Ketika dua orang bertemu, sebenarnya ada enam orang yang hadir.
Mereka adalah orang yang terlihat sebagai dirinya sendiri,
lalu seseorang sebagai orang lain yang seperti dirinya,
dan seseorang yang memang dirinya sendiri.
—William James
Mereka adalah orang yang terlihat sebagai dirinya sendiri,
lalu seseorang sebagai orang lain yang seperti dirinya,
dan seseorang yang memang dirinya sendiri.
—William James
Siapa pun penggemar musik klasik pasti mengenal nama Mozart. Nama lengkapnya adalah Johann Chrysostomus Wolfgangus Theophilus Mozart. Dia biasa menyebut dirinya dengan nama Wolfgang Amade (bukan Amadeus) atau Wolfgang Gottlieb. Lalu mengapa Mozart sering dikenal dengan nama Wolfgang Amadeus Mozart? “Amadeus” adalah bahasa Latin untuk “Gottlieb” yang berarti “cinta Tuhan”.
Siapa pun penggemar musik klasik juga mengakui bahwa Mozart adalah salah satu penggubah musik genius, yang sukar dicari tandingannya. Musik-musik karyanya tidak hanya nikmat didengar telinga, tetapi juga dipercaya dapat menjadi terapi untuk berbagai kebutuhan—dari meningkatkan kecerdasan, sampai membantu memudahkan proses ibu melahirkan.
Nah, dulu, zaman Mozart masih merintis karir sebagai musisi, dia pernah pacaran dengan seorang perempuan. Mereka saling jatuh cinta, dan hubungan pun berlangsung sebagaimana umumnya. Sampai kemudian, ada lelaki lain yang naksir pacar si Mozart—dan tololnya, si perempuan memilih meninggalkan Mozart untuk menikah dengan lelaki lain itu.
Karena diputus secara sepihak, Mozart pun patah hati—dan dia butuh waktu bertahun-tahun untuk menyembuhkan lukanya. Selama bertahun-tahun pula dia tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan lain.
Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika Mozart telah menjadi sosok terkenal dan dunia mengakuinya sebagai musisi genius, para wartawan melacak keberadaan perempuan yang menjadi mantan pacar Mozart, dan menanyakan, “Mengapa Anda dulu meninggalkan Mozart untuk menikah dengan lelaki lain?”
Dengan jujur, perempuan mantan pacar Mozart itu menjawab, “Dulu, saya tidak pernah tahu kalau dia segenius itu. Saya hanya tahu bahwa dia pendek.”
Jadi, rupanya, perempuan itu memutuskan Mozart secara sepihak dan meninggalkannya untuk menikah dengan lelaki lain, hanya karena melihat bahwa Mozart memiliki postur tubuh yang pendek!
Konyol? Atau tolol…? Mungkin iya, tetapi salah satu tabiat manusia yang paling aneh adalah (memang) kecenderungan untuk melihat sisi buruk orang lain dengan menafikan sisi baiknya, lebih suka mempersoalkan sisi negatif daripada mengingat sisi positifnya. Untuk menyebutkan kekurangan orang, kita dapat melakukannya sambil memejamkan mata. Tetapi, anehnya, kita sering kali kesulitan jika diminta untuk menyebutkan kelebihan-kelebihannya.
Manusia dikaruniai kelebihan, tetapi juga dilengkapi kekurangan—karena itulah ciri atau penanda manusia. Tetapi, sebagai manusia, kita sering kali sulit untuk menerima kenyataan itu, sehingga tanpa sadar kita sering kali berharap manusia lain adalah malaikat yang tak memiliki kekurangan. Sebagaimana pacar Mozart, kita lebih suka menilai kekurangan seseorang dibanding kelebihan yang mungkin dimilikinya.
Ada pepatah lama yang menyatakan, “Jangan pernah menyebut seseorang baik sebelum kau tidur dengannya selama tiga hari.”
Maksud pepatah itu sangat jelas, bahwa ketika kita baru berhubungan dengan seseorang, kita mungkin hanya akan melihat sisi kebaikannya. Tetapi, seiring perjalanan waktu, ketika kita makin akrab dengannya, kita pun akan mulai mengenali sisi keburukannya. Di saat itulah diri kita diuji, apakah dapat memaklumi kekurangannya sebagai manusia, ataukah memilih untuk meninggalkannya karena tak mau menerima sisi buruknya.
Di dalam hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan, kenyataan semacam itu biasa terjadi—sama seperti Mozart dengan pacarnya. Pada masa-masa awal hubungan, masing-masing hanya melihat ‘kesempurnaan’ pasangannya. Tetapi, seiring berjalannya waktu, masing-masing pasangan pun terbuka matanya dan mulai menyadari bahwa si pacar bukanlah malaikat.
‘Terbukanya mata’ dalam hubungan semacam itu adalah batu ujian pertama yang ada dalam cinta—bahwa “apabila kau mau menerima kelebihanku, maka kau pun seharusnya mampu menerima kekuranganku.”
Ketika seseorang dapat menerima orang lain (pasangannya) dengan setulus hati beserta kekurangannya, maka hubungan itu pun akan meningkat menjadi suatu hubungan yang lebih dewasa. Tetapi, jika sebaliknya, maka hubungan pun bisa kandas di tengah jalan, dan kisah cinta hanya akan menjadi sepenggal kenangan.
Begitu pula dalam segala bentuk hubungan yang lain—persahabatan, persaudaraan, pertetanggaan, dan lainnya. Kita tidak bisa menerima kelebihan orang lain, sementara di waktu yang sama menolak kekurangannya. Hakikat hidup adalah untuk saling menerima dan melengkapi—kelebihanmu melengkapi kekuranganku, dan kelebihanku melengkapi kekuranganmu.
Kalau saja pacar Mozart cukup bijak untuk mampu melihat kelebihan pacarnya, tentunya dia akan bersuamikan seorang genius yang namanya menjadi legenda sepanjang masa. Tetapi, alih-alih menujukan pandangannya untuk melihat kegeniusan pacarnya, dia malah mempersoalkan postur tubuh Mozart yang menurutnya pendek. Tolol—sekaligus egois.
Setiap kali kita ingin mencela kekurangan orang lain, ada baiknya untuk mengingat kembali pacar si Mozart. Begitu pun, setiap kali kita ingin memuji-muji orang lain, ada baiknya pula kita kembali mengingat pepatah lama, “Jangan pernah menyebut seseorang baik sebelum kau tidur dengannya selama tiga hari.”
Omong-omong, itulah kenapa saya tidak pernah berani menyebut Britney Spears itu cewek alim—karena saya belum pernah tidur dengannya selama tiga hari!