Hanya orang goblok yang mau punya blog.
—Pakar telematika
Hanya orang goblok yang menganggap punya blog itu goblok.
—Bukan pakar telematika
Di beberapa blog milik teman, sedang ada sebuah trending topic menyangkut seseorang berinisial RJ. Sebagian bahkan mengulas sosok si RJ tersebut dengan serius dalam sebuah posting tersendiri. Sekarang, saya juga “gatal” ingin mengulas topik yang sama, meski saya akan menyamarkan identitasnya.
(Catatan: Saya sengaja tidak mau menyebutkan nama aslinya, karena saya tidak ingin dituduh menulis topik ini sebagai upaya untuk mengundang trafik. Selain itu, saya juga punya etiket pribadi untuk menyamarkan nama atau identitas orang jika ingin membicarakan sisi negatifnya, karena saya percaya bahwa setiap manusia punya hak untuk dijaga perasaannya).
Pertama kali mengenal nama RJ adalah ketika sebuah blog yang sering saya kunjungi membahas tentang orang tersebut. Berdasarkan postingnya, rupanya si RJ ini telah membuat “keributan” di blog-blog lain melalui kolom komentar. Dari posting itu pula kemudian saya menelusuri link-link yang diberikan, dan saya pun melihat langsung seperti apa “keributan” yang telah dilakukan oleh si RJ tersebut.
Di dalam kolom komentar di beberapa blog yang saya baca, si RJ meninggalkan komentar-komentarnya yang memang “tidak sopan”—dengan menyatakan bahwa nge-blog adalah aktivitas yang tak berguna atau bodoh, atau mengkritik sesuatu yang keluar dari konteks posting, atau bahkan secara terang-terangan menyerang si empunya blog. Tentu saja, karena komentarnya yang tidak layak tersebut, si RJ pun diserang balik oleh banyak orang.
Siapakah RJ yang kontroversial itu? Sebenarnya, RJ bukan nama asli, karena orang ini memiliki nama asli yang ia sebutkan di halaman profilnya. Oh ya, dia punya blog sendiri, hanya saja isi blognya hanya membahas bisnis online yang dilakukannya. Saya tidak tertarik dengan bisnis online-nya itu, tetapi saya tertarik membahas kepribadian si RJ sebagai manusia—khususnya dalam konteks dunia blog.
Bertahun-tahun lalu sebelum RJ mengeluarkan statemen-statemennya yang pasti membuat kuping para blogger memerah, di negeri ini telah ada seorang lelaki lain yang disebut (atau menyebut diri) sebagai “pakar telematika” yang juga mengeluarkan hal senada. Si “pakar telematika” itu dengan terang-terangan menyatakan, “Hanya orang goblok yang punya blog.” Selain cemoohannya yang terang-terangan itu, dia juga menunjukkan kebenciannya yang nyata pada para blogger.
Tak usah dikatakan lagi, para blogger pun langsung membencinya. Pada waktu-waktu itu, ratusan blogger di negeri ini seperti kompak menyerang si “pakar telematika” melalui blog mereka, dan hampir bisa dipastikan setiap posting yang membahas tentang itu akan menuai banyak komentar dukungan. Puncaknya, beberapa blogger senior mengusahakan pertemuan langsung antara si “pakar telematika” dengan para blogger di Indonesia.
Mereka mengirimkan undangan kepada si “pakar telematika” tersebut, agar mau bertemu langsung untuk berdiskusi. Karena si “pakar telematika” telah menganggap bahwa para blogger adalah kaum goblok, maka dia pun mungkin jadi khawatir dipukuli atau diculik. Jadi, waktu itu, dia menyatakan mau bertemu langsung, dengan syarat pertemuan itu dilaksanakan secara “akademis” dan di tempat yang “terhormat”.
Permintaan itu dituruti. Beberapa blogger menghubungi kampus-kampus yang memiliki ruang auditorium cukup luas, dan hasilnya sebuah kampus di Jakarta bersedia membantu menyediakan ruang auditoriumnya untuk pertemuan itu.
Si “pakar telematika” pun diberitahu, dan tanggal pertemuan ditetapkan. Sekarang si “pakar telematika” tidak punya alasan lagi untuk menolak. Para blogger se-Indonesia waktu itu sudah harap-harap cemas, dan mungkin diam-diam bahkan berdoa semoga Tuhan tidak buru-buru mencabut nyawa si “pakar telematika” agar dia punya kesempatan mengunjungi pertemuan tersebut.
