Hei, Joko Sutarto
Post ini saya tulis karena dikerjain Eks. Siapakah Eks? Eks a.k.a Yus Yulianto, adalah bocah SMA yang menjadi salah satu blogger idola saya.
Pertama kali kenal dengan Eks adalah ketika beliau (maksud saya; dia) berkirim email ke saya. Dan saya membalasnya. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi.
Nah, kalian capek kan, membacanya? Apalagi saya yang harus melakukannya!
Tapi entah kenapa saya mau membalas email dari Eks, bahkan terus-menerus. Hal itu mungkin karena saya kemudian mengenal blognya (alis-tebal.blogspot.com), dan langsung suka membaca posting-postingnya. Waktu membaca tulisan-tulisannya di blog, saya selalu ketawa cekikikan di depan komputer, meski mungkin Eks tidak bermaksud bercanda.
Jadi, nada tulisan si Eks ini terkesan serius. Tapi kalau kita paham letak kelucuannya, dijamin akan ketawa sampai mimisan. Bagi saya, Eks seperti bocah TK yang punya IQ terlalu tinggi. Tulisan-tulisannya spontan, jujur, polos, bahkan lugu, tapi asyik. Dan itulah kenapa saya selalu mengikuti posting-postingnya, bahkan mengidolakannya.
Dan sekarang blogger idola saya itu ngerjain saya untuk membuat post ini.
Ceritanya, Eks membagikan “musibah” (baca: tag) kepada sepuluh blogger yang dikenalnya, dan meminta agar masing-masing blogger yang dipilihnya tersebut menulis sebuah post khusus yang berisi “10 hal mengenai saya” (jika diterjemahkan ke dalam bahasa antah-berantah, “10 things about me”, gituuuh!).
Nah, saya termasuk salah satu blogger yang dipilih Eks, untuk menerima “musibah” ini. Karena yang meminta adalah blogger idola saya, maka saya merasa berkewajiban memenuhi permintaannya. Jadi sekarang saya pun menulis post ini. Karena Eks—juga teman-teman blogger lain—menuliskan diri mereka secara jujur dan apa adanya, maka saya pun tentunya harus membukakan diri saya secara jujur dan apa adanya pula.
Dan, yeah… inilah saya.
Fact #1
Saya perokok—bahkan perokok berat
Dalam beberapa post yang pernah saya tulis di sini, secara terus-terang saya menyatakan kalau saya seorang perokok. Yang mungkin belum pernah saya katakan adalah bahwa saya merokok sejak SD. Saya tahu pengakuan ini terdengar pahit. Tapi saya tidak ingin menutup-nutupi sesuatu yang memang ada pada diri saya.
Saya bisa membayangkan pertanyaan yang saat ini melayang-layang di sekeliling kepala kalian. “Mengapa…?”
Well, semenjak kelas lima SD, saya harus mencari uang untuk nambah uang saku—kenyataannya saya memang jarang punya uang saku, sehingga jarang jajan di sekolah. Orangtua saya tidak selalu bisa memberikan uang saku, bahkan membayar SPP tepat bulan pun sudah saya anggap mukjizat.
Jadi, dengan naluri bocah saya waktu itu, saya pun berusaha mencari uang agar bisa jajan di sekolah seperti teman-teman yang lain. Dan satu-satunya cara yang terpikir oleh saya waktu itu adalah menjadi tukang parkir liar di alun-alun kota saya.
So, itulah yang saya lakukan—bertahun-tahun lalu. Selepas maghrib, saya akan pergi ke alun-alun, berharap ada motor atau mobil yang dapat saya palak, sehingga besok saya bisa jajan di sekolah. Kadang saya pulang ke rumah jam sembilan, kadang jam sepuluh, kadang pula jam dua belas atau jam satu dini hari.
Karena hidup di jalanan, maka saya pun “terkontaminasi” kehidupan jalanan. Bocah-bocah yang menjadi teman saya waktu itu adalah bocah-bocah yang—meminjam istilah Iwan Fals—dibesarkan oleh rembulan. Jadi mereka merokok sejak kecil, bahkan tidak sedikit yang juga meminum minuman keras. Mau tidak mau saya terpengaruh. Tapi hanya sebatas rokok.
Selama lima tahun hidup di jalanan (dari kelas lima SD sampai kelas tiga SMP), saya menyaksikan aneka macam “barang lezat”—dari rokok, minuman keras, ganja, sampai narkoba, tapi saya “membatasi diri” hanya pada rokok.
Dan itulah awal mula kenapa saya merokok sejak SD. Jika orang lain mungkin menganggap saya “rusak” karena telah merokok sejak SD, maka saya justru menganggap itu sebagai “prestasi”—karena setidaknya saya mampu menahan diri untuk tidak menyentuh barang-barang “berbahaya” lain selain rokok. Dan kebiasaan merokok itu akhirnya terbawa sampai sekarang.
Enough. Kalau ingin baca kelanjutannya, silakan lihat di sini.
Fact #2
Saya suka batagor, siomay, dan lainnya, dan roti
Kalau ada teman yang tanya, “Hei pal, apa jajan favoritmu?” Saya pasti akan langsung menjawab, “Batagor!” Selain batagor? “Siomay!” Selain siomay…?
Bakwan panas, lumpia, risoles, martabak panas, atau goreng-gorengan lain—asal masih panas dan digoreng sampai matang—well, saya suka semua!
Meski suka goreng-gorengan, tapi saya tidak suka pisang goreng. Kenapa? Saya juga tidak tahu! Yang jelas, sejak lahir hingga sekarang, saya belum pernah makan pisang, termasuk pisang goreng. Kenapa? Sekali lagi saya tidak tahu!
Pada waktu masih bayi dan mulai diperkenalkan makanan selain ASI, nyokap mencoba menyuapi saya dengan pisang yang dilembutkan—seperti umumnya bayi-bayi yang lain. Tetapi, menurut cerita nyokap, saya selalu memuntahkan pisang itu dan tidak pernah sekalipun mau memakannya. Jadi kemudian nyokap mencari makanan lain yang sekiranya mau saya makan.
So, nyokap kemudian mengganti pisang dengan roti. Roti itu dilembutkan sampai halus, kemudian disuapkan ke saya yang waktu itu masih bayi. Dan saya mau menelannya. Jadi begitulah. Hasilnya sampai sekarang saya tetap tidak pernah mau makan pisang, tapi sangat suka roti. Bahkan, sampai hari ini, saya menganggap roti sebagai makanan pokok kedua selain nasi. In fact, saya malah pernah bosan makan nasi, tapi belum pernah bosan makan roti.
Fact #3
Saya sangat sukaaaaaaaa nasi keras
Kalau ada pertanyaan untuk saya pilih: A) makan nasi yang keras dengan lauk seadanya, atau B) makan nasi yang lembek dengan lauk yang mewah dan luar biasa, saya akan memilih A.
Bagi saya, makan dengan lauk apa pun akan terasa nikmat jika nasinya keras. Sebaliknya, ayam goreng, ikan bakar, sate kambing, atau apa pun juga tak akan mengundang selera saya jika nasinya lembek. Yang saya maksud nasi keras adalah nasi yang tidak menggumpal, yaitu nasi yang butiran-butirannya saling terpisah atau tidak saling lengket. Saya mupeng kalau lihat nasi seperti itu!
Di suatu acara konferensi di Bogor, saya pernah mendapati nasi semacam itu, yang bahkan melebihi ekspektasi saya. Nasinya putih, empuk tapi tidak menggumpal, sedap, dan baunya wangi. Karena penasaran (dan merasa kecanduan), saya menemui juru masaknya, dan menanyakan bagaimana cara membuat nasi seperti itu.
Si juru masak menerangkan, bahwa nasi itu ditanak tidak dengan air, tapi menggunakan santan, dengan daun-daun pandan yang “disusupkan” di antara berasnya. Saya langsung mengingat-ingat resep itu, dan kelak resep keramat itu akan saya sampaikan pada istri saya, juga akan saya wariskan kepada anak cucu!
Oh, well, saya cinta nasi keras, sebesar cinta saya pada Indonesia. Oke, ini lebay! Tapi kalau mau mendengar yang lebih lebay lagi soal nasi yang keras, coba lihat di sini.
Fact #4
Saya mahasiswa drop out
Kepada siapa pun yang selama ini menuduh saya punya gelar Ph.D, silakan kecewa. Faktanya, saya mahasiswa drop out dan tidak punya gelar atau titel apa pun.
Well, saya pernah kuliah S1, dan menyelesaikan seluruh teori mata kuliah dalam waktu tiga tahun, lalu memutuskan untuk drop out sebelum KKN dan pengerjaan skripsi. Kenapa? Mungkin alasannya terdengar idealis. Karena saya kecewa dengan sistem pendidikan yang saya terima.
Saya kecewa dengan pendidikan yang saya peroleh—karena sistem pendidikan itu tidak mengajarkan mahasiswa untuk mencintai belajar, tapi hanya sekadar mengajarkan cara mengejar nilai dan gelar secara instan. Saya tidak bisa menerima sistem semacam itu. Saya akan merasa berdosa jika menerima gelar yang diberikan sebuah institusi pendidikan yang justru menjauhkan orang dari proses pembelajaran.
Ketika saya memutuskan drop out dari kampus, orangtua saya kecewa, dosen-dosen menyayangkan, kawan-kawan kuliah menghalangi, dan cewek-cewek di kampus menangis—oke, yang terakhir itu saya melebih-lebihkan. Tapi keputusan saya sudah bulat. Yang paling saya inginkan di dunia ini bukan titel atau gelar, tapi kecintaan pada proses belajar. Karena kampus saya tidak mampu memberikan hal itu, maka saya pun drop out.
Fact #5
Saya percaya, hidup adalah soal pilihan
Saya menghabiskan separuh dari umur saya untuk memahami kebenaran tak terbantahkan itu. Bahwa hidup adalah soal pilihan. Sekarang, saya meyakini kebenaran itu, sama besarnya dengan keyakinan bahwa saya masih hidup.
Ketika pertama kali menemukan filsafat tersebut, saya tidak paham, bahkan tidak terima. Bagaimana mungkin hidup adalah soal pilihan jika Tuhan dan takdir (katanya) memainkan segala-galanya? Takdir telah melahirkan saya dalam kemiskinan, dan kebodohan, dan keterbelakangan. Bagaimana bisa hidup disebut soal pilihan…?
Tetapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam kehimpitan sesempit apa pun, kita selalu diberi hak untuk memilih. Memilih untuk bangkit, atau memilih tetap jatuh. Memilih untuk menyerah dan kalah, atau memilih berjuang dan menang. Memilih untuk mengutuk, atau memilih untuk bekerja.
Jadi saya pun memilih. Saya memilih untuk keluar dari kemiskinan saya, dan karena itu saya bekerja keras. Saya memilih untuk keluar dari kebodohan saya, dan karena itu saya mencintai belajar. Saya memilih untuk keluar dari keterbelakangan saya, dan karena itu saya maju dan terus maju.
Hari ini, ketika menyaksikan betapa jauhnya hidup saya dulu, dan betapa berbedanya hidup saya sekarang, saya tahu, dan menyadari, dan percaya, bahwa hidup adalah soal pilihan…
…dan saya bersyukur karena telah menjatuhkan pilihan yang benar.
Fact #6
Ehmmmm….
Tinggi badan saya 173 centimeter dengan berat badan kurang proporsional. Jadi agak kurus. Susahnya, makan sebanyak apa pun sepertinya tak pernah punya pengaruh bagi tubuh saya. Jadi, kalau suatu hari saya nimbang badan di apotik dan mendapati ada kenaikan satu kilo saja, saya pasti girang bukan main!
Saya suka celana jins, dan kemeja kasual. Khususnya warna biru atau hitam. Biru menjadikan saya terlihat dewasa, sedang hitam membuat saya tampak lebih ‘bling-bling’, hehe... Teman-teman bilang saya tidak mirip Keanu Reeves. Ya iyalaaaah!
Fact #7
Saya suka membaca, menulis, nge-blog…
…mendengarkan musik, menikmati kesendirian di kafe yang hening, shopping, juga nonton film. Yang paling saya sukai film action dan fantasi, tapi kadang nonton drama, kadang juga film bokep. Oh, tidak usah melotot. Kalau anggota DPR yang (katanya) alim saja nonton bokep, kenapa saya tidak boleh? Saya benci orang yang sok jaim dan munafik, karenanya saya tidak mau sok jaim apalagi munafik.
Kata Pak Menteri Tifatul Sembiring, melihat pornografi itu tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum adalah mengedarkan dan mendistribusikan pornografi. Nah, saya hanya melihat dan menikmati, jadi tidak apa-apa kan, Pak Menteri…?
(Tetapi, omong-omong, kalau tidak ada yang mengedarkan, lalu bagaimana cara kita bisa mendapatkan dan menikmatinya?).
Fact #8
Saya suka, dan nyaman tinggal di rumah
Bahasa simpelnya, saya cowok rumahan. Kalau sudah di rumah, rasanya senang, tenang, nyaman… damai, dan tak ingin keluar-keluar lagi. Dengan sebuah komputer yang terhubung internet, rokok, dan buku-buku, saya bisa tahan berada di rumah hingga berbulan-bulan tanpa keluar sama sekali—kalau saja tidak perlu beli nasi dan keperluan sehari-hari.
Saya tinggal sendirian, jadi rumah saya sepi dan hening. Tanpa suara apa pun selain kadang suara saya sendiri yang bersenandung. Dan saya menyukai, menikmati, keheningan seperti itu. Di dalam rumahlah saya merasa memiliki kebebasan yang tidak saya miliki di luar rumah. Di dalam rumah, segala bentuk aturan di luar tak berlaku lagi, dan saya merasa merdeka.
Bagi saya, rumah adalah suaka kebebasan jiwa.
Fact #9
Sebenarnya… saya pemalu
Huhuhu, ini benar. Sebenarnya saya pemalu. Saya tidak tahu apa kesan kalian pada saya setelah membaca tulisan-tulisan saya selama ini di blog, tapi aslinya saya pemalu, khususnya dengan orang yang tidak saya kenal atau baru saya kenal. Karenanya, menulis benar-benar membuat saya enjoy, karena saya merasa lebih leluasa.
Kalau kita baru ketemu, mungkin sikap saya akan terlihat malu-malu, dan terkesan pendiam. Tapi kalau cocok dengan seseorang, saya dapat asyik ngobrol, bercanda, bahkan tertawa ngakak. Meski mungkin tulisan-tulisan saya selama ini terkesan ‘berat dan serius’, tapi dalam keseharian saya lebih sering santai. Teman-teman saya bahkan jarang sekali melihat saya serius, dan saya juga lebih suka ngobrol hal-hal ringan dengan mereka.
Fact #10
Saya senang kalian membaca post ini hingga kalimat terakhir
Hehe… :)
Pertama kali kenal dengan Eks adalah ketika beliau (maksud saya; dia) berkirim email ke saya. Dan saya membalasnya. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi. Terus dia membalas email saya, dan saya membalasnya lagi.
Nah, kalian capek kan, membacanya? Apalagi saya yang harus melakukannya!
Tapi entah kenapa saya mau membalas email dari Eks, bahkan terus-menerus. Hal itu mungkin karena saya kemudian mengenal blognya (alis-tebal.blogspot.com), dan langsung suka membaca posting-postingnya. Waktu membaca tulisan-tulisannya di blog, saya selalu ketawa cekikikan di depan komputer, meski mungkin Eks tidak bermaksud bercanda.
Jadi, nada tulisan si Eks ini terkesan serius. Tapi kalau kita paham letak kelucuannya, dijamin akan ketawa sampai mimisan. Bagi saya, Eks seperti bocah TK yang punya IQ terlalu tinggi. Tulisan-tulisannya spontan, jujur, polos, bahkan lugu, tapi asyik. Dan itulah kenapa saya selalu mengikuti posting-postingnya, bahkan mengidolakannya.
Dan sekarang blogger idola saya itu ngerjain saya untuk membuat post ini.
Ceritanya, Eks membagikan “musibah” (baca: tag) kepada sepuluh blogger yang dikenalnya, dan meminta agar masing-masing blogger yang dipilihnya tersebut menulis sebuah post khusus yang berisi “10 hal mengenai saya” (jika diterjemahkan ke dalam bahasa antah-berantah, “10 things about me”, gituuuh!).
Nah, saya termasuk salah satu blogger yang dipilih Eks, untuk menerima “musibah” ini. Karena yang meminta adalah blogger idola saya, maka saya merasa berkewajiban memenuhi permintaannya. Jadi sekarang saya pun menulis post ini. Karena Eks—juga teman-teman blogger lain—menuliskan diri mereka secara jujur dan apa adanya, maka saya pun tentunya harus membukakan diri saya secara jujur dan apa adanya pula.
Dan, yeah… inilah saya.
Fact #1
Saya perokok—bahkan perokok berat
Dalam beberapa post yang pernah saya tulis di sini, secara terus-terang saya menyatakan kalau saya seorang perokok. Yang mungkin belum pernah saya katakan adalah bahwa saya merokok sejak SD. Saya tahu pengakuan ini terdengar pahit. Tapi saya tidak ingin menutup-nutupi sesuatu yang memang ada pada diri saya.
Saya bisa membayangkan pertanyaan yang saat ini melayang-layang di sekeliling kepala kalian. “Mengapa…?”
Well, semenjak kelas lima SD, saya harus mencari uang untuk nambah uang saku—kenyataannya saya memang jarang punya uang saku, sehingga jarang jajan di sekolah. Orangtua saya tidak selalu bisa memberikan uang saku, bahkan membayar SPP tepat bulan pun sudah saya anggap mukjizat.
