Fir’aun adalah simbol dari sosok bebal manusia yang tak bisa menerima kebenaran. Fir’aun bukan nama, ia hanyalah simbolisasi. Fir’aun ada dalam banyak perjalanan sejarah, ada dalam banyak dimensi waktu, ada dalam banyak ruang kehidupan. Di antara semua Fir’aun yang pernah hidup di dunia ini, barangkali Fir’aun di jaman nabi Musa-lah yang paling terkenal. Fir’aun di jaman Musa ini bernama Pharao Ramzez.
Setelah Pharao Ramzez, Fir’aun pun mengalami regenerasi seiring dengan laju perjalanan sejarah, dan kehadirannya ada dalam banyak negara, ada dalam banyak bangsa. Fir’aun-Fir’aun itu ada yang bernama Shah Iran, Baby DocDuvalier, Pol Pot, Stalin, Idi Amin, Manuel Noeriga, Ferdinand Marcos, Kaissar Bokassa, Chun Doo Hwan, Adolf Hitler, Mussolini dan lain-lain. Meski memakai berbagai nama yang berbeda, Fir’aun tetap memiliki satu simbol yang pasti, yakni simbol keangkuhan, kesombongan, sekaligus kebebalan dalam menerima kebenaran.
Sebagaimana yang pernah kita pelajari di waktu SD dulu, kita tahu bagaimana Fir’aun di jaman Musa menolak kebenaran yang disampaikan oleh Sang Nabi ini hanya karena dia merasa ego serta harga diri dan keangkuhannya merasa direndahkan.
Kisahnya dimulai ketika istri Fir’aun menemukan sebuah peti yang mengambang di sungai Nil, yang kemudian diambil, dan ketika dibuka ternyata berisi bayi laki-laki. Waktu itu Fir’aun sudah mendeklarasikan keputusan negara bahwa semua bayi laki-laki yang lahir di masa itu harus dibunuh. Sebagaimana yang sering dibisikkan oleh para ahli sihirnya, Fir’aun mengetahui bahwa kelak akan ada seorang laki-laki yang akan menumbangkan kekuasaannya, sekaligus menghancurkan kesombongannya. Karena itulah, didorong oleh egonya yang luar biasa besar, Fir’aun melakukan pembunuhan fisik dan karakter terhadap semua bayi laki-laki.
Ditemukannya seorang bayi laki-laki di sungai, membuat Fir’aun pun ingin segera melaksanakan peraturan negaranya, yakni membunuh bayi itu secepat mungkin. Tapi skenario Tuhan berkehendak lain. Istri Fir’aun sangat menyukai bayi laki-laki ini, dan atas desakannyalah, Fir’aun pun rela ‘mengampuni’ bayi itu untuk membiarkannya hidup.
Tapi ternyata justru bayi laki-laki itulah yang kelak akan menghancurkan dirinya!
Seiring dengan bertambahnya waktu, bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Musa itu pun beranjak dewasa dan pada umur yang telah ditentukan, dia memperoleh wahyu kenabiannya untuk membawakan risalah kebenaran agar disampaikannya kepada Fir’aun, bapak angkatnya.
Ketika Musa datang menyampaikan bahwa hanya ada satu Tuhan yang patut disembah dan Tuhan itu bukanlah Fir’aun yang selama ini telah menuhankan dirinya, Fir’aun pun murka bukan kepalang. Dia segera memanggil semua pasukannya dan di depan mereka dia berkata dengan suara lantang penuh kesombongan kepada Musa, “Kau menyampaikan tentang Tuhanmu? Pahamilah bahwa aku Tuhanmu. Akulah yang Maha Tinggi!”
Sebenarnya, di dalam hati kecilnya, Fir’aun mengakui kebenaran yang dibawakan Musa waktu itu. Fir’aun bukan orang bodoh. Dia memiliki wazir yang hebat bernama Hamman yang bahkan mampu melihat kejadian di masa yang akan datang. Dan dari Hamman pulalah Fir’aun memperoleh banyak informasi tentang akan datangnya seorang laki-laki yang akan menyampaikan risalah kebenaran kepadanya, dan Fir’aun pun menyadari bahwa inilah laki-laki yang telah diramalkan oleh wazirnya itu. Inilah laki-laki yang menyampaikan kebenaran kepadanya itu!
Tetapi, sekali lagi, karena kesombongannya yang teramat besarlah yang menjadikan Fir’aun sulit menerima kebenaran itu. Mengakui kebenaran risalah yang dibawa oleh Musa sama saja dengan mengakui bahwa dia bukanlah Tuhan, dan itu sangat berat untuk dilakukannya. Fir’aun lebih memilih mengingkari hati nuraninya sendiri dalam menerima kebenaran, daripada mengorbankan egonya yang besar untuk jujur dalam menerima kebenaran.