Sebenarnya, tujuan para blogger ingin bertemu langsung dengan si “pakar telematika” waktu itu hanya ingin bertanya baik-baik, “Hei, Tuan Pakar, kenapa Anda kok selama ini sepertinya sangat membenci kami? Kenapa Anda terus-terusan menyerang eksistensi kami? Kenapa Anda secara terang-terangan menyebut kami goblok?”
Pasalnya, pada waktu-waktu itu, si “pakar telematika” sering berkoar-koar di media massa tentang “kegoblokan” para blogger, dan dia pun terus-menerus menunjukkan kebenciannya. Tapi dia tidak mau menjelaskan alasannya (secara akademis) mengapa dia membenci blogger hingga demikian antipatinya. So, si “pakar telematika” ini dinilai cuma omdo, besar mulut, tapi tidak mau menjelaskan latar belakang pemikirannya secara ilmiah dan akademis—mengingat dia seorang akademisi.
Nah, yang dilakukan RJ sekarang ini tidak jauh beda dengan si “pakar telematika” di atas. Dia hanya berkoar-koar di kolom komentar blog orang, menyerang aktivitas blogging, atau bahkan menyerang si bloggernya secara tidak relevan, namun tidak mau menjelaskan latar belakang pemikirannya. Hasilnya tentu caci-maki balasan. Jika dia menuduh para blogger adalah sekumpulan orang goblok, maka sesungguhnya dia justru sedang menunjukkan kegoblokannya sendiri.
Tetapi, sesungguhnya, kasus semacam itu tidak semata dilakukan oleh RJ. Kita sendiri pun bisa jadi tergelincir melakukan apa yang dilakukan RJ, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. RJ, dalam perspektif saya, hanya personifikasi atas ketidakmampuan melihat perbedaan dengan orang lain. RJ adalah ilustrasi mudah untuk menunjukkan betapa ternyata seseorang bisa memiliki pikiran yang amat sempit—sebegitu sempitnya hingga mudah menyalahkan orang lain.
Dunia blog adalah dunia pribadi orang per orang. Artinya, setiap pemilik blog memiliki hak untuk menggunakan blognya dengan tujuan apa pun secara personal. Ia boleh menggunakannya untuk menulis kisah-kisah pribadinya, untuk menuangkan uneg-unegnya, untuk berbisnis dan mendapatkan uang, untuk menjalin persahabatan, untuk menuangkan pemikiran, untuk memajang foto-foto atau lukisan karyanya, dan untuk hal-hal lain.
Semuanya itu sah, selama tidak melanggar etika sosial dan aturan yang ditetapkan pihak penyedia platform yang digunakan. Karenanya, meminjam ilustrasi
Itik Bali, blog itu seperti restoran atau warung makan. Jika kita masuk warung Padang, maka bersiaplah untuk mendapatkan sajian masakan ala Padang. Sungguh konyol dan ironis jika kita masuk warung Padang dan meminta menu yang tak disediakan di sana, lalu marah-marah pada pemilik warungnya.
Setiap isi blog tergantung pada pemiliknya. Jika kita menyukai artikel-artikel bisnis, maka kunjungilah blog yang memang memuat materi itu. Jika kita mengunjungi blog pribadi dan kemudian merasa tidak cocok, itu bukan salah bloggernya, melainkan kita yang salah masuk!
Begitu pun, kalau kita membaca sebuah blog dan kemudian merasa tidak cocok dengan postingnya, maka tidak perlu repot-repot menyalahkannya. Sekali lagi, blog adalah ruang pribadi masing-masing pemiliknya. Di dalam blog pribadi, ada orang yang menuangkan pengalaman sehari-harinya, ada pula yang menuangkan pemikiran-pemikirannya. Jika pengalaman sehari-hari setiap orang biasanya berbeda-beda, maka tentu sungguh wajar jika pemikiran orang pun bisa berbeda-beda.
Coba bayangkan ilustrasi yang konyol ini.
Saya seorang cowok berusia 27 tahun, dengan kegiatan sehari-hari yang hanya berkutat di ruang kerja, perpustakaan, dan laboratorium. Teman saya sehari-hari cuma buku, komputer, rokok, makalah, dan kertas-kertas kerja. See, saya punya latar belakang pribadi yang unik. Karena latar belakang pribadi itulah yang kemudian menjadikan blog saya sekarang jadi seperti ini.