Jadi, dengan naluri bocah saya waktu itu, saya pun berusaha mencari uang agar bisa jajan di sekolah seperti teman-teman yang lain. Dan satu-satunya cara yang terpikir oleh saya waktu itu adalah menjadi tukang parkir liar di alun-alun kota saya.
So, itulah yang saya lakukan—bertahun-tahun lalu. Selepas maghrib, saya akan pergi ke alun-alun, berharap ada motor atau mobil yang dapat saya palak, sehingga besok saya bisa jajan di sekolah. Kadang saya pulang ke rumah jam sembilan, kadang jam sepuluh, kadang pula jam dua belas atau jam satu dini hari.
Karena hidup di jalanan, maka saya pun “terkontaminasi” kehidupan jalanan. Bocah-bocah yang menjadi teman saya waktu itu adalah bocah-bocah yang—meminjam istilah Iwan Fals—dibesarkan oleh rembulan. Jadi mereka merokok sejak kecil, bahkan tidak sedikit yang juga meminum minuman keras. Mau tidak mau saya terpengaruh. Tapi hanya sebatas rokok.
Selama lima tahun hidup di jalanan (dari kelas lima SD sampai kelas tiga SMP), saya menyaksikan aneka macam “barang lezat”—dari rokok, minuman keras, ganja, sampai narkoba, tapi saya “membatasi diri” hanya pada rokok.
Dan itulah awal mula kenapa saya merokok sejak SD. Jika orang lain mungkin menganggap saya “rusak” karena telah merokok sejak SD, maka saya justru menganggap itu sebagai “prestasi”—karena setidaknya saya mampu menahan diri untuk tidak menyentuh barang-barang “berbahaya” lain selain rokok. Dan kebiasaan merokok itu akhirnya terbawa sampai sekarang.
Enough. Kalau ingin baca kelanjutannya, silakan lihat di sini.
Fact #2
Saya suka batagor, siomay, dan lainnya, dan roti
Kalau ada teman yang tanya, “Hei pal, apa jajan favoritmu?” Saya pasti akan langsung menjawab, “Batagor!” Selain batagor? “Siomay!” Selain siomay…?
Bakwan panas, lumpia, risoles, martabak panas, atau goreng-gorengan lain—asal masih panas dan digoreng sampai matang—well, saya suka semua!
Meski suka goreng-gorengan, tapi saya tidak suka pisang goreng. Kenapa? Saya juga tidak tahu! Yang jelas, sejak lahir hingga sekarang, saya belum pernah makan pisang, termasuk pisang goreng. Kenapa? Sekali lagi saya tidak tahu!
Pada waktu masih bayi dan mulai diperkenalkan makanan selain ASI, nyokap mencoba menyuapi saya dengan pisang yang dilembutkan—seperti umumnya bayi-bayi yang lain. Tetapi, menurut cerita nyokap, saya selalu memuntahkan pisang itu dan tidak pernah sekalipun mau memakannya. Jadi kemudian nyokap mencari makanan lain yang sekiranya mau saya makan.
So, nyokap kemudian mengganti pisang dengan roti. Roti itu dilembutkan sampai halus, kemudian disuapkan ke saya yang waktu itu masih bayi. Dan saya mau menelannya. Jadi begitulah. Hasilnya sampai sekarang saya tetap tidak pernah mau makan pisang, tapi sangat suka roti. Bahkan, sampai hari ini, saya menganggap roti sebagai makanan pokok kedua selain nasi. In fact, saya malah pernah bosan makan nasi, tapi belum pernah bosan makan roti.
Fact #3
Saya sangat sukaaaaaaaa nasi keras
Kalau ada pertanyaan untuk saya pilih: A) makan nasi yang keras dengan lauk seadanya, atau B) makan nasi yang lembek dengan lauk yang mewah dan luar biasa, saya akan memilih A.
Bagi saya, makan dengan lauk apa pun akan terasa nikmat jika nasinya keras. Sebaliknya, ayam goreng, ikan bakar, sate kambing, atau apa pun juga tak akan mengundang selera saya jika nasinya lembek. Yang saya maksud nasi keras adalah nasi yang tidak menggumpal, yaitu nasi yang butiran-butirannya saling terpisah atau tidak saling lengket. Saya mupeng kalau lihat nasi seperti itu!
Di suatu acara konferensi di Bogor, saya pernah mendapati nasi semacam itu, yang bahkan melebihi ekspektasi saya. Nasinya putih, empuk tapi tidak menggumpal, sedap, dan baunya wangi. Karena penasaran (dan merasa kecanduan), saya menemui juru masaknya, dan menanyakan bagaimana cara membuat nasi seperti itu.
Si juru masak menerangkan, bahwa nasi itu ditanak tidak dengan air, tapi menggunakan santan, dengan daun-daun pandan yang “disusupkan” di antara berasnya. Saya langsung mengingat-ingat resep itu, dan kelak resep keramat itu akan saya sampaikan pada istri saya, juga akan saya wariskan kepada anak cucu!
Oh, well, saya cinta nasi keras, sebesar cinta saya pada Indonesia. Oke, ini lebay! Tapi kalau mau mendengar yang lebih lebay lagi soal nasi yang keras, coba lihat di sini.
Fact #4
Saya mahasiswa drop out
Kepada siapa pun yang selama ini menuduh saya punya gelar Ph.D, silakan kecewa. Faktanya, saya mahasiswa drop out dan tidak punya gelar atau titel apa pun.
Well, saya pernah kuliah S1, dan menyelesaikan seluruh teori mata kuliah dalam waktu tiga tahun, lalu memutuskan untuk drop out sebelum KKN dan pengerjaan skripsi. Kenapa? Mungkin alasannya terdengar idealis. Karena saya kecewa dengan sistem pendidikan yang saya terima.
Saya kecewa dengan pendidikan yang saya peroleh—karena sistem pendidikan itu tidak mengajarkan mahasiswa untuk mencintai belajar, tapi hanya sekadar mengajarkan cara mengejar nilai dan gelar secara instan. Saya tidak bisa menerima sistem semacam itu. Saya akan merasa berdosa jika menerima gelar yang diberikan sebuah institusi pendidikan yang justru menjauhkan orang dari proses pembelajaran.
Ketika saya memutuskan drop out dari kampus, orangtua saya kecewa, dosen-dosen menyayangkan, kawan-kawan kuliah menghalangi, dan cewek-cewek di kampus menangis—oke, yang terakhir itu saya melebih-lebihkan. Tapi keputusan saya sudah bulat. Yang paling saya inginkan di dunia ini bukan titel atau gelar, tapi kecintaan pada proses belajar. Karena kampus saya tidak mampu memberikan hal itu, maka saya pun drop out.
Fact #5
Saya percaya, hidup adalah soal pilihan
Saya menghabiskan separuh dari umur saya untuk memahami kebenaran tak terbantahkan itu. Bahwa hidup adalah soal pilihan. Sekarang, saya meyakini kebenaran itu, sama besarnya dengan keyakinan bahwa saya masih hidup.
Ketika pertama kali menemukan filsafat tersebut, saya tidak paham, bahkan tidak terima. Bagaimana mungkin hidup adalah soal pilihan jika Tuhan dan takdir (katanya) memainkan segala-galanya? Takdir telah melahirkan saya dalam kemiskinan, dan kebodohan, dan keterbelakangan. Bagaimana bisa hidup disebut soal pilihan…?
Tetapi kemudian saya menyadari, bahwa di dalam kehimpitan sesempit apa pun, kita selalu diberi hak untuk memilih. Memilih untuk bangkit, atau memilih tetap jatuh. Memilih untuk menyerah dan kalah, atau memilih berjuang dan menang. Memilih untuk mengutuk, atau memilih untuk bekerja.
Jadi saya pun memilih. Saya memilih untuk keluar dari kemiskinan saya, dan karena itu saya bekerja keras. Saya memilih untuk keluar dari kebodohan saya, dan karena itu saya mencintai belajar. Saya memilih untuk keluar dari keterbelakangan saya, dan karena itu saya maju dan terus maju.
Hari ini, ketika menyaksikan betapa jauhnya hidup saya dulu, dan betapa berbedanya hidup saya sekarang, saya tahu, dan menyadari, dan percaya, bahwa hidup adalah soal pilihan…
…dan saya bersyukur karena telah menjatuhkan pilihan yang benar.
Fact #6
Ehmmmm….
Tinggi badan saya 173 centimeter dengan berat badan kurang proporsional. Jadi agak kurus. Susahnya, makan sebanyak apa pun sepertinya tak pernah punya pengaruh bagi tubuh saya. Jadi, kalau suatu hari saya nimbang badan di apotik dan mendapati ada kenaikan satu kilo saja, saya pasti girang bukan main!
Saya suka celana jins, dan kemeja kasual. Khususnya warna biru atau hitam. Biru menjadikan saya terlihat dewasa, sedang hitam membuat saya tampak lebih ‘bling-bling’, hehe... Teman-teman bilang saya tidak mirip Keanu Reeves. Ya iyalaaaah!
Fact #7
Saya suka membaca, menulis, nge-blog…
…mendengarkan musik, menikmati kesendirian di kafe yang hening, shopping, juga nonton film. Yang paling saya sukai film action dan fantasi, tapi kadang nonton drama, kadang juga film bokep. Oh, tidak usah melotot. Kalau anggota DPR yang (katanya) alim saja nonton bokep, kenapa saya tidak boleh? Saya benci orang yang sok jaim dan munafik, karenanya saya tidak mau sok jaim apalagi munafik.
Kata Pak Menteri Tifatul Sembiring, melihat pornografi itu tidak melanggar hukum. Yang melanggar hukum adalah mengedarkan dan mendistribusikan pornografi. Nah, saya hanya melihat dan menikmati, jadi tidak apa-apa kan, Pak Menteri…?
(Tetapi, omong-omong, kalau tidak ada yang mengedarkan, lalu bagaimana cara kita bisa mendapatkan dan menikmatinya?).
Fact #8
Saya suka, dan nyaman tinggal di rumah
Bahasa simpelnya, saya cowok rumahan. Kalau sudah di rumah, rasanya senang, tenang, nyaman… damai, dan tak ingin keluar-keluar lagi. Dengan sebuah komputer yang terhubung internet, rokok, dan buku-buku, saya bisa tahan berada di rumah hingga berbulan-bulan tanpa keluar sama sekali—kalau saja tidak perlu beli nasi dan keperluan sehari-hari.
Saya tinggal sendirian, jadi rumah saya sepi dan hening. Tanpa suara apa pun selain kadang suara saya sendiri yang bersenandung. Dan saya menyukai, menikmati, keheningan seperti itu. Di dalam rumahlah saya merasa memiliki kebebasan yang tidak saya miliki di luar rumah. Di dalam rumah, segala bentuk aturan di luar tak berlaku lagi, dan saya merasa merdeka.
Bagi saya, rumah adalah suaka kebebasan jiwa.
Fact #9
Sebenarnya… saya pemalu
Huhuhu, ini benar. Sebenarnya saya pemalu. Saya tidak tahu apa kesan kalian pada saya setelah membaca tulisan-tulisan saya selama ini di blog, tapi aslinya saya pemalu, khususnya dengan orang yang tidak saya kenal atau baru saya kenal. Karenanya, menulis benar-benar membuat saya enjoy, karena saya merasa lebih leluasa.
Kalau kita baru ketemu, mungkin sikap saya akan terlihat malu-malu, dan terkesan pendiam. Tapi kalau cocok dengan seseorang, saya dapat asyik ngobrol, bercanda, bahkan tertawa ngakak. Meski mungkin tulisan-tulisan saya selama ini terkesan ‘berat dan serius’, tapi dalam keseharian saya lebih sering santai. Teman-teman saya bahkan jarang sekali melihat saya serius, dan saya juga lebih suka ngobrol hal-hal ringan dengan mereka.
Fact #10
Saya senang kalian membaca post ini hingga kalimat terakhir
Hehe… :)
Dunia ini memiliki banyak hal yang kita inginkan, dan akan memberikan semuanya kepada kita, dengan satu syarat mutlak—kita memenuhi persyaratannya.
....
....
Kehidupan ini hanya membayar sebesar yang layak kita dapatkan. Kalau kita meminta bayaran yang kecil, kehidupan akan membayarnya. Begitu pula jika kita meminta bayaran yang besar, kehidupan tetap akan membayarnya. Hanya saja, tentu berbeda cara memperolehnya. Bayaran yang kecil hanya menuntut usaha yang kecil, begitu pula bayaran yang besar juga menuntut upaya yang besar.
Satu-satunya cap harga yang sah menyangkut diri kita adalah yang kita pasang pada diri sendiri. Kalau kita memberikan harga yang terlalu rendah kepada diri sendiri, dunia akan setuju—dan akan membayarnya sebesar itu.
Tetapi, kalau kita memberikan harga yang paling baik kepada diri sendiri, dunia pun tetap bersedia menerima penetapan harga tersebut—dan membayar semahal apa pun yang kita inginkan.
Kita, masing-masing dari kita, hanya mendapatkan sesuai yang layak kita peroleh—sebagaimana yang kita refleksikan.
....
....
Kehidupan ini hanya membayar sebesar yang layak kita dapatkan. Kalau kita meminta bayaran yang kecil, kehidupan akan membayarnya. Begitu pula jika kita meminta bayaran yang besar, kehidupan tetap akan membayarnya. Hanya saja, tentu berbeda cara memperolehnya. Bayaran yang kecil hanya menuntut usaha yang kecil, begitu pula bayaran yang besar juga menuntut upaya yang besar.
Satu-satunya cap harga yang sah menyangkut diri kita adalah yang kita pasang pada diri sendiri. Kalau kita memberikan harga yang terlalu rendah kepada diri sendiri, dunia akan setuju—dan akan membayarnya sebesar itu.
Tetapi, kalau kita memberikan harga yang paling baik kepada diri sendiri, dunia pun tetap bersedia menerima penetapan harga tersebut—dan membayar semahal apa pun yang kita inginkan.
Kita, masing-masing dari kita, hanya mendapatkan sesuai yang layak kita peroleh—sebagaimana yang kita refleksikan.
Fakta paling menakjubkan yang pernah saya baca menyangkut kekuatan individu adalah kenyataan bahwa 83 persen dari milyuner zaman sekarang dilahirkan dalam keluarga miskin atau menengah. Apakah ini tidak menakjubkan? Fakta ini juga menyampaikan pesan tersirat bahwa kemiskinan adalah modal potensial untuk mencapai kesuksesan!
Sekali lagi, delapan puluh tiga persen milyuner yang ada di muka bumi ini lahir dan berasal dari kemiskinan.
Kemiskinan sering kali memaksa orang untuk berpikir dewasa dan matang saat ia masih anak-anak atau remaja. Kemiskinan menekan orang untuk bisa survive menghadapi kehidupan dengan upaya-upaya kreatif yang positif. Kemiskinan memaksa orang untuk berjuang dengan meninggalkan gengsi dan prestise semu untuk menghadapi kenyataan hidup.
Kemiskinan memojokkan orang ke dinding kenyataan untuk memahami bahwa jika ia tak berbuat sesuatu bagi hidupnya, maka dia akan terus tergilas. Kemiskinan memeras energi manusia untuk berpikir, merencanakan, bekerja, berbuat, berdoa, dan berkeinginan.
Kemiskinan membawa orang kepada kesadaran bahwa dia menggenggam takdir hidup di tangannya, dan dia bisa menjadikan dirinya tetap miskin selamanya ataukah keluar dari kemiskinannya. Pendeknya, kemiskinan adalah rahmat tersembunyi, anugerah tersamar, yang sengaja diturunkan Tuhan bagi hamba yang dipilih-Nya untuk mengenali esensi hidup yang tidak Dia berikan kepada orang-orang yang terlahir dalam kekayaan.
Horace, orang bijak dari Romawi, sekian abad yang lalu telah mengatakan, “Kesukaran membuahkan bakat yang pada keadaan lebih menguntungkan biasanya tertidur pulas.”
Sekali lagi, delapan puluh tiga persen milyuner yang ada di muka bumi ini lahir dan berasal dari kemiskinan.
Kemiskinan sering kali memaksa orang untuk berpikir dewasa dan matang saat ia masih anak-anak atau remaja. Kemiskinan menekan orang untuk bisa survive menghadapi kehidupan dengan upaya-upaya kreatif yang positif. Kemiskinan memaksa orang untuk berjuang dengan meninggalkan gengsi dan prestise semu untuk menghadapi kenyataan hidup.
Kemiskinan memojokkan orang ke dinding kenyataan untuk memahami bahwa jika ia tak berbuat sesuatu bagi hidupnya, maka dia akan terus tergilas. Kemiskinan memeras energi manusia untuk berpikir, merencanakan, bekerja, berbuat, berdoa, dan berkeinginan.
Kemiskinan membawa orang kepada kesadaran bahwa dia menggenggam takdir hidup di tangannya, dan dia bisa menjadikan dirinya tetap miskin selamanya ataukah keluar dari kemiskinannya. Pendeknya, kemiskinan adalah rahmat tersembunyi, anugerah tersamar, yang sengaja diturunkan Tuhan bagi hamba yang dipilih-Nya untuk mengenali esensi hidup yang tidak Dia berikan kepada orang-orang yang terlahir dalam kekayaan.
Horace, orang bijak dari Romawi, sekian abad yang lalu telah mengatakan, “Kesukaran membuahkan bakat yang pada keadaan lebih menguntungkan biasanya tertidur pulas.”
Post mengenai keluhan plagiasi di dunia blog, saya baca pertama kali di blognya Desfirawita (Wiwit). Di post terbarunya kemarin, dia mengeluhkan posting-postingnya yang dibajak semena-mena oleh orang lain, dan kemudian diposting di blognya sendiri dan diakui sebagai karyanya. Karena jengkel atas ulah si pembajak, Wiwit pun memposting link si pembajak secara terang-terangan di blognya.
