Jumat, 31 Desember 2010

Gibran, Kahlil Gibran

Dia yang memeluk kematian dengan pedang Kebenaran di tangannya akan
mengabadi bersama Keabadian Kebenaran, karena Kehidupan lebih lemah
daripada Kematian, dan Kematian lebih lemah daripada Kebenaran.
Kahlil Gibran, The Song of Wave


Post tanya jawab seputar buku kali ini sengaja saya pilih yang semuanya membahas Kahlil Gibran. Untuk pertanyaan yang lain, seperti biasa, tunggu di post tentang buku berikutnya.

***

Kalau membaca buku-bukumu, juga catatan-catatan di blogmu, kamu sepertinya menghormati Kahlil Gibran. Terbukti betapa seringnya kamu meng-quote kata-katanya. Kebetulan, saya juga pengagum Gibran. Nah, kalau boleh bertanya, bagaimana pendapatmu sendiri mengenai karya-karya Kahlil Gibran? Saya menanyakan hal ini, karena di sebagian kalangan anak muda ada semacam rasa ‘ilfil’ dengan (karya-karya) Kahlil Gibran.

Saya menghormati Kahlil Gibran—ya! Saya bahkan mengaguminya, dan menjadikan buku-buku karyanya sebagai salah satu pelajaran penting dalam hidup saya. Bukan hanya karya-karyanya, saya bahkan berupaya untuk dapat meneladani jalan hidupnya. Bagi saya, Kahlil Gibran adalah penulis dan pemikir dengan kejeniusan paling membara, yang api spiritnya tetap menyala hingga hari ini, meski jasadnya mungkin telah musnah di perut bumi.

Dalam hal kemampuan menulis, saya belum menemukan penulis lain yang mampu menandingi kedalaman yang diciptakan Gibran dalam setiap tulisannya—tidak di barat, tidak juga di timur. Itu salah satu alasan saya sering meng-quote kata-katanya.

Coba lihat buku-buku karya Gibran. Dalam dunia literatur, karya-karya Gibran digolongkan sebagai sastra. Dan, seperti yang kita tahu, sangat sedikit buku sastra yang bisa mudah diterjemahkan tanpa ‘merusak’ keasliannya. Tetapi hal itu tidak terjadi dalam karya Gibran. Meski buku-bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda, tetapi isinya ‘tidak rusak’, kedalaman dan kehebatannya tetap dapat dirasakan oleh pembacanya.

Hal ini berbeda dengan penulis besar lain—Shakespeare, misalnya.

Shakespeare hebat ketika menulis, tetapi hanya hebat dalam bahasa Inggris! Ketika tulisan Shakespeare diterjemahkan ke bahasa lain, kehebatannya langsung lenyap. Bukan karena si penerjemah yang payah, tetapi karena kehebatan tulisan Shakespeare hanya terbatas dalam bahasa Inggris. Akibatnya, orang-orang harus menguasai bahasa Inggris jika ingin menikmati kehebatan Shakespeare.

Hal ini berbeda dengan Kahlil Gibran. Dibaca dalam bahasa apa pun, kehebatan dan kedalaman tulisannya tetap dapat dirasakan. Salah satu buku Gibran yang ditulis dengan bahasa Arab adalah ‘Al-Arwah Al-Mutamarridah’. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ‘Rebellion’. Kemudian, Indonesia juga menerjemahkannya dengan judul ‘Jiwa-jiwa Pemberontak’.

Hebatnya, meski diterjemahkan ke dalam bahasa yang berbeda, masing-masing pembacanya tetap dapat merasakan tingkat kedahsyatan yang sama dengan bahasa asli yang digunakan Gibran ketika menulisnya. Di sinilah kehebatan Gibran yang sulit ditandingi penulis lain.

Ehmm, sekarang mengenai pertanyaanmu, kenapa ada sebagian anak muda yang ‘ilfil’ dengan Gibran? Saya tahu pasti bahwa yang disebut “anak muda” dalam konteks pertanyaanmu adalah “anak muda Indonesia”. Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus flashback ke masa sepuluh tahun yang lalu, untuk melihat apa yang terjadi di Indonesia, menyangkut buku-buku karya Kahlil Gibran.

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, lebih khusus lagi pada pertengahan tahun 1990-an, ada beberapa penerbit di Yogyakarta yang menerbitkan buku-buku karya Kahlil Gibran. Beberapa yang paling aktif di antaranya adalah Yayasan Bentang Budaya (sekarang Penerbit Bentang), Penerbit Fajar Pustaka Baru, dan Tarawang Press. Ketiga penerbit ini—untuk tidak menafikan penerbit lainnya—menerbitkan buku-buku Gibran dalam bentuknya yang murni, dalam arti buku-buku itu diterbitkan sesuai aslinya.

Ketika itu, para penggemar Gibran di Indonesia membaca dan menikmati buku-buku itu—termasuk saya. Jadi, buku-buku itu terbit dan mendapatkan tempat yang tepat, yakni para penggemar atau bahkan pemuja Gibran. Bagi para penggemarnya, buku-buku Gibran tergolong “buku berat”—itu jenis buku yang tidak bisa dibaca hanya satu kali. Saya sendiri membaca buku-buku Gibran berulang-ulang kali—bukan hanya untuk mendalami maknanya, tetapi juga untuk menikmati keindahannya.

Sampai kemudian muncul “kehebohan” yang dipicu oleh lagu-lagu Dewa (Ahmad Dhani) yang digembar-gemborkan menjiplak syair-syair Kahlil Gibran.

