Jalanan begitu sunyi, sementara langit gelap menghitam. Taburan bintang telah menghilang semenjak tadi, dan hujan turun amat lebat, deras, dengan petir yang menyambar dan halilintar menggelegar. Aku masih berusia sembilan tahun waktu itu, ketika sendirian duduk di bawah pohon beringin raksasa di alun-alun kotaku, tak bisa pulang, terjebak hujan, menggigil dalam kedinginan tengah malam.
Sampai hari ini aku masih dapat mengingat semua yang terjadi malam itu.
Malam itu aku berjalan sendirian, menyusuri jalanan kotaku yang mulai sunyi, ketika kejadian yang amat mengguncang pikiranku itu terjadi. Sesaat menjelang pukul sepuluh malam, aku sudah memutuskan untuk pulang ke rumah, namun kemudian hujan menjebakku, tepat ketika aku baru saja melangkah.
Jadi di sanalah kemudian aku berada. Di bawah pohon beringin yang besar namun tetap tak mampu melindungiku dari tempias hujan malam yang dingin, dan aku meringkuk, menggigil, kedinginan, terjebak hujan yang tak juga reda hingga tengah malam. Bajuku membasah, udara dingin malam menggigit, menusuk kulit, dan aku makin kedinginan.
Aku membayangkan anak-anak lain seusiaku waktu itu telah tertidur lelap di atas tempat tidur mereka yang hangat, di balik selimut tebal sambil mendekap guling. Aku membayangkan anak-anak lain yang terlindung oleh rumah-rumah mereka yang layak, aku membayangkan anak-anak lain yang tengah bermimpi indah tanpa menggigil kedinginan karena terjebak hujan, aku membayangkan anak-anak lain yang tak mengalami nasib sepertiku….
Dan jarum jam terus merangkak, sementara hujan tak kunjung reda. Aku semakin menggigil dalam kedinginan. Halilintar menggelegar, dan aku menutupi telingaku. Kilatan petir menyambar, dan aku memejamkan mata, membayangkan tak berada di sana.
Selama berjam-jam duduk meringkuk kedinginan di bawah pohon raksasa dengan ditimpa hujan lebat dan dihajar gelegar halilintar malam itu, pikiranku berkecamuk, dan jiwaku bergolak seperti lahar. Sesuatu yang menggelegak memenuhi batinku, memaksaku untuk berteriak marah, sementara jiwa kanak-kanakku ingin menangis.
Hujan masih deras mengguyur, petir saling bersahutan dengan guntur. Jalanan telah lama sunyi, sementara aku masih menggigil sendirian.
Malam itu, sesuatu yang amat mengerikan yang tak pernah kubayangkan mulai terlahir dalam diriku. Kelak, sesuatu yang terjadi malam itu akan menjadi serangkaian mimpi-mimpi buruk dalam perjalanan panjang kehidupanku….
Hoeda Manis mengungkapkan pikiran-pikirannya, perasaannya, jiwa serta rahasia-rahasia batinnya dengan cara yang amat memukau—dengan kedalaman makna yang luar biasa.
Sampai hari ini aku masih dapat mengingat semua yang terjadi malam itu.
Malam itu aku berjalan sendirian, menyusuri jalanan kotaku yang mulai sunyi, ketika kejadian yang amat mengguncang pikiranku itu terjadi. Sesaat menjelang pukul sepuluh malam, aku sudah memutuskan untuk pulang ke rumah, namun kemudian hujan menjebakku, tepat ketika aku baru saja melangkah.
Jadi di sanalah kemudian aku berada. Di bawah pohon beringin yang besar namun tetap tak mampu melindungiku dari tempias hujan malam yang dingin, dan aku meringkuk, menggigil, kedinginan, terjebak hujan yang tak juga reda hingga tengah malam. Bajuku membasah, udara dingin malam menggigit, menusuk kulit, dan aku makin kedinginan.
Aku membayangkan anak-anak lain seusiaku waktu itu telah tertidur lelap di atas tempat tidur mereka yang hangat, di balik selimut tebal sambil mendekap guling. Aku membayangkan anak-anak lain yang terlindung oleh rumah-rumah mereka yang layak, aku membayangkan anak-anak lain yang tengah bermimpi indah tanpa menggigil kedinginan karena terjebak hujan, aku membayangkan anak-anak lain yang tak mengalami nasib sepertiku….
Dan jarum jam terus merangkak, sementara hujan tak kunjung reda. Aku semakin menggigil dalam kedinginan. Halilintar menggelegar, dan aku menutupi telingaku. Kilatan petir menyambar, dan aku memejamkan mata, membayangkan tak berada di sana.
Selama berjam-jam duduk meringkuk kedinginan di bawah pohon raksasa dengan ditimpa hujan lebat dan dihajar gelegar halilintar malam itu, pikiranku berkecamuk, dan jiwaku bergolak seperti lahar. Sesuatu yang menggelegak memenuhi batinku, memaksaku untuk berteriak marah, sementara jiwa kanak-kanakku ingin menangis.
Hujan masih deras mengguyur, petir saling bersahutan dengan guntur. Jalanan telah lama sunyi, sementara aku masih menggigil sendirian.
Malam itu, sesuatu yang amat mengerikan yang tak pernah kubayangkan mulai terlahir dalam diriku. Kelak, sesuatu yang terjadi malam itu akan menjadi serangkaian mimpi-mimpi buruk dalam perjalanan panjang kehidupanku….
Hoeda Manis mengungkapkan pikiran-pikirannya, perasaannya, jiwa serta rahasia-rahasia batinnya dengan cara yang amat memukau—dengan kedalaman makna yang luar biasa.
Mary Anastasya, Penulis & Novelis
Lacrymossa memberikan pengalaman batin tak terlupakan. Kisah perjalanan hidup yang menggetarkan tentang seorang lelaki yang menikahi ilmu pengetahuan—tema yang sama sekali tak pernah terbayangkan!
Dody Setyawan, Penyair
Sewaktu membacanya, saya tidak merasa sedang membaca buku dan menelusuri kata-kata. Yang saya rasakan, saya seperti sedang duduk berdekatan dengan Hoeda Manis, dan mendengarkannya bercerita, dan... saya tersenyum bersamanya, tertawa, menangis, untuk kemudian tersenyum lagi. Hoeda Manis bukan hanya penulis yang baik, dia juga pencerita yang luar biasa.
Lisliana Veronica, Cerpenis & Fotomodel
Ditulis dengan indah, dikerjakan dengan sepenuh cinta. Lacrymossa tak akan pernah dilupakan pembacanya.
Indra Gunawan, Jurnalis