Seiring dengan posting Wiwit yang marah atas pembajakan itu, ternyata ada blogger lain yang mengalami hal serupa. Enno, salah satu blogger yang memiliki banyak pembaca fanatik, ngamuk-ngamuk karena tulisan-tulisannya di blog dibajak oleh beberapa blogger lain, dan diakui sebagai karyanya sendiri. Karena murka, dia pun menulis post yang secara khusus ditujukan kepada para pembajak karya-karyanya.
Gita, blogger yang juga editor di GagasMedia, juga mengalami hal serupa. Dia marah-marah karena puisi-puisi yang ia tulis di blog dicuri orang lain, dan kemudian diakui sebagai karyanya sendiri. Ironisnya, ketika Gita mencoba menghubungi si pencuri, orang itu malah menjawab dengan nada meremehkan, “Yaelah, puisi kayak gitu aja diributin!” Tentu saja Gita ngamuk-ngamuk, dan demi Tuhan saya memaklumi kalau dia ngamuk-ngamuk.
Blog Itik Bali juga tak luput dari aksi pencurian seperti di atas. Seorang blogger newbie meng-copas mentah-mentah posting di blog Itik Bali, dan kemudian mempostingnya di blognya sendiri. Mungkin blogger itu tidak sadar kalau post yang dicurinya itu mudah terdeteksi karena berasal dari blog terkenal. Gilanya, seluruh materi blog si newbie ini berasal dari copy-paste semua. Satu pun tidak ada post yang orisinal di blognya.
Yang membuat saya ikutan jengkel, post dari blog Itik Bali yang di-copas mentah-mentah itu adalah post yang di dalamnya ada nama saya! Akibatnya, muncul kesan seolah-olah saya adalah sohib si blogger-tolol-tukang-copas! *LOL campur dongkol*
Selain empat blogger di atas, daftar ini masih bisa diperpanjang dengan nama-nama blogger lain yang juga mengalami masalah serupa—tulisan mereka dicuri atau dibajak atau diplagiat orang lain, kemudian diposting di blog si pencuri, dan diakui sebagai karyanya sendiri.
Nah, setelah mendapati banyaknya kasus pencurian, plagiasi, dan pembajakan itu, saya mulai curiga, jangan-jangan saya pun mengalami hal sama. Maka saya pun mulai melacaknya, dan… taraaaaa!
Setelah semalam suntuk menghadapi komputer, saya mendapati empat belas blog yang ternyata telah mengambil tulisan-tulisan saya di blog ini. Ada yang telah mengambilnya sejak setahun lalu, ada pula yang baru kemarin-kemarin. (Itu yang baru saya temukan. Bisa jadi ada blog-blog lain yang belum saya temukan—hanya Tuhan dan pemiliknya yang tahu). Di antara 14 blog itu, 2 blog sudah tidak aktif, tapi 12 lainnya masih aktif hingga hari ini.
Sebenarnya, di luar 14 blog tersebut, ada blog-blog lain yang juga memposting tulisan-tulisan saya, tapi saya tidak mempermasalahkan, karena mereka menyertakan keterangan bahwa tulisan itu bersumber dari blog saya, meski mereka tidak menyertakan link atau minta izin.
Saya shock. Lebih shock lagi ketika saya juga mendapati bahwa ternyata di Facebook ada sebuah group/forum yang isinya membahas tulisan-tulisan saya yang dulu saya posting di blog Arus Minor.
Oke, biar jelas, saya ceritakan satu per satu.
Pertama soal plagiasi atas tulisan-tulisan saya di empat belas blog di atas. Saya sudah menghubungi masing-masing orang yang bertanggung jawab atas blog itu, dan meminta mereka untuk secepatnya menghapus tulisan-tulisan saya dari blog mereka.
Jika permintaan saya ditanggapi dengan positif, maka saya akan menghentikan urusan ini sampai di sini. Tapi jika hingga batas waktu yang saya tetapkan mereka tidak mau mengindahkan permintaan tersebut, maka saya akan membukakannya satu per satu di sini, agar ribuan pembaca blog ini mengetahuinya.
Omong-omong, sebagian besar materi yang ada di blog ini kelak akan diterbitkan menjadi buku. Karenanya, siapa pun yang mengambil tulisan di blog ini secara tidak sah, maka urusannya kelak tidak hanya dengan saya pribadi, tapi juga dengan penerbit sebagai lembaga.
Buku Inner Wisdom, yang sampulnya bisa kalian lihat di side bar blog ini, adalah buku pertama yang seluruh materinya berisi tulisan di blog ini. Dan hal itu akan terus dilakukan di masa mendatang. Artinya, pelan namun pasti tulisan-tulisan di blog ini akan dikumpulkan untuk diterbitkan. Setelah itu terjadi, maka penerbit saya (sebagai lembaga) dapat menuntut siapa pun yang telah mengambil tulisan di blog ini, dan dapat memperkarakannya ke pengadilan.
Jika ini terdengar main-main, sekarang perhatikan fakta berikut ini.
Tujuh bulan yang lalu, seorang penulis dan sebuah penerbit di Yogya mengalami masalah plagiasi, dan akhirnya membayar tuntutan sebesar Rp. 500.000.000,- (setengah milyar rupiah).
Perkara ini dimulai dengan penerbit A yang menerbitkan sebuah novel berjudul X. Enam bulan sebelumnya, ada penerbit lain (Penerbit B) yang menerbitkan novel berjudul Z. [Saya merahasiakan identitas mereka atas alasan etika].
Nah, ketika novel X di atas terbit, Penerbit B menemukan bahwa ada satu paragraf (saya ulangi, satu paragraf!) di dalam novel itu, yang sama dengan paragraf di novel Z. Penerbit B tidak terima, karena menganggap penulis novel X menjiplak paragraf di novel Z, lalu mereka pun melayangkan tuntutan ke penerbit A, sekaligus ke pihak penulisnya.
Coba lihat. Hanya satu paragraf yang sama, dan itu sudah dapat dijadikan sebagai dasar penuntutan. Sekarang lihat kelanjutannya.
Ketika Penerbit A mendapatkan somasi dari penerbit B, Penerbit A mencoba mengelak dan menyatakan bahwa kesamaan paragraf itu kemungkinan besar hanya kebetulan. Urusan itu pun jadi panas. Penerbit B meradang dan akan membawa masalah itu secara hukum ke pengadilan, dan menuntut Penerbit A sebanyak satu milyar.
Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk mendatangkan saksi ahli, dan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Berdasarkan penilaian para saksi ahli, kesamaan paragraf dalam novel X itu memang plagiasi/jiplakan atas paragraf yang ada di dalam novel Z. Atas hal tersebut, maka Penerbit A diminta untuk menarik dan memusnahkan semua novel X, sekaligus membayar denda sejumlah setengah milyar rupiah (separuh dari jumlah tuntutan semula) kepada penerbit B.
See…? Hanya menjiplak satu paragraf, dan hasilnya adalah denda sebesar setengah milyar rupiah! Itu jumlah yang tidak sedikit, bahkan bagi seorang jutawan sekalipun!
Urusan plagiasi bukan urusan main-main, termasuk plagiasi di blog dan internet. Kalau kau punya gelar profesor, atau doktor, atau sarjana sekalipun, gelarmu akan dicopot begitu ketahuan melakukan praktik plagiasi. Artinya, plagiasi adalah pekerjaan yang benar-benar “dikutuk” dan tak terampuni.
Oke, memang ada orang yang melakukan plagiasi dan sekarang menjadi menteri. Tapi siapa yang bisa menjamin kau melakukan plagiasi hari ini, dan tahun depan diangkat jadi menteri? Kalau Indonesia hari ini adalah negara yang bobrok, sehingga orang yang jelas-jelas tertangkap melakukan plagiasi tetap diangkat menjadi menteri, saya tidak yakin kebobrokan itu akan berlangsung selamanya. Cepat atau lambat, bau busuk bangkai akan tercium, dan orang akan membuangnya.
Tulisan adalah anak-anak jiwa penulisnya. Karenanya, siapa pun yang menyatakan bahwa plagiasi atau penjiplakan sebagai hal yang “lumrah atau wajar-wajar saja”, maka bayangkanlah jika anak-anakmu diculik orang lain, dan kemudian diakui sebagai anaknya sendiri.
Sekali lagi, plagiasi bukan urusan main-main. Kaulakukan hal ini, dan kau akan menghadapi masalah. Plagiasi adalah kejahatan, karena ia bagian dari pencurian atau perampokan. Sebagaimana pencurian dan perampokan benda-benda fisik, pencurian dan perampokan intelektual (tulisan) juga dapat dituntut secara hukum.
Ehmmm…
Sekarang kita bahas soal kedua, yakni soal forum/group di Facebook yang membahas tulisan-tulisan saya di blog Arus Minor. Saya perlu menuliskan hal ini sebagai klarifikasi kepada siapa pun yang selama ini telah “tertipu” dan menyangka saya admin forum/group di Facebook tersebut.
Lima tahun yang lalu, pada 2006, saya membuat blog bernama Arus Minor. Di dalam blog itu, saya menuliskan pemikiran-pemikiran saya mengenai pendidikan, psikologi, teologi, filsafat, juga hal-hal lain yang saya minati. Itu blog private, jadi hanya dapat diakses oleh orang-orang yang memang saya undang.
Di blog tersebut, saya berdiskusi dengan seratus orang (jumlah maksimal yang diizinkan Blogger) tentang banyak hal yang saya tuliskan. Blog itu sengaja tidak saya buka secara umum, karena materi postingnya yang cenderung kontroversial.
Lama-lama, blog yang tertutup itu mulai terkenal dan menjadi pembicaraan banyak orang. Saya pun mendapat permintaan dari banyak orang yang ingin bisa mengakses blog tersebut. Yang jadi masalah, jumlah pengakses blog itu sudah maksimal, dan saya tidak bisa menambah orang lagi. Akhirnya, daripada merasa tidak enak, blog itu pun saya tutup, dan tidak bisa diakses siapa pun lagi. (Penjelasan selebihnya bisa dibaca di sini dan di sini).
Nah, ternyata, tulisan-tulisan yang dulu saya posting di blog Arus Minor tersebut sekarang telah “dipindahkan” ke sebuah forum di Facebook—tanpa sepengetahuan saya. Hal itu rupanya telah berjalan hampir satu tahun ini, dan orang-orang yang ikut bergabung ke dalam forum itu menyangka kalau sayalah admin group/forum itu.
Kemarin, ketika saya berhasil masuk ke forum itu melalui tracking, saya mendapati ada 64 (enam puluh empat) tulisan saya yang telah didiskusikan di sana—tanpa saya tahu!
Cukup mudah melacak siapa orang yang telah melakukan hal itu, dan saya pun telah menghubungi pelakunya untuk segera menutup dan menghapus group/forum tersebut.
Jadi, kawan-kawan, melalui post ini saya ingin mengklarifikasi bahwa saya bukan admin group itu, dan saya juga tidak punya sangkut-paut dengan group tersebut, meski tulisan-tulisan yang diposting dan didiskusikan di sana adalah tulisan-tulisan saya. Selain itu, saya juga ingin mengklarifikasi sekaligus menegaskan bahwa apa pun yang menggunakan nama saya di Facebook bukan dibuat oleh saya—entah akun, forum, group, ataupun lainnya.
Sampai saya menulis catatan ini, saya tidak punya akun atau apa pun di Facebook. Kelak, jika saya memang telah membuat akun di Facebook, saya akan memberitahukan hal itu secara resmi di sini.
Terakhir, kepada siapa pun yang telah melakukan plagiasi—baik atas tulisan-tulisan saya maupun tulisan orang lain—saya ingin mengingatkan hal penting ini, “Berhentilah menjadi orang lain, dan mulailah menjadi dirimu sendiri.”
Seiring dengan posting Wiwit yang marah atas pembajakan itu, ternyata ada blogger lain yang mengalami hal serupa. Enno, salah satu blogger yang memiliki banyak pembaca fanatik, ngamuk-ngamuk karena tulisan-tulisannya di blog dibajak oleh beberapa blogger lain, dan diakui sebagai karyanya sendiri. Karena murka, dia pun menulis post yang secara khusus ditujukan kepada para pembajak karya-karyanya.
Gita, blogger yang juga editor di GagasMedia, juga mengalami hal serupa. Dia marah-marah karena puisi-puisi yang ia tulis di blog dicuri orang lain, dan kemudian diakui sebagai karyanya sendiri. Ironisnya, ketika Gita mencoba menghubungi si pencuri, orang itu malah menjawab dengan nada meremehkan, “Yaelah, puisi kayak gitu aja diributin!” Tentu saja Gita ngamuk-ngamuk, dan demi Tuhan saya memaklumi kalau dia ngamuk-ngamuk.
Blog Itik Bali juga tak luput dari aksi pencurian seperti di atas. Seorang blogger newbie meng-copas mentah-mentah posting di blog Itik Bali, dan kemudian mempostingnya di blognya sendiri. Mungkin blogger itu tidak sadar kalau post yang dicurinya itu mudah terdeteksi karena berasal dari blog terkenal. Gilanya, seluruh materi blog si newbie ini berasal dari copy-paste semua. Satu pun tidak ada post yang orisinal di blognya.
Yang membuat saya ikutan jengkel, post dari blog Itik Bali yang di-copas mentah-mentah itu adalah post yang di dalamnya ada nama saya! Akibatnya, muncul kesan seolah-olah saya adalah sohib si blogger-tolol-tukang-copas! *LOL campur dongkol*
Selain empat blogger di atas, daftar ini masih bisa diperpanjang dengan nama-nama blogger lain yang juga mengalami masalah serupa—tulisan mereka dicuri atau dibajak atau diplagiat orang lain, kemudian diposting di blog si pencuri, dan diakui sebagai karyanya sendiri.
Nah, setelah mendapati banyaknya kasus pencurian, plagiasi, dan pembajakan itu, saya mulai curiga, jangan-jangan saya pun mengalami hal sama. Maka saya pun mulai melacaknya, dan… taraaaaa!
Setelah semalam suntuk menghadapi komputer, saya mendapati empat belas blog yang ternyata telah mengambil tulisan-tulisan saya di blog ini. Ada yang telah mengambilnya sejak setahun lalu, ada pula yang baru kemarin-kemarin. (Itu yang baru saya temukan. Bisa jadi ada blog-blog lain yang belum saya temukan—hanya Tuhan dan pemiliknya yang tahu). Di antara 14 blog itu, 2 blog sudah tidak aktif, tapi 12 lainnya masih aktif hingga hari ini.
Sebenarnya, di luar 14 blog tersebut, ada blog-blog lain yang juga memposting tulisan-tulisan saya, tapi saya tidak mempermasalahkan, karena mereka menyertakan keterangan bahwa tulisan itu bersumber dari blog saya, meski mereka tidak menyertakan link atau minta izin.
Saya shock. Lebih shock lagi ketika saya juga mendapati bahwa ternyata di Facebook ada sebuah group/forum yang isinya membahas tulisan-tulisan saya yang dulu saya posting di blog Arus Minor.
Oke, biar jelas, saya ceritakan satu per satu.
Pertama soal plagiasi atas tulisan-tulisan saya di empat belas blog di atas. Saya sudah menghubungi masing-masing orang yang bertanggung jawab atas blog itu, dan meminta mereka untuk secepatnya menghapus tulisan-tulisan saya dari blog mereka.
Jika permintaan saya ditanggapi dengan positif, maka saya akan menghentikan urusan ini sampai di sini. Tapi jika hingga batas waktu yang saya tetapkan mereka tidak mau mengindahkan permintaan tersebut, maka saya akan membukakannya satu per satu di sini, agar ribuan pembaca blog ini mengetahuinya.
Omong-omong, sebagian besar materi yang ada di blog ini kelak akan diterbitkan menjadi buku. Karenanya, siapa pun yang mengambil tulisan di blog ini secara tidak sah, maka urusannya kelak tidak hanya dengan saya pribadi, tapi juga dengan penerbit sebagai lembaga.
Buku Inner Wisdom, yang sampulnya bisa kalian lihat di side bar blog ini, adalah buku pertama yang seluruh materinya berisi tulisan di blog ini. Dan hal itu akan terus dilakukan di masa mendatang. Artinya, pelan namun pasti tulisan-tulisan di blog ini akan dikumpulkan untuk diterbitkan. Setelah itu terjadi, maka penerbit saya (sebagai lembaga) dapat menuntut siapa pun yang telah mengambil tulisan di blog ini, dan dapat memperkarakannya ke pengadilan.
Jika ini terdengar main-main, sekarang perhatikan fakta berikut ini.
Tujuh bulan yang lalu, seorang penulis dan sebuah penerbit di Yogya mengalami masalah plagiasi, dan akhirnya membayar tuntutan sebesar Rp. 500.000.000,- (setengah milyar rupiah).
Perkara ini dimulai dengan penerbit A yang menerbitkan sebuah novel berjudul X. Enam bulan sebelumnya, ada penerbit lain (Penerbit B) yang menerbitkan novel berjudul Z. [Saya merahasiakan identitas mereka atas alasan etika].
Nah, ketika novel X di atas terbit, Penerbit B menemukan bahwa ada satu paragraf (saya ulangi, satu paragraf!) di dalam novel itu, yang sama dengan paragraf di novel Z. Penerbit B tidak terima, karena menganggap penulis novel X menjiplak paragraf di novel Z, lalu mereka pun melayangkan tuntutan ke penerbit A, sekaligus ke pihak penulisnya.
Coba lihat. Hanya satu paragraf yang sama, dan itu sudah dapat dijadikan sebagai dasar penuntutan. Sekarang lihat kelanjutannya.
