Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Kalau mau contoh yang paling mutakhir, bacalah buku-buku karya Malcolm Gladwell. Sampai saya menulis post ini, Malcolm Gladwell telah menulis empat buku yang semuanya bestseller internasional. Edisi terjemahan untuk semua bukunya sudah tersedia di Indonesia. Jika ingin tahu lebih jelas maksud pemaparan saya dalam post ini, silakan baca buku-buku Malcolm Gladwell.
Pada saat ini, Gladwell disebut sebagai “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”. Nah, bagaimana cara Malcolm Gladwell menulis, sampai dia dipuji sehebat itu? Dia juga memperkaya teori-teorinya dengan setumpuk fakta!
Dalam buku-buku yang ditulisnya, kadang Malcolm Gladwell hanya menuliskan teorinya dalam satu atau dua paragraf. Tetapi dia menceritakan faktanya—dalam bentuk cerita panjang—sampai berpuluh-puluh halaman. Bayangkan, satu atau dua paragraf teori, ditunjang berpuluh-puluh halaman fakta berupa cerita dan kisah-kisah! Dan, karena itu, orang ini disebut “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”.
Apakah Malcolm Gladwell “sok tahu” karena dia bisa mengetahui banyak hal yang ia paparkan dalam bukunya? Tentu saja tidak!
Di Indonesia sendiri, ada sosok jenius semacam itu, bernama Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo yang hebat itu. Jika kita membaca tulisan-tulisannya, kita akan mendapatkan setumpuk fakta yang luar biasa—dan ini pula salah satu kekuatan tulisan Goenawan Mohamad.
Ketika menulis sesuatu, Goenawan Mohamad tidak hanya berpijak pada objek yang ditulisnya, tetapi juga memperkaya objek penulisannya dengan setumpuk fakta yang selalu mampu membuat pembacanya takjub. Pengetahuan yang dimilikinya tentang dunia bahkan mungkin lebih banyak dibanding agen intelijen yang setiap detik memantau satelit! Oke, ini mungkin lebay, tapi peduli amat—nyatanya dia memang hebat!
Nah, apakah karena itu kemudian Goenawan Mohamad “sok tahu”…??? Tentu saja tidak! Dia bisa mengetahui banyak hal, yang kemudian ia paparkan kepada para pembacanya, karena dia seorang pembelajar sejati, penyelisik literatur yang luar biasa!
Majalah dan koran Tempo sendiri, jika kita jeli, juga menggunakan teknik semacam itu dalam penulisan artikel-artikelnya. Artikel-artikel di majalah dan koran Tempo, tidak hanya memaparkan teori, tetapi biasanya dilengkapi dengan fakta-fakta berupa cerita atau kisah. Dan, karena itu pula, Tempo jadi “enak dibaca dan perlu”—sesuai slogannya. Bahkan, yang pernah saya dengar, salah satu syarat menjadi wartawan Tempo adalah “memiliki kemampuan menggunakan cerita untuk menulis berita”.
Jadi, kawan-kawan, jika pemaparan yang cukup panjang lebar ini mau disimpulkan, maka inilah kesimpulannya, “Setiap penulis adalah seorang pembelajar”. Artinya, siapa pun yang bertekad ingin bisa menulis dengan baik, dia harus rajin, rajin, rajin… belajar!
Dengan banyak belajar, kita akan mengetahui banyak hal. Dengan mengetahui banyak hal, kita tidak hanya akan dapat berteori, tetapi juga memperkaya teori dengan hal-hal yang mungkin masih belum diketahui pembaca, sehingga hasil tulisan kita akan lebih kaya, lebih hidup, lebih mengasyikkan, dan lebih menggairahkan saat dibaca.
Ingat fakta tak terbantahkan ini: Orang hanya akan tertarik dan bergairah dengan hal-hal yang BELUM diketahuinya.
Karenanya, satu-satunya cara untuk menyodorkan hal-hal yang belum diketahui banyak orang adalah dengan belajar lebih banyak, lebih banyak lagi, dan lebih banyak lagi! Semakin mampu seorang penulis membuat pembacanya takjub, semakin tinggi poin yang akan diperolehnya. Artinya, semakin tinggi pula kemungkinan tulisannya akan disukai para pembaca.
Well, sekarang kita kembali pada topik awal, antara “tahu” dan “sok tahu”.
Yang sering kali menjadikan persoalan ini “riskan” adalah ketika penulis melakukan riset untuk bukunya hanya dengan mengandalkan internet… dan Google. Memperkaya tulisan dengan fakta memang memerlukan riset, dan pendalaman atas data-data. Tetapi hal ini akan sangat riskan jika hanya digantungkan pada referensi yang ada di internet semata-mata.
