Kamis, 06 Januari 2011

Teenlit: Lilin Kecil Literasi (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pudarnya tren teenlit jelas sangat disayangkan. Baik bagi penerbit, bagi para penulisnya, maupun bagi dunia perbukuan secara luas. Teenlit adalah lilin kecil literasi, khususnya di Indonesia. Di negara yang minat bacanya selalu dianggap sangat rendah ini, teenlit mampu mendekatkan remaja dengan buku dan dunia literasi. Sungguh sangat disayangkan jika “kemesraan” yang telah terjalin antara remaja dengan keasyikan membaca tiba-tiba hilang karena tergantung tren yang cepat memudar.

Dalam kasus teenlit, memang ada beberapa kalangan yang bersuara minor atau sinis, dan menilai teenlit sebagai “bacaan tak berisi”. Tetapi, menurut saya, itu penilaian yang sangat tidak adil. Untuk menilai teenlit secara adil dan objektif, lihat dan nilailah dari sudut pandang para pembacanya (remaja). Kita tidak bisa menilai suatu bacaan dari sudut pandang bukan sebagai pembacanya.

Bagi remaja, teenlit adalah bacaan “ideal”—karena isinya sesuai dengan apa yang mereka harapkan, bahkan sesuai dengan kapasitas zamannya. Sungguh tidak adil jika kita memaksa remaja untuk membaca Zarathustra. Itu sama tidak bijaknya dengan menjejalkan singkong bakar pada balita. Karenanya, teenlit harus diletakkan pada dasar penilaian yang adil sesuai dengan proporsi pembacanya.

Seperti yang saya tuliskan di atas, teenlit adalah lilin kecil dalam dunia literasi Indonesia. Buku dalam genre inilah yang mampu mendekatkan para ABG dan remaja untuk mengasyiki aktivitas membaca, dan menulis. Pada era 80-an, Indonesia memang pernah dilanda hal serupa, ketika serial Lupus menciptakan fenomena. Tapi dampaknya tidak sebesar yang ditimbulkan teenlit. Lupus hanya mampu meningkatkan minat baca, sementara teenlit juga mampu menumbuhkan minat menulis. Ini jelas dampak yang sangat positif.

Yang amat disayangkan dalam hal ini, adalah tidak adanya—atau kurangnya—kesinambungan tren selepas teenlit. Ketika fenomena teenlit pudar, para penerbit “kelabakan” dalam mencari pengganti. Akibatnya, tren teenlit hanya menjadi sebatas tren sesaat, dan para remaja yang telah jenuh dengan bacaan teenlit mulai menjauh lagi dengan buku dan aktivitas membaca. Era teenlit pun sudah dianggap selesai, dan tinggal sedikit remaja yang masih suka membacanya.

Ini jelas amat sangat disayangkan—betapa minat baca-tulis yang tadinya sudah amat baik tiba-tiba pudar hanya karena tren yang telah memudar.

Pada masa sekarang, saya sudah berkali-kali mendengar penulis yang mengeluh karena penerbit tak mau lagi menerima karyanya. Para penulis yang mengeluh ini adalah para penulis teenlit yang dulu “dikejar-kejar” penerbit ketika era teenlit masih berkibar. Karya-karya mereka pernah mendatangkan keuntungan yang luar biasa besar pada para penerbit yang menerbitkan karya-karya mereka. Tetapi ketika era teenlit selesai, era para penulis ini pun “selesai”.

Sekali lagi, ini sungguh sangat disayangkan. Bubarnya teenlit seolah ikut menandai bubarnya gairah literasi di kalangan remaja Indonesia. Pertanyaannya, sampai kapan…?

Lanjut ke sini.

 
;