Ketika Penerbit A mendapatkan somasi dari penerbit B, Penerbit A mencoba mengelak dan menyatakan bahwa kesamaan paragraf itu kemungkinan besar hanya kebetulan. Urusan itu pun jadi panas. Penerbit B meradang dan akan membawa masalah itu secara hukum ke pengadilan, dan menuntut Penerbit A sebanyak satu milyar.
Akhirnya, kedua belah pihak sepakat untuk mendatangkan saksi ahli, dan menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Berdasarkan penilaian para saksi ahli, kesamaan paragraf dalam novel X itu memang plagiasi/jiplakan atas paragraf yang ada di dalam novel Z. Atas hal tersebut, maka Penerbit A diminta untuk menarik dan memusnahkan semua novel X, sekaligus membayar denda sejumlah setengah milyar rupiah (separuh dari jumlah tuntutan semula) kepada penerbit B.
See…? Hanya menjiplak satu paragraf, dan hasilnya adalah denda sebesar setengah milyar rupiah! Itu jumlah yang tidak sedikit, bahkan bagi seorang jutawan sekalipun!
Urusan plagiasi bukan urusan main-main, termasuk plagiasi di blog dan internet. Kalau kau punya gelar profesor, atau doktor, atau sarjana sekalipun, gelarmu akan dicopot begitu ketahuan melakukan praktik plagiasi. Artinya, plagiasi adalah pekerjaan yang benar-benar “dikutuk” dan tak terampuni.
Oke, memang ada orang yang melakukan plagiasi dan sekarang menjadi menteri. Tapi siapa yang bisa menjamin kau melakukan plagiasi hari ini, dan tahun depan diangkat jadi menteri? Kalau Indonesia hari ini adalah negara yang bobrok, sehingga orang yang jelas-jelas tertangkap melakukan plagiasi tetap diangkat menjadi menteri, saya tidak yakin kebobrokan itu akan berlangsung selamanya. Cepat atau lambat, bau busuk bangkai akan tercium, dan orang akan membuangnya.
Tulisan adalah anak-anak jiwa penulisnya. Karenanya, siapa pun yang menyatakan bahwa plagiasi atau penjiplakan sebagai hal yang “lumrah atau wajar-wajar saja”, maka bayangkanlah jika anak-anakmu diculik orang lain, dan kemudian diakui sebagai anaknya sendiri.
Sekali lagi, plagiasi bukan urusan main-main. Kaulakukan hal ini, dan kau akan menghadapi masalah. Plagiasi adalah kejahatan, karena ia bagian dari pencurian atau perampokan. Sebagaimana pencurian dan perampokan benda-benda fisik, pencurian dan perampokan intelektual (tulisan) juga dapat dituntut secara hukum.
Ehmmm…
Sekarang kita bahas soal kedua, yakni soal forum/group di Facebook yang membahas tulisan-tulisan saya di blog Arus Minor. Saya perlu menuliskan hal ini sebagai klarifikasi kepada siapa pun yang selama ini telah “tertipu” dan menyangka saya admin forum/group di Facebook tersebut.
Lima tahun yang lalu, pada 2006, saya membuat blog bernama Arus Minor. Di dalam blog itu, saya menuliskan pemikiran-pemikiran saya mengenai pendidikan, psikologi, teologi, filsafat, juga hal-hal lain yang saya minati. Itu blog private, jadi hanya dapat diakses oleh orang-orang yang memang saya undang.
Di blog tersebut, saya berdiskusi dengan seratus orang (jumlah maksimal yang diizinkan Blogger) tentang banyak hal yang saya tuliskan. Blog itu sengaja tidak saya buka secara umum, karena materi postingnya yang cenderung kontroversial.
Lama-lama, blog yang tertutup itu mulai terkenal dan menjadi pembicaraan banyak orang. Saya pun mendapat permintaan dari banyak orang yang ingin bisa mengakses blog tersebut. Yang jadi masalah, jumlah pengakses blog itu sudah maksimal, dan saya tidak bisa menambah orang lagi. Akhirnya, daripada merasa tidak enak, blog itu pun saya tutup, dan tidak bisa diakses siapa pun lagi. (Penjelasan selebihnya bisa dibaca di sini dan di sini).
Nah, ternyata, tulisan-tulisan yang dulu saya posting di blog Arus Minor tersebut sekarang telah “dipindahkan” ke sebuah forum di Facebook—tanpa sepengetahuan saya. Hal itu rupanya telah berjalan hampir satu tahun ini, dan orang-orang yang ikut bergabung ke dalam forum itu menyangka kalau sayalah admin group/forum itu.
Kemarin, ketika saya berhasil masuk ke forum itu melalui tracking, saya mendapati ada 64 (enam puluh empat) tulisan saya yang telah didiskusikan di sana—tanpa saya tahu!
Cukup mudah melacak siapa orang yang telah melakukan hal itu, dan saya pun telah menghubungi pelakunya untuk segera menutup dan menghapus group/forum tersebut.
Jadi, kawan-kawan, melalui post ini saya ingin mengklarifikasi bahwa saya bukan admin group itu, dan saya juga tidak punya sangkut-paut dengan group tersebut, meski tulisan-tulisan yang diposting dan didiskusikan di sana adalah tulisan-tulisan saya. Selain itu, saya juga ingin mengklarifikasi sekaligus menegaskan bahwa apa pun yang menggunakan nama saya di Facebook bukan dibuat oleh saya—entah akun, forum, group, ataupun lainnya.
Sampai saya menulis catatan ini, saya tidak punya akun atau apa pun di Facebook. Kelak, jika saya memang telah membuat akun di Facebook, saya akan memberitahukan hal itu secara resmi di sini.
Terakhir, kepada siapa pun yang telah melakukan plagiasi—baik atas tulisan-tulisan saya maupun tulisan orang lain—saya ingin mengingatkan hal penting ini, “Berhentilah menjadi orang lain, dan mulailah menjadi dirimu sendiri.”
Akhir-akhir ini saya kok jadi sering lupa. Entah karena terlalu stres mikir kerjaan atau karena lainnya. Saya juga hampir lupa kalau bulan ini belum memposting pertanyaan teman-teman yang sudah ngendon di inbox.
Well, mumpung ingat, berikut ini beberapa pertanyaan seputar buku yang mungkin sudah nunggu lama. Maafkan sobat kalian yang sekarang jadi mudah lupa ini ya…
Da’, ini nyambung postingmu yang dulu ya, soal “Codex Leicester”-nya Leonardo DaVinci. Sekarang kan muncul box set DaVinci. Nah, di dalam box set itu terdapat “Codex Leicester”, nggak? Terus, apakah box set itu juga ada dalam edisi bahasa Indonesia?
Waah, sori, saya belum bisa memastikan apakah “Codex Leicester” masuk dalam box set itu atau tidak, karena sampai sekarang saya belum memilikinya. Mungkin satu-dua bulan ke depan saya baru bisa memastikan. Setahu saya, saat ini box set tersebut hanya tersedia dalam bahasa Inggris dan Jepang. Jadi, kalaupun kamu mendapatinya sudah masuk ke Indonesia, itu barang impor.
Ini untuk tugas kuliah—saya lagi nyari buku “The World is Flat” karya Thomas L. Friedman. Apakah bukunya sudah diterjemahkan dan sudah masuk ke Indonesia?
Seharusnya, pertanyaan yang tepat adalah, “Apakah bukunya masih ada di Indonesia?” Hehehe, soalnya “The World is Flat” sudah lama masuk ke Indonesia dalam edisi terjemahan, dan sudah terbit pada tahun 2006. Buku itu diterbitkan Penerbit Dian Rakyat. Saya tidak yakin kalau sekarang bukunya masih ada di toko-toko buku. Kalau memang penting banget, coba langsung hubungi penerbitnya saja.
Dulu, kamu pernah nulis post mengenai buku “Mein Kampf” yang ditulis Adolf Hitler. Saya jadi penasaran ingin membaca isinya. Sepertinya asyik bisa menyelami pikiran-pikiran Hitler. Apakah buku itu juga diterjemahkan ke bahasa Indonesia? Atau jangan-jangan kamu membacanya dalam bahasa Jerman?
Waduh, ngomong Jerman saja saya nggak bisa, apalagi membaca buku berbahasa Jerman?
“Mein Kampf” yang ditulis Hitler sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kok. Dan saya juga membacanya dalam bahasa Indonesia. Ada beberapa penerbit di Indonesia yang menerbitkan buku tersebut, dan masing-masing penerbit menerbitkannya dalam bentuk berbeda.
Maksudnya, ketika Hitler menulis “Mein Kampf”, separuh bagiannya ia tulis di dalam penjara, dan separuhnya lagi ia tulis setelah keluar dari penjara. Masing-masing bagian itu—dulunya—diterbitkan secara terpisah (Mein Kampf I dan Mein Kampf II). Jadi, sebenarnya, “Mein Kampf” terdiri atas dua jilid.
Nah, penerbit di Indonesia ada yang menerbitkannya dalam dua jilid terpisah, ada pula yang menerbitkannya secara sekaligus (menyatukan kedua jilid itu dalam satu terbitan, sehingga bukunya tebal sekali). Mungkin—sekali lagi, mungkin—buku si keparat itu masih bisa didapatkan di toko-toko buku. Coba aja cari, siapa tahu kamu bisa kenalan dengan si Hitler. :D
Saya lagi ngefans sama Tan Malaka. Membaca pemikiran-pemikirannya di beberapa blog yang mengulas tentangnya, saya jadi penasaran ingin membaca Tan Malaka seutuhnya. Kalau tidak keliru, Tan Malaka juga menulis buku berjudul “Madilog”, kan? Kira-kira buku itu masih ada nggak ya? Karena itu kan buku jadul.
Tan Malaka adalah salah satu bocah jenius Indonesia yang pemikiran-pemikirannya layak kita dengarkan, dan “Madilog” memang benar-benar layak dibaca!
Apakah saat ini “Madilog” masih ada? Masih! Kita patut bersyukur, karena ada penerbit di Yogya yang menerbitkan “Madilog” setahun kemarin, dan kemungkinan besar masih bisa dicari di toko-toko buku. Semoga ketemu ya, dan titip salam buat Tan. :)
Bayangkan seorang petani yang tidak sabar menunggu padinya tumbuh dan membesar. Setelah dia selesai menyemai benihnya di sawah, setiap hari ia menunggui dan memperhatikan benih-benih itu. Ketika benih yang disemainya mulai tumbuh beberapa inci, dia tak sabar lagi untuk segera bisa menyaksikan padinya tumbuh dan membesar.
Maka petani itu pun memutuskan untuk memaksa padinya agar segera membesar dengan cara menarik setiap batang padi, supaya menjadi kira-kira ‘lebih panjang’ satu inci. Karena pemaksaan itu, benih padi bukannya semakin cepat tumbuh, tetapi justru layu dan mati.
Apa artinya itu...?
Semuanya membutuhkan proses. Dan kalau kita tak mau sabar dalam proses itu, kita sering kali justru tidak mendapatkan apa-apa. Resepnya? Sirami saja benih yang telah ditanam, rawat dengan baik, jaga dari serangan hama, dan pada suatu saatnya nanti, benih itu pun akan tumbuh membesar dengan sendirinya.
Kebenaran hanya bisa dipahami, dihayati, dan dirasakan oleh mereka yang mempunyai kemauan, kapasitas, dan potensi untuk itu. Mereka yang tak punya kapasitas dan potensi itu bakal salah paham, salah tafsir, tersinggung, dan tak bakal memahami.
Di Ukraina, ada seorang gadis bernama Katya Koren yang menjadi korban “kekeliruan” sekelompok anak lelaki. Ceritanya, gadis berusia 19 tahun ini mengikuti kontes kecantikan yang ia harapkan dapat menjadi batu loncatannya dalam merintis karir sebagai fotomodel. Sebagai remaja yang mulai dewasa, Katya Koren menyukai tren dan suka berpenampilan modis—dan ia bermimpi dapat memasuki dunia glamour sebagaimana umumnya anak-anak muda.
Di dalam kontes itu, Katya tidak berhasil menjadi juara pertama—juri memberikan tempat di peringkat ketujuh. Bagi Katya, itu bukan soal, karena masih ada waktu lain kali, dan ia berharap dapat menjadi pemenang jika ada kesempatan lagi. Namun ternyata kesempatan gadis itu sudah habis. Hanya berselang satu hari semenjak mengikuti kontes kecantikan itu, dia lenyap.
Hilangnya Katya Koren sempat mengundang perhatian publik di Ukraina, karena waktu itu namanya sedang banyak dibicarakan sehubungan dengan kontes yang diikutinya. Keluarga dan masyarakat mencari-cari keberadaannya, dan kepolisian pun diterjunkan untuk membantu mencari kemana hilangnya perempuan itu. Satu minggu kemudian, Katya Koren berhasil ditemukan, namun sudah menjadi mayat.
Jasad perempuan ini ditemukan di sebuah hutan, dalam keadaan mengenaskan, dan masyarakat Ukraina pun gempar. Sebegitu gemparnya, sampai-sampai harian New York Daily News menjadikan berita itu sebagai salah satu headline pada 31 Mei 2011 kemarin.
Investigasi yang dilakukan polisi kemudian menemukan fakta bahwa terbunuhnya Katya Koren karena disiksa—dilempari batu sampai mati. Ketika para pelaku kejahatan itu tertangkap, lagi-lagi masyarakat gempar. Ternyata, pelaku kejahatan biadab itu dilakukan oleh tiga anak laki-laki, rata-rata berusia 16 tahun.
Kenapa tiga anak laki-laki yang masih bau kencur itu tega-teganya membunuh seorang perempuan yang tidak bersalah apa-apa pada mereka…? Bihal Gaziev, salah satu pelaku kejahatan itu, menyatakan dengan jumawa, “Kami merajam Katya Koren karena dia telah melanggar hukum agama, yakni mengikuti kontes kecantikan yang memamerkan aurat.”
Halooow…? Apakah ini terdengar konyol…???
Mungkin memang terdengar konyol, tetapi “kekonyolan” itu telah menewaskan seorang anak perempuan. Bihal Gaziev bersama konco-konconya mungkin membaca buku agama yang tidak dipahaminya, dan kemudian mengamalkan isinya secara ngawur karena ketidaktahuan dan ketidakpahamannya. Sekali lagi, mungkin ini konyol. Tetapi kekonyolan itu telah merampas hidup seorang manusia.
Setengah bulan sebelum kasus itu terjadi di Ukraina, ada kasus tak jauh beda yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Bengkulu. Anak lelaki yang terlibat dalam kasus ini bernama Febi Yulianda. Siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kabupaten Kepahiang ini masih berusia 14 tahun, tapi dia ditangkap dan ditahan polisi karena… merakit bom!
Bom yang dirakit anak ini juga bukan main-main—dia merakit bom buku, sesuatu yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian kepolisian di seluruh Indonesia. Bom buku itu disembunyikan di rumahnya, namun ditemukan oleh ayahnya. Si ayah membawa “buku” itu ke polisi, dan akhirnya terkuak bahwa pembuatnya adalah anaknya sendiri.
Bagaimana bisa seorang anak berusia 14 tahun sampai berpikir membuat bom buku…???
Hal itu berawal ketika Febi membaca sebuah buku berjudul “Mengungkap Berita Besar dalam Kitab Suci”. Buku yang tebalnya hampir 500 halaman ini ditulis oleh seseorang bernama Abdul Wahab. Di dalam buku itu terdapat panduan merakit bom buku—entah apa maksud penulisnya hingga memberikan intruksi dan panduan berbahaya semacam itu.
Yang jelas, Feby kemudian mengikuti intruksi dalam buku tersebut. Ia melubangi buku tebal yang dibacanya itu, memasangkan rangkaian komponen elektronik di dalamnya, dan mengemasnya hingga buku tersebut terlihat tak berbahaya. Bom hasil kreasi Feby itu memang tidak memiliki bahan peledak serta baterai, sehingga buku berbahaya itu tidak meledak. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau anak lelaki itu kelak tidak akan menemukan baterai dan bahan peledak…?
Yang jelas, “inspirasi” yang diperoleh Feby hingga membuat bom buku itu datang setelah ia membaca buku yang tidak dipahaminya. Mungkin, dengan nalurinya sebagai seorang bocah, dia membayangkan dirinya seperti Mac Gyver atau tokoh-tokoh superhero lain, dan kemudian ia terdorong melakukan intruksi buku yang dibacanya itu.
Meski polisi sempat menahannya, namun pengadilan pasti akan bingung untuk memutuskan vonis atas anak itu—jika kasus tersebut sampai ke pengadilan. Karena, betapa pun juga, Feby tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya tertarik pada buku yang dibacanya, dan kemudian tertarik pula untuk melakukan intruksinya. Kelak, kalau anak itu sampai duduk sebagai pesakitan di pengadilan, hakim pasti akan memaafkannya dengan alasan, “Dia memang keliru, tapi dia hanyalah anak yang tidak tahu.”
Feby, juga anak-anak lelaki di Ukraina, adalah anak-anak yang keliru—namun mereka tidak tahu bahwa mereka keliru. Feby “terinspirasi” oleh buku yang dibacanya, dan kemudian merakit bom tanpa sempat berpikir apakah yang dilakukannya itu benar ataukah tidak. Bihal Gaziev dan konco-konconya di Ukraina membunuh seorang perempuan juga karena “terinspirasi” oleh ajaran yang didengarnya, tanpa memahami esensi sesungguhnya dari ajaran yang mereka terima.
Mereka masih anak-anak. Dan ketika mereka melakukan kejahatan, para orang tua biasanya akan berusaha untuk dapat memakluminya. “Mereka tidak tahu,” mungkin begitu kata sebagian orang tua. Atau, “Mereka hanyalah anak-anak yang keliru,” kata sebagian orang tua yang lain. Well, mereka memang anak-anak yang keliru. Dan dunia akan berusaha memaklumi bahkan memaafkannya, karena mereka masih anak-anak.
