk karena dicueki.”

Atau, ketika sedang asyik berpikir, sampai berjam-jam, kadang terselip pikiran nakal, “Untung aku tidak punya istri. Kalau punya istri, aku pasti tidak akan sempat memikirkan hal-hal ini, karena akan terus sibuk memikirkan dirinya.”

Pendeknya, saya lebih sering bersyukur karena tidak memiliki pasangan daripada sebaliknya. Ya, ya, mungkin saya memang tidak normal. Tetapi standar kenormalan manakah yang akan kita gunakan dalam hal ini? Apakah orang-orang yang memilih tidak kawin memang layak dianggap tidak normal? Dan hanya orang-orang yang kawin saja yang normal? Tapi bukankah kawin atau tidak kawin adalah hak setiap orang?

Ironi dalam sistem masyarakat kita, sepertinya, adalah rancunya perbedaan antara hak dan kewajiban. Beberapa hak dianggap kewajiban, sehingga jika “kewajiban” itu tidak dilakukan, maka akan dianggap tidak normal. Ya contohnya soal kawin itu.

Meski sesungguhnya kawin (menikah, merid, etc) adalah hak, tapi sistem masyarakat kita menganggapnya kewajiban. Dan karena sistem masyarakat menganggapnya kewajiban, maka mayoritas orang pun melakukannya—karena ingin memenuhi “kewajiban”, atau juga karena memang pengin kawin.

Tentu hal biasa kalau kita menyaksikan orang yang jelas-jelas menunjukkan keinginannya untuk kawin. Atau teman kita yang sibuk minta dicarikan pacar, pasangan, dan semacamnya. Banyak orang yang sampai mengikuti acara-acara semacam biro jodoh demi tujuan yang sama. Bahkan konon Facebook atau media sosial lain pun dijadikan salah satu sarana untuk menemukan pasangan. Untuk kawin.

Tentu saja mereka tidak salah. Sama tidak salahnya dengan orang yang memang tidak atau belum ingin kawin.

Ehmm… Ada sebuah buku berbahasa Arab yang sangat bagus berjudul Al-‘Ulama’ Al-‘Uzzab alladzina Atsarul ‘Ilma ‘alaz Zawaj. Buku ini mengisahkan para ulama dan para pecinta ilmu (kebetulan semuanya lelaki) yang memutuskan tidak kawin sampai mati karena ingin membaktikan hidupnya untuk belajar dan mencari ilmu. Sejujurnya, saya sampai nangis bombay waktu membaca buku ini. Dan, sejujurnya pula, saya makin tidak pengin kawin!

Beberapa pecinta ilmu yang dikisahkan dalam buku ini adalah Yunus bin Habib Al-Bashri, Abu Bakar bin Al-Anbari, Ibnu Taimiyyah, Abul Hasan Al-Qifthi, Ibnul Khasysyab Al-Baghdadi, Abul Wafa’ Al-Afghani, dan lain-lain—semuanya orang hebat, setidaknya saya mengagumi karya-karya mereka.

Sementara ada jutaan orang yang sibuk bahkan sampai kentir karena pengin kawin, ada segelintir orang yang justru menjauhi keinginan itu dan memutuskan untuk tidak kawin. Artinya, bagi saya, ada kebahagiaan bahkan kepuasan dan ketenteraman yang setara atau senilai dengan pasangan hidup, dengan perkawinan—setidaknya bagi mereka yang memilih tidak kawin.

Maksud saya, jika orang pengin kawin karena tujuan ingin mendapatkan pasangan agar bisa hidup tenteram dan bahagia, maka artinya orang-orang yang telah memutuskan tidak kawin telah menemukan ketenteraman dan kebahagiaan yang setara nilainya di luar perkawinan. Mungkin bersama buku, mungkin bersama ilmu—siapa tahu…?

Saya tidak berani memastikan, karena saya sendiri masih ragu. Saya hidup di zaman modern, bukan di zaman dahulu kala sebagaimana orang-orang hebat yang kisahnya tertulis di buku tadi. Saya menghadapi sistem nilai masyarakat, saya menghadapi struktur dan takaran nilai moral kontemporer (jika belum kawin dianggap belum lengkap atau masih kurang), saya bahkan menghadapi orang tua saya sendiri yang tentunya menginginkan saya kawin.

Secara pribadi, mungkin saya mampu menjauhkan atau bahkan menghilangkan keinginan untuk kawin. Bahkan cinta saya sepertinya sudah tercurah seutuhnya untuk pekerjaan dan ilmu pengetahuan. Dalam sepuluh hal penting yang ada dalam hidup saya, perkawinan menempati peringkat paling bawah—itu pun jika dipaksa masuk. Artinya, kawin adalah hal paling tidak penting di antara hal-hal penting lain dalam prioritas.

Tapi saya tidak hidup sendiri di tengah hutan. Maksudnya, saya hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki nilai-nilai dan standar moral tertentu yang—meski tidak tertulis—namun telah disepakati bersama. Dan salah satu kesepakatannya adalah kawin.

Lebih dari itu, kadang saya juga “menantang” diri sendiri dengan bertanya pada diri sendiri, “Hei, Hoeda. Kalau umpama suatu hari kamu ketemu cewek yang membuatmu jatuh cinta dan mabuk kepayang dan kamu ingiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnn kawin dengannya, kira-kira masih kuatkah kamu memegang prinsipmu untuk tidak kawin?”

Nah, saya tidak mampu menjawabnya.

Sekarang, ketika membayangkan semua ini, tiba-tiba saya ingin tidur lagi. Ya, mungkin tidur dua hari lagi. Dan mungkin pula saya perlu berharap, semoga ketika bangun nanti saya bukan merasa kelaparan, tapi merasa… ingin kawin!


*) Semoga ibu saya tidak membaca catatan ini.

 
;