Posting ini lanjutan posting sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Agar kita tidak buta dan asal tuduh, sekarang kita bahas terlebih dulu perbedaan yang amat penting ini—tahu, dan sok tahu. Dan agar saya juga tidak dianggap “sok tahu”, maka penjelasan berikut ini dapat dicek dan diricek atau dikonfirmasikan ke dosen bahasa atau pakar penulisan di mana pun di dunia ini. *Menulis ini sambil pasang muka sotoy*
Ehm, “tahu”—adalah kemampuan memaparkan sesuatu, berdasarkan pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang dengan data serta fakta yang bisa diverifikasi validitasnya.
Sedangkan “sok tahu”—adalah kemampuan memaparkan sesuatu yang tidak ditunjang pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang dengan data serta fakta yang tidak bisa diverifikasi validitasnya.
Cukup jelas…?
Jadi, kalau ada anak SD yang bisa menjelaskan kenapa gelas bisa pecah jika dibanting ke tanah, dan dia dapat menjelaskan fenomena itu dengan data/fakta yang bisa diverifikasi validitasnya, maka dia “tahu”.
Begitu pun, jika ada sarjana yang bisa menjelaskan kenapa gelas bisa pecah jika dibanting ke tanah, tetapi dia tidak dapat menjelaskan fenomena itu dengan data/fakta yang bisa diverifikasi validitasnya, maka dia “sok tahu”.
Sekarang sudah jelas. Bahwa antara “tahu” dan “sok tahu” sama sekali tidak terkait dengan tingkat pendidikan atau gelar akademis. Ini adalah soal keuletan seseorang dalam mencari validitas teorinya, untuk tujuan menunjang pemaparan atau penjelasan teoritiknya.
Dan, omong-omong, agar penjelasan ini juga tidak membosankan, sekarang saya akan memperkaya pemaparan ini dengan fakta-fakta.
Sohib saya, Ferry Angriawan, biasa menulis artikel untuk majalah Voila!. Dua tahun lalu, dia menulis sebuah artikel yang dilengkapi dengan fakta tentang Richie Sambora (gitaris Bon Jovi), yang telah berhubungan seks dengan 99 cewek. Pemaparan tentang hal itu bukan hanya mengejutkan, tetapi juga dapat menyebabkan Ferry dicap “sok tahu” oleh para pembaca yang skeptis, karena bisa saja mereka bertanya-tanya, “Dari mana bocah ini bisa tahu kalau jumlahnya setepat itu?”
Beberapa bulan setelah edisi itu terbit, saya ketemu Ferry, dan kami pun mengobrolkan artikel yang ditulisnya itu. Karena sebelumnya saya belum pernah membaca tentang Richie Sambora sebagaimana yang ditulis Ferry, saya pun bertanya kepadanya, “Dari mana kamu dapet fakta itu, Fer?”
“Penthouse!” jawab Ferry.
Fakta bahwa Richie Sambora berhubungan seks dengan sembilan puluh sembilan cewek itu, terdapat dalam majalah Penthouse (edisi Amerika), dan hal itu keluar dari mulut Richie Sambora sendiri. Pada edisi ’96 itu, wartawan Penthouse mewawancarai Richie Sambora, “Apa obsesi Anda jika telah menjadi orang terkenal?”
Richie Sambora, sambil tertawa, menjawab, “Saya ingin berhubungan seks dengan sembilan puluh sembilan cewek!” Dan kemudian dia menceritakan bahwa obsesinya telah tercapai.
Ferry merujuk pada wawancara tersebut, sehingga jika pemaparan Ferry di atas ditelusuri dan diverifikasi, maka kita akan menemukan bahwa fakta itu memang valid. Artinya, Ferry tidak “sok tahu”—dia benar-benar tahu—karena dia berpijak pada validitas teks.
Lanjut ke sini.
***
Agar kita tidak buta dan asal tuduh, sekarang kita bahas terlebih dulu perbedaan yang amat penting ini—tahu, dan sok tahu. Dan agar saya juga tidak dianggap “sok tahu”, maka penjelasan berikut ini dapat dicek dan diricek atau dikonfirmasikan ke dosen bahasa atau pakar penulisan di mana pun di dunia ini. *Menulis ini sambil pasang muka sotoy*
Ehm, “tahu”—adalah kemampuan memaparkan sesuatu, berdasarkan pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang dengan data serta fakta yang bisa diverifikasi validitasnya.
Sedangkan “sok tahu”—adalah kemampuan memaparkan sesuatu yang tidak ditunjang pengetahuan empiris, dan/atau ditunjang dengan data serta fakta yang tidak bisa diverifikasi validitasnya.
Cukup jelas…?
Jadi, kalau ada anak SD yang bisa menjelaskan kenapa gelas bisa pecah jika dibanting ke tanah, dan dia dapat menjelaskan fenomena itu dengan data/fakta yang bisa diverifikasi validitasnya, maka dia “tahu”.
Begitu pun, jika ada sarjana yang bisa menjelaskan kenapa gelas bisa pecah jika dibanting ke tanah, tetapi dia tidak dapat menjelaskan fenomena itu dengan data/fakta yang bisa diverifikasi validitasnya, maka dia “sok tahu”.
Sekarang sudah jelas. Bahwa antara “tahu” dan “sok tahu” sama sekali tidak terkait dengan tingkat pendidikan atau gelar akademis. Ini adalah soal keuletan seseorang dalam mencari validitas teorinya, untuk tujuan menunjang pemaparan atau penjelasan teoritiknya.
Dan, omong-omong, agar penjelasan ini juga tidak membosankan, sekarang saya akan memperkaya pemaparan ini dengan fakta-fakta.
Sohib saya, Ferry Angriawan, biasa menulis artikel untuk majalah Voila!. Dua tahun lalu, dia menulis sebuah artikel yang dilengkapi dengan fakta tentang Richie Sambora (gitaris Bon Jovi), yang telah berhubungan seks dengan 99 cewek. Pemaparan tentang hal itu bukan hanya mengejutkan, tetapi juga dapat menyebabkan Ferry dicap “sok tahu” oleh para pembaca yang skeptis, karena bisa saja mereka bertanya-tanya, “Dari mana bocah ini bisa tahu kalau jumlahnya setepat itu?”
Beberapa bulan setelah edisi itu terbit, saya ketemu Ferry, dan kami pun mengobrolkan artikel yang ditulisnya itu. Karena sebelumnya saya belum pernah membaca tentang Richie Sambora sebagaimana yang ditulis Ferry, saya pun bertanya kepadanya, “Dari mana kamu dapet fakta itu, Fer?”
“Penthouse!” jawab Ferry.
Fakta bahwa Richie Sambora berhubungan seks dengan sembilan puluh sembilan cewek itu, terdapat dalam majalah Penthouse (edisi Amerika), dan hal itu keluar dari mulut Richie Sambora sendiri. Pada edisi ’96 itu, wartawan Penthouse mewawancarai Richie Sambora, “Apa obsesi Anda jika telah menjadi orang terkenal?”
Richie Sambora, sambil tertawa, menjawab, “Saya ingin berhubungan seks dengan sembilan puluh sembilan cewek!” Dan kemudian dia menceritakan bahwa obsesinya telah tercapai.
Ferry merujuk pada wawancara tersebut, sehingga jika pemaparan Ferry di atas ditelusuri dan diverifikasi, maka kita akan menemukan bahwa fakta itu memang valid. Artinya, Ferry tidak “sok tahu”—dia benar-benar tahu—karena dia berpijak pada validitas teks.
Lanjut ke sini.