Persoalannya, fellas, bagaimana kalau “kekeliruan” semacam itu dilakukan oleh orang-orang dewasa?
Bagaimana kalau sekelompok orang dewasa membaca buku yang sama, kemudian sama-sama “terinspirasi” dan merakit bom yang sama berbahayanya? Bagaimana kalau segerombolan orang dewasa menerima ajaran yang sama, dan sama-sama keliru memahaminya, kemudian sibuk mengamuk dan merajam secara membabi-buta?
Kita bisa berusaha memaklumi Febi Yulianda yang merakit bom buku karena ketidaktahuannya, karena dia masih anak-anak. Dengan pengertian serta bimbingan dari orang-orang dewasa yang berkompeten, Febi pasti dapat diberi pengertian yang benar sehingga memahami dan menyadari kekeliruan serta kesalahannya.
Begitu pun, dunia pasti akan berusaha memaafkan Bihal Gaziev beserta dua temannya yang membunuh Katya Koren, karena mereka masih anak-anak. Meski ulah mereka dapat digolongkan kejahatan besar, yakni pembunuhan, tapi bagaimana pun juga mereka masih anak-anak. Dengan bimbingan orang yang tepat, dunia bisa berharap anak-anak yang keliru itu bisa disadarkan dan kembali ke jalan yang benar.
Tetapi, sekali lagi, bagaimana kalau perbuatan yang sama seperti mereka dilakukan orang-orang dewasa? Jika anak-anak mungkin masih mau menyadari kesalahan dan kekeliruannya, orang dewasa lebih sulit untuk sampai pada tahap kesadaran semacam itu. Jika anak-anak dapat diberitahu, “Hei, itu keliru,” maka orang dewasa menutup telinganya dari teguran semacam itu.
Ketika orang dewasa (apalagi orang dewasa yang merasa pintar) membaca suatu buku atau menerima ajaran tertentu dan kemudian keliru memahaminya, mereka biasanya sulit—bahkan sangat sulit—ditegur atau diingatkan. Yang ada, mereka justru merasa benar, lalu dengan membabi-buta melaksanakan ajaran itu dengan sama kelirunya. Jadi mereka pun merakit bom dan meledakkan orang-orang tak berdosa. Sementara yang lain sibuk mengamuk di sana-sini tanpa sempat melakukan muhasabah dan klarifikasi apakah dirinya sendiri sudah benar.
Anak-anak yang keliru bisa diberitahu bahwa mereka keliru, dan anak-anak memiliki ego yang kecil terhadap kebenaran sehingga bisa menemukan kebenaran yang sejati. Namun orang-orang dewasa yang keliru justru menganggap orang yang menegurnya itulah yang keliru, karena mereka telah menganggap dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran, sehingga mereka sulit menemukan kebenaran yang hakiki.
....
....
Anak-anak yang keliru bisa diajak bicara dengan bahasa manusia. Tapi orang dewasa yang keliru sering kali menjelma jadi berhala.
—Frithjorf Schuon
Di Ukraina, ada seorang gadis bernama Katya Koren yang menjadi korban “kekeliruan” sekelompok anak lelaki. Ceritanya, gadis berusia 19 tahun ini mengikuti kontes kecantikan yang ia harapkan dapat menjadi batu loncatannya dalam merintis karir sebagai fotomodel. Sebagai remaja yang mulai dewasa, Katya Koren menyukai tren dan suka berpenampilan modis—dan ia bermimpi dapat memasuki dunia glamour sebagaimana umumnya anak-anak muda.
Di dalam kontes itu, Katya tidak berhasil menjadi juara pertama—juri memberikan tempat di peringkat ketujuh. Bagi Katya, itu bukan soal, karena masih ada waktu lain kali, dan ia berharap dapat menjadi pemenang jika ada kesempatan lagi. Namun ternyata kesempatan gadis itu sudah habis. Hanya berselang satu hari semenjak mengikuti kontes kecantikan itu, dia lenyap.
Hilangnya Katya Koren sempat mengundang perhatian publik di Ukraina, karena waktu itu namanya sedang banyak dibicarakan sehubungan dengan kontes yang diikutinya. Keluarga dan masyarakat mencari-cari keberadaannya, dan kepolisian pun diterjunkan untuk membantu mencari kemana hilangnya perempuan itu. Satu minggu kemudian, Katya Koren berhasil ditemukan, namun sudah menjadi mayat.
Jasad perempuan ini ditemukan di sebuah hutan, dalam keadaan mengenaskan, dan masyarakat Ukraina pun gempar. Sebegitu gemparnya, sampai-sampai harian New York Daily News menjadikan berita itu sebagai salah satu headline pada 31 Mei 2011 kemarin.
Investigasi yang dilakukan polisi kemudian menemukan fakta bahwa terbunuhnya Katya Koren karena disiksa—dilempari batu sampai mati. Ketika para pelaku kejahatan itu tertangkap, lagi-lagi masyarakat gempar. Ternyata, pelaku kejahatan biadab itu dilakukan oleh tiga anak laki-laki, rata-rata berusia 16 tahun.
Kenapa tiga anak laki-laki yang masih bau kencur itu tega-teganya membunuh seorang perempuan yang tidak bersalah apa-apa pada mereka…? Bihal Gaziev, salah satu pelaku kejahatan itu, menyatakan dengan jumawa, “Kami merajam Katya Koren karena dia telah melanggar hukum agama, yakni mengikuti kontes kecantikan yang memamerkan aurat.”
Halooow…? Apakah ini terdengar konyol…???
Mungkin memang terdengar konyol, tetapi “kekonyolan” itu telah menewaskan seorang anak perempuan. Bihal Gaziev bersama konco-konconya mungkin membaca buku agama yang tidak dipahaminya, dan kemudian mengamalkan isinya secara ngawur karena ketidaktahuan dan ketidakpahamannya. Sekali lagi, mungkin ini konyol. Tetapi kekonyolan itu telah merampas hidup seorang manusia.
Setengah bulan sebelum kasus itu terjadi di Ukraina, ada kasus tak jauh beda yang terjadi di Indonesia, tepatnya di Bengkulu. Anak lelaki yang terlibat dalam kasus ini bernama Febi Yulianda. Siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Kabupaten Kepahiang ini masih berusia 14 tahun, tapi dia ditangkap dan ditahan polisi karena… merakit bom!
Bom yang dirakit anak ini juga bukan main-main—dia merakit bom buku, sesuatu yang saat ini sedang menjadi pusat perhatian kepolisian di seluruh Indonesia. Bom buku itu disembunyikan di rumahnya, namun ditemukan oleh ayahnya. Si ayah membawa “buku” itu ke polisi, dan akhirnya terkuak bahwa pembuatnya adalah anaknya sendiri.
Bagaimana bisa seorang anak berusia 14 tahun sampai berpikir membuat bom buku…???
Hal itu berawal ketika Febi membaca sebuah buku berjudul “Mengungkap Berita Besar dalam Kitab Suci”. Buku yang tebalnya hampir 500 halaman ini ditulis oleh seseorang bernama Abdul Wahab. Di dalam buku itu terdapat panduan merakit bom buku—entah apa maksud penulisnya hingga memberikan intruksi dan panduan berbahaya semacam itu.
Yang jelas, Feby kemudian mengikuti intruksi dalam buku tersebut. Ia melubangi buku tebal yang dibacanya itu, memasangkan rangkaian komponen elektronik di dalamnya, dan mengemasnya hingga buku tersebut terlihat tak berbahaya. Bom hasil kreasi Feby itu memang tidak memiliki bahan peledak serta baterai, sehingga buku berbahaya itu tidak meledak. Tapi siapa yang bisa menjamin kalau anak lelaki itu kelak tidak akan menemukan baterai dan bahan peledak…?
Yang jelas, “inspirasi” yang diperoleh Feby hingga membuat bom buku itu datang setelah ia membaca buku yang tidak dipahaminya. Mungkin, dengan nalurinya sebagai seorang bocah, dia membayangkan dirinya seperti Mac Gyver atau tokoh-tokoh superhero lain, dan kemudian ia terdorong melakukan intruksi buku yang dibacanya itu.
Meski polisi sempat menahannya, namun pengadilan pasti akan bingung untuk memutuskan vonis atas anak itu—jika kasus tersebut sampai ke pengadilan. Karena, betapa pun juga, Feby tidak tahu apa yang dilakukannya. Dia hanya tertarik pada buku yang dibacanya, dan kemudian tertarik pula untuk melakukan intruksinya. Kelak, kalau anak itu sampai duduk sebagai pesakitan di pengadilan, hakim pasti akan memaafkannya dengan alasan, “Dia memang keliru, tapi dia hanyalah anak yang tidak tahu.”
Feby, juga anak-anak lelaki di Ukraina, adalah anak-anak yang keliru—namun mereka tidak tahu bahwa mereka keliru. Feby “terinspirasi” oleh buku yang dibacanya, dan kemudian merakit bom tanpa sempat berpikir apakah yang dilakukannya itu benar ataukah tidak. Bihal Gaziev dan konco-konconya di Ukraina membunuh seorang perempuan juga karena “terinspirasi” oleh ajaran yang didengarnya, tanpa memahami esensi sesungguhnya dari ajaran yang mereka terima.
Mereka masih anak-anak. Dan ketika mereka melakukan kejahatan, para orang tua biasanya akan berusaha untuk dapat memakluminya. “Mereka tidak tahu,” mungkin begitu kata sebagian orang tua. Atau, “Mereka hanyalah anak-anak yang keliru,” kata sebagian orang tua yang lain. Well, mereka memang anak-anak yang keliru. Dan dunia akan berusaha memaklumi bahkan memaafkannya, karena mereka masih anak-anak.
Persoalannya, fellas, bagaimana kalau “kekeliruan” semacam itu dilakukan oleh orang-orang dewasa?
Bagaimana kalau sekelompok orang dewasa membaca buku yang sama, kemudian sama-sama “terinspirasi” dan merakit bom yang sama berbahayanya? Bagaimana kalau segerombolan orang dewasa menerima ajaran yang sama, dan sama-sama keliru memahaminya, kemudian sibuk mengamuk dan merajam secara membabi-buta?
Kita bisa berusaha memaklumi Febi Yulianda yang merakit bom buku karena ketidaktahuannya, karena dia masih anak-anak. Dengan pengertian serta bimbingan dari orang-orang dewasa yang berkompeten, Febi pasti dapat diberi pengertian yang benar sehingga memahami dan menyadari kekeliruan serta kesalahannya.
Begitu pun, dunia pasti akan berusaha memaafkan Bihal Gaziev beserta dua temannya yang membunuh Katya Koren, karena mereka masih anak-anak. Meski ulah mereka dapat digolongkan kejahatan besar, yakni pembunuhan, tapi bagaimana pun juga mereka masih anak-anak. Dengan bimbingan orang yang tepat, dunia bisa berharap anak-anak yang keliru itu bisa disadarkan dan kembali ke jalan yang benar.
Tetapi, sekali lagi, bagaimana kalau perbuatan yang sama seperti mereka dilakukan orang-orang dewasa? Jika anak-anak mungkin masih mau menyadari kesalahan dan kekeliruannya, orang dewasa lebih sulit untuk sampai pada tahap kesadaran semacam itu. Jika anak-anak dapat diberitahu, “Hei, itu keliru,” maka orang dewasa menutup telinganya dari teguran semacam itu.
Ketika orang dewasa (apalagi orang dewasa yang merasa pintar) membaca suatu buku atau menerima ajaran tertentu dan kemudian keliru memahaminya, mereka biasanya sulit—bahkan sangat sulit—ditegur atau diingatkan. Yang ada, mereka justru merasa benar, lalu dengan membabi-buta melaksanakan ajaran itu dengan sama kelirunya. Jadi mereka pun merakit bom dan meledakkan orang-orang tak berdosa. Sementara yang lain sibuk mengamuk di sana-sini tanpa sempat melakukan muhasabah dan klarifikasi apakah dirinya sendiri sudah benar.
Anak-anak yang keliru bisa diberitahu bahwa mereka keliru, dan anak-anak memiliki ego yang kecil terhadap kebenaran sehingga bisa menemukan kebenaran yang sejati. Namun orang-orang dewasa yang keliru justru menganggap orang yang menegurnya itulah yang keliru, karena mereka telah menganggap dirinya sebagai pemilik tunggal kebenaran, sehingga mereka sulit menemukan kebenaran yang hakiki.
....
....
Anak-anak yang keliru bisa diajak bicara dengan bahasa manusia. Tapi orang dewasa yang keliru sering kali menjelma jadi berhala.
Aku akan melewati jalan ini hanya sekali. Karenanya, setiap perbuatan baik yang dapat kulakukan atau kebaikan apa pun yang bisa kuperlihatkan kepada siapa pun, biarlah aku melakukannya sekarang. Jangan biarkan aku menunda, juga jangan biarkan aku mengabaikannya, karena aku tidak akan melewati jalan ini lagi.
Setiap kali kita mengerutkan muka, biasanya kita pun akan menghadapi kerutan muka sebagai timbal-baliknya. Setiap kali kita berteriak karena kemarahan, hampir bisa dipastikan kita pun akan mendengar teriakan kemarahan yang menanggapinya. Setiap kali kita mengeluh, maka keluh-kesah yang sama pula yang akan kita dapatkan. Setiap kali kita mengutuk dan mencaci-maki, biasanya kebencian dan caci-makilah yang juga akan kita dapatkan. Dan kalau kita memberikan senyuman...? Benar, kita pun akan memperoleh senyuman balasan.
Kehidupan di luar kita memberikan tepat sama seperti yang kita keluarkan dari dalam kita. Berikanlah ketulusan dan kita akan mendapatkan persahabatan, ulurkanlah pertolongan dan kita akan mendapatkan bantuan, taburkanlah berkat dan kita akan memperoleh rahmat, sebarkanlah kasih sayang dan kita akan menuai cinta.
Tuhan memang tidak perlu menerima, tapi manusia perlu memberi.
Wanita pertama berkata, “Lelaki-lelaki hebat kawin dengan wanita-wanita tolol! Wanita-wanita hebat kawin dengan lelaki-lelaki tolol! Apa sebenarnya yang ada dalam otak mereka…???”
“Entah ya,” sahut wanita kedua. “Soalnya kita juga kawin dengan lelaki-lelaki tolol.”
Kita dapat berbicara tanpa suara kepada pohon-pohon, awan,
dan gelombang lautan. Tanpa kata-kata mereka menanggapi melalui
desau-desauan, geseran awan, dan bisikan lautan.
—Paul Tillich
Sekarang aku belajar mendengar keheningan, yang menggema
melantunkan nyanyian dari zaman ke zaman, menyanyikan pujian angkasa,
dan menyingkap kerudung rahasia keabadian.
—Kahlil Gibran
dan gelombang lautan. Tanpa kata-kata mereka menanggapi melalui
desau-desauan, geseran awan, dan bisikan lautan.
—Paul Tillich
Sekarang aku belajar mendengar keheningan, yang menggema
melantunkan nyanyian dari zaman ke zaman, menyanyikan pujian angkasa,
dan menyingkap kerudung rahasia keabadian.
—Kahlil Gibran
Musa baru mendengar nama Khidhir ketika Tuhan menceritakan kepadanya. Khidhir, sang nama tanpa wujud, ternyata memiliki wujud—dan Musa ingin menemuinya. Maka Tuhan pun mempertemukan mereka.
Setelah mereka bertemu, Musa berkata kepada Khidhir, “Bersediakah kau menerimaku sebagai muridmu?”
Khidhir menjawab, “Ya, tapi dengan syarat.”
“Apa pun,” sahut Musa, nyaris tanpa berpikir.
“Kau tidak boleh mempertanyakan apa pun, terhadap apa pun yang kulakukan.”
Musa tersenyum percaya diri. “Tidak masalah.”
“Kau harus berjanji,” ucap Khidhir sungguh-sungguh. “Jika tiga kali kau mempertanyakan apa yang kulakukan, maka kau harus berhenti menjadi muridku, dan kau harus pergi meninggalkanku.”
“Aku berjanji.”
Maka sejak itu resmilah Musa menjadi murid sang Khidhir. Tetapi Musa salah sangka. Dia menyangka menutup mulut terhadap perbuatan sang guru adalah mudah, tapi ternyata lebih sulit dari dugaannya.
Pelajaran itu bahkan belum dimulai, tetapi Musa sudah melanggar janjinya. Mereka melangkah berdua, menyusuri perkampungan, dan suatu ketika Khidhir membunuh seorang anak yang sedang asyik bermain. Musa segera lupa pada janjinya, dan dia bertanya ‘mengapa’.
Khidhir tidak menjawab.
Ketika mereka harus menyeberangi sungai, Khidhir memanggil tukang perahu untuk mengantarkan mereka ke seberang, dan Musa mengikutinya. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah sungai, Khidhir mengayunkan kapaknya dan membelah perahu itu. Sekali lagi Musa terlupa pada janjinya, dan bertanya ‘mengapa’.
Khidhir masih bungkam.
Mereka naik ke daratan setelah meninggalkan perahu yang bocor. Dan kembali melangkah. Dan kembali Musa terlupa pada janjinya untuk diam. Di tengah perjalanan, sebuah gubuk reyot nyaris ambruk, dan Khidhir dengan susah-payah memperbaiki gubuk reyot itu. Musa menganggap usaha itu sia-sia, dan dia kembali mempertanyakan ‘mengapa’.
“Sudah tiga kali kau melanggar janjimu,” ucap Khidhir dengan dingin kepada Musa. “Jadi perjalananmu bersamaku selesai sampai di sini.”
“Tapi… tapi kau tak bisa memperlakukanku seperti ini!” Musa memprotes. “Kau harus memberikan penjelasan atas perbuatan-perbuatanmu tadi!”
