Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.
Jadi begitulah. Pada salah satu pertandingan Piala Dunia kemarin, Very dan saya pergi ke kafe langganan Very, dan kami mengambil tempat duduk yang nyaman di hadapan sebuah layar raksasa yang akan menampilkan pertandingan sepakbola kelas dunia. Ratusan orang berkumpul di sana, sama-sama ingin menikmati acara itu, dan saya pun berusaha menyiapkan diri sebaik-baiknya.
Lalu pertandingan yang hebat itu pun dimulai. Layar raksasa di hadapan kami menampilkan pertandingan yang berisi dua puluh dua orang (dua kesebelasan) yang berlarian kesana-kemari mengejar dan menendang bola di lapangan. Ratusan orang di kafe itu berteriak, bersorak, saling mengejek dan saling tertawa dengan gembira, begitu pula Very. Dan saya…?
Saya kebingungan.
Di tengah-tengah ratusan orang yang ‘mabuk bola’ saat itu, saya berharap bisa ketularan keasyikan dan gairah mereka, tetapi saya malah kebingungan, dan tidak mengerti, di mana letak keasyikan permainan yang tengah kami tonton ini. Yang ada, saya malah duduk menyandar, dan bengong melihat orang-orang di sana yang terlihat sangat bersemangat. Saya merasa seperti makhluk asing di tengah pesta pora yang tidak saya pahami.
Sepulang dari acara nonton bola di kafe itu, saya ngobrol-ngobrol dengan Very di teras rumahnya.
“Gimana?” ujar Very. “Sudah bisa melihat keasyikan sepakbola?”
“Uh, belum, Ver,” jawab saya lugu.
Dan Very kemudian berujar seperti psikiater yang sedang menganalisa pasiennya, “Sepertinya kasusmu benar-benar parah, Sob.”
Maka Very pun kemudian berusaha menolong saya, sebagaimana psikiater yang baik mencoba menolong pasien. Dengan sabar dia berkata, “Sebelum kita membicarakan hal-hal yang mungkin akan membuatmu tertarik pada sepakbola, sekarang coba katakan di mana letak hal-hal yang membuatmu tidak tertarik pada sepakbola.”
Analisis yang cerdik, pikir saya. Maka saya pun menjawab dengan jujur, “Yang paling membuatku bingung, Ver, adalah karena sepakbola sepertinya tidak masuk akal. Ada dua puluh dua orang bertarung di lapangan, dan mereka rela bertarung sampai berdarah-darah, setidaknya patah tulang, demi untuk mengejar sebuah bola. Menurutku ini tidak masuk akal. Apa hebatnya sebuah bola? Jika mereka bertarung dan bertanding mengejar-ngejar Britney Spears, mungkin aku bisa memaklumi. Tapi bola…?”
Very cekikikan.
Dan saya melanjutkan, “Setiap kali menonton pertandingan bola, aku selalu berpikir, kenapa panitia pertandingan itu tidak menyediakan bola yang banyak saja? Maksudku, daripada dua puluh orang itu saling berebut satu bola yang ada di lapangan, kan lebih bagus kalau masing-masing orang itu diberi satu bola—biar tidak rebutan. Jadi, aku tidak bisa tertarik pada sepakbola, karena permainan ini menurutku tidak masuk akal.”
Setelah terdiam beberapa saat, Very kemudian menjawab, “Sebenarnya, sepakbola itu miniatur tentang filsafat hidup, Sob.”
“Filsafat hidup…?” Saya benar-benar tidak paham, di mana letak korelasi antara sepakbola dengan filsafat hidup.
“Ya, karena begitulah hakikat permainan,” lanjut Very. “Sebuah permainan dimainkan bukan karena ia masuk akal atau tidak masuk akal. Bukan karena ia bisa dipahami atau tidak bisa dipahami. Permainan dimainkan, dan dinikmati, karena ia sebuah permainan.”
Saya masih mendengarkan.