Sekarang bayangkan saya mengunjungi blog Itik Bali. (Sori, terpaksa contohnya menggunakan blog Itik Bali, karena saya telanjur memberikan link di atas, hehe). Ayu, pemilik blog Itik Bali, adalah seorang cewek sweet seventeen yang masih SMA, dengan umur yang tentu jauh di bawah saya. Jika dia menceritakan kisah pribadinya di blog, apakah mungkin kisahnya akan sama dengan saya? Kita semua tentu tahu jawabannya!
Nah, sekarang bayangkan saya marah-marah ketika membaca kisah Ayu di blognya, karena saya merasa kisah keseharian Ayu berbeda dengan kisah keseharian saya. Apa yang akan terjadi? Saya akan menjadi orang paling idiot di muka bumi! Sungguh konyol sekaligus tolol jika saya berharap Ayu memiliki kisah keseharian yang sama dengan saya, padahal latar belakang kami jelas-jelas berbeda!
Lebih konyol lagi jika saya mencaci-maki Ayu di kolom komentar blognya, hanya gara-gara saya menganggap kisahnya berbeda dengan saya. Atau, yang tidak kalah konyolnya, saya membuat posting khusus di blog saya, hanya untuk mengkritik Ayu karena saya merasa dia berbeda dengan saya! Jika itu yang saya lakukan, maka benarlah yang dikatakan si “pakar telematika”, bahwa “Hanya orang goblok yang punya blog!”
Sekali lagi, kita semua memiliki latar belakang berbeda. Karena latar belakang berbeda, maka kisah keseharian pun berbeda. Karena latar keseharian berbeda, maka pemikiran pun berbeda. Jika Tuhan menciptakan kita semua dalam bentuk yang berbeda, mengapa kita harus menyalahkan orang lain jika berbeda…???
Pemikiran semacam itulah yang seyogyanya kita terapkan pada diri sendiri ketika mengunjungi blog milik orang lain, dan kemudian membaca tulisan-tulisannya. Setiap pribadi adalah unik—dengan ragam perbedaan latar belakang, pemikiran, cara memandang sesuatu, usia, bahkan jenis kelamin dan tempat tinggal yang berbeda.
Karenanya, syarat mutlak untuk tidak goblok ketika membaca tulisan di blog adalah menyadari bahwa selalu ada kemungkinan kita akan berbeda dengan orang yang tulisannya kita baca. Jika kita tidak mau atau tidak siap menerima perbedaan, maka sebaiknya tinggal saja di goa, dan tidak usah membuka blog orang lain.
Back to topic, kita kembali pada si RJ di atas. Kemungkinan, orang semacam RJ adalah orang yang tidak memahami kenyataan tersebut, sehingga menganggap orang yang berbeda dengannya adalah salah.
Orang-orang semacam inilah yang sering kali menjadikan hidup orang lain tak pernah tenteram. Bahkan, jika kita membaca sejarah, kita akan disuguhi kenyataan bahwa sebagian besar perang terjadi karena adanya orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan dengan orang lainnya.
Blog diciptakan tidak untuk membuat perang atau permusuhan, melainkan untuk dijadikan sebagai sarana aktualisasi diri, berbagi, dan saling belajar. Akan lebih bagus jika melalui blog terjalin persahabatan sehingga menambah kawan. Namun, jika tidak, saya lebih suka menganggap blog sebagai sarana pembelajaran untuk memahami bahwa masing-masing kita memang berbeda, dan kita harus belajar berbesar hati untuk menerima perbedaan itu.
Filsuf besar Aristoteles adalah murid Plato. Pada waktu Plato sedang sekarat menjemput kematian, Aristoteles berkata dengan suara terisak, “Guru, tinggalkanlah satu pelajaran lagi untukku sebelum kau pergi selamanya.”
Plato, sang guru, dengan suara lirih membisikkan
pelajaran penting terakhirnya untuk sang murid, “Terimalah perbedaan… Jangan salahkan orang lain jika ia berbeda denganmu.”
Terimalah perbedaan. Jangan salahkan orang lain jika ia berbeda denganmu. RJ mungkin perlu mendengar pelajaran Plato tersebut. Tetapi, pelajaran itu pun sama perlunya untuk kita semua.