Minggu, 21 Februari 2010

Perspektif yang Berganti

Kebaikan hati merupakan milik kita yang terbaik dalam bentuk yang cantik.
Christopher Marlowe

Kebaikan hati adalah ketidakmampuan untuk tetap merasa tenteram
ketika ada orang lain merasa resah, ketidakmampuan untuk tetap merasa
nyaman ketika ada orang lain merasa gelisah, ketidakmampuan hati untuk
tetap senang ketika ada orang lain sedang merasa gundah.
R. Samuel H. Holdenson


Saya bersahabat dengan Widya, salah satu aktivis sebuah organisasi perempuan. Sebagaimana para perempuan aktivis lainnya, Widya juga memiliki jiwa pemberani. Di kampusnya, dia bergabung dengan kelompok pecinta alam, dan sudah beberapa kali dia bersama kawan-kawannya menaklukkan puncak gunung, dan berpetualang menjelajahi hutan. Satu-satunya hal unik yang paling menonjol dalam diri Widya adalah kebenciannya yang luar biasa kepada polisi.

Saya tidak tahu bagaimana awal mula munculnya kebencian itu, namun saya sudah berkali-kali mendengar Widya mengatakan kalimat-kalimat yang mengandung rasa bencinya terhadap polisi. Salah satu kata-katanya yang ‘terkenal’ adalah, “Satu dari sepuluh hal yang paling menjengkelkan di dunia ini adalah ketika berurusan dengan polisi. Kalau kau salah, kau akan tampak makin salah. Tetapi kalau kau benar, kau pun akan tetap tampak salah!”

Sebagaimana yang lain, saya pun tersenyum saat mendengar kalimat itu, dan bagaimana pun juga saya mulai membenarkannya. Barangkali kata-kata ataupun penilaian itu sangat subjektif, tetapi terkadang memang ada saja sosok polisi yang ‘berhasil’ mewakili perspektif Widya di atas.

Ada begitu banyak orang yang menyukai polisi, bahkan ingin menjadi polisi. Tetapi ada juga yang tidak menyukainya, dan Widya adalah salah satunya. Karenanya, setiap kali organisasinya mengadakan suatu aktivitas dan memerlukan surat izin dari kepolisian, Widya akan menjadi orang terakhir yang akan mau menangani tugas itu. Harus orang lain yang mengurus surat izin itu, dan Widya sepertinya ‘alergi’ jika harus masuk kantor polisi atau berurusan dengan polisi.

Sampai suatu hari, Widya bersama rombongan pecinta alam yang lain berkemah di sebuah dataran tinggi di daerah kami. Untuk mencapai tempat itu, kita harus melalui jalan yang menanjak dan berbelok-belok. Acara itu diadakan sebagai penyambutan bagi anggota baru kelompok pecinta alam tersebut. Rombongan itu membawa dua buah pick up, lengkap dengan perbekalan yang dibutuhkan di sana nantinya.

Acara kemah itu direncanakan berlangsung empat hari. Tidak ada yang terjadi selama dua hari berjalan, sampai suatu malam Widya butuh menelepon seseorang. Ponselnya tidak mampu mendapatkan sinyal di tempat itu, maka dia pun harus turun dari lokasi dan mencari wartel yang bisa digunakan.

Maka, bersama seorang kawan perempuan, Widya turun dengan mengendarai pick up. Berdua mereka melalui jalan yang berkelok-kelok di malam hari, namun keduanya tak terlalu merasa takut atau khawatir. Itu hal yang biasa, pikir mereka. Selain itu, mereka juga merasa aman karena berada di dalam mobil, dengan pintu dan kaca jendela yang tertutup rapat.

Di bawah, mereka mendapatkan sebuah wartel, dan Widya pun menelepon di sana, sampai sekitar setengah jam. Mereka membeli beberapa makanan kecil, kemudian naik pick up kembali menuju ke atas. Sekali lagi pick up itu melewati jalanan yang gelap, menanjak, dan berkelok-kelok.

Dua perempuan di dalamnya asyik bercakap-cakap untuk mengusir suasana yang sangat sepi, hingga sama sekali tak menyadari ketika tiba-tiba pick up yang mereka kendarai tersentak-sentak, kemudian berhenti. Widya mencoba menghidupkan mesin kembali, namun tetap saja mati. Di saat itulah mereka kemudian baru sadar kalau bensin di tangki telah habis.

Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Kedua perempuan itu memang aman karena berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci, dan jendela tertutup rapat. Tapi mobil itu tak bisa bergerak lagi. Jarak untuk turun kembali sudah jauh, jarak untuk naik juga masih jauh. Mereka ada di tengah-tengah perjalanan, dan kini mereka merasa terjebak.

Mereka tak dapat menghubungi kawan-kawan mereka, karena ponsel masih belum mendapatkan sinyal. Mereka tak berani turun dari mobil karena malam telah cukup larut, jalanan amat sepi sekaligus gelap. Seberani dan senekat apa pun, mereka tetap saja perempuan, dan mereka harus berpikir seribu kali untuk keluar dari mobil lalu berjalan menelusuri jalanan yang asing, gelap dan sepi seperti itu.

