Betapa bahan bacaan yang kita cerna semasa anak atau remaja
cukup membekaskan pengaruh pada perkembangan minat dan
pendewasaan kita selanjutnya sebagai pribadi.
—Fuad Hassan
cukup membekaskan pengaruh pada perkembangan minat dan
pendewasaan kita selanjutnya sebagai pribadi.
—Fuad Hassan
Pada awal tahun 2000, dunia dilanda tren bacaan baru untuk remaja, yang kemudian lazim disebut teenlit (teen literature). Tren ini, diyakini banyak pihak, dicetuskan oleh buku The Princess Diaries yang ditulis Meg Cabot, yang mencetak sukses secara internasional, sampai difilmkan, bahkan menjadi semacam trade merk tersendiri. Tren teenlit juga menyihir Indonesia—dan kemudian melahirkan tak terhitung banyaknya penulis baru yang menulis dalam genre ini.
Sepanjang sejarah perbukuan di Indonesia, belum pernah ada fenomena yang mampu menandingi fenomena yang dilahirkan oleh tren teenlit. Pada waktu-waktu itu, teenlit bagaikan bacaan sihir—ribuan judul buku mengalir ke toko-toko buku, dan nyaris semuanya laku. Sebagian besar bahkan mencapai angka penjualan spektakuler.
Novel Fairish, umpamanya, yang ditulis Esti Kinasih, terjual lebih dari 50.000 eksemplar. Eiffel I’m in Love, karya Rahmania Arunita, terjual sampai 70.000 eksemplar. Itu angka penjualan buku yang fantastis untuk ukuran Indonesia, khususnya lagi untuk buku yang ditulis oleh pemula.
Yang paling menyenangkan dari fenomena teenlit ini adalah tumbuhnya gairah membaca dan menulis yang luar biasa. Jutaan remaja yang pada awalnya asing dengan buku, tiba-tiba mulai akrab dengan buku. Begitu pula remaja-remaja yang tadinya asing dengan aktivitas tulis-menulis, mulai tumbuh gairah dan semangat untuk menulis. Ini jelas gairah dan semangat yang positif, dan—mau tak mau—Indonesia harus berterima kasih pada teenlit.
Karena respon yang luar biasa besar terhadap teenlit itu pulalah, sampai-sampai penerbit yang tergolong “angker” pun ikut menerjunkan diri dalam penerbitan teenlit. Penerbit YOI (Yayasan Obor Indonesia), misalnya, yang selama puluhan tahun hanya menerbitkan buku-buku berat, ikut terjun dalam penerbitan teenlit. Pada waktu-waktu itu, bisa dikatakan semua penerbit di Indonesia—besar maupun kecil—ikut terkena sihir teenlit.
Dalam hal penerbitan, teenlit bahkan ikut membantu menciptakan puluhan penerbit baru, karena berpuluh-puluh penerbit baru ikut mulai tumbuh pada era ini. Pendeknya, teenlit memiliki pengaruh yang amat besar dalam industri penerbitan dan perbukuan, khususnya di Indonesia, karena tren inilah yang menjadi penanda hidupnya gairah literasi—khususnya di kalangan remaja.
Tetapi, sebagaimana segala bentuk tren yang lain, teenlit juga mengalami masa surut yang sama. Secepat apa sebuah tren mengalami musim pasang, secepat itu pula tren itu akan memudar. Begitu pula dengan tren teenlit. Teenlit mencapai puncak pasang dengan cepat, sehingga masa surutnya pun tidak menunggu waktu lama. Setelah sekitar lima tahun mencapai zaman keemasan, pelan-pelan sihir teenlit mulai memudar.
Sebagaimana masa pasang teenlit yang membantu menciptakan banyak penulis dan penerbit baru, masa surut teenlit juga ikut “memusnahkan” banyak penulis dan penerbit. Nama-nama penulis yang tadinya sangat populer di era teenlit tiba-tiba memudar dan hilang, begitu pula nama-nama penerbitnya. Hanya sebagian yang masih mampu bertahan—baik penulis maupun penerbitnya.
Dalam industri dan tren perbukuan, semuanya memang tergantung pada selera pembaca. Selama pembaca masih “mau”, maka sebuah tren (buku) akan terus berlanjut. Tetapi ketika pembaca sudah jenuh, maka tren pun perlahan menghilang. Nah, tren teenlit “digempur” oleh ratusan penerbit sekaligus dalam waktu yang sama. Akibatnya, banjir buku teenlit membuat pembaca mencapai titik jenuh dalam waktu yang tak terlalu lama. Ketika titik jenuh itu tercapai, tren pun selesai.
Lanjut ke sini.