Di Twitter, ada akun dengan username @Kesindirr. Identitas yang ada di bio-nya bernama Indri. Saya tidak tahu siapa Indri, tapi saya salah satu follower-nya, dan menyukai tweet-tweet-nya yang sering nyindir dengan cara sinis, bahkan kadang frontal dan sarkastis. Bagi saya, membaca tweet-tweet Indri sama artinya latihan mental, untuk menguji bahwa mental saya (masih) sehat.
Jika seseorang yang saya kenal menulis tweet sindiran, dan kemudian saya merasa tersindir, bisa jadi saya akan berpikir atau bahkan menuduh dia sengaja menulis tweet sindiran itu untuk saya. Sebaliknya, jika saya yang menulis tweet sindiran, dan kebetulan tweet itu dianggap menyindir seseorang yang saya kenal, bisa jadi dia akan berpikir kalau saya sengaja menyindirnya.
Nah, hal semacam itu tidak terjadi antara saya dengan Indri, karena saya tidak tahu siapa Indri, dan Indri juga tidak kenal saya. Artinya, apa pun yang dicelotehkan Indri melalui tweet sindirannya sama sekali tidak ditujukan untuk saya. Jika kemudian saya tersindir, itu salah saya sendiri. Karena latar belakang semacam itulah, saya menganggap tweet-tweet Indri sebagai penguji kesehatan mental saya.
Seperti yang pernah saya tulis di sini, kita sangat sensitif dengan sindiran. Kadang-kadang, seseorang menulis atau mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan kita, tetapi kita merasa tersindir oleh tulisan atau ucapannya. Padahal orang itu sama sekali tidak ingat kita—atau bahkan tidak kenal kita—ketika dia menulis dan mengucapkan kata-kata itu. Tetapi, karena sensitifitas kita yang luar biasa terhadap sindiran, kita pun tersindir.
Mungkin tidak masalah jika kita tersindir dan kemudian selesai. Ada kalanya—dan ini sungguh memalukan—ada orang yang marah-marah pada orang lain gara-gara merasa tersindir, kemudian mencaci-maki orang yang telah (ia anggap) menyindirnya. Itu sungguh lucu dan kekanak-kanakan, karena seolah-olah di dunia ini hanya ada satu orang, yaitu dirinya. Jika ada sesuatu yang dianggap sindiran, dia akan menganggap itu sindiran untuknya. Konyol!
Mengapa kita bisa merasa tersindir? Bagi saya, kita tersindir jika mendapati sesuatu yang berhubungan dengan sifat atau kebiasaan buruk yang kita miliki, namun tidak mau kita akui. Misalnya, jika saya mendapati tweet, “Ada lho, orang yang hidupnya gak jelas antara siang dan malam,” maka saya mungkin akan tersindir, karena merasa memiliki kebiasaan semacam itu.
Dalam hidup sehari-hari, kadang saya memang bingung kapan siang dan kapan malam. Kadang tidur di siang hari, dan asyik kerja di malam hari. Mungkin itu buruk, karena tidak sesuai peruntukan waktu yang benar (siang untuk bekerja dan beraktivitas, sedang malam untuk tidur dan istirahat). Karenanya, saya pun merasa tersindir.
Tetapi, kalau sewaktu-waktu saya mendapati tweet, “Tuh orang sok suci banget! Kayaknya dia mikir yang paling bener tuh cuma dia,” maka saya tidak akan tersindir. Kenapa? Jawabannya sangat jelas, karena saya tidak merasa punya sifat semacam itu. Bahkan terus terang saya juga tidak suka pada orang yang bawaannya merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri, kemudian menganggap orang lain yang berbeda dengannya pasti salah.
Jadi, merasa tersindir sebenarnya sinyal yang memberitahu agar kita membenahi diri, agar mengakui bahwa kita memiliki sifat atau perilaku tertentu yang mungkin kurang baik. Karenanya pula, cara paling sehat menghadapi sindiran bukan menyalahkan apalagi mencaci-maki pihak yang membuat kita tersindir, melainkan introspeksi untuk memperbaiki diri.
Hal itu pulalah yang saya terapkan pada diri sendiri ketika membaca tweet-tweet Indri di Twitter. Saya yakin dia tidak kenal saya, sebagaimana saya tidak mengenalnya. Kapan pun dia ngoceh tentang apa pun di timeline-nya, saya akan menganggapnya sebagai pelajaran untuk berkaca. Jika sewaktu-waktu ada tweet Indri yang terasa menyindir saya, maka saya tidak punya alasan untuk menyalahkan atau membenci dia.
Sering kali, tweet Indri tidak sampai menyentuh insting tersindir saya, dan biasanya saya hanya tersenyum atau tertawa ketika membacanya. Misalnya, ada tweet-nya yang berbunyi, “Musim fotografi lo ikut, musim skateboard lo ikut, musim musik metal lo ikut. Dan semua lo tinggalin pas udah gak musim lagi. Norak ya.”
Terus terang saya tertawa membaca tweet itu, dan tidak merasa tersindir sama sekali. Tak peduli seberapa lama saya introspeksi diri, saya tidak merasa punya sifat seperti yang disindirkan Indri dalam tweet itu. Saya tidak suka fotografi, dari dulu maupun sekarang. Saya juga tidak suka skateboard, dari zaman anak-anak sampai dewasa kini. Selain itu, musik metal yang saya suka juga terbatas, dan cuma itu-itu saja. Intinya, saya sama sekali tidak tersindir.
Tetapi, saya yakin ada banyak orang di luar sana yang tersindir oleh tweet itu, khususnya bocah-bocah labil yang masih sering terpengaruh lingkungannya, atau orang-orang telat dewasa yang masih suka diombang-ambingkan tren. Bisa jadi mereka tidak tertawa ketika membaca tweet itu, tapi mungkin misuh-misuh di depan timeline. Bisa jadi pula, mereka akan langsung unfollow Indri gara-gara tweet itu.
Di tweet yang lain, Indri menulis, “mentang2 baru putus gembor2 dirinya jomblo, kalau merasa cantik ya gak usah promosi berlebihan, NORAK!” Beberapa hari kemudian, muncul tweet ini, “Yang jauh lebih cantik dari lo banyak kali neng.” Sekali lagi saya tertawa ketika membaca tweet-tweet itu. Tetapi, sekali lagi, saya juga yakin ada banyak orang yang akan tersindir habis-habisan.
See? Merasa tersindir adalah sinyal yang memberitahu bahwa ada yang tidak beres dengan kepribadian kita.
Oh, well, kadang-kadang saya juga merasa tersindir oleh tweet Indri. Misalnya, pada 12 April 2013, dia menulis, “Udah lah. Gak semuanya yang lu inginkan bisa terwujud di dunia ini.” Kebetulan, waktu itu saya sedang serius menghadapi sesuatu seperti yang tercermin dalam tweet itu. Karenanya, begitu membaca tweet tersebut, saya merasa tersindir, dan bengong, dan mikir, “Ini kayaknya si Indri lagi nyindir aku nih.”
Dalam perspektif yang idealis, saya selalu menginginkan kehidupan pribadi saya benar-benar tepat seperti yang saya harapkan. Sering kali berhasil, dan biasanya memang begitu. Namun, pada waktu itu, sesuatu yang sedang saya kerjakan tidak terwujud seperti yang saya inginkan. Dan saya galau campur risau. Pada waktu itulah saya membuka timeline di Twitter, dan tweet Indri nongol. Saya langsung merasa tersindir.
“Udah lah. Gak semuanya yang lu inginkan bisa terwujud di dunia ini.”
Jika saya menghadapi tweet itu dengan pikiran negatif, saya membayangkan Indri sedang mengejek saya, meremehkan kemampuan saya, bahkan merendahkan harga diri saya. Sebaliknya, jika saya menghadapi tweet itu dengan pikiran positif, saya membayangkan Indri duduk di samping saya, menepukkan tangannya dengan lembut ke bahu saya, menyadarkan bahwa di dunia ini memang tidak ada yang sempurna.
Saya punya dua pilihan dalam menghadapi tweet itu. Merasa tersindir dan terejek, atau merasa menemukan teman yang menyadarkan. Untungnya, saya memilih yang kedua, dan bukannya buru-buru memencet tombol unfollow. Dengan segala tweet sindirannya yang sinis bahkan sarkastis, saya lebih memilih untuk berpikir bahwa Indri sedang berlaku sebagai teman yang mengingatkan, bukannya sebagai cewek jutek yang menjengkelkan.
Akhirnya, seperti yang dikatakannya sendiri dalam tweetnya, “Jangan ke ge-eran deh jadi orang. Emangnya semua twit gue buat lo? Bukan lo doang kali yang baca twit gue.”
Dia benar, bukan hanya saya yang membaca tweet-nya. Setidaknya, ada sepuluh ribu orang lain di Twitter yang juga membaca tweet-nya. Sungguh tolol campur konyol kalau saya sampai marah apalagi membenci Indri gara-gara celotehnya.
Aku berkata, “Kehidupanku sangat indah, aku sangat bahagia.” Dan setiap hari aku sibuk mencari orang yang mau menerimaku.
Aku berkata, “Bagi orang sepertiku, cinta adalah hal biasa.” Dan setiap saat aku ingin marah karena tak juga menemukan pasangan.
Aku berkata, “Tidak seharusnya kita menyimpan kebencian di hati kita.” Dan aku selalu mengingat-ingat keburukan orang lain.
Aku berkata, “Banyak orang menyukaiku.” Dan dalam hati aku mengutuk karena tidak ada satu orang pun yang mau hidup denganku.
Aku berkata, “Aku hebat, istimewa, sempurna.” Dan aku jengkel karena tak ada orang yang cukup tolol untuk tertipu dengan gayaku.
Aku berkata, “Hiduplah dengan cinta, dan orang akan mencintaimu.” Dan aku selalu ditolak setiap kali menyatakan cinta pada siapa pun.
Aku berkata, “Urusan pribadi tidak seharusnya diumbar di sarana publik.” Dan aku mencaci-maki seseorang yang menolak cintaku di timeline.
Aku berkata, “Hidup adalah soal pilihan.” Dan setiap saat aku bersedih karena menjalani hidup yang tak kuinginkan.
Aku berkata, “Kunci kebahagiaan adalah menerima dunia apa adanya.” Dan aku tak pernah mampu menerima diriku sendiri.
....
....
Kita selalu punya cara dan alasan untuk membohongi dunia, membohongi orang lain. Dan, lebih lagi, membohongi diri sendiri.