Maka satu-satunya hal yang masih dapat mereka lakukan hanyalah tetap duduk di dalam mobil, sesekali menyalakan lampu dan membunyikan klakson, dan berharap seseorang lewat dan sudi menolong. Jika keajaiban memang terjadi, saat itu mereka mengharapkan datangnya keajaiban.

Tetapi keajaiban itu tak kunjung datang. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh, dan jalanan tempat mereka berhenti bukanlah jalan umum yang biasa dilewati orang. Seiring waktu yang berjalan merangkak, Widya dan kawannya semakin dicekam kekhawatiran dan ketakutan. Dan jarum jam semakin merangkak. Semakin larut, semakin mustahil ada orang yang akan melewati jalan itu.

Ketika harapan di hati Widya dan kawannya sudah mulai pupus, tampak seseorang mengendarai sepeda motor datang dari arah depan mereka. Widya segera saja menyalakan lampu depan mobil, dan berharap orang dengan sepeda motor itu menangkap isyarat permintaan tolong tersebut.

Harapan Widya terkabul. Orang itu melambatkan laju motornya, dan mendekati pick up mereka. Sekarang keajaiban itu telah muncul. Sekarang, bantuan dan pertolongan yang semenjak tadi diharapkan telah datang. Dan sekarang Widya pun baru melihat bahwa orang yang tengah mendekatinya itu berseragam... polisi!

Secara spontan, didorong antipatinya yang luar biasa, Widya segera saja berpikir buruk. Polisi ini pasti akan mencari perkara, batinnya. Bisa saja dia meminta surat-surat kendaraan, lalu mencari-cari kesalahan, lalu memberikan surat tilang, lalu menawarkan ‘perdamaian’ dengan uang....

Keajaiban yang diharapkannya, ternyata bencana yang malah datang. Rasanya Widya tidak ingin membukakan kaca jendela mobilnya.

Polisi itu berhenti di sisi pick up, memperhatikan orang yang berada di dalam mobil melalui kaca jendela, dan mungkin dia melihat ada dua orang perempuan di dalamnya. Polisi itu mengetuk kaca jendela, dan Widya membukakan sedikit kacanya dengan muka masam. Namun kawan Widya segera mengambil inisiatif dan berkata sungguh-sungguh pada polisi itu, “Kami kehabisan bensin, Pak. Kami bisa minta tolong...?”

Polisi itu segera memahami persoalannya, dan dia mengangguk, kemudian berlalu pergi dengan suara motor yang meraung. Widya dan kawannya sama-sama berspekulasi apakah mungkin polisi itu akan kembali lagi dengan membawakan bensin untuk mereka. Widya merasa apatis, tetapi kawannya mencoba membesarkan hatinya.

Seperempat jam kemudian, di luar dugaan Widya, polisi itu kembali lagi. Dia masih sendirian, dan kali ini tampak membawa jerigen di motornya. Lalu tanpa berkata apa-apa, polisi itu membuka tangki bensin pick up, dan mulai mengalirkan bensin dari jerigen itu ke dalamnya.

Setelah bensin berpindah tempat dan jerigen telah kosong, polisi itu mendekati jendela mobil kembali, dan kali ini Widya menurunkan kaca jendelanya sampai penuh.

“Sekarang mobil Anda bisa dijalankan,” kata polisi itu dengan sopan.

Widya tak mampu berkata apa-apa, namun kawan di sebelahnya segera bertanya dengan gugup pada sang polisi, “Be... berapa harga bensin tadi...?”

Polisi itu hanya tersenyum. “Saya sedang patroli di sini, dan saya senang bisa membantu kalian. Selamat jalan.”

Saat polisi itu telah berlalu, Widya menghidupkan mesin mobil, dan pick up itu kembali bisa berjalan.

Tidak ada yang terjadi setelah itu, dan Widya maupun kawannya tidak pernah bertemu lagi dengan polisi baik hati itu, bahkan mereka pun sudah mulai melupakan wajahnya. Namun semenjak itu, perspektif Widya terhadap polisi pun mulai berubah. Dia tidak sebenci dan seantipati seperti sebelumnya. Kini dia mulai memiliki pandangan positif atas sosok polisi. Kalau dulu dia menganggap semua polisi sebagai penjahat berseragam, sekarang dia mulai memiliki perspektif baru, bahwa di balik seragam itu terkadang juga terdapat malaikat yang penuh kasih.

Ketika saya mendengarkan cerita itu, dan bagaimana bergantinya perspektif Widya, saya benar-benar takjub. Bagaimana tidak? Bayangkan, hanya karena satu orang polisi yang baik hati, integritas seluruh polisi di negeri ini ikut jadi positif. Apakah itu bukan sebuah keajaiban?

Kalau setiap satu orang yang berseragam polisi mau mengisi seragam itu dengan hati selembut malaikat, dengan jiwa yang penuh kasih, dan masing-masing orang berpikir seperti itu, bukankah negeri ini bisa menjadi sebuah surga kecil yang amat menenteramkan?

Dan yang paling ajaib dari semua yang telah saya tulis ini adalah, tiga tahun semenjak peristiwa tak terduga yang dialaminya itu, Widya kemudian menikah... dengan seorang polisi! Sekali lagi, apakah ini tidak ajaib...?

Ya, kebencian memang tak pernah abadi. Tetapi cinta kasih selalu abadi.

 
;