Sabtu, 08 Januari 2011

Membenci, Tapi Objektif (5)



Membenci, tapi tetap objektif—Ibnu Sirin telah mampu melakukan hal itu. Matanya tidak dibutakan oleh permusuhan dan kebencian, sehingga dia tetap dapat melihat kelebihan dan keistimewaan orang yang jelas-jelas memusuhi dan membencinya. Begitu pun Hasan Al-Bashri sendiri. Meski dia amat membenci Ibnu Sirin, tetapi dia tetap objektif dan tetap mengakui kelebihan Ibnu Sirin, sehingga rela mendatanginya meski waktu itu mereka bermusuhan.

Membenci, tapi tetap objektif. Ini sama sulitnya dengan mencintai tapi tetap objektif. Dan karena kesulitan itu pulalah yang sering kali menjadikan penilaian kita menjadi konyol dan tak masuk akal—gara-gara penilaian itu dilandasi oleh kebencian atau karena rasa cinta.

Subjektivitas menciptakan penilaian yang berlebih-lebihan, tidak berdasar, sekaligus kadang tidak masuk akal. Tetapi, susahnya, subjektivitas adalah tabiat manusia! Ketika kita dilanda kebencian pada sesuatu atau seseorang, tiba-tiba seluruh kebaikan orang itu lenyap digantikan semua kesalahan dan keburukan yang daftarnya bisa sepanjang rel kereta api—atau bahkan lebih panjang lagi.

Begitu pun ketika jatuh cinta pada sesuatu atau seseorang. Ketika kita mencintai seseorang, bagi kita orang itu adalah malaikat atau bidadari—tanpa kesalahan, tanpa keburukan, tanpa cacat dan cela, atau bahkan mungkin tanpa kemungkinan khilaf dan keliru. Baik merasa benci atau merasa cinta, kita sering cenderung menjadi konyol, tidak masuk akal, bahkan kadang pula tidak manusiawi.

Salah satu kisah kekonyolan yang paling memalukan yang diakibatkan oleh karena rasa cinta, adalah kisah yang terjadi di Amerika bertahun-tahun yang lalu, ketika negeri Paman Sam ini dipimpin oleh Presiden Warren Harding.

Ini adalah kisah tentang skandal yang pernah mengguncang Amerika, suatu skandal yang dikenal sebagai ‘Skandal Teapot Dome Oil’. Meski kisahnya tidak sedahsyat skandal Watergate yang melibatkan presiden Nixon, tetapi skandal Teapot Dome Oil ini sama memalukannya dan sama mencoreng wajah Amerika, sebagaimana skandal Watergate. Skandal ini pula yang menyebabkan seluruh suratkabar di Amerika “mengamuk” dan mencaci-maki pemerintah selama bertahun-tahun.

Skandal ini dimulai oleh Albert Fall, yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Harding. Ceritanya, Albert Fall diberi kepercayaan untuk mengurus persediaan minyak negara yang ada di Elk Hill dan Teapot Dome. Minyak ini ditujukan untuk dipakai oleh Angkatan Laut di masa yang akan datang. Tugas Albert Fall adalah melakukan tender untuk menentukan perusahaan mana yang nantinya akan mengolah dan mengurus minyak itu.

Tetapi rupanya Albert Fall tergoda, sebagaimana umumnya para pejabat lainnya di negara mana pun. Dia melihat “peluang” untuk melakukan korupsi dari proyek ini—dan dia melakukannya. Yang dilakukan Albert Fall kemudian bukanlah melakukan tender sebagaimana yang diisyaratkan dalam tugasnya, tetapi memberikan kontrak proyek itu secara langsung kepada sahabatnya, Edward L. Doheny.