“Akan kuberikan,” jawab Khidhir. “Tapi setelah itu kau harus pergi.”
Dan Khidhir pun memberikan penjelasannya. Setelah itu, mau tak mau, Musa harus pergi meninggalkannya, dan Khidhir pun kembali melangkah dalam kesunyian yang biasa disetubuhinya.
....
....
Jika sebuah gelas telah penuh dengan air, tak peduli sekeruh apa pun air itu, ia tak bisa lagi menampung air baru. Untuk dapat menampung air baru yang lebih segar dan lebih jernih, air di dalam gelas itu harus dikeluarkan, isinya harus dikosongkan. Setelah gelas itu kosong, maka air baru yang lebih jernih akan dapat memasukinya.
Ketika seorang murid mendatangi guru dan berkata, “Beri aku ilmu,” maka dia harus mengosongkan terlebih dulu segala ilmu kadaluwarsa, dan paradigma-paradigma lama yang telah mengendap di dalam otak dan pikirannya. Tanpa pengosongan segala hal yang telah kadaluwarsa, maka pengetahuan baru akan sulit memasukinya. Untuk memperoleh paradigma yang lebih jernih, paradigma lama yang telah mengendap harus disingkirkan terlebih dulu.
Musa tidak menyadari kenyataan itu. Ia mendatangi Khidhir dengan harapan mendapatkan pengetahuan baru, tetapi dia tidak mau menyingkirkan terlebih dulu pengetahuan lama yang ada di dalam benaknya. Khidhir sudah tahu apa yang akan terjadi, karenanya ia meminta Musa untuk berjanji—toh nyatanya Musa tetap saja tak mampu memenuhi janjinya sendiri.
Musa mempertanyakan segala perilaku Khidhir, karena dia menggunakan perspektif dan paradigma lama yang ada di dalam benaknya. Kalau saja Musa menyadari bahwa waktu itu dia adalah sang murid dan Khidhir adalah sang guru, maka Musa akan menyadari bahwa kewajibannya adalah menyimpan atau mengosongkan perspektif serta seluruh paradigmanya yang lama.
Tetapi tidak—Musa tetaplah manusia yang manusiawi, meski dia memiliki takdir seorang nabi. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, mereka sering kali terlalu bangga pada apa saja yang mereka pikir dipahaminya.
Jadi (mungkin) itulah sebenarnya rencana Tuhan untuk Musa, hingga Dia mempertemukan nabinya dengan sang Khidhir—untuk menyentuh keheningan, memahami kesunyian, untuk tidak mempertanyakan apa pun, selain hanya menerima dan memahami, menerima dan memahami, menerima dan memahami. Pelajaran dalam hening, kesadaran dalam sunyi.
“Kosongkan semua yang ada di dalam pikiranmu.” Sebenarnya itulah yang dimaksudkan Khidhir ketika ia meminta agar Musa tidak mempertanyakan apa pun yang akan dilakukannya. Jika pikiranmu kosong, kau tidak punya kehendak untuk mempertanyakan apa pun—dan seperti itulah hakikat belajar, maqam seorang murid. Seseorang hanya benar-benar bisa belajar jika ia mau menerima apa pun dengan sepenuh kerelaan, tanpa keangkuhan untuk mempertanyakan segala sesuatunya.
Akan tiba saatnya ketika kita harus bertanya. Mempertanyakan apa pun yang ingin kita tanyakan. Tetapi selama pelajaran diberikan, simpanlah seluruh pertanyaan itu, dan biarkan pikiran mengendapkan semua pengetahuan baru yang kita dapatkan. Biarkan air keruh di dalam gelas pikiran kita kosong terlebih dulu, agar air yang lebih jernih mengisi kekosongannya. Jadilah rendah hati. Jadilah orang yang merasa bodoh sehingga bisa menahan mulutnya, dan bukannya seperti orang congkak yang merasa sudah tahu segala-galanya.
Ketika kita diam dan mampu menerima apa yang kita lihat dan kita dengar, tanpa merasa lebih tahu dan kemudian ribut mempertanyakannya, maka kita akan memahami apa sebenarnya pelajaran yang sedang kita terima.
Khidhir menjadi guru abadi, karena ia mampu bertahan dalam sunyi, tanpa mempertanyakan, tanpa mengeluarkan suara, tanpa ribut-ribut—selain hanya menerima dan memahami, menerima dan memahami, menerima dan memahami.
Dalam kesunyian, pikiran diilhami dan jiwa diisi. Dalam kesunyian, manusia bersatu dengan pelajaran hidupnya—persetubuhan murni antara mikrokosmos dengan makrokosmos, antara kebodohan dengan pengetahuan, antara kenaifan dengan kesadaran, antara kegelapan dengan pencerahan.
Di dalam kedalaman paling dalam yang dapat disentuh manusia, yang ada hanya sunyi.
Di sini cinta dimakamkan, hati dikuburkan, keindahan berkalang tanah. Pada waktu yang mengembuskan angan-angan cantik, dan impian tercerai-berai bersama perjalanan yang makin tak berujung. Keindahan masa lalu hanya bayang buram, dan impian masa depan hanya kisah sebelum tidur yang dibisikkan tangis diam-diam.
Bersama kepak sayap kelelawar. Dan denting jatuh bintang-bintang.
Suara-suara kecil yang dulu merdu, wajah-wajah surga yang dulu bermain di atas bumi Tuhan, kini berubah menjadi suara rintih tak terdengar, jerit keputusasaan, dan langkah-langkah gontai di atas tanah-tanah asing. Pergantian malam dan siang hanya episode tanpa makna, sandiwara tragis bercucuran sesal anak manusia.
Di sini rindu dimakamkan, jiwa dikuburkan, kebebasan berkalang tanah. Pada bayang mimpi indah yang menjemput kepalsuan, dan nyanyian cinta yang berubah menjadi gelegar sangkakala. Kelembutan hati yang dulu dimiliki berganti kanvas muram, dan mata berbinar hanya milik orang asing di bingkai cermin.
Hidup memudar. Bersama kebingungan terpeluk dalam kegelapan.
….
….
Kapan pun cinta dimakamkan, manusia bersorak di atas kuburannya. Di mana pun cinta dikuburkan, manusia bergembira di atas batu-batu nisannya. Dan anggur dituangkan, senyum dikembangkan, nyanyian didendangkan, manusia hanyut dalam kegembiraan.
Dan sementara itu, cinta terbujur di kalang tanah, di bawah kaki-kaki mereka….
Bersama kepak sayap kelelawar. Dan denting jatuh bintang-bintang.
Suara-suara kecil yang dulu merdu, wajah-wajah surga yang dulu bermain di atas bumi Tuhan, kini berubah menjadi suara rintih tak terdengar, jerit keputusasaan, dan langkah-langkah gontai di atas tanah-tanah asing. Pergantian malam dan siang hanya episode tanpa makna, sandiwara tragis bercucuran sesal anak manusia.
Di sini rindu dimakamkan, jiwa dikuburkan, kebebasan berkalang tanah. Pada bayang mimpi indah yang menjemput kepalsuan, dan nyanyian cinta yang berubah menjadi gelegar sangkakala. Kelembutan hati yang dulu dimiliki berganti kanvas muram, dan mata berbinar hanya milik orang asing di bingkai cermin.
Hidup memudar. Bersama kebingungan terpeluk dalam kegelapan.
….
….
Kapan pun cinta dimakamkan, manusia bersorak di atas kuburannya. Di mana pun cinta dikuburkan, manusia bergembira di atas batu-batu nisannya. Dan anggur dituangkan, senyum dikembangkan, nyanyian didendangkan, manusia hanyut dalam kegembiraan.
Dan sementara itu, cinta terbujur di kalang tanah, di bawah kaki-kaki mereka….
Apa yang Anda pikirkan?
“Aku berpikir maka aku ada.”
….
….
Hoeda Manis dan beberapa bocah lainnya menyukai ini.
“Aku berpikir maka aku ada.”
….
….
Hoeda Manis dan beberapa bocah lainnya menyukai ini.
Ada pepatah yang mengatakan bahwa kehidupan adalah persoalan yang tak pernah terselesaikan. Saya setuju dengan pepatah itu. Karena tujuan alam dan kehidupan kita ini memang bukan memanjakan kita, melainkan mendesak kita agar terus bertumbuh.
Alam dan kehidupan, dengan caranya sendiri, mengajarkan pertumbuhan kepada kita dengan begitu banyak masalah dan persoalan yang dihadapkannya. Pertumbuhan menyuruh kita agar belajar lebih tekun. Pertumbuhan menghimbau kita agar bekerja lebih giat. Pertumbuhan mengajarkan kita bahwa hidup akan lebih mudah dijalani jika kita terus bertumbuh dan berkembang.
Masalah yang datang harus dipahami sebagai alat penempa kepribadian kita. Masalah yang kuat dan tegar akan melahirkan manusia yang kuat dan tegar, sebagaimana masalah yang biasa-biasa saja juga hanya akan melahirkan manusia biasa-biasa saja.
Hidup adalah serangkaian pelajaran yang tak pernah usai, dan pelajaran demi pelajaran yang ditawarkannya itu, disadari atau tidak, akan terus mendewasakan kita. Kehidupan adalah sekolah yang lebih besar, dimana semua yang ada di dalamnya adalah guru dan kita menjadi muridnya.
Apabila suatu pelajaran diberikan dan kita bisa memahaminya, maka pelajaran pun akan diganti dengan yang lebih besar. Kalau suatu pelajaran disampaikan tetapi kita tidak juga bisa memahaminya, maka pelajaran itu akan terus disampaikan secara berulang-ulang, dalam aneka wujud, dengan berbagai macam bentuk, dengan sekian banyak cara, sampai kita benar-benar bisa memahaminya.
Dan pelajaran-pelajaran itu biasanya berada tepat di bawah hidung kita, dan sering kali kita mengetahui benar pelajaran tersebut, namun susahnya, sering kali kita berharap bahwa seharusnya bukan itu pelajarannya!
Tidak ada yang gratis di dunia ini. Apakah kita mempercayai hal itu? Saya mempercayainya, karena bahkan untuk buang air kecil di terminal pun kita harus membayar. Karena memang tidak ada yang gratis di dunia ini.
Untuk memperoleh kecerdasan dan pengetahuan, kita harus belajar. Untuk mendapatkan uang, kita harus bekerja. Tidak ada kedamaian dan kebahagiaan tanpa kesulitan, tidak ada istirahat tanpa pengerahan tenaga, tidak ada kemenangan tanpa perjuangan, tidak ada kesuksesan tanpa upaya—semuanya itu tepat sama seperti halnya tidak ada kehidupan tanpa dilahirkan.
Ada kalanya kita membayar harga itu dengan penuh kemauan dan terasa mudah, tetapi kadang pula kekecewaan dan kekalahan terus-menerus datang dan itu mengikis pertahanan kita. Tetapi selalu yakinlah bahwa upaya yang terbesar akan mendatangkan hasil yang terbesar, perjuangan yang terberat akan mendatangkan kemenangan yang paling gemilang, persis kegelapan langit malam yang dibutuhkan untuk melahirkan bintang.
Seorang lelaki bermimpi, dan keesokan harinya ia bergegas pergi menemui seorang yang pintar, karena sangat ingin mengetahui arti mimpinya.
Si orang pintar bertanya, “Apakah kau bermimpi saat sedang tidur, ataukah ketika sedang terjaga?”
Si lelaki menjawab heran, “Mimpi saat terjaga? Tentu saja saya bermimpi saat tidur!”
Si orang pintar menyatakan, “Datanglah padaku dengan mimpimu saat kau sedang sadar, maka akan kuberitahu apa maknanya. Kalau kau datang dengan mimpimu di saat kau tidur, aku tidak dapat mengetahui maknanya, demikian pula dirimu.”
Joshep Kennedy, ayah John F. Kennedy yang terkenal itu, pernah ditanya seorang mahasiswa yang sedang melakukan survei, mengapa ia kaya. Dengan sikap dingin, Joshep Kennedy menjawab, “Saya kaya karena saya mempunyai banyak uang.”
Joshep Kennedy memang mempunyai banyak uang (tercatat sekitar 360 juta dolar), tetapi ia terlalu naif saat mengatakan bahwa ia kaya karena uang. Karena, sebagaimana yang dikatakan Harold J. Smith, ukuran sebenarnya tentang kekayaan seseorang ialah; berapakah nilai dirinya jika ia kehilangan semua harta kekayaannya.
Memang sungguh baik untuk memiliki uang dan hal-hal yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi sungguh baik pula untuk sekali-sekali memeriksa dan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Paul Getty, raja minyak paling kaya di dunia pada masa lalu, pernah menyatakan bahwa siapa pun yang dapat mengukur kekayaannya, maka ia tidaklah kaya! Dan memang, saat meninggal dunia, Paul Getty meninggalkan warisan lebih dari empat milyar dolar. Sebuah jumlah yang bukan hanya sulit dihitung, tetapi juga sangat fantastis, untuk ukuran waktu itu.
Tetapi, kekayaan juga tidak bisa diukur dengan uang semata. Ada hal-hal lain yang kita miliki yang nilainya bahkan tak ternilai lagi dibanding sekadar uang. Kita memiliki panca indra yang sempurna; sepasang mata, sepasang telinga, lidah dan sepasang deret gigi, hidung untuk mencium dengan bentuknya yang baik dan tepat di wajah kita, sepasang tangan, sepasang kaki, dan otak untuk berpikir, serta hati untuk merasakan.
Deretan ‘harta kekayaan’ yang kita miliki, yang barusan terdaftar itu hanyalah sebagian kecil dari harta kekayaan kita yang lain, yang jumlahnya sudah tak bisa lagi dihitung dengan jari ataupun kalkulator paling modern sekalipun! Kalau semua itu diuangkan, saya yakin jumlah uangnya akan lebih besar dari jumlah uang yang dimiliki Paul Getty atau milyuner mana pun.
Dan kalau Paul Getty menyatakan bahwa orang yang bisa menghitung harta kekayaannya maka ia belumlah kaya, maka berarti kita sungguh kaya-raya! Kita memiliki harta yang tak bisa dinilai lagi dengan uang yang berapa pun banyaknya!
Berulang kali kita mendengar pepatah yang menyatakan bahwa ‘diam itu emas’. Akibatnya, kita sering kali memilih untuk diam daripada bicara dan mengeluarkan pendapat kita.
Dalam berbagai forum, dalam pertemuan-pertemuan ataupun dalam acara-acara lainnya, kita sering memilih diam daripada bersuara. Mungkin pilihan itu diambil karena terpengaruh pepatah ‘diam itu emas’ atau juga karena kita sering kali takut kalau sampai terlihat atau terkesan bodoh karena bersuara. Padahal, sebuah suara memiliki pengaruh yang sangat besar—sebuah suara memiliki arti yang bahkan mungkin belum pernah kita bayangkan.
Pada tahun 1645, satu suara membuat Oliver Cromwell memegang kendali atas Inggris.
Tahun 1649, satu suara mengakibatkan Charles I, Raja Inggris, dieksekusi.
Tahun 1868, satu suara menyelamatkan Presiden Andrew Jackson dari impeachment.
Tahun 1875, satu suara mengubah Prancis dari Monarki ke Republik.
Tahun 1876, satu suara memberikan kursi kepresidenan Amerika Serikat pada Rutherford B. Hayes.
Tahun 1923, satu suara memberi Adolf Hitler kepemimpinan atas Partai Nazi.
Dan tahun 1941, satu suara menyelamatkan undang-undang Dinas Militer, hanya beberapa minggu sebelum pemboman atas Pearl Harbor.
Setiap kali kita memilih diam daripada mengeluarkan suara dan pendapat, ingatlah apa yang pernah dikatakan Igor Stravinsky, “Diam memang menyelamatkanku dari berbuat salah dan bodoh, tetapi juga menghalangiku dari kemungkinan menjadi benar.”
Tidak selamanya diam itu emas.
Jadi, waktu itu, entah kenapa ada semacam dorongan yang tiba-tiba membuatku ingin melakukan hal itu. Aku menemukannya di sana, tanpa sengaja, ketika suatu malam…
Apa…?
Ooh, oke! Oke!
Ya, ya…
Lanjut ya.
Aku menemukannya di sana, tanpa sengaja, ketika suatu malam sendirian mencari sesuatu. Pada mulanya aku menemukan seorang kawan, terus si kawan ini mengantarkanku ke sebuah tempat, dan kemudian…
Hah…? Apa?
Skrip? Kan nggak pakai skrip?
Udah, kok. Coba dilihat lagi!
Oke, lanjut lagi.
Pada mulanya aku menemukan seorang kawan, terus si kawan ini mengantarkanku ke sebuah tempat, dan kemudian aku ketemu di sana. Oh la la, waktu itulah timbul dalam pikiranku atas hal itu. Aku akan menemuinya. Tapi untunglah hal itu tidak kulakukan—karena beberapa waktu kemudian aku menyadari bahwa itu adalah hal paling konyol yang pernah nyangkut di otakku. Beberapa hari kemudian…
Hah…? Skrip lagi…?
Lho, katanya bebas improv?
Jadi gimana, nih? Ngikut skrip atau improv?
Yup, oke!
Beberapa hari kemudian, mungkin malah beberapa bulan kemudian, aku ketemu lagi di tempat yang sama—dan waktu itulah aku tahu bahwa keputusanku kemarin benar-benar tepat. Hoho, aku tidak melakukannya! Oh, kalau saja dia tahu… Sumpah mati, aku bisa…
Apa? Iya, maksudku juga begitu!
Hah? Gimana, gimana?
Ekspresi?
Uh, oke, okeeh!
Ehm, lanjut. Aduh, sampai dimana nih…?
