Apa yang kita pungut dari kehidupan ini
adalah apa yang kita tanam di dalamnya.
—Marion Hillard
Hidup ini bukan tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang menilponmu, juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kaupacari. Bukan tentang siapa yang telah kaucium, olah raga apa yang kaumainkan, atau cowok atau cewek mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, atau rambutmu, atau warna kulitmu, atau tempat tinggalmu, atau sekolahmu, atau kampusmu.
Bahkan juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, bukan tentang uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu. Hidup bukan sekadar apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri, dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak oleh lingkunganmu.
Hidup bukan sekadar tentang itu.
Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kaucintai dan kausakiti. Tentang bagaimana perasaanmu terhadap dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan, dan welas asih.
Hidup adalah tentang menghindari rasa cemburu, iri hati, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan. Tentang apa yang kaukatakan dan yang kaumaksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Dan yang terpenting, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah pilihan-pilihan itu.
....
....
Ya, bagi saya pribadi, hidup adalah tentang memilih untuk menggunakan hidup saya untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Ketika saya mulai mengenali hal itu, saya pun mulai menggunakannya sebagai salah satu misi hidup yang terpenting—menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain, ataupun oleh orang lain.
Dan hidup ini begitu menakjubkan, bukan? Ketika kita telah menemukan misi kita dalam hidup, maka hidup pun akan membawakan begitu banyak hal baru bagi kehidupan kita—hal-hal baru yang semakin memperkaya batin, sekaligus mendewasakan nalar kemanusiaan kita.
Ketika kita membuka pintu hati kita untuk orang lain, maka kehidupan pun akan membukakan pintunya untuk kita. Dan jika kehidupan telah membukakan pintunya untuk kita, tak ada seorang pun yang dapat menutupnya kembali.
Ketika kehidupan telah membentangkan pintunya untuk kita, tak ada lagi batas yang memisahkan antara diri kita dengan hidup—kita menyatu bersamanya. Dan apa yang lebih indah selain menyadari bahwa kita telah bisa menyatu dengan hidup...?
....
....
Salah satu misteri dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang dalam literatur Barat disebut ‘serendipity’. Secara definitif, saya tidak dapat menemukan arti atau makna kata itu. Saya sudah mencoba mencari arti kata itu di kamus bahasa Inggris, namun tidak ada. Saya sudah mencoba mencarinya di kamus elektronik di komputer, namun ketika mengetikkan kata itu, arti yang muncul adalah ‘serendipas’.
Nah, saya juga tidak tahu arti serendipas—saya pikir itu kosakata bahasa Indonesia yang tidak dikenal. Maka saya pun mencoba mencarinya di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun hasilnya nihil. Kamus yang besar itu sama sekali tak memuat suku kata ‘serendipas’. Rupanya, arti ‘serendipity’ sudah mengandung kemisteriusan tersendiri.
Nah, apa sesungguhnya definisi serendipity?
Saya sudah mencoba mencarinya dalam ratusan buku yang sekiranya memuat kata itu beserta definisinya, namun tidak berhasil menemukannya. Satu-satunya kalimat yang bisa dirujukkan untuk menjadi definisi serendipity adalah kalimat yang ditulis Kahlil Gibran dalam bukunya yang agung, The Prophet.
Di dalam The Prophet, saya menemukan kata-kata, yang bagi saya, mampu melukiskan serendipity. Inilah kata-katanya, “Jangan mengundang makan orang kaya ke rumahmu. Kau akan dibalas dengan undangan makan ke rumahnya. Undanglah orang miskin untuk makan ke rumahmu. Mereka tidak bisa membalasmu, maka alam yang akan membalasmu. Dan bila alam membalasmu, maka tunggulah datangnya keajaiban.”
Kata-kata yang ditulis Gibran itu bukan definisi serendipity, tetapi kata-kata itulah yang menurut saya paling tepat untuk dijadikan sandaran bagi serendipity.
Jadi, sekali lagi, apa serendipity itu? Sekarang kita mulai memiliki suatu bayangan. Bahwa ketika kita mengulurkan tangan pada orang lain yang tak mampu membalas uluran tangan kita, maka kehidupan ini yang akan membalasnya, kehidupan akan mengulurkan tangannya kepada kita. Dan jika kehidupan ini mengulurkan tangannya kepada kita, persoalan apa yang tak dapat kita atasi?
Begitu pun sebaliknya. Ketika kita melakukan kejahatan terhadap orang lain yang tak mampu membalas kejahatan kita, maka kehidupan ini pun yang akan membalasnya, kehidupan akan membalaskan kejahatan yang setimpal. Dan jika kehidupan ini melancarkan pembalasan kepada kita, kemanakah dapat bersembunyi, dan siapa yang sanggup menolong?