Aku berkata, “Bagi orang sepertiku, cinta adalah hal biasa.” Dan setiap saat aku ingin marah karena tak juga menemukan pasangan.
Aku berkata, “Tidak seharusnya kita menyimpan kebencian di hati kita.” Dan aku selalu mengingat-ingat keburukan orang lain.
Aku berkata, “Banyak orang menyukaiku.” Dan dalam hati aku mengutuk karena tidak ada satu orang pun yang mau hidup denganku.
Aku berkata, “Aku hebat, istimewa, sempurna.” Dan aku jengkel karena tak ada orang yang cukup tolol untuk tertipu dengan gayaku.
Aku berkata, “Hiduplah dengan cinta, dan orang akan mencintaimu.” Dan aku selalu ditolak setiap kali menyatakan cinta pada siapa pun.
Aku berkata, “Urusan pribadi tidak seharusnya diumbar di sarana publik.” Dan aku mencaci-maki seseorang yang menolak cintaku di timeline.
Aku berkata, “Hidup adalah soal pilihan.” Dan setiap saat aku bersedih karena menjalani hidup yang tak kuinginkan.
Aku berkata, “Kunci kebahagiaan adalah menerima dunia apa adanya.” Dan aku tak pernah mampu menerima diriku sendiri.
....
....
Kita selalu punya cara dan alasan untuk membohongi dunia, membohongi orang lain. Dan, lebih lagi, membohongi diri sendiri.
Cewek 1: Eh, menurut kalian, cewek yang kemana-mana topik obrolannya cuma urusan kawiiiin ama nyari jodoh tuh, gimana?
Cewek 2: Hih, baru denger aja gue udah ngeri!
Cowok teman mereka: Emang ada, gitu?
Cewek 1 (tertawa): Kalau cewek temen lu yang kayak gitu, gimana?
Cowok teman mereka: Huh, gak bakalan gue temenan ama cewek gak jelas gitu!
Cewek 1 (makin ngakak): Kan, umpama. Kalau umpana nih, ada cewek temen lu yang kek gitu. Ngobrol apaan aja pasti nyambungnya ke urusan kawin ama minta dicariin jodoh. Lu gimana?
Cowok teman mereka (muka suntuk): Gue akan berdoa semoga dijauhkan dari cewek model gitu!
....
....
Saya (dalam hati): Amin.
Cewek 2: Hih, baru denger aja gue udah ngeri!
Cowok teman mereka: Emang ada, gitu?
Cewek 1 (tertawa): Kalau cewek temen lu yang kayak gitu, gimana?
Cowok teman mereka: Huh, gak bakalan gue temenan ama cewek gak jelas gitu!
Cewek 1 (makin ngakak): Kan, umpama. Kalau umpana nih, ada cewek temen lu yang kek gitu. Ngobrol apaan aja pasti nyambungnya ke urusan kawin ama minta dicariin jodoh. Lu gimana?
Cowok teman mereka (muka suntuk): Gue akan berdoa semoga dijauhkan dari cewek model gitu!
....
....
Saya (dalam hati): Amin.
Lebih dari tiga tahun yang lalu, saya direkrut sebuah lembaga dalam suatu proyek penelitian di suatu tempat. Dalam penelitian itu, saya dipasangkan dengan seseorang—yang kita sebut saja—bernama Firman. Jadi, berdasarkan skedul, saya akan bekerja bersama Firman sampai pekerjaan itu selesai.
Waktu itu saya belum mengenal Firman, sebagaimana dia juga belum mengenal saya. Jika kita harus bekerja dengan seseorang hingga berhari-hari, kita merasa perlu tahu seperti apa karakter orang itu, agar bisa berimprovisasi dengannya, demi kelancaran kerja. Dalam pekerjaan yang menggunakan otak, kita selalu bisa menemukan genius yang ternyata kurang waras, atau berkepribadian mengerikan.
Jadi, saya pun menemui direktur lembaga yang menugasi kami, dan bertanya, “Kenapa saya harus bekerja dengan orang ini?”
Jawaban yang saya dapatkan, “Dia orang terbaik yang bisa kita temukan.”
Itu penilaian profesional—jawaban standar yang akan kita dengar jika berurusan dengan lembaga profesional mana pun. Mereka tentu hanya menginginkan orang-orang terbaik di bidangnya, orang-orang dengan kualitas kelas satu. Jadi, saya pun menegaskan, “Maksud saya, bagaimana kepribadian orang ini?”
Dia tersenyum, “Sejujurnya kami tidak tahu. Tetapi, kami mempertemukan kalian untuk bekerja, bukan untuk menjalin hubungan spesial.”
Bagus sekali, pikir saya.
Yang agak merisaukan, beberapa teman—yang mengenal Firman—memberitahu saya bahwa Firman “agak tidak beres”—apa pun maksudnya. Seseorang bahkan menjelek-jelekkan Firman dan menyebutnya “orang yang tidak bisa diajak berkawan”. Sementara kawan yang lain lagi menyatakan bahwa Firman adalah orang yang “keras”, “tidak bisa ditolak”, dan “egois”. Karena itulah, saya kemudian merasa perlu menanyakannya langsung pada orang yang menugaskan kami, mengenai kepribadian si Firman.
Karena akhirnya saya tidak bisa menolak atau meminta agar Firman diganti orang lain, maka kami kemudian bertemu dan benar-benar bekerja bersama. Hari pertama ketika bertemu, saya menilainya sebagai sosok yang biasa-biasa saja. Tetapi, karena adanya “bisikan” dari teman-teman yang telah lebih dulu mengenalnya, saya pun bersikap hati-hati. Saya tidak ingin pekerjaan kami kacau di tengah jalan hanya gara-gara perselisihan antarkawan.
Lalu pekerjaan itu pun dimulai. Kami berangkat ke lokasi yang ditentukan, menginap di tempat yang telah disiapkan, dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan. Estimasi awal, pekerjaan itu akan selesai dalam 15 hari. Jadi, saya pun sempat membatin, bahwa setengah bulan mendatang saya akan hidup bersama seseorang yang “keras”, “tidak bisa ditolak”, “egois”, dan “tidak bisa diajak berkawan”. Oh, well, kedengarannya seperti ujian mental, pikir saya.
Tetapi, ajaib, yang saya khawatirkan tidak terjadi. Selama kami bekerja bersama dalam hari-hari itu, saya mendapati Firman sebagai sosok yang baik—jauh lebih baik dibanding yang saya bayangkan sebelumnya, akibat bisikan orang-orang tentangnya. Dia memang sosok yang “keras” dan “tidak bisa ditolak”, tetapi—berdasarkan pengalaman saya dengannya—dia menempatkan karakter itu dalam hal positif, dan saya sama sekali tidak keberatan dengan sifatnya itu.
Bahkan, selama menjalani hari-hari bersamanya, saya mendapati Firman sebagai teman yang cocok. Bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi juga sebagai pribadi. Dia pendengar yang baik, punya selera humor yang menyenangkan, dan tak pelit membagikan pengalaman serta pengetahuannya. Hari-hari yang semula saya bayangkan menjadi hari-hari sulit ternyata bisa kami lalui sebagai hari-hari yang menyenangkan.
Finish-nya, pekerjaan yang semula diperkirakan akan selesai dalam waktu setengah bulan, bisa kami selesaikan hanya dalam waktu 10 hari. Kami telah menjadi teamwork yang tepat dan serasi, bisa saling mengimbangi, bisa saling mengikuti. Sisa waktu 5 hari yang kami miliki kemudian kami gunakan untuk menjalani hidup sebagai sepasang kawan. Sejak itu, kami bersahabat sampai hari ini.
Selama tiga tahun menjadi temannya, saya masih bertanya-tanya, mengapa ada cukup banyak orang yang menilai Firman dengan negatif. Padahal, berdasarkan pengalaman menjadi kawannya selama bertahun-tahun ini, saya menilai Firman sebagai orang yang baik.
Jika saya harus memberikan penilaian untuk pribadinya, penilaian saya hampir bisa dipastikan positif. Dia teman yang setia, ringan tangan saat dimintai tolong, tidak pernah ingkar janji, tidak segan minta maaf jika bersalah, dan sejujurnya saya sangat bersyukur bisa menemukan teman seperti dirinya. Jika sewaktu-waktu saya memerlukannya, dia selalu sedia. Jika kebetulan sedang sibuk, dia akan memberikan jawaban yang baik, dan tidak mencari-cari alasan yang menjengkelkan.
Mengimbangi kebaikannya, saya pun bersikap sebagai teman yang baik untuknya. Selama bertahun-tahun bersama, kami menjalani persahabatan yang menyenangkan, saling memberi dan menerima, berbagi dan saling mengisi.
Sampai suatu malam, saya dan Firman masuk ke sebuah kafe, dan seseorang di sana menyapa Firman, “Tadi siang aku kirim SMS, kenapa sampai sekarang tidak dibalas?”
Dengan santai, Firman menjawab, “Seminggu yang lalu aku kirim SMS ke kamu, dan kamu tidak membalas. Kenapa kamu berharap aku membalas SMS-mu?”
Kemudian, ketika kami hanya berdua setelah makan malam itu, Firman berkata pada saya, “Di dunia ini ada keparat-keparat yang menganggap kesalahan dirinya sebagai hal biasa, tapi kesalahan orang lain dianggap istimewa. Ada orang yang dikirimi SMS dan tidak membalas, dan menganggap itu hal biasa. Tapi jika kita yang dikirimi SMS dan tidak membalas, dia meributkan hal itu seolah dia tidak pernah melakukan hal yang sama. Jika dia dimintai tolong dan menolak, dia menganggap itu hal biasa. Tapi jika kita yang dimintai tolong dan menolak, dia akan menganggap itu kesalahan. Jika dia berjanji dan ingkar, dia akan menganggapnya hal biasa. Tapi jika kita yang berjanji dan ingkar, dia menganggapnya kesalahan. Jika dia melakukan kesalahan, dia menganggapnya hal biasa. Tapi jika kita melakukan hal yang sama, dia tidak terima.”
Saya mengangguk, menyadari kebenaran kata-katanya.
Lalu Firman melanjutkan, “Dan keparat-keparat semacam itu, ironisnya, adalah orang-orang yang kita kenal. Karena menganggap kita kawan, mereka kadang berlaku seenaknya, ingkar janji seenaknya, melakukan kesalahan seenaknya, dan menganggap semua itu hal biasa. Orang memperlakukan orang lain sebagaimana dia memperlakukan kita. Demi setan, aku tidak bisa menghargai orang yang tidak bisa menghargai orang lain, dan aku juga punya kebiasaan untuk membalas perlakuan orang terhadapku. Mereka baik, aku menjadi orang baik untuknya. Mereka buruk, aku pun menjadi orang buruk untuknya. Kupikir itu cukup adil.”
