Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Nah, hal-hal yang terlihat sepele seperti itulah yang dimaksud dengan “fakta” untuk tujuan memperkaya tulisan, sekaligus memperkuat teori yang kita paparkan dalam tulisan. Dan semakin banyak serta semakin bagus fakta yang bisa kita sodorkan, semakin bagus pula tulisan kita, sekaligus semakin asyik dan tidak membosankan ketika dibaca dan dipelajari.
Pada tanggal 27 Maret lalu, Christina Udiyani, salah satu editor Penerbit Gramedia, diundang sebagai pembicara di acara workshop kepenulisan di Universitas Widya Mandala, Surabaya. Ketika dia ditanya, seperti apa tulisan populer yang bagus menurut Gramedia, sehingga dapat diterbitkan, Christina Udiyani menjawab, bahwa faktor pentingnya adalah kemampuan si penulis dalam mengajak pembacanya untuk dapat melihat, merasa, mendengar, membaui. “Don’t tell, but show,” katanya waktu itu.
Perhatikan, resep itu diberikan langsung oleh editor penerbit besar di Indonesia—“Don’t tell, but show!”. Resep itu pula yang akan kita dengar jika kita menanyakan pada editor mana pun tentang bagaimana cara menulis yang tidak hanya baik, tetapi juga enak dibaca.
“Tunjukkan, jangan katakan!” Ini adalah kredo yang seharusnya diingat oleh setiap penulis—baik fiksi maupun nonfiksi.
Bagaimana cara penulis “menunjukkan” kepada para pembacanya? Tidak cukup hanya lewat kata-kata atau teori, tetapi juga harus dilengkapi fakta-fakta. Dengan fakta-fakta yang digunakan untuk melengkapi teori, pembaca akan dapat “melihat” dan merasa, “Oooh, gitu tho, maksudnya...”
Saya sendiri selalu berupaya untuk dapat melakukan hal semacam itu. Ketika menulis dan memaparkan sesuatu, saya selalu berusaha agar tulisan itu tidak hanya berupa pemaparan teori, tetapi juga dilengkapi fakta-fakta. Jika kalian membuka-buka kembali post-post yang ada di blog ini, kalian akan mendapati setumpuk fakta—entah berupa cerita, kisah nyata, ataupun data-data—yang melengkapi sekaligus memperkaya isi posting.
Saya sadar, bahwa fakta-fakta yang saya paparkan dalam penulisan post-post di blog ini bisa saja mengundang pikiran orang untuk berpikir bahwa saya “sok tahu”. Tetapi saya tidak peduli—karena semua fakta itu saya tulis berdasarkan data yang bisa diverifikasi validitasnya. Lebih dari itu, saya menyadari bahwa salah satu tugas penulis adalah memberikan sebanyak mungkin ilmu dan pengetahuan kepada para pembacanya—dan saya berusaha sekeras yang saya bisa untuk dapat memberikan hal itu.
Anyway, jika kita mempelajari buku-buku hebat yang disukai banyak pembaca di dunia ini, kita akan menemukan fakta tak terbantahkan bahwa sembilan puluh sembilan persen buku itu sangat kaya dengan fakta. Pergilah ke toko buku, dan carilah buku apa pun yang ditulis Dale Carnegie. Buku-buku yang ditulis orang ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia—dan saya adalah salah satu dari berjuta-juta orang di dunia ini yang “tergila-gila” kepada buku-bukunya.
Buku-buku karya Dale Carnegie telah terbit lebih dari setengah abad yang lalu, tetapi tetap laku terjual hingga hari ini, meski buku-buku karyanya telah terjual jutaan eksemplar di masa lampau. Mengapa? Karena buku-bukunya sangat kaya fakta!
Di dalam banyak bukunya, kadang Dale Carnegie hanya memaparkan teorinya dalam beberapa paragraf atau beberapa alinea. Tetapi fakta-fakta yang dipaparkannya—berupa kisah dan cerita—jumlahnya sampai puluhan halaman. Dan orang-orang di seluruh dunia bisa asyik membaca buku-bukunya, karena hal itu! Saya membayangkan, jika Dale Carnegie hanya memaparkan teori tanpa fakta-fakta itu, saya tidak yakin bukunya akan bisa terjual sampai jutaan eksemplar.
Nah, apakah Dale Carnegie “sok tahu” karena bisa memaparkan banyak kisah dan cerita dalam bukunya? Tentu saja tidak! Dia tahu apa yang ditulisnya, dia tahu bagaimana memperkaya tulisannya—berdasarkan proses pembelajaran yang telah ditempuhnya, kerja kerasnya dalam menelusuri sumber-sumber literasi.
Lanjut ke sini.