Nah, sebagai “ucapan terima kasih” karena diberi proyek negara yang sangat menguntungkan, maka Edward Doheny memberikan sejumlah uang yang disebutnya “pinjaman” kepada Albert Fall. Setelah itu, Albert Fall memerintahkan pasukan Angkatan Laut Amerika untuk mengusir perusahaan pesaing yang sumber minyaknya berdekatan dengan sumber minyak Elk Hill—dengan tujuan agar perusahaan Edward Doheny bisa mengeruk sumber minyak di sana sebanyak-banyaknya.

Ketika pasukan Angkatan Laut melaksanakan perintah itu, mereka mengancam dan mengusir para pekerja di sana dengan todongan senjata dan bayonet. Karena merasa terancam dan diperlakukan sewenang-wenang, perusahaan-perusahaan pesaing yang terusir secara tidak sah itu pun membawa kasus tersebut ke pengadilan. Dan terbongkarlah kasus yang amat memalukan itu.

Dari sidang di pengadilan itulah kemudian sebuah skandal besar pun mulai bergulir, dan masyarakat Amerika geram menyaksikan tindak korupsi yang amat busuk, yang telah dilakukan pejabat negaranya. Kebusukan itu menjalar tanpa ampun, hingga meruntuhkan administrasi kabinet Harding, sementara Partai Demokrat terancam hancur. Ending-nya, Albert Fall meringkuk di penjara.

Tetapi masalah itu tidak selesai sampai di situ. Meski pihak-pihak yang bersalah telah dihukum, tetapi media massa tidak berhenti “mengamuk” karena masyarakat pun tidak berhenti mengutuk pemerintah mereka. Korupsi yang telah dilakukan Albert Fall dan teman-temannya telah begitu menyakiti nurani rakyat Amerika, dan mereka pun tak berhenti mengutuknya, meski Albert Fall telah berada di dalam penjara.

Albert Fall memang kemudian tetap berada di penjara, sampai saat kematiannya. Sementara Presiden Harding juga meninggal beberapa tahun setelah hebohnya kasus itu, dalam usia 57 tahun. Banyak pihak yang menyatakan bahwa kematian Warren Harding disebabkan karena tekanan batin.

Nah, bertahun-tahun kemudian, ketika Herbert Hoover telah menjadi presiden Amerika, dia berbicara di hadapan publik dalam salah satu acara politik. Acara itu dihadiri banyak pejabat Amerika, termasuk Nyonya Fall, istri mendiang Albert Fall. Di dalam acara itu, Herbert Hoover menyatakan, bahwa salah satu penyebab kematian Presiden Harding adalah karena tekanan batin, akibat dikhianati oleh kawannya sendiri (Albert Fall).

Mendengar itu, seketika Nyonya Fall bangkit dari kursinya, dan berteriak dengan marah tanpa menghiraukan para undangan yang ada di sana.

“Apa…?!” jeritnya sambil mengacungkan kepalan tangannya. “Harding dikhianati Fall?! Tidak bisa! Suamiku tidak pernah berkhianat pada siapa pun! Walaupun suamiku disuap dan diberi emas serumah pun, dia tidak akan tergoda untuk melakukan hal yang salah! Suamiku yang telah dikhianati dan dijadikan korban!”

Coba lihat, Albert Fall sudah jelas-jelas salah, dan seluruh rakyat Amerika pun tahu. Tetapi, istrinya tidak mau menerima kesalahan itu, karena dia menilai suaminya dengan perasaan cinta—dan cinta tak pernah bisa melihat secara objektif—hingga kesalahan sebesar gajah pun tidak tampak, meski tepat berada di depan pelupuk matanya!

Begitulah manusia—begitulah tabiat manusia.

Rasa benci ataupun rasa cinta, tanpa kita sadari, sering menjadikan kita konyol dan tak masuk akal. Cinta kepada anak, kepada pasangan, atau kepada tokoh pujaan, sering menjadikan kita tak bisa lagi menilai secara objektif. Dan, objektivitas, mungkin memang pelajaran yang tak pernah selesai kita pelajari.


 
;