“Seperti yang tadi kamu bilang,” ujar Very, “akan lebih bagus kalau masing-masing orang di lapangan itu diberi satu bola untuk satu orang—biar mereka tidak saling berebut. Tetapi jika seperti itu yang terjadi, maka permainan sepakbola tidak akan pernah ada. Dan kalau pun panitia pertandingan itu memberikan satu bola untuk masing-masing pemain, mereka tidak akan mau, karena yang dibutuhkan pemain sepakbola bukan bolanya semata-mata, tetapi spirit permainannya.”
Very menyesap minumnya, kemudian berkata, “Omong-omong, kamu tahu kenapa orang-orang memuja David Beckham?”
“Karena dia ganteng.”
“Huahahahahahaaaa…!” Very ketawa ngakak menyaksikan kebodohan saya.
“Tidak,” lanjut Very, “Orang-orang memuja David Beckham karena dia memiliki tendangan yang hebat di lapangan bola. Begitu pula alasan pemujaan pada kesebelasan Brazil—misalnya—mereka dipuja bukan karena sering menang semata-mata, tetapi karena mereka memiliki permainan yang cantik ketika bertanding di lapangan bola. Orang-orang semacamnya, sejak Pele sampai Ronaldo—juga dipuja bukan karena bolanya, tetapi karena cara mereka bermain.”
Penjelasan itu sekarang mulai terdengar masuk akal di otak saya.
“Jadi, sekarang kamu lihat?” ujar Very. “Yang menjadi inti dari permainan sepakbola bukan pada bolanya semata-mata, tetapi cara bermainnya. Bola yang diperebutkan di lapangan itu hanya sarana. Karena yang paling dibutuhkan oleh pemain maupun penontonnya adalah permainan yang disuguhkan di lapangan. Pemain ataupun penonton sepakbola tidak peduli semahal atau semurah apa bola yang dikejar-kejar itu, karena yang paling penting bukan bolanya—tapi permainannya, dan cara bermainnya!”
Penjelasan ini makin masuk akal, pikir saya. “Tapi, Ver, hanya gara-gara bola yang kecil itu, harus ada pihak yang dikalahkan…”
“Dan bukankah itu memang hakikat semua permainan?” sanggah Very. “Siapa pun yang masuk ke lapangan dan ikut bermain, harus menyadari bahwa di dalam permainan itu akan ada yang menang dan ada yang kalah. Tanpa ada hal itu, permainan tidak akan berlangsung. Seperti yang tadi kamu bilang, beri saja masing-masing orang itu satu bola biar tidak rebutan. Tetapi kapan mereka akan bermain jika masing-masingnya asyik dan sibuk dengan bolanya sendiri?”
Saya terdiam. Very melanjutkan ucapannya, “Begitu pula permainan hidup ini, kan? Kita menghadapi hidup yang sama, tetapi sesungguhnya yang paling penting bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana cara kita bermain di dalamnya, bagaimana cara kita menghadapi hidup yang kita jalani. Kalah dan menang adalah hal biasa dalam hidup—tetapi bukan itu yang terpenting—karena definisi kalah dan menang pun kadang tidak penting.”
Dan, akhirnya, sejak mendengar penjelasan itu, saya pun seperti mulai dituntun untuk melihat di mana letak keindahan permainan sepakbola. Memang, sampai hari ini saya belum bisa seratus persen memahami kehebatan sepakbola, tetapi setidaknya saya mulai memiliki gairah yang cukup besar untuk mulai belajar dan tertarik pada sepakbola.
Di hari-hari ini, setiap kali ada pertandingan besar menyangkut sepakbola, saya berusaha meluangkan waktu untuk menontonnya. Dan untuk menumbuhkan minat serta ketertarikan, saya pun berkata pada diri sendiri, bahwa menonton pertandingan sepakbola adalah sama dengan belajar tentang filsafat hidup—tentang hakikat sebuah permainan—yang kadang-kadang memang tidak masuk akal, tetapi tetap harus dimainkan.