Dan Brown, salah satu penulis novel yang selalu melakukan riset berat untuk penulisan novel-novelnya, berkali-kali mengingatkan, “Meng-Google tidak sama dengan Me-Riset!”
Artinya, riset untuk penulisan buku tidak bisa hanya disandarkan pada internet, tanpa melibatkan literatur berupa buku sebagai referensi intinya. Mengapa? Karena data di internet rentan berubah, dan terus berubah. Satu data yang hari ini tertulis di salah satu website bisa saja telah diganti, diubah, diralat, atau bahkan dihapus.
Karenanya, internet memang dapat dijadikan sebagai sumber referensi dalam penulisan buku, tetapi fungsinya hanya sebagai referensi penunjang. Referensi intinya tetap harus bersandar dan berpijak pada literatur berupa buku. Bahkan, menurut saya, teks yang tertulis di koran atau majalah cetak lebih memiliki kekuatan, dibanding teks yang tertulis di suatu website di internet.
Seperti kalau kita menulis skripsi, tesis, atau disertasi, daftar pustaka yang menjadi acuan selalu dibagi dua—rujukan inti dan rujukan penunjang—meski seluruh referensi yang digunakan berupa buku.
Nah, di dalam penulisan buku, riset harus disandarkan pertama-tama pada buku dan literatur tercetak lainnya. Sementara sumber-sumber yang bisa digali dari internet hanya berfungsi sebagai penunjang.
Jika seorang penulis hanya menyandarkan risetnya pada sumber di internet—atau menjadikannya sebagai referensi atau sumber riset utama—maka kekuatan bukunya akan sangat rapuh. Jika data-data dalam bukunya diverifikasi, dan kemudian data tersebut telah berubah atau hilang (dan hal ini biasa terjadi pada teks yang ada di internet), maka data dan fakta yang ditulisnya tidak valid lagi.
Jadi, dalam konteks penulisan pemikiran, di mana batas antara “tahu” dan “sok tahu”? Jawabannya kembali pada definisi di atas. Jika fakta-fakta yang dipaparkan seorang penulis untuk menunjang pemikirannya dapat diverifikasi validitasnya, maka si penulis benar-benar “tahu”. Begitu pula sebaliknya.
In fact, membaca buku pemikiran memang sangat membosankan, tak peduli sehebat dan setenar apa pun penulisnya. Karenanya, dalam penulisan sub genre ini, para penulis kontemporer selalu memperkaya pemikiran yang ditulisnya—tidak hanya dengan setumpuk data, tetapi juga dengan seabrek fakta. Hal ini, di samping untuk memperkuat bangunan teorinya, juga berfungsi agar pemaparan teoritiknya tidak membosankan, sekaligus agar pembaca jadi lebih asyik menikmatinya.
Mengapa pemikiran-pemikiran Stephen Covey bisa asyik dicerna dan dinikmati jutaan pembaca di dunia? Karena Stephen Covey memperkaya pemikirannya dengan fakta! Begitu pula dengan Norman Vincent Peale, Napoleon Hill, David Schwartz, Zig Ziglar, ataupun penulis/pemikir lainnya. Tanpa kekayaan fakta, kekayaan pemikiran mereka pasti akan diacuhkan orang.
Ketika kita menuliskan pemikiran kita untuk dibaca orang lain, itu artinya kita berharap orang lain dapat memahami pemikiran yang kita sampaikan. Dan… cara paling efektif untuk tujuan itu adalah dengan memperkuat pemikiran kita dengan fakta-fakta yang langsung bisa dipahami pembaca. Seremeh dan sesepele apa pun sebuah fakta—itu mirip sebongkah batu bata. Ia ikut menunjang, memperkuat, memperkokoh, sebuah bangunan pemikiran.
Hhhhh… rasanya sudah panjang sekali saya menulis. Oke, saya pikir cukup sampai di sini dulu obrolan kita mengenai topik ini. Nanti—semoga saja bisa dalam waktu dekat—akan saya lanjutkan dalam post lain yang akan membahas tentang “cara membuat tulisan hidup”.