Sampai kemudian, sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab suci, Fir’aun dan bala tentaranya mengejar Musa dan pasukannya. Dengan bara dendam yang teramat panas dalam hatinya, Fir’aun telah bersumpah untuk membunuh Musa begitu ia tertangkap. Ia harus segera melumatkan orang yang mencoba menyinggung egonya ini, ia harus segera menyelamatkan mukanya dari orang ‘kuang ajar’ bernama Musa yang telah berani-beraninya menceramahinya tentang kebenaran.
Di dalam kejar-kejaran itu, Musa dan pasukannya terjebak. Di depan mereka terhampar Lautan Merah yang luas dan dalam, sementara di belakang mereka Fir’aun dan bala tentaranya semakin dekat dan semakin merapat. Musa kebingungan. Menghadapi Fir’aun yang pasukannya jauh lebih besar jelas sebuah kekonyolan karena itu sama saja dengan mengundang maut. Apa yang harus diperbuatnya?
Di tengah kebingungan itulah, tiba-tiba wahyu turun dari langit, “Lemparkan tongkatmu!”
Tanpa berpikir dua kali, Musa melemparkan tongkatnya ke laut, dan mukjizat pun terjadi. Dalam sekejap, lautan terbelah dan memberikan jalan buat Musa untuk melanjutkan perjalanannya dari kejaran Fir’aun. Pasukan Musa yang berjumlah kecil itu segera menelusuri jalan hasil terbelahnya Lautan Merah, sementara Fir’aun dan bala tentaranya pun terus mengejar. Begitu Musa dan pasukannya telah sampai di seberang, air laut menutup kembali dan Fir’aun beserta pasukannya yang tengah melaju di tengah perjalanan di laut pun langsung tenggelam ditelan ganasnya ombak lautan.
Fir’aun megap-megap di tengah lautan, dengan tubuhnya yang timbul-tenggelam. Ia merasakan perutnya begitu kembung, ia terlalu banyak kemasukan air laut. Waktu itu belum ada Antangin yang bisa mengusir masuk angin. Waktu itu juga belum ada Oskadon yang bisa menyembuhkan sakit kepala. Dan Fir’aun pun tentu saja tidak berpikir sedikit pun tentang Antangin atau Oskadon, karena waktu itu ia menyadari bahwa ajalnya sudah sedemikian dekat.
Fir’aun mati, dia kalah. Tapi sayangnya, dia kalah dengan cara yang tidak terhormat! Kalau saja dia memilih ‘kalah’ dengan cara mengakui kebenaran risalah Musa, barangkali sejarah akan menulis bahwa Fir’aun kalah. Tapi setidaknya, kekalahan Fir’aun akan dinilai sebagai kekalahan yang terhormat, karena dia rela mengaku kalah demi pengakuan terhadap kebenaran. Tapi Fir’aun tetap saja Fir’aun. Dia sombong, sekaligus konyol!
Hari ini, sejarah mencatat bahwa Fir’aun telah mati karena kesombongannya.
Sekarang bayangkan. Umpama Fir’aun berhasil selamat dari Lautan Merah, apa yang kira-kira akan diucapkannya? Apa yang kira-kira akan dilakukannya?
Merujuk pada kesombongannya dan keras kepalanya yang luar biasa, kita bisa saja mengasumsikan, bahwa begitu dia berhasil selamat dari Lautan Merah, maka dia akan segera menyelenggarakan jumpa pers. Dia akan mengundang Times, Washington Post, New York Times, CNN, BBC, Cosmopolitan, Bazaar, Male Emporium, Tempo, Channel V, SCTV, RCTI, Trans TV, Radar Tegal dan seluruh media massa lain, baik cetak maupun elektronik, untuk melakukan pembelaan diri bernama apologi alias dalih-dalih pembenaran.
Fir’aun mungkin akan berkata seperti ini, “Ehm, begini Bapak-bapak, Ibu-ibu. Yang jadi persoalan ini bukannya saya tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Musa. Cuma, lha mbok dipikir, Musa itu siapa? Lha wong dia itu dulu nyaris tenggelam di sungai dan saya menyelamatkannya, membesarkannya dan merawatnya hingga segede itu. Lha kok sekarang begitu gede dia enak saja mau nyeramahi saya dengan apa yang disebutnya sebagai kebenaran. Wajar dong kalau saya jadi sulit menerima apa yang disampaikannya! Lha memangnya dia itu siapa?”
Lalu para wartawan dan wartawati serta para jurnalis dan reporter pun sibuk mencatat dan menyiapkan alat perekamnya. Mereka manggut-manggut mendengar penjelasan Fir’aun, dan Fir’aun pun ge-er dan mengira telah berhasil memperdayai para wartawan dan para pekerja media itu. Satu hal yang terlewat dari akal pikiran Fir’aun adalah; orang-orang yang merekam penjelasannya itu bisa saja memelintir ucapannya, dan mereka juga sudah sama-sama tahu bahwa kebenaran tetaplah kebenaran, meski ada penolakan, meski ada pemutarbalikan, meski ada sederet dalih dan alasan maupun argumentasi pembenaran.
Tapi...masak sih Fir’aun akan melakukan jumpa pers seperti itu?
Lho, ini kan umpama!