Kebaikan hati merupakan milik kita
yang terbaik dalam bentuk yang cantik.
—Christopher Marlowe
Ketika menonton film action, saya sering takjub menyaksikan orang-orang dalam film itu bisa tenang-tenang saja meski jatuh dari kendaraan yang tengah melaju kencang, atau bahkan tak mengeluarkan banyak darah meski menderita luka parah. Di dunia nyata, tentu saja hal semacam itu tak terjadi. Kalau kita terjatuh dari kendaraan yang sedang melaju kencang, hampir bisa dipastikan akan mengalami patah tulang. Atau, kalau mengalami kecelakaan yang parah, hampir bisa dipastikan pula tubuh kita akan berdarah-darah.
Saya tahu betul hal itu, karena sudah mengalaminya beberapa kali. Karena itu pula, teman-teman atau bahkan keluarga saya sepertinya sudah tak terkejut lagi kalau mendengar saya (lagi-lagi) mengalami kecelakaan. Dan salah satu kecelakaan paling parah adalah yang akan saya ceritakan berikut ini.
Sore itu saya tengah memacu motor dengan sangat kencang di jalanan, ketika sebuah angkot menepi tiba-tiba di depan saya. Secara spontan, saya menghindari angkot itu agar tidak menabraknya, tetapi kemudian sebuah truk dari depan melaju menghantam motor saya. Saya terkejut, tak sempat menghindar, dan tubuh saya pun terlempar, kemudian terjatuh dengan keras membantur aspal. Beberapa detik kemudian, saya pingsan.
Ketika tersadar dari pingsan, saya mendapati diri saya terbaring dengan tubuh seolah remuk, di atas sebuah pembaringan rumah sakit. Satu tangan saya diikat papan—pasti ada tulang yang patah. Sedang tangan yang lain ditancapi jarum infus. Saya baru menyadari ternyata ada banyak luka di tubuh saya, dan tampak perban mengikat di sana-sini dengan rembesan darah atau obat merah. Saya tak mampu bergerak, tak bisa berbuat apa-apa, dan satu-satunya hal yang masih dapat saya lakukan sebagai manusia hanyalah bernapas dan berteriak.
Jadi itulah yang kemudian saya lakukan ketika merasakan leher saya seperti tercekik dan tenggorokan terasa kering, haus luar biasa. Orang yang pernah mengalami kecelakaan parah pasti tahu bahwa “cobaan” pertama bagi korban kecelakaan adalah rasa haus luar biasa ketika tersadar dari pingsan. Meski sudah pernah mengalaminya, tetapi saya tetap saja tidak tahan dengan “cobaan” itu. Maka saya pun berteriak-teriak.
Saya berteriak, memanggil dokter, suster, perawat, atau siapa saja, untuk meminta minum. Tetapi tidak ada yang datang. Saya kembali berteriak, dan seorang suster datang menengok. Saya mengatakan rasa haus yang saya derita, dan suster itu mengangguk lalu pergi. Saya menunggunya sampai terasa satu abad, dan dia tidak juga datang. Mungkin karena keluhan rasa haus semacam itu sudah menjadi hal biasa bagi setiap korban kecelakaan, maka para dokter atau suster atau perawat pun sudah terbiasa pula mendengar teriakan semacam itu, hingga tidak terlalu memusingkan.
Sementara rasa haus di kerongkongan saya semakin menyiksa, leher saya terasa makin kering dan tercekik. Seumur hidup, baru kali itu saya merasakan rasa haus yang luar biasa seperti itu. Puasa di terik siang yang paling panas belum sampai membuat leher tercekik seperti itu, tapi rasa haus waktu itu benar-benar membuat saya amat tersiksa, dan saya merasa bisa mati bukan karena kecelakaan yang saya alami, tapi karena haus yang saya rasakan ini.
Maka saya pun kembali berteriak, kali ini dengan suara yang lebih parau karena leher yang makin kering, dan sekali lagi tak ada yang datang. Saya kembali berteriak dan makin putus asa, dan mengutuk mengapa saya harus masuk ke rumah sakit ini, dan sekali lagi tak ada yang datang. Tubuh saya semakin lemah, luka-luka yang saya rasakan terasa semakin pedih, dan saya mulai menghitung detik jam untuk menjemput kematian. Pandangan mata saya makin kabur, kepala terasa semakin berat, dan mata menjadi sulit dibuka. Mungkin saya telah ditakdirkan mati di sini, bersama luka-luka kecelakaan dan rasa haus yang mencekik kerongkongan ini.
Di titik nadir semacam itu, ketika seseorang telah berada di sebuah tempat antara hidup dan mati, saya baru menyadari bahwa ternyata apa yang saya kejar mati-matian setiap hari itu tidak ada gunanya. Bahwa semua kesibukan, jadwal kerja harian yang penuh, dan agenda yang menumpuk, semuanya sia-sia, karena ternyata yang paling saya butuhkan detik itu hanyalah segelas air.
Saya mulai menyadari bahwa semua acara dan rutinitas yang biasa saya jalani dengan terburu-buru itu tak ada gunanya lagi. Saya tak membutuhkan semua itu, tak menginginkan semua itu, karena kini yang paling saya butuhkan dan saya inginkan hanyalah segelas air untuk meredakan rasa haus di kerongkongan, segelas air yang bisa membantu agar leher saya tak tercekik seperti ini, untuk melepaskan saya dari jerat kematian.