Sekali lagi saya mengangguk, karena—sebagai manusia—saya pun memiliki kecenderungan semacam itu. Kita tidak mungkin tersenyum pada orang yang meludahi muka kita, sebagaimana kita tidak mungkin mampu memalingkan muka untuk seseorang yang begitu baik kepada kita. Aturannya sederhana—kalau kau menjadi iblis, orang lain akan menjadi iblis bagimu. Kalau kau menjadi malaikat, orang lain pun akan menjadi malaikat bagimu.
Jadi, sejak itulah saya mulai menyadari mengapa ada beberapa orang yang menilai Firman dengan negatif. Mereka hanya melihat satu bagian pada diri Firman, tapi melupakan bagian lainnya. Padahal, manusia adalah satu kepribadian yang utuh—ia tak bisa dinilai bagian per bagian. Tidak ada manusia yang baik seutuhnya, pun tidak ada manusia yang buruk seutuhnya. Menilai manusia hanya dari satu bagian sama halnya menilai gajah dari sudut pandang orang buta.
Karenanya, di hari-hari ini, setiap kali saya mendengar orang menjelek-jelekkan orang lain, atau mendengar penilaian buruk yang dilontarkan seseorang terhadap orang lainnya, saya tidak akan buru-buru percaya. Bisa jadi, seseorang yang dianggap buruk sebenarnya orang baik yang kurang dikenali, seseorang yang dianggap “tidak bisa diajak berkawan” ternyata justru seorang kawan yang setia dan menyenangkan.
Itu hanya masalah sudut pandang, dan sudut pandang kita—sayangnya—sering kali tidak lengkap, dan kemudian menghadirkan vonis kepagian. Ada malaikat dan iblis di dalam setiap kita, pun dalam diri orang lain. Kadang-kadang, kita menyaksikan sinar malaikatnya, namun kadang pula kita melihat iblis gelap di dalam dirinya. Dan... begitu pula yang dilihat orang lain pada diri kita.
Tak pernah ada gunanya bersikap sok suci. Pun tak pernah ada gunanya meributkan kejelekan orang lain.
Di Jepang, Dogma adalah nama studio terkenal
produsen bokep. Di Indonesia... ah, sudahlah!
—Twitter, 29 November 2012
Satu-satunya tempat di mana Amateur lebih disukai
daripada Professional adalah di... film bokep.
—Twitter, 29 November 2012
Meski negaranya menjadi produsen bokep terbesar
di dunia, wanita Jepang tidak terlalu suka menontonnya.
—Twitter, 29 November 2012
Jepang melegalisasi pornografi, karena industri bokep
menyumbang devisa yang amat besar, sekaligus
mendatangkan pajak penghasilan terbesar.
—Twitter, 29 November 2012
Banyak wanita Jepang menjadikan bokep sebagai
batu loncatan menuju film serius untuk terkenal.
Sedikit yang berhasil, banyak yang gagal.
—Twitter, 29 November 2012
Meski bokep menjadi industri legal di Jepang,
tidak semua masyarakat di sana tak bermoral.
Sebagian besar bahkan sangat teguh pada moral.
—Twitter, 29 November 2012
Salah satu bukti kuatnya prinsip moral pada banyak
keluarga di Jepang adalah adanya kesadaran self censor
pada tontonan, termasuk televisi.
—Twitter, 29 November 2012
Jangankan film bokep, bahkan tontonan di televisi pun
kadang sudah membuat mereka malu menyaksikannya,
jika dianggap terlalu vulgar.
—Twitter, 29 November 2012
Ketika anak-anak Jepang menyaksikan adegan
cukup vulgar di televisi, mereka secara spontan
akan memalingkan wajah, atau menutup matanya.
—Twitter, 29 November 2012
Karena kesadaran moral yang kuat, para orangtua
di Jepang pun tak terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya,
meski negaranya memproduksi bokep.
—Twitter, 29 November 2012
Pemerintah Jepang juga memberlakukan aturan hukum
yang ketat atas industri bokep di negaranya,
karena menyadari potensi bahayanya.
—Twitter, 29 November 2012
Yeah, meski beberapa orang juga melanggar aturan itu,
dan membuat bokep yang “melanggar aturan”.
Misalnya genre Lolita dengan pemain asli.
—Twitter, 29 November 2012
Biasanya, yang melanggar aturan soal bokep itu
hanya studio-studio kecil, sementara studio-studio
terkenal lebih memilih mematuhi peraturan.
—Twitter, 29 November 2012
Oh ya, di Jepang, industri bokep juga menjadi
industri rumahan (home industry). Mereka bersaing
dengan studio-studio besar yang terkenal.
—Twitter, 29 November 2012
Bokep produksi rumahan biasanya tidak sebagus
hasil produksi studio besar, karena dana
yang terbatas. Tapi biasanya juga lebih natural.
—Twitter, 29 November 2012
Genre “Amateur” dalam industri bokep juga berasal
dari industri bokep rumahan di Jepang. Genre itu
lalu diadopsi oleh studio-studio besar.
—Twitter, 29 November 2012
Seperti namanya, bokep “Amateur” diperankan
orang biasa (amatiran, bukan model atau artis profesional).
Kadang mereka karyawati, SPG, dll.
—Twitter, 29 November 2012
Industri bokep rumahan memilih pemain amatir,
karena bisa dibayar murah. Dana mereka yang
terbatas tidak mampu membayar profesional.
—Twitter, 29 November 2012
Tetapi, rupanya, para penonton bokep banyak yang
menyukai pemain amatir, karena tampak lebih
wajar & natural. Maka lahirlah genre “Amateur”.
—Twitter, 29 November 2012
Ketika genre Amateur meledak, studio-studio besar pun
mengadopsinya, dan mulai sibuk mencari pemain
amatiran. Industri bokep pun kian ramai.
—Twitter, 29 November 2012
Karenanya, satu-satunya tempat di mana amatir
jauh lebih dipuja dibanding profesional hanya ada
di film bokep. Yang amatir lebih natural.
—Twitter, 29 November 2012
Dulu, pemain bokep profesional biasa mendesah
keras-keras. Sekarang mereka harus meniru para
amatir yang hanya mendesah sewajarnya.
—Twitter, 29 November 2012
Dalam industri film, akting wajar dan natural
memang penting. Termasuk dalam industri bokep.
Penonton tidak butuh desahan yang dibuat-buat.
—Twitter, 29 November 2012
Lebih dari itu, para lelaki (yang menjadi bagian
besar konsumen bokep) rupanya lebih menyukai
wanita yang masih amatir, lugu, malu-malu.
—Twitter, 29 November 2012
Kecenderungan semacam itu memang lebih banyak
terdapat pada laki-laki Asia. Mungkin karena
struktur sosial lebih menganut sistem patriarki.
—Twitter, 29 November 2012
Bagaimana dengan bokep produksi Barat?
Oh, sorry, kurang tahu. Dan lagian... KENAPA JUGA
AKU SAMPAI BIKIN KULTWIT SOAL BOKEP...???
—Twitter, 29 November 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
produsen bokep. Di Indonesia... ah, sudahlah!
—Twitter, 29 November 2012
Satu-satunya tempat di mana Amateur lebih disukai
daripada Professional adalah di... film bokep.
—Twitter, 29 November 2012
Meski negaranya menjadi produsen bokep terbesar
di dunia, wanita Jepang tidak terlalu suka menontonnya.
—Twitter, 29 November 2012
Jepang melegalisasi pornografi, karena industri bokep
menyumbang devisa yang amat besar, sekaligus
mendatangkan pajak penghasilan terbesar.
—Twitter, 29 November 2012
Banyak wanita Jepang menjadikan bokep sebagai
batu loncatan menuju film serius untuk terkenal.
Sedikit yang berhasil, banyak yang gagal.
—Twitter, 29 November 2012
Meski bokep menjadi industri legal di Jepang,
tidak semua masyarakat di sana tak bermoral.
Sebagian besar bahkan sangat teguh pada moral.
—Twitter, 29 November 2012
Salah satu bukti kuatnya prinsip moral pada banyak
keluarga di Jepang adalah adanya kesadaran self censor
pada tontonan, termasuk televisi.
—Twitter, 29 November 2012
Jangankan film bokep, bahkan tontonan di televisi pun
kadang sudah membuat mereka malu menyaksikannya,
jika dianggap terlalu vulgar.
—Twitter, 29 November 2012
Ketika anak-anak Jepang menyaksikan adegan
cukup vulgar di televisi, mereka secara spontan
akan memalingkan wajah, atau menutup matanya.
—Twitter, 29 November 2012
Karena kesadaran moral yang kuat, para orangtua
di Jepang pun tak terlalu mengkhawatirkan anak-anaknya,
meski negaranya memproduksi bokep.
—Twitter, 29 November 2012
Pemerintah Jepang juga memberlakukan aturan hukum
yang ketat atas industri bokep di negaranya,
karena menyadari potensi bahayanya.
—Twitter, 29 November 2012
Yeah, meski beberapa orang juga melanggar aturan itu,
dan membuat bokep yang “melanggar aturan”.
Misalnya genre Lolita dengan pemain asli.
—Twitter, 29 November 2012
Biasanya, yang melanggar aturan soal bokep itu
hanya studio-studio kecil, sementara studio-studio
terkenal lebih memilih mematuhi peraturan.
—Twitter, 29 November 2012
Oh ya, di Jepang, industri bokep juga menjadi
industri rumahan (home industry). Mereka bersaing
dengan studio-studio besar yang terkenal.
—Twitter, 29 November 2012
Bokep produksi rumahan biasanya tidak sebagus
hasil produksi studio besar, karena dana
yang terbatas. Tapi biasanya juga lebih natural.
—Twitter, 29 November 2012
Genre “Amateur” dalam industri bokep juga berasal
dari industri bokep rumahan di Jepang. Genre itu
lalu diadopsi oleh studio-studio besar.
—Twitter, 29 November 2012
Seperti namanya, bokep “Amateur” diperankan
orang biasa (amatiran, bukan model atau artis profesional).
Kadang mereka karyawati, SPG, dll.
—Twitter, 29 November 2012
Industri bokep rumahan memilih pemain amatir,
karena bisa dibayar murah. Dana mereka yang
terbatas tidak mampu membayar profesional.
—Twitter, 29 November 2012
Tetapi, rupanya, para penonton bokep banyak yang
menyukai pemain amatir, karena tampak lebih
wajar & natural. Maka lahirlah genre “Amateur”.
