Sabtu, 11 Desember 2010

“Tahu” dan “Sok Tahu” (2)

Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Di dalam penulisan buku nonfiksi—khususnya lagi yang bersifat pemikiran—data dan fakta merupakan sesuatu yang SANGAT PENTING, karena data serta fakta itulah yang akan menunjang teori atau pemikiran-pemikiran yang kita tuliskan di dalam buku. Tanpa data dan fakta yang bisa menunjang tulisan kita, maka tulisan itu hanya omong kosong—atau setidaknya teori yang masih perlu pembuktian lebih lanjut.

Idealnya, sebuah buku ditunjang dengan dua hal sekaligus—data dan fakta. Namun, masih tidak masalah jika hanya salah satunya yang mendukung—misalnya hanya dilengkapi data—karena tidak semua teori bisa dibuktikan dengan fakta. Dan, kebanyakan penulis di Indonesia memang menggunakan cara tersebut—melengkapi bukunya dengan data, namun miskin fakta.

Ironisnya, “model penulisan” semacam itu sepertinya jadi “bentuk wajib” dalam kebanyakan buku di Indonesia, sehingga kebanyakan penulis sudah merasa cukup jika hanya mengajukan data, atau merasa ragu-ragu jika ingin mengungkapkan fakta-fakta yang berhubungan dengan teori yang dituliskannya.

Padahal, padahal, padahal… satu-satunya alasan yang membuat pembaca bisa asyik membaca sebuah buku adalah karena tulisan itu hidup dan tidak membosankan. Dan… remember, remember, remember, salah satu unsur penting untuk dapat menjadikan tulisan hidup sekaligus tidak membosankan adalah kekayaan fakta yang ada di dalamnya!

Semakin kaya dan detail fakta-fakta yang tertulis dalam sebuah buku, hampir bisa dipastikan buku itu tidak akan membosankan. Tinggal bagaimana si penulis mengolah rangkaian penjelasannya, yang akan menjadikan tulisannya dalam buku itu hidup ataukah mati. Tetapi unsur pentingnya tetap pada fakta—gaya menulis bisa jadi nomor dua jika faktanya memang bagus dan lengkap.

Tetapi, di sinilah ironisnya. Kebanyakan penulis malas melengkapi tulisannya dengan fakta, atau merasa khawatir dianggap “sok tahu” jika memperkaya tulisannya dengan fakta-fakta. Lebih dari itu, masih banyak pula penulis yang “malas belajar”, sehingga kesulitan untuk mendapatkan fakta-fakta yang seharusnya dapat lebih mendukung serta memperkaya tulisannya.

Padahal, semakin lengkap fakta yang tertulis dalam buku, semakin bagus pula isi buku itu. Dan, jika kita jeli, kebanyakan buku yang tergolong bestseller di Indonesia adalah jenis buku semacam itu. Salah satu penulis Indonesia yang tahu bagaimana cara memasukkan banyak fakta dalam buku-bukunya adalah Andrias Harefa.

Andrias Harefa menulis lebih dari 30 buku yang semuanya diterbitkan Gramedia dan Penerbit Kompas—dan semuanya bestseller. Apa pun yang ditulis orang ini, para pembaca selalu asyik menikmatinya. Mengapa? Bukan hanya karena Andrias Harefa memiliki gaya menulis yang asyik, tetapi juga karena kemampuan dia dalam memaparkan banyak fakta dalam buku-bukunya. Dan… Andrias Harefa mampu melakukan hal itu, karena dia rajin belajar!

Begitu pula dengan penulis yang mengirim email di atas—dia juga seorang pembelajar yang baik, terbukti dua bukunya sangat bagus, dan saya pun menyukainya. Buku-bukunya tidak hanya dilengkapi data-data valid, tetapi juga setumpuk fakta yang dapat diverifikasi validitasnya. Namun, karena “kultur” dunia literasi di Indonesia yang sepertinya masih jauh dari hal ini, maka yang hebat seperti itu kadang justru dianggap “aneh”.

Seperti yang dipaparkan dalam emailnya, si penulis ini bahkan sampai khawatir dituduh “sok tahu”, karena mampu memaparkan banyak fakta yang mendalam di dalam bukunya. Tetapi, sebenarnya, apa sih perbedaan antara “tahu” dan “sok tahu” itu…?

Lanjut ke sini.

 
;