Selasa, 02 Februari 2010

Diri Saya, Apa Adanya



Seperti yang sudah saya katakan di posting sebelumnya, sekarang saya akan menulis apa saja di blog ini. Kalau rencananya dulu saya hanya ingin memposting tulisan-tulisan yang bersifat kontemplatif dan motivasional, sekarang saya akan menulis apapun, dengan gaya seperti apapun, di blog ini.

Hmm… Ada seorang cewek (setidaknya nama di emailnya begitu) yang mengirim email ke alamat email saya, dan menulis kira-kira seperti ini, “Da’, aku sudah membaca buku-buku karyamu, dan aku jadi tertarik ingin mengenalmu lebih jauh. Ceritakan dong tentang dirimu.”

Sebenarnya, email seperti itu sudah biasa saya terima, khususnya dari para pembaca buku saya. Hanya saja, yang membuat saya jadi berdebar-debar, cewek ini menulis—di dalam emailnya itu—mengenai bayangannya terhadap diri saya. Dan yang membuat saya salah-tingkah, “bayangannya” itu benar-benar keliru. Saya tidak tahu bagaimana dia menarik asumsinya mengenai diri saya, tetapi dia membayangkan saya terlalu “tinggi” atau bahkan…uh, terlalu “hebat”.

Saya tidak perlu menulis-ulang isi email cewek itu, tetapi saya ingin menegaskan di sini, bahwa saya hanya cowok biasa. Kalau saya bisa menulis buku—dan kalau kemudian orang menyukai buku yang saya tulis—bagi saya itu bukanlah hal yang terlalu istimewa. Saya menulis buku, karena hanya itulah yang saya bisa. Sesederhana itu. Mungkin ada penulis buku yang memang orang hebat, tetapi banyak pula penulis buku yang “orang biasa-biasa saja”. Dan saya termasuk yang “biasa-biasa saja” itu.

Oh ya, cewek itu juga bilang, “Ceritakan dong tentang dirimu.” Kalau ini sih bukan permintaan spesial, karena pengirim email yang lain juga sering menulis seperti itu.

Ceritakan tentang diri saya…? Sepertinya juga tidak ada yang istimewa. Seperti yang dapat kalian lihat, isi blog ini lebih banyak berisi pemikiran saya, dan bukan berisi kisah keseharian saya. Karena saya memang berpikir kalau hidup atau keseharian saya memang tidak terlalu istimewa—khususnya tidak terlalu istimewa untuk dituliskan.

Tetapi, oke, mungkin jawaban seperti ini akan dianggap tidak memuaskan karena kesannya kurang transparan. Jadi baiklah, saya akan bercerita—tetapi tolong jangan kecewa jika kenyataannya memang tidak ada yang istimewa.

Dalam keseharian, saya biasa bangun tidur pada waktu yang tidak jelas. Saya lebih sering bangun tidur karena mendengar ponsel yang berdering daripada karena memang ingin bangun. Jadi, kadang-kadang saya bangun pada jam 9 pagi karena kebetulan ada telepon. Lain hari, saya kadang bangun jam 11 siang, juga karena ponsel yang berbunyi. Lebih parah, terkadang saya baru bangun tidur jam 1 siang, dan lagi-lagi itu pun karena bunyi panggilan telepon. Kalau kebetulan tidak ada telepon yang datang, saya pun tidur dengan tenang—dan biasanya bangun dengan waktu yang tidak jelas.

Kenapa bisa seperti itu…? Jawabannya sederhana, yakni karena saya tinggal sendirian di rumah, tidak bersama orangtua atau keluarga. Karena tinggal sendirian, tidur saya pun tidak ada yang membangunkan. Kalau kau berpikir saya sungguh nikmat karena bisa bangun tidur kapan pun saya mau, kau keliru. Cerita di atas itu baru separuhnya. Kau perlu mendengar yang separuhnya lagi.

Biasanya, kegiatan saya sehari-hari lebih banyak dihabiskan di depan komputer dan bersama buku-buku. Kalau kebetulan ada acara keluar, saya keluar rumah, entah belanja kebutuhan sehari-hari atau karena ada hal-hal lain yang memang mengharuskan saya keluar rumah.

Kadang-kadang ada teman yang datang dan mengajak keluar. Kadang-kadang ada cewek yang datang dan mengajak keluar. Kadang-kadang nyokap yang datang karena ada urusan. Tapi kalau tidak ada acara apapun atau tidak ada siapapun yang datang, saya lebih banyak tinggal di rumah. Oh ya, ngomong-ngomong, saya anti panas matahari. Jadi sebisa mungkin saya akan keluar rumah kalau cuaca lagi “adem”.

Selepas maghrib, saya pasti akan keluar rumah karena perlu beli nasi. Kadang naik kendaraan, kadang pula jalan kaki. Karena saya lebih suka makan di rumah, maka saya pun biasa membeli nasi untuk dibawa pulang. Biasanya, sambil menunggu nasi dan masakan pesanan saya disiapkan, saya akan membuka ponsel dan mengecek email yang masuk. Setelah itu, saya menikmati makan malam di rumah sambil menonton musik di VCD atau film terbaru yang saya sewa dari rental.

Sampai larut malam, saya menghabiskan waktu di depan komputer. Malam hari adalah jam kerja saya—dan jam kerja ini bisa dibilang tak terbatas. Ketika sedang mood, atau ketika sedang diburu-buru deadline, atau ketika sedang menggarap sesuatu yang asyik, saya bisa bekerja sampai subuh atau bahkan sampai pagi—dan seringnya memang begitu.

Selepas subuh atau setelah pagi, saya baru mematikan komputer untuk kemudian tidur. Tapi kalau ada hal lain yang masih perlu dilakukan, semisal beres-beres rumah karena sudah terlalu berantakan, saya pun baru bisa tidur jam 7 atau 8 pagi. Lebih parah, kadang saya baru tidur jam 10 atau 11 siang ketika ada urusan mendadak. Sudah begitu, baru lelap satu dua jam, ponsel di dekat saya berdering dan saya pun harus bangun untuk menerima telepon. Jadi, kalau kau berpikir saya sungguh nikmat karena bisa bangun tidur kapan pun saya mau, kau benar—selama tidak ada telepon yang masuk atau SMS yang nyasar.

Hidup yang biasa-biasa saja. Bukan begitu…?


 
;