So, buat kamu yang mengirim email yang telah mengakibatkan post panjang ini, semoga isi post ini sudah cukup membantu, ya. Selamat menantikan terbitnya bukumu, dan… jangan lupa, saya tunggu kirimanmu. :D
***
Kalau mau contoh yang paling mutakhir, bacalah buku-buku karya Malcolm Gladwell. Sampai saya menulis post ini, Malcolm Gladwell telah menulis empat buku yang semuanya bestseller internasional. Edisi terjemahan untuk semua bukunya sudah tersedia di Indonesia. Jika ingin tahu lebih jelas maksud pemaparan saya dalam post ini, silakan baca buku-buku Malcolm Gladwell.
Pada saat ini, Gladwell disebut sebagai “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”. Nah, bagaimana cara Malcolm Gladwell menulis, sampai dia dipuji sehebat itu? Dia juga memperkaya teori-teorinya dengan setumpuk fakta!
Dalam buku-buku yang ditulisnya, kadang Malcolm Gladwell hanya menuliskan teorinya dalam satu atau dua paragraf. Tetapi dia menceritakan faktanya—dalam bentuk cerita panjang—sampai berpuluh-puluh halaman. Bayangkan, satu atau dua paragraf teori, ditunjang berpuluh-puluh halaman fakta berupa cerita dan kisah-kisah! Dan, karena itu, orang ini disebut “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”.
Apakah Malcolm Gladwell “sok tahu” karena dia bisa mengetahui banyak hal yang ia paparkan dalam bukunya? Tentu saja tidak!
Di Indonesia sendiri, ada sosok jenius semacam itu, bernama Goenawan Mohamad, pendiri majalah Tempo yang hebat itu. Jika kita membaca tulisan-tulisannya, kita akan mendapatkan setumpuk fakta yang luar biasa—dan ini pula salah satu kekuatan tulisan Goenawan Mohamad.
Ketika menulis sesuatu, Goenawan Mohamad tidak hanya berpijak pada objek yang ditulisnya, tetapi juga memperkaya objek penulisannya dengan setumpuk fakta yang selalu mampu membuat pembacanya takjub. Pengetahuan yang dimilikinya tentang dunia bahkan mungkin lebih banyak dibanding agen intelijen yang setiap detik memantau satelit! Oke, ini mungkin lebay, tapi peduli amat—nyatanya dia memang hebat!
Nah, apakah karena itu kemudian Goenawan Mohamad “sok tahu”…??? Tentu saja tidak! Dia bisa mengetahui banyak hal, yang kemudian ia paparkan kepada para pembacanya, karena dia seorang pembelajar sejati, penyelisik literatur yang luar biasa!
Majalah dan koran Tempo sendiri, jika kita jeli, juga menggunakan teknik semacam itu dalam penulisan artikel-artikelnya. Artikel-artikel di majalah dan koran Tempo, tidak hanya memaparkan teori, tetapi biasanya dilengkapi dengan fakta-fakta berupa cerita atau kisah. Dan, karena itu pula, Tempo jadi “enak dibaca dan perlu”—sesuai slogannya. Bahkan, yang pernah saya dengar, salah satu syarat menjadi wartawan Tempo adalah “memiliki kemampuan menggunakan cerita untuk menulis berita”.
Jadi, kawan-kawan, jika pemaparan yang cukup panjang lebar ini mau disimpulkan, maka inilah kesimpulannya, “Setiap penulis adalah seorang pembelajar”. Artinya, siapa pun yang bertekad ingin bisa menulis dengan baik, dia harus rajin, rajin, rajin… belajar!
Dengan banyak belajar, kita akan mengetahui banyak hal. Dengan mengetahui banyak hal, kita tidak hanya akan dapat berteori, tetapi juga memperkaya teori dengan hal-hal yang mungkin masih belum diketahui pembaca, sehingga hasil tulisan kita akan lebih kaya, lebih hidup, lebih mengasyikkan, dan lebih menggairahkan saat dibaca.
Ingat fakta tak terbantahkan ini: Orang hanya akan tertarik dan bergairah dengan hal-hal yang BELUM diketahuinya.
Karenanya, satu-satunya cara untuk menyodorkan hal-hal yang belum diketahui banyak orang adalah dengan belajar lebih banyak, lebih banyak lagi, dan lebih banyak lagi! Semakin mampu seorang penulis membuat pembacanya takjub, semakin tinggi poin yang akan diperolehnya. Artinya, semakin tinggi pula kemungkinan tulisannya akan disukai para pembaca.
Well, sekarang kita kembali pada topik awal, antara “tahu” dan “sok tahu”.
