Jumat, 17 Desember 2010

Dongeng untuk Julia Perez



Ada yang mengatakan bahwa domba bisa tersesat hanya karena terlalu asyik merumput dan tak pernah mengangkat kepala. Hal itu juga bisa terjadi pada masing-masing kita. Kita bisa terlalu memusatkan perhatian pada apa yang langsung ada di hadapan kita, sehingga kita tidak mampu untuk melihat dalam perspektif yang lebih luas.
—Donald Bitsberger


Hei, Julia Perez, aku bukan pengagummu, bukan penggemarmu, apalagi pemujamu. Tetapi baru-baru ini kudengar sesuatu tentangmu, dan aku merasa perlu menulis sebuah dongeng untukmu. Dan, agar kau lebih mudah menikmatinya, aku akan menulis dongeng ini dengan sudut pandang orang pertama.

….
….

Aku adalah laki-laki yang jatuh cinta pada seorang wanita jelita—sebuah kisah klise yang biasa. Karena aku bukan laki-laki istimewa, maka aku pun tidak percaya diri untuk menyatakan cintaku kepada wanita itu. Sekali lagi, ini terdengar klise. Tapi persetan, biar kulanjutkan ceritaku.

Selama bertahun-tahun aku memendam rasa cintaku kepada wanita itu, tapi cinta ini tetap tak mampu kuungkapkan. Aku hanya menjadi pemuja rahasianya. Aku ingin memilikinya, tetapi aku merasa tidak mungkin memilikinya.

Sampai kemudian, aku melihat wanita pujaanku menjalin cinta dengan seorang laki-laki tampan. Oh ya, aku tahu, takdirnya pasti akan berjalan seperti itu. Sejak zaman dulu, benar? Jadi, aku pun berusaha untuk menerima takdirku, untuk menerima bahwa wanita itu bukanlah untukku.

Tetapi aku laki-laki, persetan! Sesuatu di dalam diriku terluka, dan aku membutuhkan pelampiasan, semacam pembalasan dendam yang dapat sedikit mengobati luka yang kurasakan. Tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan hal itu jika sendirian. Lebih dari itu, aku juga tidak berani.

Jadi, aku pun kemudian mengumpulkan lelaki-lelaki lain yang senasib denganku, dan kami kemudian membentuk suatu perkumpulan. Kau tahu, ketika satu orang penakut bergabung dengan satu orang penakut lainnya, yang terjadi kemudian adalah dua orang pemberani.

So, setelah kami berkumpul dan membentuk organisasi, maka kami pun merasa semakin berani sekaligus merasa kuat. Masing-masing orang yang bergabung dalam kumpulan ini adalah orang-orang yang sama sepertiku—terluka karena tidak mampu mendapatkan apa yang diinginkan, dan kemudian menjadikan hal itu sebagai sarana untuk mengubah diri kami menjadi sang Pahlawan.

Sigmund Freud benar—begitu pula Abraham Maslow, William James, Carl Gustav Jung, William Stern, dan mereka yang bertahun-tahun lalu telah menuliskan perasaan ini. Aku tidak akan menyebutkannya di sini, karena itu sama saja membuka borokku sendiri.

Yang jelas, setelah kami berkumpul itulah kami merasa bisa membalas dendam—bukan hanya kepada wanita yang pernah melukai hati kami, tetapi juga kepada wanita-wanita lainnya yang sepertinya tidak mampu kami miliki. Kami adalah serombongan laki-laki yang kecewa, dan kami akan terus berteriak, meneriakkan kekecewaan ini.

Dan makin lama, makin banyak orang yang ingin bergabung dengan organisasi kami. Oh, well, ternyata banyak sekali laki-laki yang patah hati. Maka organisasi kami pun semakin besar, dan kami merasa semakin kuat. Dimana pun dan pada kesempatan apa pun, kami akan muncul, akan tampil, akan berteriak. Kapan pun kami melihat wanita yang sepertinya tidak akan dapat kami miliki, maka kami akan mengangkat pedang untuk membunuhnya.

Oh ya, kami memiliki segudang dalih pembenaran atas perbuatan kami. Kami bukan orang bodoh. Kami memang laki-laki pengecut yang tidak berani menyatakan cinta kepada wanita, tetapi kami bukan laki-laki bodoh. Kami telah belajar bagaimana menciptakan kesan dengan berlandaskan nilai-nilai kebenaran—meski sebenarnya dalam hati kami sendiri tidak yakin.

Jadi begitulah, kami muncul dimana-mana, berteriak pada apa saja, menuduh dan menuding, menyalahkan dan memvonis, mengangkat pedang dan menumpahkan darah, dan… kalau kalian perhatikan sungguh-sungguh, maka kalian akan melihat bahwa segala sesuatu yang kami musuhi adalah segala sesuatu yang tidak bisa kami miliki. You know that…?

Sekali lagi Sigmund Freud benar—begitu pula Abraham Maslow, William James, Carl Gustav Jung, William Stern, dan mereka yang bertahun-tahun lalu telah menuliskan perasaan ini. Aku tidak akan menyebutkannya di sini, karena itu sama saja membuka borokku sendiri.

Kami adalah sekumpulan laki-laki yang patah hati. Patah hati karena merasa tak bisa memiliki wanita pujaan kami, dan kemudian membalas dendam kepada siapa pun yang mengingatkan kami pada wanita pujaan kami. Kalau kukatakan dengan cara seperti ini, mungkin kalian akan menilai kami sebagai kumpulan psikopat. Tetapi kalian tidak akan bisa menyalahkan kami, karena kami telah memonopoli nilai kebenaran, sehingga kebenaran hanya milik kami!

Jadi, kalau ada wanita cantik yang merayu-rayu di bawah langit, kami akan berteriak dan mengangkat pedang kami, memintanya agar segera enyah dari muka bumi. Orang-orang tak bisa menyalahkan kami, karena perjuangan kami berlandaskan kebenaran yang kami monopoli. Meski, sesungguhnya, kami berteriak dan mengangkat pedang karena merasa terluka.

Ya, kami terluka karena menyaksikan seorang wanita jelita, tetapi kami merasa tidak bisa memilikinya…!!!

….
….

Ehm, jadi, Julia Perez, sekarang kaulihat…? Atau belum? Baiklah, sekarang biar kujelaskan.

“Aku” dalam dongeng itu adalah representasi dari “ego”. Sedang “wanita” dalam dongeng itu adalah representasi dari “dunia”. Dan, omong-omong, orang yang begitu berambisi memusuhi dunia, sesungguhnya adalah orang-orang yang ingin dapat memiliki dunia… hanya saja tidak mampu meraihnya.

Jangan menangis lagi, Julia Perez. Kalau pun ada yang layak ditangisi, maka mereka yang memusuhimu itulah yang perlu ditangisi.


 
;