Kita tentu pernah mendengar atau membaca kisah tentang skandal Watergate yang menghebohkan publik Amerika menyangkut salah satu presiden mereka, Richard Nixon. Ketika skandal itu terbongkar, banyak media massa yang meliputnya, termasuk media massa Indonesia.
Karena terlibat dalam skandal Watergate yang amat menghebohkan itu, Richard Nixon mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Pada masa pensiunnya itu ia menulis sebuah buku berjudul In The Arena. Dalam bukunya ia bercerita tentang depresi yang dialaminya setelah menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden, dan tidak lama setelah itu ia harus menjalani sebuah operasi menyangkut kesehatannya. Waktu-waktu itu adalah masa depresi sekaligus putus asa yang amat mendalam bagi Nixon, hingga ia sampai ingin segera mengakhiri hidupnya.
Saat keadaan Richard Nixon sampai pada titik terendah itu, ketika ia terkapar tanpa seorang pun peduli di rumah sakit, seorang perawat masuk ke dalam kamar tempatnya dirawat, membuka tirai ruangan, lalu menunjuk ke sebuah pesawat terbang ringan yang terbang bolak-balik di sekitar rumah sakit. Pesawat itu menarik sebuah spanduk bertuliskan, “Tuhan Mencintaimu, Begitu pula Kami”. Ungkapan sayang penuh simpati itu diprakarsai oleh Billy Graham, penulis buku-buku rohani terkenal itu.
Karena peristiwa itulah kemudian dalam bukunya tadi, In The Arena, Richard Nixon menulis bahwa itu adalah sebuah titik balik bagi hidupnya. Ia menjadi sadar bahwa ternyata masih ada orang yang peduli terhadapnya, dan semangat hidup Nixon pun bangkit kembali, serta memberinya keberanian serta kemauan menghadapi hari-hari selanjutnya.
Hanya karena ungkapan simpati yang tulus, suatu pemberian kata yang menghangatkan, seseorang bisa memperoleh kembali semangat hidupnya setelah ia menginginkan kematian. Pernahkah kita merenungkan dan menyadari hal itu?
Karena terlibat dalam skandal Watergate yang amat menghebohkan itu, Richard Nixon mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Pada masa pensiunnya itu ia menulis sebuah buku berjudul In The Arena. Dalam bukunya ia bercerita tentang depresi yang dialaminya setelah menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan presiden, dan tidak lama setelah itu ia harus menjalani sebuah operasi menyangkut kesehatannya. Waktu-waktu itu adalah masa depresi sekaligus putus asa yang amat mendalam bagi Nixon, hingga ia sampai ingin segera mengakhiri hidupnya.
Saat keadaan Richard Nixon sampai pada titik terendah itu, ketika ia terkapar tanpa seorang pun peduli di rumah sakit, seorang perawat masuk ke dalam kamar tempatnya dirawat, membuka tirai ruangan, lalu menunjuk ke sebuah pesawat terbang ringan yang terbang bolak-balik di sekitar rumah sakit. Pesawat itu menarik sebuah spanduk bertuliskan, “Tuhan Mencintaimu, Begitu pula Kami”. Ungkapan sayang penuh simpati itu diprakarsai oleh Billy Graham, penulis buku-buku rohani terkenal itu.
Karena peristiwa itulah kemudian dalam bukunya tadi, In The Arena, Richard Nixon menulis bahwa itu adalah sebuah titik balik bagi hidupnya. Ia menjadi sadar bahwa ternyata masih ada orang yang peduli terhadapnya, dan semangat hidup Nixon pun bangkit kembali, serta memberinya keberanian serta kemauan menghadapi hari-hari selanjutnya.
Hanya karena ungkapan simpati yang tulus, suatu pemberian kata yang menghangatkan, seseorang bisa memperoleh kembali semangat hidupnya setelah ia menginginkan kematian. Pernahkah kita merenungkan dan menyadari hal itu?