Minggu, 23 Januari 2011

Nasihat Rumput (1)



Kata Ebiet, bertanyalah pada rumput yang bergoyang. Jadi aku pun bertanya kepadanya, “Hei, Rumput, bisakah kau memberiku nasihat?”

“Tentang apa, Sobat?” sahut Rumput sambil terdiam dari goyangannya. “Dan mengapa kau sampai repot-repot bertanya kepadaku?”

“Oh, Rumput, jangan menggodaku. Kau tentu tahu mengapa aku meminta nasihat darimu. Kau memiliki semua ciri guru sejati—berada di bawah, biasa tak dihiraukan, tak pernah dilihat, tanpa suara, dan diam dalam keabadian. Jika aku memerlukan nasihat terbaik di bawah langit, aku akan mendatangi sosok makhluk serupa itu.”

“Kau pasti orang yang bijaksana.”

“Kau sangat pintar menyanjung! Jadi, kau mau memberikan nasihat untukku?”

“Apa masalahmu?”

“Well… aku sedang menghadapi dilema, antara melakukan sesuatu dan tidak melakukannya. Jika aku melakukannya, aku akan menyakiti hatiku sendiri. Tetapi jika tidak melakukannya, aku akan merasa bersalah, karena itu akan menyakiti hati orang lain. Manakah yang terbaik untuk hal ini—melakukan, atau tidak melakukan?”

“Kau ingin solusi dari sudut pandang apa, Sobat? Sudut pandang kaidah rumput? Ushul fiqh? Atau perspektif akademisi?”

“Hei, bagaimana kau tahu tentang kaidah ushul fiqh?”

“Nah, nah, sekarang kau yang menggodaku. Setiap masalah dilematis memerlukan solusi yang memiliki alternatif, benar?”

“Yeah… jika satu solusi dirasa tidak memungkinkan, maka solusi yang lain akan menggantikannya.”

“Exactly! Itulah kenapa aku menawarkan kepadamu, solusi dari sudut pandang apa yang kauinginkan untuk menghadapi masalahmu.”

“Kalau begitu, aku membutuhkan semua solusi yang ada, kan?”

“Akan segera menjadi milikmu, Sobat. Tapi pernahkah kau bertanya-tanya, mengapa masalah dilematis seperti itu bisa datang kepadamu?”

“Sorry…?”

“Hidup ini diikat dengan hukum kausalitas, benar? Masalah tidak pernah datang secara tiba-tiba—ia ditarik. Ia ditarik berdasarkan hukum sebab akibat, suatu sebab yang telah kaulakukan, tak peduli kau menyadarinya atau tidak. Jadi, ketika masalah seperti yang kauceritakan tadi datang kepadamu, ia tidak datang dengan sendirinya—ia ditarik olehmu, berdasarkan sebab-sebab tertentu yang kaulakukan dalam hidupmu. Mungkin baru kemarin, mungkin pula sudah bertahun-tahun yang lalu.”

“Aku tidak pernah memikirkannya sejauh itu…”

“Sekarang kau memikirkannya! Ingat Butterfly Effect?”

“Efek Kupu-kupu—satu kepakan sayap kupu-kupu di New York dapat menciptakan badai tsunami di New Delhi.”

“Tepat—seperti itu! Ratusan tahun yang lalu manusia tidak pernah membayangkan kenyataan itu. Tetapi sekarang, kita tahu bahwa seluruh alam semesta ini diikat oleh tali yang sama—kausalitas, sebab dan akibat—hingga satu kepakan sayap kupu-kupu yang tampak begitu lemah dapat menciptakan badai tsunami di tempat yang jauhnya ribuan kilometer.”

“So…?”

“So, what…? Sekarang kau melihat kerangkanya. Sebagaimana efek kepakan sayap kupu-kupu di New York mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menghadirkan badai tsunami di New Delhi, begitu pula dengan masalahmu—dan masalah manusia lainnya. Masalah besar itu mungkin, pada mulanya, hanya seringan kepakan sayap kupu-kupu. Tetapi efeknya luar biasa besar, atau dilematis. Dan itu mungkin pula telah dimulai bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum kau kemudian menyadari dan menghadapi masalahnya.”


 
;