Ketika kita semakin menyelami kehidupan, kita semakin tahu betapa menakjubkannya hidup ini, dan betapa ajaibnya cara kehidupan mengatur dan menjalankan aturan-aturannya.
Tanamkanlah biji mangga ke dalam bumi yang kita tinggali, maka biji mangga itu tidak akan menumbuhkan pohon durian—ia akan menumbuhkan pohon mangga, sesuai biji benihnya. Begitu pun, segala hal dan perbuatan yang kita tanamkan dalam hidup ini, tepat seperti itulah yang akan diberikan hidup untuk kita. Jika kita menanamkan kebaikan, maka hidup akan memberikan kebaikan. Jika kita menanamkan kejahatan, maka hidup pun akan memberikan hal yang sama.
Sebagaimana biji mangga tidak akan menumbuhkan pohon durian, tepat seperti itulah kehidupan yang kita jalani, ia hanya merefleksikan yang telah kita tanamkan kepadanya.
Selama bertahun-tahun saya menyaksikan, betapa hidup yang kita jalani ini tak pernah berubah menjalankan hukum-hukumnya yang abadi. Saya menyaksikan seorang kawan yang melakukan tabrak lari, dan sekian waktu kemudian ia pun menjadi korban tabrak lari.
Begitu pun, saya menyaksikan tangan-tangan pemurah, yang penuh ketulusan terulur kepada orang yang membutuhkan, dan saya membuktikan bahwa kehidupan pun selalu mengulurkan tangan kepadanya. Tangan yang mengulurkan bunga harum kepada orang lain akan ikut berbau harum, meskipun bunga itu telah berpindah tangan.
Ketika kita menyadari hakikat hidup yang semacam itu, kita pun tak akan lagi mengatakan bahwa hidup tidak adil. Hidup sudah berlaku dengan sedemikian adil—ia hanya menumbuhkan benih yang ditanam, ia hanya merefleksikan yang pernah kita berikan.
Apakah kalau kau menyakiti seseorang, kemudian orang itu pasti akan membalas menyakitimu? Belum tentu! Tetapi saya hampir bisa memastikan suatu saat akan ada orang lain yang akan datang dalam hidupmu, dan kemudian menyakitimu. Kau akan menerima sesuatu yang tepat sama seperti yang pernah kauberikan—tak peduli kau menyadarinya atau tidak.
Begitu pun, ketika kau membahagiakan hati seseorang, atau membantu kesulitan seseorang. Mungkin orang yang kautolong tidak mampu membalas kebaikanmu. Tetapi kau bisa membuktikan ketika kau sendiri membutuhkan pertolongan, selalu ada orang-orang yang akan datang menolongmu—tak peduli kau menyadarinya atau tidak.
Hidup ini tidak buta. Ia selalu melihat tangan mana yang mengulurkan bunga kepada orang lain, ia pun selalu menyaksikan tangan mana yang menancapkan duri kepada orang lain. Siapa yang mengulurkan bunga akan ikut mendapatkan wanginya, siapa yang menancapkan duri akan ikut berdarah.
Terkadang, cara kehidupan ini membalas perbuatan kita tidak persis sama dengan yang (pernah) kita lakukan, namun pembalasan itu ada—dan itulah yang disebut serendipity. Tidak ada benih yang sia-sia. Semua benih yang ditanamkan akan menghasilkan buah—tak peduli buah kebaikan ataupun buah kejahatan.
Lebih dari dua ratus tahun yang lalu sebelum saya menulis catatan ini, filsuf Epictetus sudah menyatakan bahwa kita akan menuai apa yang kita tanam, dan bahwa nasib mengharuskan kita membayar kembali perbuatan jahat yang telah kita perbuat.
“Pada akhirnya nanti,” kata Epictetus, “setiap orang harus menebus hukuman atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat hukum ini, ia pasti tidak akan marah kepada siapa pun, tidak akan dendam, tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan, tidak akan melukai hati, tidak akan benci, kepada siapa pun.”
Begitulah hukum kehidupan ini. Setiap orang akan menuai yang telah ditanamnya. Siapa yang memberi akan diberi, siapa yang merenggut akan direnggut. Siapa yang mengasihi akan dikasihi, siapa yang mencaci-maki akan dibalas caci-maki. Siapa yang setia akan dibalas cinta, siapa yang berkhianat akan dikhianati.
Siapa yang menyebar kebaikan akan menuai kebaikan, siapa yang menabur kejahatan akan menuai kejahatan. Siapa pun tak ada yang bisa lepas dari hukum kehidupan ini, karena siapa yang menabur... dialah yang akan menuai.