—Twitter, 29 November 2012
Ketika genre Amateur meledak, studio-studio besar pun
mengadopsinya, dan mulai sibuk mencari pemain
amatiran. Industri bokep pun kian ramai.
—Twitter, 29 November 2012
Karenanya, satu-satunya tempat di mana amatir
jauh lebih dipuja dibanding profesional hanya ada
di film bokep. Yang amatir lebih natural.
—Twitter, 29 November 2012
Dulu, pemain bokep profesional biasa mendesah
keras-keras. Sekarang mereka harus meniru para
amatir yang hanya mendesah sewajarnya.
—Twitter, 29 November 2012
Dalam industri film, akting wajar dan natural
memang penting. Termasuk dalam industri bokep.
Penonton tidak butuh desahan yang dibuat-buat.
—Twitter, 29 November 2012
Lebih dari itu, para lelaki (yang menjadi bagian
besar konsumen bokep) rupanya lebih menyukai
wanita yang masih amatir, lugu, malu-malu.
—Twitter, 29 November 2012
Kecenderungan semacam itu memang lebih banyak
terdapat pada laki-laki Asia. Mungkin karena
struktur sosial lebih menganut sistem patriarki.
—Twitter, 29 November 2012
Bagaimana dengan bokep produksi Barat?
Oh, sorry, kurang tahu. Dan lagian... KENAPA JUGA
AKU SAMPAI BIKIN KULTWIT SOAL BOKEP...???
—Twitter, 29 November 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Ironi ingatan, bagiku, hal-hal yang paling ingin kuingat sering kali sulit kuingat. Hal-hal yang paling tak ingin kuingat sering kali mudah kuingat.
Kadang-kadang aku berpikir untuk mengingat sesuatu, tapi kemudian aku lupa yang ingin kuingat. Lebih ironis lagi, kadang-kadang aku berpikir untuk melupakan sesuatu, tapi kemudian aku lupa yang ingin kulupakan. Akhirnya benar-benar terlupakan.
Kadang-kadang aku berpikir untuk mengingat sesuatu, tapi kemudian aku lupa yang ingin kuingat. Lebih ironis lagi, kadang-kadang aku berpikir untuk melupakan sesuatu, tapi kemudian aku lupa yang ingin kulupakan. Akhirnya benar-benar terlupakan.
“Setiap orang harus mendapat hukuman atas kesalahannya,
agar menyadari kesalahannya.” | Kedengarannya biasa,
tapi ternyata penting sekali.
—@noffret
agar menyadari kesalahannya.” | Kedengarannya biasa,
tapi ternyata penting sekali.
—@noffret
Pada waktu saya masih remaja, di Semarang ada sebuah tabloid yang sangat keren. Kita sebut saja namanya Tabloid X, yang menjadi bacaan ribuan remaja di Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah. Seperti umumnya tabloid remaja, isi Tabloid X juga seputar berita artis, kegiatan sekolah dan belajar, puisi, cerpen, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan dunia remaja.
Tetapi yang paling menarik bukan materinya semata, melainkan pengemasannya. Sebagai media yang terbit di Semarang, Tabloid X benar-benar mencerminkan remaja Jawa Tengah. Idiom-idiom yang digunakan, serta materi-materinya terasa sangat dekat dengan remaja Semarang khususnya, dan anak-anak muda Jawa Tengah umumnya. Cerdas, tapi bersahaja.
Seminggu sekali Tabloid X terbit, dan saya selalu tak sabar menantikannya. Kadang-kadang, saya juga mengirimkan tulisan ke tabloid itu—beberapa kali dimuat, beberapa kali ditolak. Tapi saya tak peduli, karena kecintaan saya pada Tabloid X sangat besar, sebesar remaja lain mencintainya. Meski di Indonesia ada puluhan bahkan ratusan media yang ditujukan untuk remaja, tapi Tabloid X benar-benar tak tergantikan. Keberadaannya telah melekat di hati kami.
Beberapa tahun Tabloid X terbit secara rutin, dan makin lama kualitasnya semakin bagus, baik dalam materi maupun dalam pengemasan. Kertasnya yang dulu buram berganti kertas HVS yang putih dan tebal. Halamannya yang dulu hanya 20-an, bertambah hingga 30-an. Harganya memang naik, tapi kami tak peduli. Kenyataannya kualitas Tabloid X semakin bagus, dan kami memang mencintainya. Penggemar Tabloid X pun semakin banyak, dan saya yakin tiras tabloid itu semakin tinggi.
Sampai suatu hari, tabloid kesayangan kami itu—entah bagaimana asal usulnya—bekerjasama dengan sebuah tabloid terbitan Jakarta. Mungkin, tujuan kerjasama itu salah satunya agar Tabloid X bisa memiliki jangkauan pasar lebih luas, dengan menggunakan jalur distribusi tabloid terbitan Jakarta. Lagi pula, tabloid Jakarta yang bekerjasama dengan Tabloid X juga tergolong tabloid terkenal.
Kabar kerjasama itu dirilis dalam salah satu terbitan Tabloid X, dan kami sebagai pembaca pun harap-harap cemas menunggu seperti apa tampilan Tabloid X versi baru. Redaksi Tabloid X—dalam pengantarnya—menyatakan bahwa nantinya Tabloid X akan lebih keren, lebih funky, lebih gaul, pokoknya lebih segalanya dibanding semula. Maka kami pun makin tak sabar menantikannya.
Tabloid X versi baru di-launching pada suatu hari, dengan acara yang lumayan megah. Edisi pertamanya—menggunakan jalur distribusi tabloid terbitan Jakarta—segera tersebar ke seluruh penjuru Indonesia. Saya dan ribuan remaja lain di Jawa Tengah pun segera pergi ke toko koran untuk membelinya, dengan harapan yang melambung tinggi. Akhirnya tabloid kesayangan kami menasional!
Dan harapan yang melambung tinggi itu, sayangnya, harus kandas di tengah jalan. Tabloid kesayangan kami, yang semula tampil bersahaja dan terasa dekat dengan kami, sekarang telah berubah menjadi sosok lain yang nyaris tidak kami kenal. Jika dulu sampulnya bersahaja, sekarang glamor dan mewah. Materi dan artikel yang dulu terasa lekat dengan keseharian kami, sekarang berganti topik-topik metropolis. Dan idiom-idiom “asing” seperti “Lu” dan “Gue” menghiasi hampir seluruh halamannya.
Ini bukan tabloid kesayangan kami yang dulu, pikir saya ketika membaca edisi pertamanya. Ternyata, kerjasaman antara Tabloid X dengan tabloid terbitan Jakarta itu tidak hanya dalam jalur distribusinya, tetapi juga pada perombakan materinya. Mungkin, karena ditujukan untuk segmen pembaca yang lebih luas, materi dalam Tabloid X pun harus dipermak agar lebih Jakarta-sentris, sebagaimana umumnya tabloid remaja lain yang menasional.
Ini benar-benar kesalahan.
Seminggu sekali, Tabloid X masih rutin terbit, dengan tampilannya yang baru. Tapi semua ciri khas yang dulu kami kenali sudah tak ada lagi. Tidak ada lagi kesan bersahaja, tidak ada lagi idiom-idiom yang lekat dengan keseharian kami, tidak ada lagi kesederhanaan yang kami cintai. Tabloid itu telah malih rupa menjadi sosok asing yang bahkan tak kami kenali.
Jika dulu kebanyakan artikelnya berisi materi bermanfaat seperti tip dan kiat belajar, sekarang materi yang paling banyak menyita halaman tabloid itu adalah berita artis dan gosip selebritis. Jika dulu cara penyajian artikelnya terasa dekat karena menggunakan bahasa sehari-hari kami, sekarang telah berubah menjadi gaya Betawi. Sebagai pembaca setia, saya tidak lagi merasa itu tabloid yang dulu saya cintai. Tabloid itu kini terasa asing.
Semula, saya berusaha bertahan dengan perubahan itu, dan berharap suatu hari Tabloid X mengembalikan penampilannya semula. Tetapi yang saya tunggu tak pernah tiba. Tabloid X memang telah berubah, bahkan berubah jauh. Sampai kemudian, karena merasa tak tahan lagi, saya pun berhenti berlangganan tabloid itu, dan tak pernah membacanya lagi.
Rupanya, yang merasakan hal semacam itu bukan cuma saya. Di Semarang dan sekitarnya, mungkin ada banyak remaja lain yang merasakan hal sama, kemudian juga memutuskan berhenti membaca Tabloid X. Ending-nya sangat mengenaskan. Suatu hari, Tabloid X berhenti terbit! Yang saya dengar, tabloid itu sudah tidak laku lagi. Bertahun-tahun kemudian, sampai hari ini, tak pernah lagi terdengar kabar mengenai Tabloid X.
Sekarang, ketika menulis catatan ini, saya kembali menyayangkan langkah yang ditempuh Tabloid X. Saya tentu memahami awak redaksi tabloid itu mungkin berharap Tabloid X bisa lebih luas distribusinya, semakin banyak pembacanya, dan oplahnya semakin tinggi. Tetapi mengubah tampilan dari sederhana menjadi (sok) glamor adalah kekeliruan. Sama kelirunya mengubah gaya Semarang yang bersahaja menjadi gaya lu-gue ala Jakarta.
Daya tarik utama Tabloid X, hingga saya mau membaca dan jatuh cinta kepadanya, justru pada kesederhanaannya. Berbeda dengan puluhan tabloid remaja lain, Tabloid X tampil bersahaja. Di situlah daya tarik utamanya! Saya pikir, ribuan remaja lain di Jawa Tengah mencintai Tabloid X juga karena faktor yang sama—karena tabloid itu sederhana, dan ditulis dengan gaya bersahaja. Karenanya, ketika kesederhanaannya diganti tampilan yang glamor, kami justru patah hati. Ending-nya, Tabloid X berhenti terbit.
Berkaca pada kehidupan dan kematian Tabloid X, kita melihat bahwa melepaskan jati diri adalah kesalahan terbesar yang bisa dilakukan manusia. Benar, bahwa sebagai manusia kita perlu memperbaiki diri. Tetapi memperbaiki diri tidak berarti melepaskan jati diri atau mengubah diri yang asli.
Jika bocah Semarang kuliah di Jakarta, kemudian lupa bahasa kampungnya ketika pulang, ia bukan memperbaiki diri, tapi kehilangan jati diri. Begitu pula jika bocah Jakarta kuliah di Jerman, lalu lupa bahasa Indonesia ketika pulang, dia juga bukan memperbaiki diri, tapi kehilangan jati diri. Perbaikan diri tidak mengilangkan diri yang asli.
