Minggu, 23 Januari 2011

Nasihat Rumput (2)



“Oh, Rumput, tadi saat aku mendatangimu, aku memang percaya bahwa kau sosok guru sejati. Tetapi… well, sejujurnya aku tidak pernah membayangkan akan mendengar hal seperti ini…”

“Jangan meledekku, Sobat. Aku tahu kau tidak membutuhkan solusi yang dogmatis, atau petuah-petuah bijak membosankan, atau nasihat-nasihat yang terdengar luhur tapi memuakkan. Aku tahu manusia tidak menginginkan itu, benar?”

“Yeah… kau benar. Sepertinya, kau lebih manusiawi dibanding manusia…”

“Hahahaha…! Aku Rumput, ingat? Aku berada di bawah, di sini, diinjak orang yang biasa berlalu lalang, dan aku mendengar mereka bercakap-cakap sambil melangkah, atau kadang mereka duduk di atasku. Aku mendengar segalanya, kau tahu. Bukan maksudku menyombongkan diri, tapi aku menyadap pengetahuan mereka—manusia-manusia yang biasa menginjakku—dan aku mendengar rahasia-rahasia mereka. Mereka tidak khawatir percakapan atau rahasia mereka terdengar olehku, karena—seperti yang kaukatakan tadi—aku biasa berada di bawah, tak dihiraukan, tak pernah dipandang, tak pernah terlihat, dan diam dalam keabadian. Jadi mereka bisa santai berbicara tentang apa pun, serahasia dan sekelam apa pun… dan aku mendengarkan semuanya, aku menyadap serta menyimpan semuanya. Dari merekalah aku tahu Ushul Fiqh, sesuatu yang tadi membuatmu heran, dari mereka pula aku tahu Butterfly Effect, Fisika Kuantum, Ketidakpastian Heisenberg, Big Bang, Black Hole, Chaos Theory, Filsafat Perennial, Multi Orgasme, Taoism, Tantra… anything.”

“Well… dan semuanya itu kaudapatkan karena kau Rumput.”

“Karena aku Rumput, benar! Karena aku diam dalam keabadian, dan hanya menggunakan pendengaranku—suatu berkat yang tak dimiliki manusia! Dan makhluk-makhluk sepertiku tak pernah mati, Sobat, kami hidup dalam keabadian. Believe me? Pangkaslah rumput di halaman rumahmu, dan kami akan tumbuh kembali—sesegar sebelum kami mati. Kau tidak pernah menanamnya, kau tidak mengharapkannya, tapi kami tumbuh… dan hidup. Dan kehidupan kami tidak pernah menjadi hal penting bagi manusia, selain hanya dianggap pengganggu. Kalau pun manusia membiarkan kami tumbuh, mereka tak pernah peduli, benar? Kami berada di bawah kaki-kaki mereka, dan kami tak pernah bersuara. Bagi kebanyakan manusia, kami tidak penting, meski sesungguhnya rumput-rumput sepertiku mengetahui semua rahasia mereka…”

“Jadi, uh, apa sebenarnya tujuan eksistensi para Rumput?”

“Jawabannya telah kauketahui, Sobatku yang baik. Ketika kau datang kepadaku tadi, apa yang kaukatakan kepadaku sebagai alasanmu mendatangiku?”

“Karena kau guru sejati.”

“Kau telah mengetahui jawabannya—dan itulah tujuan eksistensi kami, para Rumput. Keberadaan kami hanya untuk mengingatkan manusia bahwa ada makhluk seperti kami. Tak terlihat, terinjak, tak pernah ditatap dan dipandang, diam dalam keabadian, kadang dianggap pengganggu, perusak keindahan lingkungan… tapi kami ada. Dan selalu ada alasan untuk setiap keberadaan, benar?”

“Selalu ada alasan untuk setiap keberadaan…”

“Aku yakin kau mempercayai hal itu.”

“Tentu saja.”

“Jadi, ada alasan untuk keberadaan masalah yang sekarang kauhadapi, benar?”

“Oh, Rumput, kau… kau bijaksana sekali!”

“Nah, nah, kau mulai meledekku lagi. Ayolah, sepertinya angin mulai datang, dan aku perlu bergoyang. Kau mau mengizinkanku sejenak bergoyang?”

Dan rumput itu pun kini bergoyang, bersama hembusan angin selembut senyuman, tetap diam dalam keabadian. Well… Rupanya Ebiet memang benar, “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.”


 
;