Bahkan di masa modern sekarang, pengakuan atas kehebatan Ibnu Sirin tetap tidak padam. Profesor Mahmoud Ayoub, guru besar di Temple University, juga mengapresiasi karya-karya Ibnu Sirin, dan dia menyebut Ibnu Sirin sebagai “seorang salih yang amat termahsyur dan terhormat, seorang ulama dan sufi, yang kebenaran tafsir mimpinya bersifat universal… yang ditujukan kepada semua orang yang serius memandang mimpi sebagai aspek penting kehidupan, keimanan, dan keadaan psikologi mereka.”
Jadi sekarang kita dapat melihat, betapa orang ini memiliki reputasi yang luar biasa dalam keahliannya.
Nah, yang jadi persoalan—dan yang akan kita bahas sesuai topik post ini—Ibnu Sirin “bermusuhan” dengan Hasan Al-Bashri.
Siapakah Hasan Al-Bashri? Dia juga seorang ulama besar seperti Ibnu Sirin, hanya saja lebih dikenal sebagai sosok intelektual dalam bidang kesufian. Dalam bidang tasawuf, Hasan Al-Bashri adalah pakar yang sulit dicari tandingannya, dan orang-orang pun akan datang kepadanya jika butuh bertanya hal-hal menyangkut dunia kesufian. Jika nama Ibnu Sirin diidentikkan dengan keahlian tafsir mimpi, maka nama Hasan Al-Bashri diidentikkan dengan ilmu tasawuf.
Seperti yang telah disinggung di atas, Ibnu Sirin “bermusuhan” dengan Hasan Al-Bashri. Dan “permusuhan” itu telah dikenal luas di kalangan masyarakat Bashrah pada waktu kedua ulama itu masih hidup. Orang-orang tahu, bahwa baik Ibnu Sirin maupun Hasan Al-Bashri saling membenci. Meski keduanya sama-sama ulama dan pakar dalam bidangnya masing-masing, kedua orang itu tak pernah sudi bertemu, seperti minyak dan air.
Sebegitu bencinya Hasan Al-Bashri kepada Ibnu Sirin, sampai-sampai dia akan marah setiap kali ada orang yang menyebut nama Ibnu Sirin di depannya. Hasan Al-Bashri selalu menyebut Ibnu Sirin sebagai “orang yang berjalan sombong”. Karenanya, setiap kali ada orang yang menyebut nama Ibnu Sirin di dekatnya, Hasan Al-Bashri akan berteriak, “Jangan pernah menyebut nama orang yang berjalan sombong itu di depanku!”
Karena sebutan “orang yang berjalan sombong” itu sangat terkenal, Ibnu Sirin pun akhirnya tahu bahwa sebutan yang merupakan ejekan itu memang ditujukan kepadanya. Tentu saja itu tuduhan yang tidak objektif, karena faktanya Ibnu Sirin bukan orang yang sombong. Khayruddin Az-Zerekli, dalam kamus biografinya, menyebut dan menggambarkan Ibnu Sirin sebagai “orang salih yang bertakwa, tuan rumah yang pemurah, dan sahabat yang bisa dipercaya.”
Tetapi karena mata Hasan Al-Bashri ditutup oleh kebencian, maka dia pun tidak bisa melihat sisi baik Ibnu Sirin, sehingga baginya Ibnu Sirin hanyalah “sosok yang berjalan dengan sombong”. Seperti Hasan Al-Bashri membenci Ibnu Sirin, begitu pula Ibnu Sirin sama bencinya pada Hasan Al-Bashri. Jadi, kedua orang hebat itu pun tidak jarang saling ejek di belakang punggung mereka.
Sampai di sini, mungkin kalian bertanya-tanya, apa yang menjadi dasar permusuhan atau bahkan kebencian kedua orang itu? Saya sendiri juga penasaran dengan hal ini. Ketika mendapati kenyataan “permusuhan” antara dua tokoh besar ini, saya telah berupaya melacak ke semua literatur yang bisa saya dapatkan untuk mengetahui akar masalah keduanya, sehingga mereka saling bermusuhan dan membenci seperti itu.
Berdasarkan sumber-sumber yang bisa saya pelajari, saya mengasumsikan (sekali lagi, ini asumsi saya!) permusuhan antara Ibnu Sirin dengan Hasan Al-Bashri itu dipicu gara-gara keduanya jatuh cinta pada seorang wanita yang sama.
Sekali lagi, ini asumsi saya—karena para ulama yang menulis kisah kedua tokoh besar di atas itu sepertinya merasa “ewuh pakewuh” (segan atau risih) jika harus menuliskan akar masalah mereka secara blak-blakan.