Sabtu, 08 Januari 2011

Membenci, Tapi Objektif (4)



Pagi harinya, setelah bangun dari tidur, Hasan Al-Bashri berpikir keras dan berusaha untuk dapat mengartikan makna mimpinya. Tetapi sekeras apa pun dia berupaya, dia tak mampu menemukan tafsir yang tepat untuk mimpinya. Sampai di situ dia sudah ingat pada Ibnu Sirin. Hasan Al-Bashri tahu, satu-satunya orang yang dapat menafsirkan mimpinya dengan benar hanyalah Ibnu Sirin. Tapi… dia merasa “gengsi” jika harus menemui Ibnu Sirin untuk bertanya kepadanya.

Karena penasaran dengan arti mimpinya, dan karena merasa “gengsi” jika harus menemui Ibnu Sirin secara langsung, maka Hasan Al-Bashri kemudian menyuruh seorang sahabatnya untuk menanyakan arti mimpinya. “Temuilah Ibnu Sirin,” katanya pada si sahabat, “tapi ceritakan mimpiku ini seolah-olah itu adalah mimpimu.”

Si sahabat itu pun pergi menemui Ibnu Sirin dan menceritakan mimpi yang dialami Hasan Al-Bashri, namun diakuinya sebagai mimpinya. Tapi rupanya Ibnu Sirin tahu siapa sebenarnya yang mengalami mimpi itu. Setelah mendengarkan kisah mimpi itu, Ibnu Sirin berkata, “Tolong katakan pada orang yang mengalami mimpi itu, jangan bertanya kepada ‘orang yang berjalan sombong’. Kalau dia memang berani, suruh datang sendiri ke sini!”

Si sahabat pun pulang, dan menemui Hasan Al-Bashri. “Dia tidak percaya kalau itu mimpiku,” kata si sahabat, “dia tahu bahwa kaulah orang yang mengalami mimpi itu. Dan, katanya, kalau kau berani, kau dimintanya untuk datang langsung menemuinya.”

Hasan Al-Bashri tentu saja jengkel. “Dia memang sombong!” rutuknya. Tetapi, bagaimana pun juga, Hasan Al-Bashri benar-benar penasaran dan ingin tahu apa makna mimpinya. Karenanya, didorong oleh rasa penasaran, bercampur dengan perasaan tertantang, Hasan Al-Bashri pun kemudian pergi menemui Ibnu Sirin.

Dan dua tokoh dalam “dunia persilatan” itu pun akhirnya bertemu. *backsound tegang*

Ketika melihat Hasan Al-Bashri datang, Ibnu Sirin pun menyambutnya dengan kaku, dan mempersilakannya masuk ke rumah. Keduanya saling mengucap salam dengan kaku, dan berjabat tangan secara sekilas. Setelah itu mereka duduk, tetapi saling berjauhan. (Bayangkan adegan sinetron tentang dua cowok yang sedang marahan, akibat sama-sama naksir satu orang cewek yang sama).

Karena tahu bahwa Hasan Al-Bashri tidak nyaman berada di rumahnya, Ibnu Sirin pun mempercepat urusannya.

Tanpa basa-basi, Ibnu Sirin berkata, “Tidak perlu bingung dengan mimpimu. Telanjang dalam mimpimu adalah ketelanjangan dunia. Artinya, kau sama sekali tak tergantung padanya, karena kau memang orang yang zuhud. Kandang binatang dalam mimpimu berarti lambang dunia yang fana itu—sesuatu yang juga telah kauketahui. Kemudian mengenai tongkat yang kaubawa di dalam mimpimu itu, melambangkan hikmah yang kauucapkan dan mendatangkan manfaat bagi banyak orang.”

Hasan Al-Bashri tahu bahwa Ibnu Sirin tidak berbohong kepadanya, dan dia yakin kalau mimpinya memang seperti itu artinya. Dia sedang berhadapan dengan pakar mimpi kelas satu—tak ada alasan untuk meragukan analisisnya.

Tetapi Hasan Al-Bashri masih menyimpan pertanyaan yang belum terjawab—dari mana Ibnu Sirin bisa tahu bahwa dialah sesungguhnya yang mengalami mimpi itu. Karenanya, dia pun dengan kaku kemudian bertanya, “Uh, tapi… tapi bagaimana kau bisa tahu kalau akulah yang mengalami mimpi itu?”

Dengan jujur pula Ibnu Sirin menjawab, “Ketika kemarin sahabatmu datang dan menceritakan mimpi itu, aku tidak percaya. Karena aku tahu hanya kaulah yang layak mengalami mimpi semacam itu.”

Mendengar jawaban itu, hati Hasan Al-Bashri benar-benar luluh—dan tanpa mampu dikendalikannya, dia sudah memeluk Ibnu Sirin dengan perasaan hormat dan penuh kasih. Detik itu Hasan Al-Bashri mengetahui fakta yang amat penting, bahwa meski mereka bermusuhan dan saling membenci, tetapi Ibnu Sirin tetap memandang dan menilai Hasan Al-Bashri dengan penilaian yang objektif.


 
;