Ketika detik-detik jam berlalu, dan saya merasa mulai pasrah menerima takdir kematian, seseorang tampak memasuki ruangan tempat saya terbaring. Apakah itu malaikat yang akan mencabut nyawa saya? Pandangan mata saya sudah kabur, dan tak bisa melihat dengan jelas lagi. Saya tak tahu apakah itu manusia atau malaikat atau siapa. Dan sosok itu tampak memperhatikan keadaan tubuh saya, kemudian duduk di dekat pembaringan, dan bertanya lembut.
“Kamu baru kecelakaan?” Suara seorang lelaki.
Saya hanya sanggup mengatakan, “Ya,” dengan suara lirih.
“Keluargamu sudah dikabari?” tanyanya lagi.
Dengan sama lirihnya saya menjawab, “Saya tidak tahu.”
Orang itu kemudian berkata, “Tadi saya mendengarmu berteriak-teriak. Ada yang kamu butuhkan?”
Detik itu rasanya saya ingin kembali berteriak dan menjerit bahwa saya ingin air, ingin minum, namun yang kemudian keluar dari mulut saya hanyalah bisikan lirih, “Saya haus....”
Orang itu lalu bangkit, dan berkata menenangkan, “Tunggulah sebentar. Saya akan carikan minum untukmu.”
Dan orang itu tidak sama seperti dokter atau suster atau para perawat yang kemudian menghilang tanpa pernah kembali. Tidak lama kemudian, dia kembali memasuki kamar saya dengan membawa sebotol air mineral yang masih tersegel rapat. Dia membuka tutup botolnya, memasukkan sedotan ke dalamnya, kemudian membantu saya duduk bersandar pada bantal. Dia memegangi botol itu, mendekatkannya pada mulut saya agar saya bisa mulai minum.
Ketika sedotan plastik itu masuk ke dalam mulut saya, dan air dalam botol itu mulai mengalir ke dalam kerongkongan, detik itu pula saya merasa kembali hidup. Hanya dalam waktu singkat, seluruh air dalam botol itu telah berpindah ke tubuh saya, dan pandangan mata saya mulai jernih kembali. Saya dapat melihat dengan jelas lagi, dan ternyata sosok yang berada di dekat saya bukan malaikat. Dia manusia, seorang lelaki, mungkin berusia sekitar 35 atau 40 tahun. Dia tersenyum saat melihat botol telah kosong, dan menawarkan kalau saya ingin minum lagi. Saya menggelengkan kepala. Saya sudah merasa cukup, rasa haus telah terobati.
Lelaki itu kembali membantu saya berbaring, lalu duduk di dekat saya. Dia berkata, “Tadi saya sudah menanyakan pada dokter, apakah keluargamu sudah dikabari, dan katanya mereka sudah menghubungi keluargamu. Mungkin tak lama lagi keluargamu akan datang.”
Kalau saja ada kata-kata atau kalimat yang bisa mewakili rasa syukur di hati saya waktu itu, saya ingin mengatakannya. Namun saya tak berhasil menemukan kata-kata atau kalimat itu, hingga kemudian yang dapat saya ucapkan hanyalah bisikan, “Terima kasih.”
Lalu lelaki itu bangkit kembali. “Saya harus menemani ibu saya lagi di kamar lain. Kamu tidak apa-apa saya tinggal?”
Saya menggelengkan kepala dan mencoba tersenyum, dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Lelaki itu pun berlalu, dan saya mulai bisa berbaring dengan tenang.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 2001—lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dan sejak peristiwa itu hingga saya menuliskan kisah ini, saya belum pernah bertemu lagi dengan lelaki itu. Saya tidak sempat menanyakan namanya, dan dia pun mungkin tidak tahu nama saya. Kami tidak saling mengenal. Dan sekarang, ketika saya kembali mengenang peristiwa itu, kadang-kadang saya membayangkan, apakah lelaki itu malaikat yang sengaja datang menolong saya...? Dia hanya datang sekali, hadir dalam waktu sekejap, meskipun keberadaannya telah memberikan pertolongan yang sangat besar bagi saya. Namun saya tak pernah tahu siapa dia.
Tentu saja dia bukan malaikat. Dia manusia, hanya saja memiliki jiwa selembut malaikat. Dan di dalam kehidupan kita sehari-hari, kadang kita menjumpai orang-orang semacam itu. Orang-orang dengan hati malaikat yang rela mengulurkan tangan pada orang-orang yang tidak dikenal dan tidak mengenalnya. Orang-orang yang secara tulus ikhlas memberikan bantuan pada yang membutuhkan tanpa ribut-ribut dan hanya dalam keheningan. Orang-orang yang datang ketika orang lain pergi dan berlalu....
Dan, saya pun kemudian menyadari, bahwa dalam kehidupan ini terkadang ada waktu-waktu ketika kehidupan meminta kita untuk menjadi malaikat bagi orang lain, ketika kita melihat tangan menengadah, ketika mendengar jerit permintaan tolong, ketika mendengar rintih kesakitan, ketika kita melihat derita dan kesusahan. Di waktu-waktu itu, kehidupan memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi malaikat sewaktu-waktu.