***
Jadi begitulah. Pada salah satu pertandingan Piala Dunia kemarin, Very dan saya pergi ke kafe langganan Very, dan kami mengambil tempat duduk yang nyaman di hadapan sebuah layar raksasa yang akan menampilkan pertandingan sepakbola kelas dunia. Ratusan orang berkumpul di sana, sama-sama ingin menikmati acara itu, dan saya pun berusaha menyiapkan diri sebaik-baiknya.
Lalu pertandingan yang hebat itu pun dimulai. Layar raksasa di hadapan kami menampilkan pertandingan yang berisi dua puluh dua orang (dua kesebelasan) yang berlarian kesana-kemari mengejar dan menendang bola di lapangan. Ratusan orang di kafe itu berteriak, bersorak, saling mengejek dan saling tertawa dengan gembira, begitu pula Very. Dan saya…?
Saya kebingungan.
Di tengah-tengah ratusan orang yang ‘mabuk bola’ saat itu, saya berharap bisa ketularan keasyikan dan gairah mereka, tetapi saya malah kebingungan, dan tidak mengerti, di mana letak keasyikan permainan yang tengah kami tonton ini. Yang ada, saya malah duduk menyandar, dan bengong melihat orang-orang di sana yang terlihat sangat bersemangat. Saya merasa seperti makhluk asing di tengah pesta pora yang tidak saya pahami.
Sepulang dari acara nonton bola di kafe itu, saya ngobrol-ngobrol dengan Very di teras rumahnya.
“Gimana?” ujar Very. “Sudah bisa melihat keasyikan sepakbola?”
“Uh, belum, Ver,” jawab saya lugu.
Dan Very kemudian berujar seperti psikiater yang sedang menganalisa pasiennya, “Sepertinya kasusmu benar-benar parah, Sob.”
Maka Very pun kemudian berusaha menolong saya, sebagaimana psikiater yang baik mencoba menolong pasien. Dengan sabar dia berkata, “Sebelum kita membicarakan hal-hal yang mungkin akan membuatmu tertarik pada sepakbola, sekarang coba katakan di mana letak hal-hal yang membuatmu tidak tertarik pada sepakbola.”
Analisis yang cerdik, pikir saya. Maka saya pun menjawab dengan jujur, “Yang paling membuatku bingung, Ver, adalah karena sepakbola sepertinya tidak masuk akal. Ada dua puluh dua orang bertarung di lapangan, dan mereka rela bertarung sampai berdarah-darah, setidaknya patah tulang, demi untuk mengejar sebuah bola. Menurutku ini tidak masuk akal. Apa hebatnya sebuah bola? Jika mereka bertarung dan bertanding mengejar-ngejar Britney Spears, mungkin aku bisa memaklumi. Tapi bola…?”
Very cekikikan.
Dan saya melanjutkan, “Setiap kali menonton pertandingan bola, aku selalu berpikir, kenapa panitia pertandingan itu tidak menyediakan bola yang banyak saja? Maksudku, daripada dua puluh orang itu saling berebut satu bola yang ada di lapangan, kan lebih bagus kalau masing-masing orang itu diberi satu bola—biar tidak rebutan. Jadi, aku tidak bisa tertarik pada sepakbola, karena permainan ini menurutku tidak masuk akal.”
Setelah terdiam beberapa saat, Very kemudian menjawab, “Sebenarnya, sepakbola itu miniatur tentang filsafat hidup, Sob.”
“Filsafat hidup…?” Saya benar-benar tidak paham, di mana letak korelasi antara sepakbola dengan filsafat hidup.
“Ya, karena begitulah hakikat permainan,” lanjut Very. “Sebuah permainan dimainkan bukan karena ia masuk akal atau tidak masuk akal. Bukan karena ia bisa dipahami atau tidak bisa dipahami. Permainan dimainkan, dan dinikmati, karena ia sebuah permainan.”
Saya masih mendengarkan.