Tabloid X, yang saya ceritakan tadi, mungkin berniat memperbaiki diri. Tapi upayanya juga mungkin “kebablasan”, hingga sampai kehilangan jati diri. Kenyataannya, ciri khas yang semula melekat pada tabloid itu sudah tak ada lagi. Kesederhanaan berganti tampilan glamor, sosok bersahaja berubah kosmopolit. Ketika ciri khasnya sudah hilang, para pembacanya ikut menghilang. Tabloid X pun tinggal kenangan.
Jati diri adalah kesadaran bahwa yang hebat itu tidak jauh di luar sana, tetapi di sini, di dalam diri kita sendiri. Artinya, berusaha menjadi sosok lain dengan melepaskan jati diri sama halnya melepaskan kehebatan dan kelebihan yang sebenarnya telah kita miliki. Ketika kita melepaskan kelebihan kita dengan tujuan agar bisa mendapatkan kelebihan yang dimiliki orang lain, hasilnya adalah bunuh diri. Kelebihan yang kita tuju tidak bisa dimiliki, sementara kita telanjur kehilangan jati diri.
Ada ribuan penyanyi, boyband, dan group musik, yang biasa muncul di televisi. Siapakah yang paling kita kagumi? Benar, yang memiliki jati diri! Ada jutaan blog personal di internet yang ditulis beragam orang dari berbagai belahan bumi. Kira-kira blog manakah yang paling banyak memiliki pembaca setia? Jawabannya sama saja, yang punya jati diri!
Jati diri adalah titipan istimewa yang dianugerahkan secara khusus untuk masing-masing kita. Melepaskan jati diri sama saja membuang sesuatu yang berharga. Itu kesalahan terbesar yang bisa dilakukan manusia.
Ibu guru di kelas bertanya apa cita-cita para muridnya, dan bocah-bocah yang menjadi murid di kelas itu pun menjawabnya satu per satu. Ada yang umum—seperti ingin jadi dokter atau insinyur—ada pula yang unik dan tak terbayangkan.
Seorang bocah berkata, “Saya ingin jadi Superman, Bu Guru!”
Ibu guru tersenyum. “Tentu saja kamu tidak bisa jadi Superman. Ia tokoh fiksi yang hanya ada dalam komik.” Kemudian, dia memberikan sugesti, “Bagaimana kalau jadi ilmuwan saja? Kalau Superman punya kekuatan super, ilmuwan punya otak yang super.”
“Kedengarannya hebat,” sahut si murid dengan antusias. “Ya, saya ingin jadi ilmuwan, Bu Guru!”
Lalu ibu guru berpaling pada murid lainnya. “Kamu, Diana? Ingin jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Diana menjawab dengan yakin, “Saya ingin jadi Elektra!”
“Jadi... apa?”
“Elektra, Bu Guru,” sahut Diana. Kemudian, karena melihat gurunya seperti bingung, Diana menjelaskan, “Elektra itu, cewek jagoan yang pintar berkelahi, terus menolong orang-orang.”
Bu guru manggut-manggut, segera paham bahwa Elektra yang disebut Diana pastilah tokoh semacam Superman yang hanya ada dalam kisah fiksi. “Tapi, Diana,” ujar ibu guru kemudian, “Elektra kan hanya ada dalam film. Bagaimana kalau cita-citamu jadi dokter saja? Meski dokter mungkin tidak pintar berkelahi, tapi dokter juga menolong orang-orang.”
Diana terdiam sesaat, lalu bertanya, “Apakah dokter boleh berpenampilan keren?”
“Tentu saja boleh,” sahut gurunya sambil tersenyum.
Diana bertanya lagi, “Apakah dokter punya senjata?”
“Ya, dokter punya senjata—stetoskop, pengukur tensi darah, dan lainnya.”
“Apakah dokter punya guru yang akan melatihnya?”
“Ya, dokter punya guru yang mengajar dan melatihnya, agar bisa menjadi dokter yang hebat.”
Diana tersenyum. “Kedengarannya seperti Elektra. Ya, saya mau jadi dokter, Bu Guru!”
Lalu ibu guru berpaling lagi pada murid yang lain—seorang bocah pendiam yang duduk di bangku paling belakang. Sebegitu pendiamnya, sampai-sampai ibu guru sering lupa nama bocah itu.
“Nah,” katanya pada si bocah, “kalau besar nanti, apa cita-citamu?”
Bocah itu menjawab dengan yakin, “Saya Magneto.”
Ibu guru tersenyum. Dia tahu siapa Magneto. Anak-anaknya di rumah suka serial X-Men, dan sering menyebut-nyebut nama Magneto, tokoh yang mampu menggerakkan logam dengan kekuatan pikirannya. Kemudian, sambil tersenyum, ibu guru berkata, “Tentu saja kamu tidak bisa menjadi Magneto. Tidak ada orang yang punya kemampuan seperti dirinya.”
Si bocah bergeming. “Sepertinya Anda tidak mendengarkan saya, Bu Guru. Saya tidak bilang ‘ingin menjadi Magneto’. Yang saya katakan, ‘saya Magneto’.”
Ibu guru kebingungan. Dengan bingung pula ia menyahut, “Jadi, kamu Magneto?”
“Ya, saya Magneto.”
“Apa yang akan kamu lakukan, sebagai Magneto?”
“Tergantung bagaimana masyarakat memperlakukan saya.”
....
....
Begitulah pahlawan diciptakan, dan monster dilahirkan.
Seorang bocah berkata, “Saya ingin jadi Superman, Bu Guru!”
Ibu guru tersenyum. “Tentu saja kamu tidak bisa jadi Superman. Ia tokoh fiksi yang hanya ada dalam komik.” Kemudian, dia memberikan sugesti, “Bagaimana kalau jadi ilmuwan saja? Kalau Superman punya kekuatan super, ilmuwan punya otak yang super.”
“Kedengarannya hebat,” sahut si murid dengan antusias. “Ya, saya ingin jadi ilmuwan, Bu Guru!”
Lalu ibu guru berpaling pada murid lainnya. “Kamu, Diana? Ingin jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Diana menjawab dengan yakin, “Saya ingin jadi Elektra!”
“Jadi... apa?”
“Elektra, Bu Guru,” sahut Diana. Kemudian, karena melihat gurunya seperti bingung, Diana menjelaskan, “Elektra itu, cewek jagoan yang pintar berkelahi, terus menolong orang-orang.”
Bu guru manggut-manggut, segera paham bahwa Elektra yang disebut Diana pastilah tokoh semacam Superman yang hanya ada dalam kisah fiksi. “Tapi, Diana,” ujar ibu guru kemudian, “Elektra kan hanya ada dalam film. Bagaimana kalau cita-citamu jadi dokter saja? Meski dokter mungkin tidak pintar berkelahi, tapi dokter juga menolong orang-orang.”
Diana terdiam sesaat, lalu bertanya, “Apakah dokter boleh berpenampilan keren?”
“Tentu saja boleh,” sahut gurunya sambil tersenyum.
Diana bertanya lagi, “Apakah dokter punya senjata?”
“Ya, dokter punya senjata—stetoskop, pengukur tensi darah, dan lainnya.”
“Apakah dokter punya guru yang akan melatihnya?”
“Ya, dokter punya guru yang mengajar dan melatihnya, agar bisa menjadi dokter yang hebat.”
Diana tersenyum. “Kedengarannya seperti Elektra. Ya, saya mau jadi dokter, Bu Guru!”
Lalu ibu guru berpaling lagi pada murid yang lain—seorang bocah pendiam yang duduk di bangku paling belakang. Sebegitu pendiamnya, sampai-sampai ibu guru sering lupa nama bocah itu.
“Nah,” katanya pada si bocah, “kalau besar nanti, apa cita-citamu?”
Bocah itu menjawab dengan yakin, “Saya Magneto.”
Ibu guru tersenyum. Dia tahu siapa Magneto. Anak-anaknya di rumah suka serial X-Men, dan sering menyebut-nyebut nama Magneto, tokoh yang mampu menggerakkan logam dengan kekuatan pikirannya. Kemudian, sambil tersenyum, ibu guru berkata, “Tentu saja kamu tidak bisa menjadi Magneto. Tidak ada orang yang punya kemampuan seperti dirinya.”
Si bocah bergeming. “Sepertinya Anda tidak mendengarkan saya, Bu Guru. Saya tidak bilang ‘ingin menjadi Magneto’. Yang saya katakan, ‘saya Magneto’.”
Ibu guru kebingungan. Dengan bingung pula ia menyahut, “Jadi, kamu Magneto?”
“Ya, saya Magneto.”
“Apa yang akan kamu lakukan, sebagai Magneto?”
“Tergantung bagaimana masyarakat memperlakukan saya.”
....
....
Begitulah pahlawan diciptakan, dan monster dilahirkan.
Yahoo! Answer, salah satu “anak situs” Yahoo!, dilahirkan pada 28 Juni 2005. Sebagaimana namanya, Yahoo! Answer dibuat untuk mewadahi pertanyaan dan jawaban dari siapa saja. Berbeda dengan “anak situs” lain semisal Yahoo! Messenger yang ditujukan untuk chatting dan ngobrol apa saja, Yahoo! Answer murni untuk tanya jawab. Tidak ada “obrolan sia-sia” di Yahoo! Answer, selain lemparan pertanyaan dan tanggapan jawaban.
Dua tahun setelah dilahirkan, pada 2007, Yahoo! Answer berbahasa Indonesia muncul, sehingga para pengguna di Indonesia bisa lebih enjoy menggunakannya—khususnya bagi yang masih kesulitan berbahasa Inggris. Sekarang, Yahoo! Answer memiliki 12 bahasa dan digunakan di 26 negara, dengan total pengguna lebih dari 180 juta orang. Ketika era ponsel memasuki dunia web, Yahoo! Answer juga mulai bisa diakses lewat ponsel pada 2010.
Nah, satu tahun yang lalu, pada Juni 2012, Yahoo! Answer telah memiliki 300.000.000 (tiga ratus juta) pertanyaan. Itu jumlah yang lebih banyak dibanding penduduk Indonesia Raya.
Statistik di Yahoo! Answer secara internasional bahkan menunjukkan sesuatu yang lebih mencengangkan. Secara rata-rata, ada 2 pertanyaan yang diajukan dan 6 jawaban yang diberikan dalam setiap detik. Itu artinya, di portal Yahoo! Answer terdapat 7.000 pertanyaan dan 21.000 jawaban yang berlangsung setiap jam!