“Kehebohan” itu menciptakan dua dampak sekaligus terhadap buku-buku karya Gibran. Pertama, orang-orang yang tadinya tidak mengenal nama Gibran tiba-tiba mengenal nama itu, dan mereka pun mulai mencari-cari bukunya. Dampak kedua, sebagian penggemar Dewa/Ahmad Dhani merasa “tidak terima” dengan tuduhan itu, dan beberapa di antara mereka sampai ada yang melakukan aksi pembakaran terhadap buku-buku Kahlil Gibran.

Dua dampak itu, sama-sama menciptakan gelombang negatif terhadap buku-buku karya Gibran.

Dampak pertama, terjadi histeria atas buku-buku Kahlil Gibran, dan histeria itu dimanfaatkan oleh berbagai penerbit untuk menerbitkan buku-buku Gibran. Karena kompetisi pemasaran buku Gibran sangat ramai, para penerbit itu pun kemudian mencari cara agar tetap dapat menjual karya Gibran. Dan cara yang paling banyak ditempuh waktu itu adalah dengan “mengacak-acak” isi buku Kahlil Gibran, sekaligus menuliskan judul buku “yang seenaknya sendiri”.

Pada waktu-waktu itu, sangat sulit untuk menemukan buku karya Gibran yang orisinal. Hampir semua buku yang terbit pada waktu itu nyaris berisi “kreativitas” penerbit dalam “mengacak-acak” karya-karya Gibran.

Kadang, saya mendapati, ada satu buku yang berisi “kompilasi” beberapa catatan Gibran yang tersebar di beberapa buku. Sudah begitu, para penerbit ini mengarang-ngarang sendiri judul untuk buku-buku itu. Akibatnya, hampir dalam waktu bersamaan, ada sekian ratus buku karya Gibran yang beredar di pasaran dengan judul yang berbeda, dengan isi yang berbeda, tetapi sesungguhnya berasal dari beberapa buku asli yang sama.

“Kekacauan” yang terjadi di balik booming buku-buku Gibran itu tidak diketahui apalagi dipahami oleh para pembaca pemula, yang waktu itu baru kenal nama Kahlil Gibran.

Di sinilah kesalahpahaman besar itu mulai terjadi.

Sebagian pembaca pemula yang “kesasar” membeli buku-buku Gibran mungkin tidak paham isinya—karena buku-buku Gibran tergolong berat. Sebagian lagi mulai menilai Kahlil Gibran “murahan” karena namanya seperti “barang obral”. Sudah begitu, aksi pembakaran buku-buku Gibran semakin menggenapkan kesan “negatif” mengenai Kahlil Gibran.

Hari ini, kalau orang meng-quote Rumi, atau Iqbal, misalnya, kesannya hebat banget. Kenapa? Karena Rumi maupun Iqbal tidak mengalami “booming” seperti yang dialami Gibran pada masa kini. Kalau saja Rumi atau Iqbal juga mengalami hal yang sama, saya pikir akan muncul pula orang-orang yang “ilfil” dengan mereka.

Jadi, menurut saya, adanya rasa “ilfil” seperti yang kamu tuliskan di atas itu muncul semata-mata karena kesalahpahaman atau karena ketidaktahuan. Dan saya yakin orang-orang yang “ilfil” itu bukanlah pembaca Gibran yang murni—mereka hanya pembaca pemula yang baru kenal karya-karya Gibran. Bagi para penggemar Gibran yang sejati, karya-karya Gibran adalah masterpiece yang sulit ditandingi.


Saya bingung mendapati beberapa buku karya Kahlil Gibran yang diterbitkan oleh beberapa penerbit sekaligus di Indonesia. Kalau saya perhatikan, buku-buku itu sama, tetapi diterbitkan oleh penerbit yang berbeda. Kenapa hal semacam ini bisa terjadi? Apakah ini tidak melanggar hak cipta?

Karya-karya Kahlil Gibran memang diterbitkan oleh beberapa penerbit sekaligus di Indonesia. Mengapa ini terjadi? Jawabannya bisa mengacu pada jawaban di atas. Apakah ini melanggar hak cipta? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus melihat dulu aturan hukum yang terdapat dalam hak cipta (internasional).

Apabila suatu ciptaan ditinggal mati oleh pemiliknya, maka hasil ciptaan itu menjadi hak milik ahli warisnya. Apabila si pemilik hak cipta tersebut tidak memiliki ahli waris, maka lima puluh tahun setelah kematiannya, hak cipta tersebut akan menjadi milik masyarakat.

Dalam hal Gibran, dia (mungkin) tidak memiliki ahli waris, mengingat dia tidak memiliki istri atau keturunan. Karenanya, penerbit-penerbit di dunia pun merasa berhak untuk menerbitkan karyanya—sehingga ada beberapa penerbit sekaligus yang kemudian menerbitkan satu karya yang sama.


Kalau kamu diminta merekomendasikan buku karya Kahlil Gibran, judul mana yang kamu rekomendasikan? Saya ingin mempelajari dan mendalami karya-karya Gibran. Menurutmu, judul apa yang paliiing bagus?

Ini mungkin relatif, ya. Yang menurut saya bagus, belum tentu buat orang lain. Lebih dari itu, menurut saya semua karya Gibran juga bagus dan perlu dibaca. Tetapi, kalau saya diminta untuk menyebutkan judul apa yang paling bagus, saya sangat menyukai “The Prophet” dan “The Madman”.

 
;