“Seperti yang tadi kamu bilang,” ujar Very, “akan lebih bagus kalau masing-masing orang di lapangan itu diberi satu bola untuk satu orang—biar mereka tidak saling berebut. Tetapi jika seperti itu yang terjadi, maka permainan sepakbola tidak akan pernah ada. Dan kalau pun panitia pertandingan itu memberikan satu bola untuk masing-masing pemain, mereka tidak akan mau, karena yang dibutuhkan pemain sepakbola bukan bolanya semata-mata, tetapi spirit permainannya.”
Very menyesap minumnya, kemudian berkata, “Omong-omong, kamu tahu kenapa orang-orang memuja David Beckham?”
“Karena dia ganteng.”
“Huahahahahahaaaa…!” Very ketawa ngakak menyaksikan kebodohan saya.
“Tidak,” lanjut Very, “Orang-orang memuja David Beckham karena dia memiliki tendangan yang hebat di lapangan bola. Begitu pula alasan pemujaan pada kesebelasan Brazil—misalnya—mereka dipuja bukan karena sering menang semata-mata, tetapi karena mereka memiliki permainan yang cantik ketika bertanding di lapangan bola. Orang-orang semacamnya, sejak Pele sampai Ronaldo—juga dipuja bukan karena bolanya, tetapi karena cara mereka bermain.”
Penjelasan itu sekarang mulai terdengar masuk akal di otak saya.
“Jadi, sekarang kamu lihat?” ujar Very. “Yang menjadi inti dari permainan sepakbola bukan pada bolanya semata-mata, tetapi cara bermainnya. Bola yang diperebutkan di lapangan itu hanya sarana. Karena yang paling dibutuhkan oleh pemain maupun penontonnya adalah permainan yang disuguhkan di lapangan. Pemain ataupun penonton sepakbola tidak peduli semahal atau semurah apa bola yang dikejar-kejar itu, karena yang paling penting bukan bolanya—tapi permainannya, dan cara bermainnya!”
Penjelasan ini makin masuk akal, pikir saya. “Tapi, Ver, hanya gara-gara bola yang kecil itu, harus ada pihak yang dikalahkan…”
“Dan bukankah itu memang hakikat semua permainan?” sanggah Very. “Siapa pun yang masuk ke lapangan dan ikut bermain, harus menyadari bahwa di dalam permainan itu akan ada yang menang dan ada yang kalah. Tanpa ada hal itu, permainan tidak akan berlangsung. Seperti yang tadi kamu bilang, beri saja masing-masing orang itu satu bola biar tidak rebutan. Tetapi kapan mereka akan bermain jika masing-masingnya asyik dan sibuk dengan bolanya sendiri?”
Saya terdiam. Very melanjutkan ucapannya, “Begitu pula permainan hidup ini, kan? Kita menghadapi hidup yang sama, tetapi sesungguhnya yang paling penting bukanlah hidup itu sendiri, melainkan bagaimana cara kita bermain di dalamnya, bagaimana cara kita menghadapi hidup yang kita jalani. Kalah dan menang adalah hal biasa dalam hidup—tetapi bukan itu yang terpenting—karena definisi kalah dan menang pun kadang tidak penting.”
Dan, akhirnya, sejak mendengar penjelasan itu, saya pun seperti mulai dituntun untuk melihat di mana letak keindahan permainan sepakbola. Memang, sampai hari ini saya belum bisa seratus persen memahami kehebatan sepakbola, tetapi setidaknya saya mulai memiliki gairah yang cukup besar untuk mulai belajar dan tertarik pada sepakbola.
Di hari-hari ini, setiap kali ada pertandingan besar menyangkut sepakbola, saya berusaha meluangkan waktu untuk menontonnya. Dan untuk menumbuhkan minat serta ketertarikan, saya pun berkata pada diri sendiri, bahwa menonton pertandingan sepakbola adalah sama dengan belajar tentang filsafat hidup—tentang hakikat sebuah permainan—yang kadang-kadang memang tidak masuk akal, tetapi tetap harus dimainkan.