Kelahiran dan keberadaan Yahoo! Answer adalah salah satu revolusi dalam bidang ilmu pengetahuan. Seratus tahun atau bahkan lima puluh tahun yang lalu, orang harus pergi jauh mencari guru untuk mengajukan pertanyaan dan mendapatkan jawaban yang tepat. Sekarang, melalui Yahoo! Answer, orang hanya perlu melemparkan pertanyaan, dan forum di sana akan dengan senang hati memberikan jawaban.
Meski berbentuk forum, para pengguna Yahoo! Answer terikat oleh peraturan yang ketat, sehingga jawaban yang diberikan pun relatif akurat. Salah satu aturan dalam memberikan jawaban di sana adalah harus mencantumkan sumber yang jelas. Karena tingkat akurasinya yang layak dipercaya itu pula yang menjadikan Yahoo! Answer tidak hanya digunakan para pengguna forumnya, namun juga dijadikan referensi para pengguna internet secara luas.
Yang unik, para anggota forum Yahoo! Answer tidak hanya para profesional di bidangnya, namun juga orang biasa atau orang awam. Karenanya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di portal itu pun tidak selalu pertanyaan “tingkat tinggi” yang bikin jidat berkerut, tapi bisa pula pertanyaan-pertanyaan pribadi seputar pacar yang kadang bikin tersenyum. Untuk pertanyaan-pertanyaan pribadi semacam itu, jawaban yang muncul pun biasanya berdasarkan pengalaman pribadi.
Dan di situlah menariknya. Berbeda dengan forum-forum lain yang materi pembicaraannya kadang “ngalor-ngidul” tidak jelas, materi di Yahoo! Answer benar-benar terfokus, meski kadang juga bikin tersenyum karena ada pertanyaan dan jawaban yang aneh atau lucu. Pertanyaan-pertanyaan tak terbayangkan bisa muncul sewaktu-waktu di portal itu, dan jawaban-jawaban yang tak kalah mencengangkan juga bisa muncul untuk menanggapinya.
Yang lebih unik, kadang-kadang muncul jawaban yang sangat dilematis. Seperti kita tahu, Yahoo! Answer menggunakan sistem voting untuk memilih jawaban yang benar atau akurat. Jawaban mana pun yang mendapatkan pilihan terbanyak dalam voting akan dianggap sebagai jawaban terbaik, terbenar, dan terakurat. Secara logika, cara tersebut memang dapat digunakan, khususnya dalam sebuah forum. Namun kadang tidak seratus persen tepat.
Misalnya, seseorang melemparkan pertanyaan di Yahoo! Answer, “Berapa jumlah dua ditambah dua?”
Seorang anggota forum, si A, menanggapi, “Jawabannya empat.”
Kemudian, anggota forum lain, si B, memberikan jawaban lain, “Jawabannya sebelas.”
Ada dua jawaban di sini. Si penanya tidak tahu mana jawaban yang benar, dan tidak mampu memilih jawaban yang dianggapnya terbaik. Ketika dilakukan voting, jawaban si B mendapatkan lebih banyak dukungan. Ketika hal semacam itu terjadi, maka muncullah fenomena yang dalam filsafat disebut “dilema kebenaran”. Secara ilmiah, jawaban si A benar, tapi tidak ada yang mendukung. Sementara jawaban si B salah, tapi didukung banyak orang.
Apa yang harus dilakukan jika terjadi hal semacam itu?
Tak perlu khawatir, jika hal semacam itu terjadi di Yahoo! Answer. Karena, ketika kenyataan yang membingungkan semacam itu benar-benar terjadi, maka bocah-bocah pintar yang menjadi pengurus atau admin portal itu akan segera turun tangan menyelesaikannya. Jika mereka juga tidak bisa menentukan jawaban yang benar, maka mereka akan mencari Socrates, Plato, Isaac Newton, Einstein, atau bahkan Niethcze, untuk dimintai pencerahannya. (Oke, untuk kalimat terakhir itu saya lebay!).
Well, seperti yang tadi disebutkan, keberadaan Yahoo! Answer telah ikut merevolusi dunia pengetahuan. Melalui portal tanya-jawab itu, pengetahuan tidak lagi menjadi monopoli segelintir orang, tapi juga bisa dimiliki siapa pun, khususnya yang mau bertanya dan belajar. Yahoo! Answer menghidupkan kembali semangat penting itu, yaitu semangat bertanya dan belajar, yang menjadi spirit paling penting—bahkan paling agung—dalam jiwa manusia, dalam menjalani kehidupannya.
Dalam Yahoo! Answer, siapa pun bisa bertanya, dan siapa pun bisa menjawab. Pertanyaan dan jawaban itu diikat oleh aturan yang telah ditetapkan, sehingga masing-masingnya memiliki tanggung jawab. Dalam aturan yang diharapkan “ideal” semacam itu, gelombang ilmu pengetahuan terus mengalir setiap waktu, setiap hari, bahkan setiap jam dan setiap detik, hingga terkumpul jutaan pertanyaan dan jawabannya—transaksi hening antara pemberi dan penerima.
Peradaban dan kemajuan umat manusia dibangun oleh majunya ilmu pengetahuan. Majunya ilmu pengetahuan disokong oleh orang-orang yang mau belajar. Dan orang-orang yang mau belajar hanya terlahir ketika telah mengenal kerendahan hati. Orang paling sombong di dunia adalah orang yang merasa dirinya telah pintar, sehingga malas dan tak mau belajar. Orang paling angkuh di muka bumi adalah orang yang merasa dirinya telah tahu segalanya, sehingga enggan dan tak mau bertanya.
Hanya orang-orang rendah hati yang mau belajar. Mereka mau menyadari bahwa dirinya masih bodoh, belum tahu apa-apa, sehingga mereka pun rajin belajar dan tak malu bertanya. Hanya orang-orang rendah hati yang mau menyadari dan mengakui bahwa kebenaran dan kesejatian bukan barang instan yang mudah didapatkan, tapi sebuah pencarian yang membutuhkan proses panjang. Hanya orang-orang rendah hati yang mau menempuh jalan sunyi, tanpa ribut-ribut, untuk memeluk pengetahuan.
Begitu pun, hanya orang-orang rendah hati yang mau membagikan ilmunya tanpa pamrih, karena menyadari bahwa ia pun terlahir bersama kebodohan dan ketelanjangan. Hanya orang-orang rendah hati yang mau berbagi pengetahuan dengan sesamanya, karena memahami bahwa Bumi akan menjadi tempat yang lebih baik jika kebodohan dan keterbelakangan terus berkurang.
Hanya orang-orang rendah hati yang mau terus belajar, karena menyadari untuk tujuan itulah setiap manusia diciptakan. Dan... satu-satunya materi di dunia ini yang tidak pernah habis, bahkan semakin bertambah ketika dibagikan, hanyalah ilmu pengetahuan.
Orang-orang di Yahoo! Answer melakukan itu. Setiap hari, batu bata peradaban umat manusia diletakkan di sana.
Dari jutaan statistik yang pernah dibuat, ada satu statistik menarik yang pernah dibuat para psikolog. Saya menyebutnya statistik cinta. Berikut ini ringkasannya.
Kalau kita mendengar seorang cowok menjelek-jelekkan cewek yang sebenarnya baik, dan dia tidak bisa menjelaskan alasan yang masuk akal kenapa dia membenci cewek itu, maka ada tiga kemungkinan.
Kemungkinan pertama, cowok itu jatuh cinta pada si cewek, tapi minder—tidak berani mendekati si cewek. Sebagai kompensasi untuk rasa mindernya, dia pun menjelek-jelekkan si cewek dengan dua tujuan. Tujuan pertama, agar dia bisa membunuh perasaannya terhadap si cewek, dan tujuan kedua agar cowok lain tidak ada yang mendekati cewek itu (karena akan membuatnya iri dan cemburu).
Kemungkinan kedua, cowok itu berani mendekati si cewek dan menyatakan cintanya, namun ditolak oleh si cewek. Karena tidak bisa berjiwa besar menghadapi penolakan, dia pun merasa egonya terluka akibat penolakan itu. Sebagai pelampiasan dendam, dia menjelek-jelekkan cewek itu dengan segala keburukan yang bisa dilakukannya.
Kemungkinan ketiga, cowok itu memang tidak waras. Artinya, dia menjelek-jelekkan cewek yang sebenarnya baik, dan dia sama sekali tidak bisa memberikan alasannya, karena kenyataannya dia gila.
Nah... sekarang tentang cewek.
Kalau kita mendengar seorang cewek menjelek-jelekkan cowok yang sebenarnya baik, dan dia tidak bisa menjelaskan alasan yang masuk akal kenapa dia membenci cowok itu, maka kemungkinannya cuma satu. Pernyataan cinta cewek itu ditolak oleh si cowok, dan dia berharap tidak ada cewek lain yang mendekati si cowok, karena akan membuatnya iri serta cemburu.
Kalau kita mendengar seorang cowok menjelek-jelekkan cewek yang sebenarnya baik, dan dia tidak bisa menjelaskan alasan yang masuk akal kenapa dia membenci cewek itu, maka ada tiga kemungkinan.
Kemungkinan pertama, cowok itu jatuh cinta pada si cewek, tapi minder—tidak berani mendekati si cewek. Sebagai kompensasi untuk rasa mindernya, dia pun menjelek-jelekkan si cewek dengan dua tujuan. Tujuan pertama, agar dia bisa membunuh perasaannya terhadap si cewek, dan tujuan kedua agar cowok lain tidak ada yang mendekati cewek itu (karena akan membuatnya iri dan cemburu).
Kemungkinan kedua, cowok itu berani mendekati si cewek dan menyatakan cintanya, namun ditolak oleh si cewek. Karena tidak bisa berjiwa besar menghadapi penolakan, dia pun merasa egonya terluka akibat penolakan itu. Sebagai pelampiasan dendam, dia menjelek-jelekkan cewek itu dengan segala keburukan yang bisa dilakukannya.
Kemungkinan ketiga, cowok itu memang tidak waras. Artinya, dia menjelek-jelekkan cewek yang sebenarnya baik, dan dia sama sekali tidak bisa memberikan alasannya, karena kenyataannya dia gila.
Nah... sekarang tentang cewek.
Kalau kita mendengar seorang cewek menjelek-jelekkan cowok yang sebenarnya baik, dan dia tidak bisa menjelaskan alasan yang masuk akal kenapa dia membenci cowok itu, maka kemungkinannya cuma satu. Pernyataan cinta cewek itu ditolak oleh si cowok, dan dia berharap tidak ada cewek lain yang mendekati si cowok, karena akan membuatnya iri serta cemburu.
