***
Nah, berkaca pada kasus teenlit, khususnya di Indonesia, semestinya tren perbukuan merupakan “pe-er” masing-masing penerbit (dan kalau bisa, juga penulis). Para penerbit seharusnya bertanggung jawab untuk ikut menciptakan tren—dan bukan hanya sekadar mengikuti tren. Jika para penerbit hanya mau terus “aman” dengan mengikuti tren yang sudah jelas-jelas jalan, maka nasib dunia literasi di Indonesia akan terus-menerus tidak jelas—karena tren selalu naik turun.
Jika masing-masing penerbit berani menciptakan tren tersendiri, maka satu tren akan terus bersinambungan dengan tren yang lain—dan gairah membaca di kalangan remaja akan terus terjaga. Ketika tren teenlit memudar, para penerbit seharusnya sudah siap dengan tren baru untuk terus menjaga kesinambungan itu, sehingga gairah perbukuan di Indonesia terus terjaga, minat membaca terus terjaga, dan aktivitas menulis juga ikut terjaga.
Sayangnya, hal ini tidak terjadi di Indonesia. Lebih banyak penerbit yang “takut-takut” untuk memulai, dan lebih memilih untuk mengambil “jalan aman” dengan cara mengikuti atau meneruskan tren yang sudah jelas-jelas jalan. Pertanyaannya, sekali lagi, sampai kapan…?
Yang paling bertanggung jawab dalam menciptakan tren dalam dunia perbukuan adalah pihak penerbit. Karena merekalah penggerak dinamika pasar. Tetapi, sayangnya, pihak penerbit seringnya justru terkesan “ketakutan” jika harus memulai atau menjadi yang pertama.
Kadang-kadang, ada penulis yang mampu menulis buku dalam bentuk yang benar-benar baru dan orisinal, tetapi penerbit “ketakutan” menerbitkannya karena mengkhawatirkan respon pasar. Kalau yang terjadi seperti ini terus-menerus, dunia perbukuan Indonesia akan terus jalan di tempat—miskin dinamika, dan sulit berkembang.
Saya sengaja mendasarkan catatan ini pada teenlit, karena teenlit merupakan dasar sempurna untuk memijakkan pandangan atas tren perbukuan di Indonesia. Teenlit-lah satu-satunya tren yang pernah terjadi secara universal, sehingga studi atasnya dapat dijadikan pijakan. Selain itu, teenlit adalah bacaan yang secara langsung menyentuh dunia remaja—usia yang merupakan saat tepat untuk menumbuhkan minat membaca, sekaligus usia yang menjadi penggerak tren di Indonesia.
Untuk dapat mengulangi tren sebesar teenlit, para penerbit tidak bisa terus-menerus menunggu datangnya tren baru dan kemudian hanya mengikutinya. Mereka juga harus aktif berupaya mencari dan menciptakan tren sendiri, jika memang mengharapkan “musim panen” kembali tiba. Riset pasar dan survei konsumen saja tidak cukup. Dalam hal penciptaan tren, semestinya, penerbit juga harus sedikit nekat.
Nah, “nekat” inilah yang sepertinya sering menjadi akar masalahnya—karena untuk nekat ini diperlukan modal yang cukup besar dalam aktivitas penerbitan.
Omong-omong, saya sangat terharu dengan kisah Rahmania Arunita ketika menulis novel Eiffel I’m in Love. (Ingat, Nia menulis novel ini ketika era teenlit belum meledak di Indonesia). Nia menulis novel ini pertama kali dalam bentuk ketikan di kertas HVS yang difotokopi, dan kemudian dijilid mirip makalah atau skripsi, lalu dijual ke teman-teman sekolahnya. Karena laku, Nia kemudian nekat meminjam uang ayahnya untuk mencetak novel itu ke percetakan.
Ayahnya memberikan pinjaman sebesar empat juta, dan Nia membawa naskah novelnya ke percetakan. Dengan modal pas-pasan dan hasil cetak pas-pasan, Nia menitipkan novel karyanya ke toko-toko buku di daerahnya. Novel ini laku, dan Nia bolak-balik ke percetakan untuk mencetak ulang.
Sampai kemudian penerbitannya diambil alih Terrant Books, dan diterbitkan secara profesional. Dan selanjutnya adalah sejarah. Edisi novel yang diterbitkan oleh Terrant Books itu terjual lebih dari 70.000 eksemplar, difilmkan oleh Soraya Intercine, dan menjadi film remaja yang paling banyak ditonton di Indonesia. Novel itu juga menjadikan tren teenlit semakin gegap gempita.
Nah, saya sering membayangkan. Jika waktu itu Nia langsung membawa naskahnya kepada penerbit, apakah penerbit akan langsung mau menerbitkannya…? Tanpa melihat kenyataan bahwa novel itu laku, apakah penerbit mau menganggarkan dana yang amat besar untuk menerbitkan Eiffel I’m in Love?
Berkaca pada fenomena teenlit, di sinilah titik nadir dunia perbukuan Indonesia. Harus ada seseorang yang nekat—entah penulisnya, entah penerbitnya.
Terlepas dari apa pun penilaian orang atasnya, teenlit adalah nyala api di sumbu kecil literasi Indonesia. Ialah yang menyalakan semangat jutaan remaja untuk asyik membaca, menulis, dan mengasyiki dunia literasi. Dan kita semua—penulis, penerbit, aktivis perbukuan, bahkan pemerintah Indonesia—ikut bertanggung jawab agar nyala lilin kecil ini tidak padam.
Dan jika memang nyala lilin bernama teenlit ini telah sampai pada batas sumbu terakhirnya, maka seharusnya kita telah menyiapkan lilin lainnya agar nyala api mereka tetap menyala. Sekecil apa pun nyala sebuah lilin, ia lebih baik daripada gelap tanpa cahaya. Sebatang lilin kecil sekali pun, ia ikut menerangi kegelapan dunia.