***
Nah, hal-hal yang terlihat sepele seperti itulah yang dimaksud dengan “fakta” untuk tujuan memperkaya tulisan, sekaligus memperkuat teori yang kita paparkan dalam tulisan. Dan semakin banyak serta semakin bagus fakta yang bisa kita sodorkan, semakin bagus pula tulisan kita, sekaligus semakin asyik dan tidak membosankan ketika dibaca dan dipelajari.
Pada tanggal 27 Maret lalu, Christina Udiyani, salah satu editor Penerbit Gramedia, diundang sebagai pembicara di acara workshop kepenulisan di Universitas Widya Mandala, Surabaya. Ketika dia ditanya, seperti apa tulisan populer yang bagus menurut Gramedia, sehingga dapat diterbitkan, Christina Udiyani menjawab, bahwa faktor pentingnya adalah kemampuan si penulis dalam mengajak pembacanya untuk dapat melihat, merasa, mendengar, membaui. “Don’t tell, but show,” katanya waktu itu.
Perhatikan, resep itu diberikan langsung oleh editor penerbit besar di Indonesia—“Don’t tell, but show!”. Resep itu pula yang akan kita dengar jika kita menanyakan pada editor mana pun tentang bagaimana cara menulis yang tidak hanya baik, tetapi juga enak dibaca.
“Tunjukkan, jangan katakan!” Ini adalah kredo yang seharusnya diingat oleh setiap penulis—baik fiksi maupun nonfiksi.
Bagaimana cara penulis “menunjukkan” kepada para pembacanya? Tidak cukup hanya lewat kata-kata atau teori, tetapi juga harus dilengkapi fakta-fakta. Dengan fakta-fakta yang digunakan untuk melengkapi teori, pembaca akan dapat “melihat” dan merasa, “Oooh, gitu tho, maksudnya...”
Saya sendiri selalu berupaya untuk dapat melakukan hal semacam itu. Ketika menulis dan memaparkan sesuatu, saya selalu berusaha agar tulisan itu tidak hanya berupa pemaparan teori, tetapi juga dilengkapi fakta-fakta. Jika kalian membuka-buka kembali post-post yang ada di blog ini, kalian akan mendapati setumpuk fakta—entah berupa cerita, kisah nyata, ataupun data-data—yang melengkapi sekaligus memperkaya isi posting.
Saya sadar, bahwa fakta-fakta yang saya paparkan dalam penulisan post-post di blog ini bisa saja mengundang pikiran orang untuk berpikir bahwa saya “sok tahu”. Tetapi saya tidak peduli—karena semua fakta itu saya tulis berdasarkan data yang bisa diverifikasi validitasnya. Lebih dari itu, saya menyadari bahwa salah satu tugas penulis adalah memberikan sebanyak mungkin ilmu dan pengetahuan kepada para pembacanya—dan saya berusaha sekeras yang saya bisa untuk dapat memberikan hal itu.
Anyway, jika kita mempelajari buku-buku hebat yang disukai banyak pembaca di dunia ini, kita akan menemukan fakta tak terbantahkan bahwa sembilan puluh sembilan persen buku itu sangat kaya dengan fakta. Pergilah ke toko buku, dan carilah buku apa pun yang ditulis Dale Carnegie. Buku-buku yang ditulis orang ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia—dan saya adalah salah satu dari berjuta-juta orang di dunia ini yang “tergila-gila” kepada buku-bukunya.
Buku-buku karya Dale Carnegie telah terbit lebih dari setengah abad yang lalu, tetapi tetap laku terjual hingga hari ini, meski buku-buku karyanya telah terjual jutaan eksemplar di masa lampau. Mengapa? Karena buku-bukunya sangat kaya fakta!
Di dalam banyak bukunya, kadang Dale Carnegie hanya memaparkan teorinya dalam beberapa paragraf atau beberapa alinea. Tetapi fakta-fakta yang dipaparkannya—berupa kisah dan cerita—jumlahnya sampai puluhan halaman. Dan orang-orang di seluruh dunia bisa asyik membaca buku-bukunya, karena hal itu! Saya membayangkan, jika Dale Carnegie hanya memaparkan teori tanpa fakta-fakta itu, saya tidak yakin bukunya akan bisa terjual sampai jutaan eksemplar.
Nah, apakah Dale Carnegie “sok tahu” karena bisa memaparkan banyak kisah dan cerita dalam bukunya? Tentu saja tidak! Dia tahu apa yang ditulisnya, dia tahu bagaimana memperkaya tulisannya—berdasarkan proses pembelajaran yang telah ditempuhnya, kerja kerasnya dalam menelusuri sumber-sumber literasi.
Lanjut ke sini.