Pada akhirnya nanti, setiap orang harus menebus hukuman
atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat
hukum ini, ia pasti tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan,
tidak akan melukai hati siapa pun.
—Epictetus
atas perbuatan-perbuatannya yang salah. Jika orang selalu ingat
hukum ini, ia pasti tidak akan mencerca, tidak akan menyalahkan,
tidak akan melukai hati siapa pun.
—Epictetus
Usia anak lelaki itu mungkin baru 5 atau 6 tahun, dan dia menangis sore itu, tepat ketika saya sedang keluar rumah untuk membeli siomay yang lewat di komplek kami.
Sambil berdiri di dekat gerobak siomay, saya menyaksikan anak lelaki itu mengadu pada ayahnya, bahwa dia dijelek-jelekkan temannya. Gayanya mengadu sangat provokatif. Dicampur dengan suara tangisannya yang menyayat. Saya tidak akan heran kalau si ayah segera mendatangi anak-anak nakal yang telah membuat putranya menangis, dan melabrak mereka.
Tapi sang ayah tipe lelaki bijaksana. Mendengar pengaduan anaknya, dia tidak buru-buru terprovokasi. Yang dia lakukan adalah menenangkan anaknya yang masih menangis, dan bertanya kenapa dia sampai dijelek-jelekkan teman-temannya. Sang anak—karena masih bocah—menjawab dengan jujur, bahwa dia lebih dulu mengejek temannya.
Mendengar itu, sang ayah tersenyum. Kemudian, dengan suara menenangkan yang hanya dapat dilakukan seorang ayah bijaksana, dia berkata, “Kalau kamu tidak suka diejek atau dijelek-jelekkan, kamu juga tidak boleh melakukan hal itu pada temanmu.”
Si anak menjawab dengan nada seorang bocah, “Tapi temanku nggak menangis kok, waktu aku ejek.”
Sekali lagi sang ayah tersenyum. “Kalau begitu, seharusnya kamu juga tidak boleh menangis.”
Ketika saya mulai menikmati siomay sore itu, saya terbayang pada kisah yang saya alami setengah bulan sebelumnya. Kisahnya, saya dolan ke rumah seorang teman yang tempatnya cukup jauh. Di rumah teman, kami ngobrol-ngobrol dengan asyik, sampai kemudian saya kehabisan rokok. Maka kami pun lalu pergi ke toko dekat rumah teman saya, untuk membeli rokok dan camilan.
Di toko, sore itu, pembeli cukup ramai, dan saya pun harus menunggu dilayani. Salah satu pembeli di toko itu adalah lelaki cukup tua, dengan tubuh agak gemuk, yang tampaknya kurang sehat. Saya perhatikan, lelaki itu terus menyandar ke pintu samping toko, seolah tidak punya tenaga yang cukup untuk bisa berdiri.
Nah, setelah selesai belanja, lelaki tua itu melangkah tertatih, menghampiri sebuah motor matic yang mungkin kendaraannya, sambil menenteng tas plastik di tangan. Tampak sekali dia memang kurang sehat. Langkahnya terseret. Dan ketika akhirnya ia sampai di motor matic itu, dia terjatuh saat akan menaikinya.
Secara naluri, saya bergerak ingin menolong. Tapi teman saya segera meraih lengan saya, dan berbisik, “Biarkan saja.”
Saya kaget. Bagaimana bisa dia melarang saya menolong seorang tua yang jelas butuh pertolongan? Yang membuat saya lebih kaget lagi, orang-orang yang ada di sana sama sekali tak tergerak untuk menolong orang itu. Beberapa orang di toko sempat menengok ketika mendengar lelaki tua tadi terjatuh, tapi kemudian segera memalingkan muka kembali, seolah tak terjadi apa-apa. Sementara si lelaki tua kini susah-payah berusaha bangkit, di sela-sela napasnya yang tersengal.
Ketika akhirnya lelaki tua tadi berhasil menaiki motornya dan pergi, saya menatap teman saya dengan bingung, dan bertanya dengan bingung pula, “Apa yang terjadi tadi?”
Teman saya hanya menggelengkan kepala, dan menatap saya dengan tajam, seolah ingin mengatakan, “Diamlah, nanti kuceritakan.”
Dan diam-diam saya mulai mencari kamera yang mungkin sedang menyorot kami, karena tiba-tiba saya terpikir sedang ada dalam reality show konyol yang disiarkan televisi konyol. Sampai akhirnya kami selesai belanja di toko itu, teman saya tetap bungkam. Dan saya masih berpikir kalau kami memang sedang masuk dalam adegan reality show konyol.
Tapi ternyata adegan tadi bukan skenario reality show untuk konsumsi televisi. Itu benar-benar reality show dalam makna harfiah. Ketika kami telah pulang dan mulai duduk berdua di rumahnya, teman saya pun menceritakan kejadian tadi. Ternyata, yang menjadikan orang-orang di toko tadi tidak mau menolong si orang tua yang terjatuh, karena dendam sosial.
Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja orang tua yang terjatuh tadi dengan sebutan Mister X. Teman saya mengisahkan, Mister X telah menjadi semacam public enemy di kalangan masyarakatnya. Dan hal itu telah dimulai bertahun-tahun lalu, bahkan sejak teman saya masih anak-anak. Kisahnya benar-benar mirip sinetron ala Hidayah yang pernah populer di televisi.
Dulu, bertahun-tahun lalu, Mister X adalah lelaki muda yang memiliki jabatan tertentu, yang membuat ia dihormati masyarakatnya. Tapi dia menyalahgunakan jabatannya untuk berbuat sewenang-wenang. Dia menyerang siapa pun yang dapat diserang, menindas siapa pun yang dapat ditindas, merampas apa pun yang dapat ia rampas dari masyarakatnya.
Sebenarnya, jabatan Mister X waktu itu tidak terlalu istimewa. Tapi ia hidup di kalangan masyarakat yang terbilang tradisional, sehingga ia bisa memanipulasi jabatannya untuk sok kuasa. Saya tidak perlu menjelaskan hal buruk apa saja yang telah dilakukan Mister X pada para tetangganya, tapi yang jelas masyarakat di sana mengumpulkan kebencian atas tingkah lakunya. Mereka membenci Mister X, dan kebencian itu terkumpul tahun demi tahun.
Seiring bergantinya tahun, Mister X semakin tua, dan jabatannya pun ditanggalkan karena pensiun. Setelah dia tidak lagi memiliki jabatan, dia hanya lelaki biasa—lelaki tua biasa yang tak jauh beda dengan lelaki tua lain—rapuh, dan tak berdaya. Yang membedakannya dengan lelaki tua lain, dia dibenci masyarakatnya. Dan karena Mister X tak lagi memiliki jabatan yang membuatnya dihormati, masyarakat pun diam-diam berpikir saat pembalasan telah tiba.
Jadi itulah yang terjadi. Masyarakat mengumpulkan kebencian mereka bertahun-tahun, sementara Mister X semakin tua dan mulai sakit-sakitan. Istri Mister X sudah meninggal, sementara anak-anaknya telah hidup bersama keluarga masing-masing. Mister X hidup sendirian—tua, rapuh, tak berdaya, dan dibenci masyarakatnya. Sebegitu benci masyarakat kepadanya, hingga mereka tak sudi menolong ketika Mister X terjatuh saat akan menaiki motornya.
Ketika mendengar cerita itu, saya pun mulai memahami. Jika saya meletakkan diri pada posisi masyarakat di sana—dan menghadapi perlakuan serta menyaksikan perbuatan Mister X ketika ia masih muda—mungkin saya pun akan memiliki sikap yang sama. Tidak ada yang lebih berbahaya di dunia ini selain orang-orang yang bersatu karena sama-sama merasa teraniaya.
....
....
Setiap kali manusia melakukan sesuatu kepada manusia lainnya, perbuatannya tak jauh beda dengan melemparkan benih ke tanah. Kapan pun waktunya, benih itu akan tumbuh. Semakin banyak benih yang kita lemparkan, semakin besar yang akan ia tumbuhkan. Benih kebaikan, pun benih kejahatan.
Kita mungkin lupa pernah melemparkan benih itu, tapi bumi adalah tanah yang jujur, dan alam selalu tahu cara menagih utang. Itulah Hukum Semesta. Kapan pun waktunya, di mana pun tempatnya, setiap kita akan diharuskan membayar setiap perbuatan yang telah kita lakukan, dari yang remeh temeh seperti mengejek orang lain, sampai yang besar seperti merampas hak yang bukan milik kita.
Kalau hari ini saya merampas milikmu, mungkin kau tidak membalas—entah mengikhlaskan, atau karena tak berani melawan. Tapi kapan pun waktunya, sesuatu dalam diri saya akan balas dirampas oleh kehidupan—kesehatan saya, harta saya, kebahagiaan dan ketenteraman saya, atau bahkan usia saya. Teteskan darah orang lain, maka alam semesta akan meneteskan darahmu—kapan pun waktunya, bagaimana pun caranya.
Yang menakutkan dalam hidup bukan hukum tertulis buatan manusia. Ia mudah dimanipulasi, rentan dikorupsi. Jika hidup hanya berdasar hukum manusia, bumi ini telah lama hancur binasa. Yang menjaga langit tetap ada di tempatnya, dan matahari tetap terbit serta tenggelam pada waktunya, karena adanya Hukum Semesta. Ia yang menjaga keseimbangan hidup—menumbuhkan benih segar, dan mematikan tangkai yang busuk.
Di hadapan Hukum Semesta, manusia tidak memerlukan pledoi dan sederet dalih pengacara. Karena hukum tak tertulis itu bekerja dalam diam, perlahan-lahan—sebegitu diam dan perlahan hingga kita sering kali tidak sadar. Ketika vonis telah dijatuhkan, setiap kita pun mendapatkan hukuman setimpal. Yang mengejek akan diejek, yang merampas akan dirampas, yang melukai akan dilukai. Tidak ada yang luput dari jerat Hukum Semesta.
Karenanya, sungguh tepat nasihat tetangga saya pada anaknya, “Kalau kamu tidak suka diejek atau dijelek-jelekkan, kamu juga tidak boleh melakukan hal itu pada temanmu.” Saya berharap, anak lelaki itu akan selalu mengingat nasihat ayahnya yang bijaksana.
Yang agak membingungkan, “imperfection” terdengar elegan.
Mungkin definisinya memang seperti itu.
—@noffret
Mungkin definisinya memang seperti itu.