Jumat, 03 Juni 2011
Celoteh,
Studitainment
Titiek Puspa Menciptakan Lagu untuk Scorpions, dan Scorpions Berkolaborasi dengan Farid Harja Menciptakan Lagu untuk Penyanyi Malaysia
Topik atau bahkan judul posting ini mungkin akan membuat bingung sebagian pembaca blog ini. Karenanya, biar saya jelaskan dulu latar belakang penulisannya, dan mengapa post ini sampai tertulis.
Pada awalnya, topik ini adalah bahan perdebatan dalam milis musik yang saya ikuti. Biasanya, kami hanya saling sharing, berdiskusi, dan bertanya jawab seputar dunia musik dan para artis yang kami sukai. Sampai suatu hari, salah satu anggota milis menyinggung sesuatu yang mungkin masih asing bagi cukup banyak orang, yakni fakta tentang “Titiek Puspa menciptakan lagu untuk Scorpions”.
Titiek Puspa yang dimaksud di atas adalah Titiek Puspa penyanyi Indonesia, sedangkan Scorpions yang dimaksud adalah Scorpions yang group musik legendaris itu. Lontaran ini kemudian dijawab banyak orang, bahwa Titiek Puspa tidak mungkin menciptakan lagu untuk group musik sekelas Scorpions. Atau, kata beberapa yang sinis, Scorpions belum tentu mau lagu mereka diciptakan Titiek Puspa.
Perdebatan yang awalnya masih diselingi canda ini lama-lama kian memanas. Topik pun bergulir makin tak masuk akal. Fakta di atas kemudian bertambah lagi dengan “fakta aneh” lain yang menyebutkan bahwa Scorpions pernah berkolaborasi dengan Farid Harja (kadang ditulis: Farid Hardja), untuk menciptakan lagu buat Search (group musik Malaysia).
Lontaran ini makin membuat “olok-olok” di milis makin panas, sampai moderator mengingatkan agar masing-masing orang tetap menjaga sopan santunnya. Hanya sedikit orang yang percaya kalau group musik Scorpions pernah bekerja sama dengan Farid Harja (almarhum, salah satu pencipta dan penyanyi lagu Indonesia) untuk menciptakan lagu buat Search.
Siapakah Search? Search adalah nama salah satu group musik papan atas Malaysia. Kalau kalian sudah cukup besar pada era 80-an, mungkin kalian pun ingat kalau Search inilah group musik yang pertama kali menyanyikan lagu “Isabella” yang sekarang dinyanyikan ulang oleh ST 12. Vokalis Search (Amy Search) juga pernah beberapa kali berduet dengan Inka Christie (penyanyi wanita Indonesia).
Lalu benarkah Scorpions dan Farid Harja pernah berkolaborasi dengan mereka? Juga benarkah Titiek Puspa pernah menciptakan lagu untuk Scorpions? Nah, karena itulah kemudian saya menulis post ini, untuk menunjukkan “apa yang sebenarnya terjadi” kepada pihak-pihak yang sampai sekarang masih “bertikai” perihal urusan yang aneh dan unik ini.
Sebenarnya, penjelasan ini sama sekali tidak diperlukan, kalau saja masing-masing orang yang berdebat itu bisa membawa bukti-bukti yang kuat sebagai dasar argumen. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Masing-masing hanya ngotot tanpa data valid yang dapat dijadikan argumentasi, sekaligus untuk dapat diverifikasi.
Sebenarnya pula, penjelasan serta jawaban ini tentunya lebih tepat jika saya lontarkan ke medan pertempuran (milis tempat perdebatan ini dimulai). Tetapi suasana di milis masih belum kondusif, dan saya tidak ingin memperkeruhnya. Karenanya, biarlah saya menuliskan hal ini di sini, sebagai semacam “green zone” yang netral dan bebas dari pengaruh peperangan. Lebih dari itu, saya tahu ada cukup banyak anggota milis tersebut yang telah menunggu topik ini diposting di sini.
Jadi, fellas, tanpa bermaksud membela atau menyalahkan siapa pun, berikut inilah kisah sebenarnya yang terjadi antara Titiek Puspa, Scorpions, Farid Harja, dan Search.
Ehmm…
Titiek Puspa memang pernah bekerjasama dengan Scorpions—menciptakan lagu untuk mereka. Kerjasama itu dimulai ketika Scorpions datang ke Bali, dan bertemu dengan Titiek Puspa. You know, bocah-bocah Scorpions tahu siapa Titiek Puspa, dan mereka pun kemudian ngobrol—sampai akhirnya memutuskan untuk menciptakan lagu bersama. Dalam proyek itu bahkan terlibat James F. Sundah, salah satu pencipta lagu Indonesia.
Yang terjadi kemudian, lahirlah sebuah lagu berjudul “When You Came Into My Life”. Lagu ini diciptakan empat orang, yaitu Klause Meine, Rudolf Schenker, Titiek Puspa, dan James F. Sundah. Lagu ini terdapat dalam album “Eye II Eye”—salah satu album Scorpion yang sayangnya tidak terlalu sukses di Indonesia, sehingga jarang yang tahu kalau Titiek Puspa ikut menciptakan lagu di album ini.
Jadi, benarkah Titiek Puspa pernah menciptakan lagu untuk Scorpions? Kalian sudah melihat jawabannya. Jika ingin membuktikan kebenaran penjelasan ini, silakan cari album “Eye II Eye”, dan perhatikan credit tittle di dalamnya.
Sekarang tentang kolaborasi Scorpions dengan Farid Harja yang menciptakan lagu untuk Search. Apakah ini juga benar…?
Benar.
Di Malaysia, Search dianggap sebagai group musik rock papan atas yang sukar dicari tandingannya—mungkin sekelas God Bless atau Gong 2000 kalau di Indonesia. Karenanya, tidak heran jika Scorpions mau menciptakan lagu untuk mereka.
Lalu bagaimana kisahnya sampai-sampai proyek itu melibatkan Farid Harja? Ini berawal ketika Farid Harja konser di luar negeri, dan Klause Meine (vokalis Scorpions) kebetulan menonton konser itu. Klause Meine tertarik dengan gaya musik Farid Harja yang unik, dan kemudian mereka pun ngobrol-ngobrol—hanya saja waktu itu belum menemukan rencana kerjasama yang pasti.
Sampai kemudian, Search (group musik Malaysia) berencana mengeluarkan album baru. Pada waktu itu, Search sudah cukup lama menghilang akibat Amy sang vokalis sangat sibuk dengan proyek-proyek solo. Karena sudah lama tidak menelurkan album, Search pun menginginkan album barunya benar-benar bagus dan mampu memberikan kejutan hebat bagi para penggemarnya.
Dari situlah lalu muncul rencana meminta Scorpions untuk menyumbangkan lagu buat mereka. Permintaan itu disambut baik oleh Klause Meine dan Rudolf Schenker (dua motor group Scorpions). Mereka menyambut permintaan itu, bukan hanya semata-mata karena Search adalah group musik papan atas Malaysia, tetapi juga pada waktu itulah Klause Meine menemukan ide yang tepat dalam keinginannya untuk bekerjasama dengan Farid Harja.
Jadi, inilah yang kemudian terjadi. Klause Meine menghubungi Farid Harja (yang waktu itu masih hidup), dan mereka pun berkolaborasi menciptakan lagu bersama untuk Search. Hasilnya kemudian adalah sebuah lagu berjudul “Mengundur Waktu”. Musik untuk lagu ini diciptakan Klause Meine, Rudolf Schenker, dan Farid Harja. Sedang liriknya ditulis S. Amin Shahab.
Lagu tersebut terdapat di dalam album “Putri Seroja” (di Indonesia, album ini diberi titel “Putri Misteri”). Seperti yang mereka harapkan, album ini memang kemudian mengejutkan banyak penggemarnya, dan saya pribadi menganggap inilah album terbaik yang pernah dibuat Search. Di album ini, musik melayu dan cengkok khas Malaysia berpadu dengan aroma rock yang sangat kuat, dan kesan yang muncul terdengar “agung”.
Nah, berdasarkan pemaparan yang cukup panjang lebar di atas, sekarang kita sudah dapat melihat seperti apa sebenarnya kisah yang terjadi. Sekali lagi, pemaparan ini tidak untuk membela atau menyalahkan siapa pun, tetapi hanya bertujuan untuk menjelaskan. Semua pemaparan di atas dapat diverifikasi, dan kalau pun ternyata terdapat kekeliruan, silakan dikoreksi.
Update:
Lagu 'When You Came In to My Life' juga terdapat dalam album Pure Instinct. Terima kasih untuk YeN atas tambahannya.
Pada awalnya, topik ini adalah bahan perdebatan dalam milis musik yang saya ikuti. Biasanya, kami hanya saling sharing, berdiskusi, dan bertanya jawab seputar dunia musik dan para artis yang kami sukai. Sampai suatu hari, salah satu anggota milis menyinggung sesuatu yang mungkin masih asing bagi cukup banyak orang, yakni fakta tentang “Titiek Puspa menciptakan lagu untuk Scorpions”.
Titiek Puspa yang dimaksud di atas adalah Titiek Puspa penyanyi Indonesia, sedangkan Scorpions yang dimaksud adalah Scorpions yang group musik legendaris itu. Lontaran ini kemudian dijawab banyak orang, bahwa Titiek Puspa tidak mungkin menciptakan lagu untuk group musik sekelas Scorpions. Atau, kata beberapa yang sinis, Scorpions belum tentu mau lagu mereka diciptakan Titiek Puspa.
Perdebatan yang awalnya masih diselingi canda ini lama-lama kian memanas. Topik pun bergulir makin tak masuk akal. Fakta di atas kemudian bertambah lagi dengan “fakta aneh” lain yang menyebutkan bahwa Scorpions pernah berkolaborasi dengan Farid Harja (kadang ditulis: Farid Hardja), untuk menciptakan lagu buat Search (group musik Malaysia).
Lontaran ini makin membuat “olok-olok” di milis makin panas, sampai moderator mengingatkan agar masing-masing orang tetap menjaga sopan santunnya. Hanya sedikit orang yang percaya kalau group musik Scorpions pernah bekerja sama dengan Farid Harja (almarhum, salah satu pencipta dan penyanyi lagu Indonesia) untuk menciptakan lagu buat Search.
Siapakah Search? Search adalah nama salah satu group musik papan atas Malaysia. Kalau kalian sudah cukup besar pada era 80-an, mungkin kalian pun ingat kalau Search inilah group musik yang pertama kali menyanyikan lagu “Isabella” yang sekarang dinyanyikan ulang oleh ST 12. Vokalis Search (Amy Search) juga pernah beberapa kali berduet dengan Inka Christie (penyanyi wanita Indonesia).
Lalu benarkah Scorpions dan Farid Harja pernah berkolaborasi dengan mereka? Juga benarkah Titiek Puspa pernah menciptakan lagu untuk Scorpions? Nah, karena itulah kemudian saya menulis post ini, untuk menunjukkan “apa yang sebenarnya terjadi” kepada pihak-pihak yang sampai sekarang masih “bertikai” perihal urusan yang aneh dan unik ini.
Sebenarnya, penjelasan ini sama sekali tidak diperlukan, kalau saja masing-masing orang yang berdebat itu bisa membawa bukti-bukti yang kuat sebagai dasar argumen. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Masing-masing hanya ngotot tanpa data valid yang dapat dijadikan argumentasi, sekaligus untuk dapat diverifikasi.
Sebenarnya pula, penjelasan serta jawaban ini tentunya lebih tepat jika saya lontarkan ke medan pertempuran (milis tempat perdebatan ini dimulai). Tetapi suasana di milis masih belum kondusif, dan saya tidak ingin memperkeruhnya. Karenanya, biarlah saya menuliskan hal ini di sini, sebagai semacam “green zone” yang netral dan bebas dari pengaruh peperangan. Lebih dari itu, saya tahu ada cukup banyak anggota milis tersebut yang telah menunggu topik ini diposting di sini.
Jadi, fellas, tanpa bermaksud membela atau menyalahkan siapa pun, berikut inilah kisah sebenarnya yang terjadi antara Titiek Puspa, Scorpions, Farid Harja, dan Search.
Ehmm…
Titiek Puspa memang pernah bekerjasama dengan Scorpions—menciptakan lagu untuk mereka. Kerjasama itu dimulai ketika Scorpions datang ke Bali, dan bertemu dengan Titiek Puspa. You know, bocah-bocah Scorpions tahu siapa Titiek Puspa, dan mereka pun kemudian ngobrol—sampai akhirnya memutuskan untuk menciptakan lagu bersama. Dalam proyek itu bahkan terlibat James F. Sundah, salah satu pencipta lagu Indonesia.
Yang terjadi kemudian, lahirlah sebuah lagu berjudul “When You Came Into My Life”. Lagu ini diciptakan empat orang, yaitu Klause Meine, Rudolf Schenker, Titiek Puspa, dan James F. Sundah. Lagu ini terdapat dalam album “Eye II Eye”—salah satu album Scorpion yang sayangnya tidak terlalu sukses di Indonesia, sehingga jarang yang tahu kalau Titiek Puspa ikut menciptakan lagu di album ini.
Jadi, benarkah Titiek Puspa pernah menciptakan lagu untuk Scorpions? Kalian sudah melihat jawabannya. Jika ingin membuktikan kebenaran penjelasan ini, silakan cari album “Eye II Eye”, dan perhatikan credit tittle di dalamnya.
Sekarang tentang kolaborasi Scorpions dengan Farid Harja yang menciptakan lagu untuk Search. Apakah ini juga benar…?
Benar.
Di Malaysia, Search dianggap sebagai group musik rock papan atas yang sukar dicari tandingannya—mungkin sekelas God Bless atau Gong 2000 kalau di Indonesia. Karenanya, tidak heran jika Scorpions mau menciptakan lagu untuk mereka.
Lalu bagaimana kisahnya sampai-sampai proyek itu melibatkan Farid Harja? Ini berawal ketika Farid Harja konser di luar negeri, dan Klause Meine (vokalis Scorpions) kebetulan menonton konser itu. Klause Meine tertarik dengan gaya musik Farid Harja yang unik, dan kemudian mereka pun ngobrol-ngobrol—hanya saja waktu itu belum menemukan rencana kerjasama yang pasti.
Sampai kemudian, Search (group musik Malaysia) berencana mengeluarkan album baru. Pada waktu itu, Search sudah cukup lama menghilang akibat Amy sang vokalis sangat sibuk dengan proyek-proyek solo. Karena sudah lama tidak menelurkan album, Search pun menginginkan album barunya benar-benar bagus dan mampu memberikan kejutan hebat bagi para penggemarnya.
Dari situlah lalu muncul rencana meminta Scorpions untuk menyumbangkan lagu buat mereka. Permintaan itu disambut baik oleh Klause Meine dan Rudolf Schenker (dua motor group Scorpions). Mereka menyambut permintaan itu, bukan hanya semata-mata karena Search adalah group musik papan atas Malaysia, tetapi juga pada waktu itulah Klause Meine menemukan ide yang tepat dalam keinginannya untuk bekerjasama dengan Farid Harja.
Jadi, inilah yang kemudian terjadi. Klause Meine menghubungi Farid Harja (yang waktu itu masih hidup), dan mereka pun berkolaborasi menciptakan lagu bersama untuk Search. Hasilnya kemudian adalah sebuah lagu berjudul “Mengundur Waktu”. Musik untuk lagu ini diciptakan Klause Meine, Rudolf Schenker, dan Farid Harja. Sedang liriknya ditulis S. Amin Shahab.
Lagu tersebut terdapat di dalam album “Putri Seroja” (di Indonesia, album ini diberi titel “Putri Misteri”). Seperti yang mereka harapkan, album ini memang kemudian mengejutkan banyak penggemarnya, dan saya pribadi menganggap inilah album terbaik yang pernah dibuat Search. Di album ini, musik melayu dan cengkok khas Malaysia berpadu dengan aroma rock yang sangat kuat, dan kesan yang muncul terdengar “agung”.
Nah, berdasarkan pemaparan yang cukup panjang lebar di atas, sekarang kita sudah dapat melihat seperti apa sebenarnya kisah yang terjadi. Sekali lagi, pemaparan ini tidak untuk membela atau menyalahkan siapa pun, tetapi hanya bertujuan untuk menjelaskan. Semua pemaparan di atas dapat diverifikasi, dan kalau pun ternyata terdapat kekeliruan, silakan dikoreksi.
Update:
Lagu 'When You Came In to My Life' juga terdapat dalam album Pure Instinct. Terima kasih untuk YeN atas tambahannya.
Seumpama kita ingin melakukan perjalanan bermobil dari Semarang ke Jakarta. Kita tidak mau berangkat sebelum diberikan jaminan seratus persen bahwa tidak akan ada lubang di jalanan, tidak ada rute yang memutar, tidak ada kemacetan, tidak ada gangguan mesin mobil, tidak ada cuaca buruk, tidak ada mobil lain yang berjalan seenaknya, pendeknya tidak ada risiko apa pun. Kapan kira-kira kita akan memulai perjalanan itu? Tidak akan pernah!
Dalam merencanakan suatu perjalanan, adalah bijaksana jika kita memetakan rute yang akan dilalui, memeriksa mobil dengan teliti, dan dengan cara lain menghilangkan risiko sebanyak mungkin sebelum memulai perjalanan itu. Tetapi kita tidak pernah dapat menghilangkan semua risiko.
Begitu pula kehidupan kita ini.
Ujian bagi setiap orang bukanlah kemampuan untuk menghilangkan semua masalah sebelum ia mengambil tindakan, tetapi lebih pada kemampuan untuk menemukan pemecahan bagi kesulitan yang ada ketika ia menemuinya. Dalam hal apa pun yang kita hadapi dalam hidup, selalu saja ada masalah dan persoalan yang menghadang. Tugas kita bukanlah menghindari atau mengutuknya, namun mencari solusi dan jalan untuk menyelesaikannya.