Yang sering kali menjadikan persoalan ini “riskan” adalah ketika penulis melakukan riset untuk bukunya hanya dengan mengandalkan internet… dan Google. Memperkaya tulisan dengan fakta memang memerlukan riset, dan pendalaman atas data-data. Tetapi hal ini akan sangat riskan jika hanya digantungkan pada referensi yang ada di internet semata-mata.
Dan Brown, salah satu penulis novel yang selalu melakukan riset berat untuk penulisan novel-novelnya, berkali-kali mengingatkan, “Meng-Google tidak sama dengan Me-Riset!”
Artinya, riset untuk penulisan buku tidak bisa hanya disandarkan pada internet, tanpa melibatkan literatur berupa buku sebagai referensi intinya. Mengapa? Karena data di internet rentan berubah, dan terus berubah. Satu data yang hari ini tertulis di salah satu website bisa saja telah diganti, diubah, diralat, atau bahkan dihapus.
Karenanya, internet memang dapat dijadikan sebagai sumber referensi dalam penulisan buku, tetapi fungsinya hanya sebagai referensi penunjang. Referensi intinya tetap harus bersandar dan berpijak pada literatur berupa buku. Bahkan, menurut saya, teks yang tertulis di koran atau majalah cetak lebih memiliki kekuatan, dibanding teks yang tertulis di suatu website di internet.
Seperti kalau kita menulis skripsi, tesis, atau disertasi, daftar pustaka yang menjadi acuan selalu dibagi dua—rujukan inti dan rujukan penunjang—meski seluruh referensi yang digunakan berupa buku.
Nah, di dalam penulisan buku, riset harus disandarkan pertama-tama pada buku dan literatur tercetak lainnya. Sementara sumber-sumber yang bisa digali dari internet hanya berfungsi sebagai penunjang.
Jika seorang penulis hanya menyandarkan risetnya pada sumber di internet—atau menjadikannya sebagai referensi atau sumber riset utama—maka kekuatan bukunya akan sangat rapuh. Jika data-data dalam bukunya diverifikasi, dan kemudian data tersebut telah berubah atau hilang (dan hal ini biasa terjadi pada teks yang ada di internet), maka data dan fakta yang ditulisnya tidak valid lagi.
Jadi, dalam konteks penulisan pemikiran, di mana batas antara “tahu” dan “sok tahu”? Jawabannya kembali pada definisi di atas. Jika fakta-fakta yang dipaparkan seorang penulis untuk menunjang pemikirannya dapat diverifikasi validitasnya, maka si penulis benar-benar “tahu”. Begitu pula sebaliknya.
In fact, membaca buku pemikiran memang sangat membosankan, tak peduli sehebat dan setenar apa pun penulisnya. Karenanya, dalam penulisan sub genre ini, para penulis kontemporer selalu memperkaya pemikiran yang ditulisnya—tidak hanya dengan setumpuk data, tetapi juga dengan seabrek fakta. Hal ini, di samping untuk memperkuat bangunan teorinya, juga berfungsi agar pemaparan teoritiknya tidak membosankan, sekaligus agar pembaca jadi lebih asyik menikmatinya.
Mengapa pemikiran-pemikiran Stephen Covey bisa asyik dicerna dan dinikmati jutaan pembaca di dunia? Karena Stephen Covey memperkaya pemikirannya dengan fakta! Begitu pula dengan Norman Vincent Peale, Napoleon Hill, David Schwartz, Zig Ziglar, ataupun penulis/pemikir lainnya. Tanpa kekayaan fakta, kekayaan pemikiran mereka pasti akan diacuhkan orang.
Ketika kita menuliskan pemikiran kita untuk dibaca orang lain, itu artinya kita berharap orang lain dapat memahami pemikiran yang kita sampaikan. Dan… cara paling efektif untuk tujuan itu adalah dengan memperkuat pemikiran kita dengan fakta-fakta yang langsung bisa dipahami pembaca. Seremeh dan sesepele apa pun sebuah fakta—itu mirip sebongkah batu bata. Ia ikut menunjang, memperkuat, memperkokoh, sebuah bangunan pemikiran.
Hhhhh… rasanya sudah panjang sekali saya menulis. Oke, saya pikir cukup sampai di sini dulu obrolan kita mengenai topik ini. Nanti—semoga saja bisa dalam waktu dekat—akan saya lanjutkan dalam post lain yang akan membahas tentang “cara membuat tulisan hidup”.
So, buat kamu yang mengirim email yang telah mengakibatkan post panjang ini, semoga isi post ini sudah cukup membantu, ya. Selamat menantikan terbitnya bukumu, dan… jangan lupa, saya tunggu kirimanmu. :D