Rabu, 01 Desember 2010

Hobi Aneh Nyokap Saya

Nyokap saya suka belanja—sama seperti nyokap-nyokap lain di dunia. Hanya saja, nyokap saya suka belanja di Hypermart. (Sumpah, catatan ini tidak bermaksud ngiklan!).

Kenapa nyokap suka berbelanja di Hypermart? Saya tidak tahu alasannya, dan saya sungguh tidak ingin tahu. Hanya saja, yang membuat saya sampai menulis catatan ini, karena nyokap punya semacam “hubungan batin” yang sangat erat dengan Hypermart. Dan, Hypermart telah membuat nyokap saya punya hobi yang aneh.

Seperti yang kita tahu, Hypermart sangat rajin membuat katalog atas produk yang mereka sediakan—dari barang remeh-temeh, makanan dan minuman, alat-alat masak dan rumahtangga, sampai aneka barang elektronik dan gadget terbaru. Nah, gara-gara itu, nyokap saya jadi hobi mengoleksi katalog mereka. Jadi, setiap kali belanja, nyokap tak pernah lupa untuk meminta edisi terbaru katalog mereka saat berdiri di depan kasir untuk membayar belanjanya.

Sampai di sini, sebenarnya tidak ada masalah. Hypermart memang menyediakan katalog itu untuk diberikan kepada para pelanggannya, dan nyokap juga sepertinya senang mengoleksi katalog-katalog itu. Yang jadi masalah, katalog-katalog itu kemudian “menyeret” saya untuk ikut-ikutan “jatuh hati” pada Hypermart.

Jadi, kalau saya berkunjung ke rumah ortu, nyokap selalu tak pernah lupa untuk mengambil koleksi katalognya yang terbaru, kemudian membukanya di hadapan saya, lalu dengan antusias berkata, “Da’, coba lihat ini. Gelas-gelas ini cantik sekali, kan? Pasti sangat anggun kalau kamu pakai buat menyediakan minum buat tamu. Apalagi ini koleksi terbatas, dengan harga diskon spesial, dan…”

Dan nyokap akan panjang lebar menjelaskan kepada saya mengenai “betapa pentingnya saya memiliki koleksi gelas itu untuk rumah saya”. Melihat antusiasme yang diperlihatkan nyokap, kadang saya berpikir seharusnya nyokap bekerja sebagai sales Hypermart. Dan melihat antuasiasmenya pula, saya pun jadi merasa yakin bahwa seharusnya saya memang memiliki koleksi gelas itu.

Jadi begitulah yang kemudian terjadi. Sepulang dari rumah ortu, saya mampir ke Hypermart, lalu berbelanja “gelas-gelas cantik yang perlu dimiliki”, sebagaimana yang direkomendasikan nyokap dengan penuh sukacita.

Lalu kejadian yang sangat “mengharukan” terjadi. Ketika nyokap dolan ke rumah saya, dan melihat koleksi gelas yang direkomendasikannya telah berdiri anggun di rak dapur, nyokap akan menunjukkan muka yang sangat bahagia, seolah saya baru saja memenangkan hadiah Nobel. Dan ketika melihat ekspresi nyokap yang seperti itu, tiba-tiba saya merasa ingin mencium Hypermart.

Kemudian hal semacam itu terulang kembali. Nyokap dapat katalog terbaru lagi dari Hypermart. Lalu saat saya berkunjung ke rumahnya, nyokap akan kembali menunjukkannya kepada saya sambil berujar penuh minat, “Da’, coba lihat piring-piring menawan ini…”

Dan saya pun dengan patuh menyaksikan “piring-piring cantik yang seharusnya saya miliki”. Saat adegan semacam itu terjadi, saya kembali teringat pada ekspresi nyokap yang penuh kebahagiaan saat berada di dapur rumah saya, ketika dia melihat gelas-gelas favoritnya telah ada di sana. Dan, saya pun kemudian berpikir, “Apa salahnya membahagiakan nyokap dengan cara ini?”

Maka saya pun pergi ke Hypermart, dan membeli koleksi piring yang dipuji-puji oleh nyokap. Beberapa waktu kemudian, nyokap datang ke rumah saya, dan lagi-lagi saya menyaksikan sorot mata kebahagiaan nyokap saat melihat piring-piring itu telah ada di dapur rumah saya—dan nyokap akan memuji piring-piring itu dengan manis seolah piring-piring itu menantunya. Ketika hal semacam itu terjadi, saya jadi merasa kalau belanja di Hypermart merupakan bagian dari berbakti pada orangtua.

Jadi, yang selalu saja berlangsung setiap kali saya berkunjung ke rumah ortu tak pernah jauh dari adegan seperti ini:

Nyokap: *Membuka katalog Hypermart* “Da’, coba lihat nampan-nampan yang istimewa ini…” atau, “Da’, coba lihat meja kabinet yang anggun ini…” atau, “Da’, coba lihat rak-rak yang manis ini…”

Saya: *Manggut-manggut sambil bersiap pergi ke Hypermart*

Kemudian adegan yang tak jauh beda terulang kembali. Nyokap datang ke rumah saya, lalu mendapati barang-barang rekomendasinya telah siap menyambutnya. Dan adegannya selalu tak jauh dari ini:

Nyokap: *Memuji barang-barang dari Hypermart*

Saya: *Merasa telah berbakti pada orangtua, dan diam-diam berharap semoga dapat pacar yang bekerja di Hypermart*

Nah, entah mengapa dan entah apa yang menggerakkan semuanya ini, kejadian semacam di atas terjadi berulang-ulang kali. Sampai perlahan namun pasti, koleksi barang di rumah saya sudah bisa dibilang lengkap sebagaimana umumnya rumah orang lain yang telah berumahtangga—dari sendok dan garpu, sampai hiasan di ruang tamu. Tak perlu dikatakan lagi, nyokap selalu sumringah setiap kali ke rumah saya, karena “benda-benda kesayangannya dari Hypermart” selalu siap menyambutnya.

Ketika semua barang kebutuhan rumahtangga di rumah saya sepertinya sudah lengkap, saya pikir nyokap akan berhenti membuka katalog Hypermart bila saya datang lagi ke rumahnya. Tetapi ternyata saya keliru. Minggu lalu, saya datang ke rumahnya, dan nyokap segera saja membuka katalog itu, dan berkata, “Da’, coba lihat antena UHF ini…”

Mampus, pikir saya. Masak saya harus mengoleksi antena UHF hanya gara-gara Hypermart menyediakan barang itu? Sebagai swalayan, Hypermart memang lengkap—mereka menyediakan apa pun yang dibutuhkan para wanita dan ibu-ibu rumahtangga yang memang hobi belanja. Tetapi mengapa harus menyediakan antena UHF segala…???

Semoga saja Hypermart tidak berpikir untuk menyediakan kain kafan dan batu nisan!

Saya tidak bisa membayangkan apa yang harus saya katakan kalau nyokap membuka katalog Hypermart, dan kemudian berujar dengan antusias, “Da’, coba lihat kain kafan yang funky ini. Kamu tahu, orang lain cuma pakai yang warna putih. Tapi ini, oh, indah sekali, kan? Ada yang pink, hijau toska, biru laut… Apa kamu nggak kepikiran untuk pakai yang hijau toska…?”

 
;