Ada lima orang yang tidak saling kenal berteduh dalam sebuah goa, sementara di luar hujan deras mengguyur dan halilintar menyambar-nyambar. Rasa dingin menggigit tulang, dan lima orang itu tampak menggigil dengan bibir membiru. Untungnya, di dalam goa itu menyala api unggun yang cukup membantu untuk menghangatkan mereka dari kedinginan.
Seiring waktu yang merangkak, kayu bakar yang menyalakan api unggun itu pun perlahan namun pasti semakin habis dan api semakin mengecil. Masing-masing dari lima orang yang berteduh di dalam goa itu memegang satu ikat kayu bakar, namun masing-masing tak ada yang mau merelakan kayu bakarnya untuk menyalakan kembali api yang hampir mati. Masing-masing dari lima orang itu begitu kukuh mempertahankan miliknya dan tak mau memberikannya sebelum orang lain melakukan hal itu.
Sementara api yang menyala di ujung goa itu semakin kecil dan semakin meredup, dan mereka berlima semakin merasakan kedinginan sekaligus kegelapan, namun tetap saja tak ada yang mau merelakan miliknya untuk menghangatkan dirinya sendiri dan orang lain. Api itu semakin mengecil dan semakin meredup, hingga kemudian kayu yang terbakar menjadi habis, dan api itu pun padam. Kedinginan semakin menusuk tulang, dan lima orang itu semakin menggigil dalam kegelapan.
Lima orang itu kemudian mati kedinginan dalam goa itu. Mereka bukan mati akibat udara dingin di luar—mereka mati karena dingin dalam hati.