Bukan tindakan yang mengikuti perasaan, juga bukan perasaan yang mengikuti tindakan. Tindakan dan perasaan berjalan secara beriringan.
Psikolog William James menyatakannya secara lebih analisis, “Tindakan terasa mengikuti perasaan, tapi sebenarnya tindakan dan perasaan berjalan seiring; dan dengan jalan mengatur tindakan, yang berada di bawah kontrol kemauan yang lebih langsung, kita bisa mengatur perasaan kita yang tidak teratur secara langsung. Maka jalan paling mutlak menuju kegembiraan, di saat kegembiraan spontan kita hilang, adalah berdiri dengan penuh semangat dan bertindak seakan-akan kita gembira. Karena itu pula, untuk merasa berani, bersikaplah seakan-akan kita berani. Gunakan segala kemauan kita untuk bisa berani, dan kemauan untuk berani cenderung akan menggantikan tempat ketakutan.”
Korelasi atau hubungan antara perasaan dengan kenyataan dijelaskan dengan sangat bagus oleh Bob Urichuck, dalam Online for Life, ketika ia menulis, “Sikapmu diciptakan oleh keyakinanmu. Keyakinanmu yang sekarang ini menentukan sikapmu. Sikapmu menentukan bagaimana perasaanmu. Perasaanmu akan menentukan bagaimana kau bertindak, dan caramu bertindak akan menentukan hasil dari realisasi impian-impianmu.”
Pikirkanlah sebuah mobil keluaran baru, yang harganya mencapai Rp. 250.000.000,- (seperempat milyar rupiah). Mungkin ini bukan mobil mahal, tetapi juga bukan mobil murahan. Teknologinya mutakhir, rancangannya modis, desainnya amat memikat.
Namun ada yang tidak beres dengan mobil yang satu ini. Mobil ini tidak bisa distarter, karena tidak memiliki sistem penyalaan mesin. Dalam keadaan darurat seperti harus melarikan seseorang ke rumah sakit, mobil seharga seperempat milyar ini tidak lebih dari barang rongsokan.
Sekarang pikirkanlah seseorang yang kita kenal, yang mempunyai semua keunggulan. Setelah mencapai usia dewasa, biasanya setelah lulus dari pendidikan perguruan tingginya, orang itu pun memiliki harga yang sama mahalnya. Paling tidak, uang sejumlah seperempat milyar telah dihabiskan untuk merawat, membesarkan, dan membiayai seluruh keperluan dan kebutuhan, pendidikan dan kehidupannya, dari bayi hingga dewasanya.
Rancangan orang ini hebat—gen yang tak bercacat, rupa menawan, kesehatan yang bagus. Teknologinya kelas satu—sekolah dan universitas ternama, dan orang ini dikemas dalam pakaian yang indah dan mewah. Tetapi, seperti mobil tadi, orang ini punya masalah. Dia tidak mau jalan. Dia tidak bisa dirangsang semangatnya karena sistem penyalaan mesin psikologisnya tidak ada.
Di dunia yang penuh persaingan ini, sosok senilai seperempat milyar yang disiapkan untuk mencapai sukses, terbuang sia-sia karena tidak adanya antusiasme!
Ya, antusiasme, itulah sistem penyalaan mesin psikologis manusia agar semangatnya bisa berjalan. Tanpa antusiasme, manusia tak akan melakukan apa-apa yang besar untuk hidupnya. BC Forbes menegaskan, “Antusiasme adalah baling-baling jet manusia yang paling mutlak diperlukan. Antusiasme adalah tenaga penggerak yang mengangkat manusia menjadi pekerja mukjizat. Antusiasme menghasilkan keberanian, keteguhan hati, kepercayaan menyala, keraguan yang teratasi. Antusiasme menciptakan energi tanpa batas, sumber segala prestasi.”
Sementara Filsuf dan penyair Ralph Waldo Emerson menyatakan, “Tidak ada sesuatu yang besar yang pernah dicapai tanpa antusiasme.” Walter Chrysler, pemimpin Chrysler Corporation, menyambung, “Orang dapat berhasil dalam apa pun, dimana ia memiliki antusiasme tak terbatas terhadapnya.”
Dunia adalah milik orang antusias yang dapat tetap tenang. Sebagaimana mesin, sebelum menghasilkan uap, air harus mendidih. Mesin tidak akan bergerak sedikit pun sebelum meteran uap menunjukkan angka 212 derajat. Orang tanpa antusiasme tak ubahnya seperti mencoba menggerakkan mesin dengan air yang suam-suam kuku. Hanya satu hal yang dapat terjadi; ia akan gagal. Antusiasme adalah listrik di dalam baterai. Antusiasme adalah kekuatan di udara, panas dalam api, napas di semua makhluk hidup.
Ada yang tahu bagaimana cara memakan gajah? Jangan salah paham, saya tidak berencana menjadikan gajah sebagai menu santapan baru. Yang ingin saya katakan, sebesar apa pun seekor gajah, orang dapat menghabiskannya. Bagaimana? Dengan cara memotong-motongnya menjadi serpihan-serpihan kecil terlebih dulu.
Bagi saya, filsafat ‘memakan gajah’ ini adalah salah satu esensi hidup. Begitulah cara kehidupan kita ini dibangun. Sedikit demi sedikit, setiap hari, selangkah demi selangkah, sepotong demi sepotong, lama-lama akhirnya menjadi sesuatu yang besar, yang mungkin pada awalnya tak terbayangkan bahwa kita akan mencapainya.
Sekali lagi, begitulah hidup kita ini dibangun. Sedikit uang yang ditabung secara teratur selama bertahun-tahun dapat membuat orang menjadi jutawan. Belajar setiap hari dengan tekun bisa mengantarkan orang menjadi ilmuwan. Latihan yang teratur dalam jangka waktu yang lama dapat menciptakan seorang atlit juara. Dan segala usaha serta upaya yang kita lakukan setiap hari, sekecil apa pun, pada akhirnya akan sampai juga mengantarkan kita pada tempat yang kita inginkan, pada sesuatu yang kita tuju.
Percik gerimis kaki kanak-kanakmu,
dingin bermain di sungai kesendirianmu.
—Sindhunata
Dunia selalu terbuka, atau terusik, karena akan selalu datang teks yang lain
dan juga berjuta-juta tulisan. Tiap tulisan adalah sebuah coretan atas selembar
kertas polos—sebuah interupsi terhadap kesatuwarnaan.
Tiap tulisan adalah sebuah kehadiran yang tak selamanya bisa diduga sebelumnya
pada sebuah dataran yang rata. Tiap tulisan bisa menghadirkan makna yang tak bisa sepenuhnya diringkus dalam sebuah desain. Singkatnya, (saya kutip dari sebuah buku) tiap tulisan adalah perlawanan terhadap arsitektur. Tiap tulisan adalah ribuan
subversi terhadap panorama yang mengklaim diri sempurna.
—Goenawan Mohamad
Pada dasarnya setiap orang cukup mengetahui bahwa dia manusia yang unik,
hanya ada satu kali di dunia. Dan dengan kesempatan yang luar biasa pun
sekeping keragaman dalam kesatuan yang sangat indah ini
dirinya tidak akan dirakit kembali untuk yang kedua.
—Friedrich Nietszche
Aku gembira akan kehidupan ini—setiap detik kehidupan yang kujalani.
Kehidupan bukanlah nyala lilin yang singkat bagiku.
Kehidupan adalah semacam obor yang menyala, yang harus kupegang
untuk saat ini, dan aku ingin membuatnya terbakar seterang mungkin
sebelum menyerahkannya kepada generasi yang akan datang.
—George Bernard Shaw
dingin bermain di sungai kesendirianmu.
—Sindhunata
Dunia selalu terbuka, atau terusik, karena akan selalu datang teks yang lain
dan juga berjuta-juta tulisan. Tiap tulisan adalah sebuah coretan atas selembar
kertas polos—sebuah interupsi terhadap kesatuwarnaan.
Tiap tulisan adalah sebuah kehadiran yang tak selamanya bisa diduga sebelumnya
pada sebuah dataran yang rata. Tiap tulisan bisa menghadirkan makna yang tak bisa sepenuhnya diringkus dalam sebuah desain. Singkatnya, (saya kutip dari sebuah buku) tiap tulisan adalah perlawanan terhadap arsitektur. Tiap tulisan adalah ribuan
subversi terhadap panorama yang mengklaim diri sempurna.
—Goenawan Mohamad
Pada dasarnya setiap orang cukup mengetahui bahwa dia manusia yang unik,
hanya ada satu kali di dunia. Dan dengan kesempatan yang luar biasa pun
sekeping keragaman dalam kesatuan yang sangat indah ini
dirinya tidak akan dirakit kembali untuk yang kedua.
—Friedrich Nietszche
Aku gembira akan kehidupan ini—setiap detik kehidupan yang kujalani.
Kehidupan bukanlah nyala lilin yang singkat bagiku.
Kehidupan adalah semacam obor yang menyala, yang harus kupegang
untuk saat ini, dan aku ingin membuatnya terbakar seterang mungkin
sebelum menyerahkannya kepada generasi yang akan datang.
—George Bernard Shaw
Hari ini, satu bulan yang lalu, saya berulang tahun. Tapi saya baru menuliskannya sekarang karena… saya lupa! Bukan lupa pada tanggal ultah saya sendiri, tapi lupa untuk menuliskannya. Nah, sekarang, saya pikir, saya perlu menuliskannya di blog ini, sekalian untuk mohon doa restu dari teman-teman semua.
(Mohon doa restu…??? Emang kamu mau kawin, pal?).
Bukan, bukan! Saya belum mau kawin, saya belum siap membuat cewek-cewek patah hati. Haiyaaahhh…!!!
Well, begini. Setiap kali berulang tahun, saya tuh selalu menargetkan beberapa hal yang akan saya kejar dalam satu tahun mendatang, sampai di hari ultah tahun berikutnya. Biasanya, orang-orang melakukan hal semacam ini pada waktu tahun baru—lazimnya disebut resolusi. Namun saya lebih suka melakukannya pada waktu hari ultah. Jadi semacam kado untuk diri sendiri, gitu. Dan selama ini saya bersyukur karena cukup berhasil mengejar impian yang saya targetkan.
Nah, sejujurnya saya termasuk orang ambisius. Jadi, target yang saya kejar setiap tahunnya sering kali lebih besar dibanding target yang saya kejar di tahun sebelumnya. Well, ini semacam tantangan bagi diri sendiri, dan saya menyukai permainan ini. Jadi, di tahun ini, saya mengejar target yang lebih besar dibanding tahun-tahun lalu, dan target tahun ini merupakan yang paling sulit dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Target yang ingin saya kejar di tahun ini adalah menyelesaikan naskah buku paling besar sekaligus paling berat. Proyek penulisan buku ini sebenarnya sudah saya mulai sejak setahun kemarin. Namun, karena pengerjaannya amat sulit, dan juga jumlah halaman naskahnya yang sangat tebal, prosesnya pun membutuhkan waktu yang sangat lama—dan saya ingin menyelesaikannya dalam tahun ini.
Apa sih buku itu? Saya belum bisa menceritakannya, namun yang jelas inilah buku paling lama sekaligus paling sulit dalam proses pengerjaannya. Sedikit bocoran, saat ini saya sedang melacak dan menelusuri apa saja yang terjadi pada satu juta tahun Sebelum Masehi. Nah, bayangkan sendiri buku apa yang sedang saya garap ini.
Jika rencana saya terealisasi, naskah buku tersebut tebalnya akan sekitar 1000 (seribu) halaman, dan pengerjaannya mengharuskan saya membaca, mempelajari, serta meriset ribuan data, juga menyetubuhi buku tak terhitung banyaknya.
Karena proses pengerjaannya membutuhkan kecermatan, kedalaman, kesabaran, sekaligus waktu yang amat panjang, maka upaya menyelesaikannya adalah tantangan yang amat besar, dan sejujurnya saya merasa “panas dingin” karena khawatir kalau tidak bisa menyelesaikannya dalam waktu setahun ini sebagaimana saya inginkan. Karenanya pula, kelak setelah naskah ini terbit menjadi buku, saya mengimpikan buku tersebut menjadi warisan penting saya untuk dunia. #pengin lebay.
Di antara semua buku yang pernah saya tulis, naskah buku inilah yang terasa paling berat pengerjaannya—dan sudah membuat saya stres juga frustrasi, hingga berkali-kali berniat membatalkannya. Namun, setiap kali ingin menyerah, saya teringat ucapan filsuf Plato, “Semua karya besar selalu dikerjakan dengan rasa bosan, tertekan, dan frustrasi.”
Tentu saja saya bukan Plato atau sekaliber Plato. (Memangnya saya ini siapa???). Tetapi, melalui ucapan Plato itulah saya dapat terus memotivasi dan menguatkan diri untuk terus menyelesaikan proyek naskah ini. Setiap kali rasa bosan dan frustrasi menyerang, saya mengingatkan diri bahwa ini akan menjadi karya terbesar saya—dan saya pun bisa bersemangat kembali.
Jadi, kawan-kawan, melalui post ini, saya mengharapkan doa restu dari kalian semua, agar saya bisa menyelesaikan pengerjaan naskah yang berat ini—dan itu artinya saya selalu dalam keadaan sehat, memiliki waktu yang cukup, sehingga tetap dapat menjumpai kalian di blog ini. Betapa pun juga, saya tetap ingin dapat menulis untuk blog ini, meski saya juga mengejar penulisan naskah berat sebagaimana yang saya ceritakan di atas.
Saya juga merasa perlu memberitahukan hal ini sekarang, karena jika sewaktu-waktu saya mengalami “hang” dan tidak bisa menulis post untuk blog selama beberapa waktu, mohon kalian tidak berdemo seperti setahun lalu. Intinya, saya akan berusaha untuk tetap dapat menulis post secara rutin seperti biasa, namun jika terpaksa absen, saya harap kalian dapat memaklumi. Oke, ya?
(Nah, kalau pengerjaan naskah itu sudah selesai, kamu mau ngapain lagi, pal?).
Kalau Mei tahun depan naskah di atas sudah selesai, dan saya bisa membuat target baru di ultah mendatang, tentu saja saya ingin membuat target baru yang lebih besar lagi. Yaitu serius nyari pacar dan… kawin! Huhuhu…
Makanya, “Mohon doa restu.” :D
Apakah kita tahu di manakah batas-batas kemampuan yang kita miliki? Tidak? Ya, kita memang tidak akan pernah tahu sampai kita mencobanya.
Sering kali, batas kemampuan kita hanya ada di dalam pikiran kita. Kita sudah merasa takut terlebih dulu sebelum mencoba, karena pikiran kita khawatir tidak akan mampu melakukannya. Padahal, kemampuan akan timbul jika kita telah melakukannya, dan bukan ketika kita telah memikirkannya. Filsuf agung Sophocles mengatakan, “Kita belajar dengan cara melakukan, karena meskipun kau berpikir kau tahu, kau tidak pernah yakin sampai kau mencobanya.”
Iwan Fals tidak akan pernah menjadi penyanyi jika ia tidak pernah berani mencoba menyanyikan lagunya. Christine Hakim tidak akan pernah menjadi aktris jika ia tidak pernah mencoba menunjukkan aktingnya. Arswendo Atmowiloto tidak akan pernah menjadi penulis jika ia tidak pernah mencoba menuliskan karyanya. Semua orang yang berhasil adalah orang yang telah ‘melakukan’, dan bukan hanya ‘memikirkan’ apakah ia mampu melakukannya atau tidak.
Karena, sekali lagi, kita tidak akan pernah tahu di manakah batas kemampuan kita jika kita tidak pernah berani mencoba melakukannya.
Pernah memikirkan perbedaan antara dua kalimat, “Saya ingin melakukan hal itu,” dan “Saya akan melakukan hal itu”?
Ada perbedaan yang sangat besar antara berpikir “Saya ingin”, dan berpikir “Saya akan”. Ketika kita berpikir “Saya ingin”, pikiran kita tidak bereaksi apa-apa. Tetapi jika kita berpikir “Saya akan”, maka pikiran kita akan melakukan dua hal yang menakjubkan; pertama, pikiran kita akan memperlihatkan kepada kita bagaimana cara mencapai keinginan itu, dan kedua, berpikir “Saya akan” memberikan energi yang kita perlukan.
Semakin dalam kita menanamkan impian kita di dalam pikiran, semakin pasti pula kita akan mencapai impian itu.
Coba lihat dengan cara ini. Apabila kita berpikir, “Saya akan membuat ide dan gagasan ini terwujud,” maka pikiran kita pun akan mulai memberikan gambaran-gambaran tentang bagaimana cara melaksanakannya. Jika kita berpikir, “Saya akan menyelesaikan kuliah pada satu tahun mendatang,” maka pikiran kita pun akan menunjukkan bagaimana cara agar keinginan itu tercapai.
Bahkan para penulis pun mengakui hal ini. Saya telah bertanya pada banyak kawan yang berprofesi penulis, dan mereka menceritakan bahwa mereka pun kerap kali melakukan hal semacam itu. Jika mereka mengatakan, “Saya akan menulis buku tentang objek itu,” maka pikiran mereka pun segera menggambarkan hal-hal yang berhubungan dengan si objek, memberikan garis besar bagaimana seharusnya buku itu ditulis.
Sekali lagi, ada perbedaan yang sangat besar antara berpikir “Saya ingin” dan berpikir “Saya akan”. Dan... jika kata-kata “Saya ingin” biasanya akan segera dihembus angin dan terlupakan, maka kata-kata “Saya akan” adalah komitmen paling kuat yang dapat dibuat seseorang.
Langganan:
Postingan (Atom)