—@noffret
Semua orang—khususnya yang cukup gaul—tentu kenal Christian Sugiono. Cowok yang cukup sering main sinetron itu bahkan digilai banyak cewek. Tetapi, sejujurnya, saya memendam dendam pribadi kepadanya. Masalahnya sepele. Dia menikah dengan Titi Kamal! Butuh waktu lama bagi saya untuk bisa merelakan perkawinan mereka. (Omong-omong, memangnya saya ini siapa, ya?)
Nah, sekarang cowok itu bikin masalah lagi dengan saya. Suatu Minggu, beberapa bulan yang lalu, saya membaca majalah, dan di dalamnya terdapat foto Christian Sugiono bersama Titi Kamal. Mereka tampak mesra seperti biasa. Tapi yang menarik perhatian saya bukan itu. Di foto tersebut, Christian Sugiono mengenakan jaket kuning cerah yang tampak elegan.
Entah bisikan setan dari mana, saya jadi kepengin punya jaket seperti itu. Padahal, selama ini, saya selalu berusaha menjauhi baju-baju berwarna cerah, karena merasa lebih nyaman mengenakan pakaian berwarna gelap.
Saya pandangi jaket dalam foto itu cukup lama, dan membayangkan jaket itu melekat di badan saya. Sepertinya elegan sekali, pikir saya menimbang-nimbang. Jadi, tanpa pikir panjang, saya menyobek halaman majalah itu, lalu pergi ke swalayan. Dan awal malapetaka dimulai.
Di swalayan, saya langsung menuju bagian pakaian pria, dan mencari-cari jaket seperti yang saya inginkan. Karena tidak juga ketemu, saya pun menemui salah satu pramuniaga di sana, dan menyodorkan sobekan kertas majalah yang saya bawa. Saya bilang pada si pramuniaga, “Mbak, saya lagi nyari jaket yang kayak gini. Ada?”
Mbak-mbak pramuniaga itu memandangi sobekan kertas majalah yang saya sodorkan kepadanya. Dia memperhatikan foto Christian Sugiono di sobekan kertas itu. Tapi saya curiga, dia bukan memperhatikan jaketnya, melainkan orang yang memakainya. Seharusnya tadi kepala Christian Sugiono digunting saja, pikir saya sambil menunggu mbak-mbak itu memelototi foto di kertas.
“Ada, Mbak?” tanya saya.
“Oh, eh... ada, Mas,” sahutnya. Kemudian dia membawa saya ke salah satu bagian rak. Sesaat dia membongkar-bongkar tumpukan pakaian yang ada di sana, kemudian mengambil sesuatu yang tampaknya masih terbungkus plastik. Dengan cakatan dia membuka plastik pembungkusnya, dan... voila! Jaket kuning cerah Christian Sugiono segera terhampar di depan mata.
“Kayak gini kan, Mas?” tanya si mbak pramuniaga sambil memegangi jaket itu.
Saya memperhatikannya, dan membandingkan dengan yang ada di kertas majalah. Warna cerahnya, bentuk kerahnya, bagian sakunya, ritsletingnya, garis hiasannya—semuanya tampak persis, sis, sis. Ini memang jaket yang dikenakan bocah ganteng itu, pikir saya dengan yakin. Saya pun mengangguk pada si mbak pramuniaga. “Ya, ini yang saya cari.”
Tanpa perlu mencobanya di kamar pas, saya sudah yakin kalau jaket itulah yang telah membawa saya ke swalayan. Jadi, begitu semuanya oke, saya pun membawanya ke kasir. Dan membayarnya, lalu membawanya pulang.
Di rumah, saya langsung mencoba jaket itu, dan... alakazam! Entah cermin di rumah sedang berdusta atau mata saya tiba-tiba sakit, jaket kuning cerah itu tampak tidak pas di tubuh saya. Bukan ukurannya yang tidak pas, tapi... oh, well, bagaimana saya harus menjelaskannya? Jaket itu sama sekali tidak tampak elegan seperti yang saya bayangkan, tapi justru tampak aneh!
Bagaimana ini bisa terjadi, pikir saya dengan panik. Masih mengenakan jaket itu, saya mengambil sobekan kertas majalah yang di dalamnya ada foto Christian Sugiono. Lalu membandingkannya. Di kertas majalah, Christian Sugiono tampak sangat elegan mengenakan jaket itu. Di cermin, sosok saya tampak sangat aneh. Saya sebut aneh, karena yang tampak di cermin itu seperti bukan saya, tapi... seperti orang lain.
Ada yang tidak beres, pikir saya. Dengan panik, saya melepas jaket itu dari badan, lalu memakai baju yang biasa. Dan kembali bercermin. Saya lihat diri saya tampak wajar dan biasa—seperti yang saya kenali selama ini. Lalu saya coba lagi jaket sialan tadi. Hasilnya sama. Sosok saya tampak aneh lagi. Berarti yang salah bukan cerminnya, pikir saya dengan idiot.
Kenapa ini bisa terjadi...? Dengan penasaran, saya membongkar isi lemari dan mencoba-coba baju serta jaket saya yang lain, yang biasa saya pakai. Ketika bercermin, semuanya tampak pas. Tidak terlihat mewah, tapi elegan, dan membuat saya nyaman mengenakannya. Lalu saya coba lagi jaket kuning cerah tadi. Dan kembali sosok saya tampak aneh di cermin, yang membuat saya tidak nyaman melihatnya.
Tiba-tiba saya merasa ingin membunuh Christian Sugiono!
Jelas, ini semua kesalahan cowok itu! Cermin di rumah tidak bersalah. Jaket kuning itu tidak bersalah. Pakaian-pakaian saya yang lain tidak bersalah. Mbak-mbak di swalayan tadi juga tidak bersalah. Yang membuat saya tampak aneh ketika mengenakan jaket sialan itu, karena saya bukan Christian Sugiono! Masalahnya sesederhana itu.
Christian Sugiono, kita tahu, punya wujud setampan setan. Sedang saya, oh, well... mungkin semanis iblis. Dua pribadi yang berbeda. Yang tampak hebat bagi Christian Sugiono belum tentu hebat pula bagi saya. Begitu pun sebaliknya. Membayangkan diri saya tampak hebat dengan meniru Christian Sugiono adalah kesalahan yang seharusnya saya sadari sejak awal, sebelum pergi ke swalayan.
Dan sekarang, jaket kuning cerah itu jadi tak menarik lagi, setelah saya sadari tidak pas bagi diri saya sendiri. Yang membuat kita merasa nyaman bukan ketika tampak hebat di mata orang lain, tapi ketika kita tampak hebat bagi diri sendiri.
Selama ini, baju-baju yang biasa saya pilih umumnya berwarna gelap—hitam, cokelat, atau setidaknya biru. Mungkin tidak tampak hebat di mata orang lain. Tapi saya nyaman mengenakannya, dan rasa nyaman dengan pilihan kita sendiri adalah sesuatu yang tak bisa diganti apa pun.
Akhirnya, dengan hati yang patah, saya pun melipat jaket kuning yang baru saya beli, dan memasukkannya kembali ke dalam pembungkusnya. Terus terang saya tidak akan pernah memakai jaket itu, karena membuat saya tidak nyaman, karena menjadikan saya tampak aneh dan asing... bahkan di mata saya sendiri.
Sejak itu pula, saya pun mengingat peristiwa itu sebagai pelajaran yang tak akan pernah saya lupakan. Setiap kali menyaksikan apa pun yang tampak hebat bagi orang lain, saya tidak akan buru-buru menginginkannya. Karena yang tampak indah bagi orang lain belum tentu indah pula ketika kita yang memilikinya.
Postscript:
Kalau Christian Sugiono—entah bagaimana caranya—bisa-bisanya membaca catatan sinting ini, tolong tidak usah dimasukin ke hati ya, pal. ☺
Apa yang dikatakan angin,
ketika bunga terlepas dari ranting?
—Twitter, 25 Juli 2012
Yang paling berat dalam hidup adalah melepaskan,
meski dengan itulah kita memahami hidup.
—Twitter, 25 Juli 2012
Melepaskan saja kadang-kadang tak cukup,
karena kita juga dituntut merelakan.
Dalam kerelaan, mungkin, tak pernah ada kehilangan.
—Twitter, 25 Juli 2012
Apakah ranting kehilangan ketika bunga
terlepas terbawa angin? Mungkin tidak.
Untuk setiap bunga yang jatuh, ada beberapa yang tumbuh.
—Twitter, 25 Juli 2012
Apakah langit kehilangan setelah hujan berjatuhan?
Mungkin tidak, karena air dimurnikan menjadi embun
dan kembali kepada langit.
—Twitter, 25 Juli 2012
Aku belajar bahwa melepaskan adalah cara
menerima karunia lebih besar, dan merelakan
adalah pintu memasuki kejernihan.
—Twitter, 25 Juli 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
ketika bunga terlepas dari ranting?
—Twitter, 25 Juli 2012
Yang paling berat dalam hidup adalah melepaskan,
meski dengan itulah kita memahami hidup.
—Twitter, 25 Juli 2012
Melepaskan saja kadang-kadang tak cukup,
karena kita juga dituntut merelakan.
Dalam kerelaan, mungkin, tak pernah ada kehilangan.
—Twitter, 25 Juli 2012
Apakah ranting kehilangan ketika bunga
terlepas terbawa angin? Mungkin tidak.
Untuk setiap bunga yang jatuh, ada beberapa yang tumbuh.
—Twitter, 25 Juli 2012
Apakah langit kehilangan setelah hujan berjatuhan?
Mungkin tidak, karena air dimurnikan menjadi embun
dan kembali kepada langit.
—Twitter, 25 Juli 2012
Aku belajar bahwa melepaskan adalah cara
menerima karunia lebih besar, dan merelakan
adalah pintu memasuki kejernihan.
—Twitter, 25 Juli 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Seseorang pergi, meninggalkan jejak yang amat dalam.
Bukan kepergiannya yang kita tangisi. Tapi jejak
kenangan yang telah ditinggalkannya.
—Twitter, 5 Januari 2013
Beberapa orang mengurung diri dalam keterasingan,
menjauhi segala macam hubungan. Kadang alasannya
karena luka dan takut kehilangan. Lagi.
—Twitter, 5 Januari 2013
Sebagian orang terlalu angkuh untuk menghadapi luka
yang kedua dan setelahnya. Sebagian lain terlalu rapuh.
Apa pun, kita tak pernah tahu.
—Twitter, 5 Januari 2013
Masalah hidup kita, per orang, adalah kenyataan
bahwa perjalanan tak selalu sesuai skenario siapa pun.
Alur yang liar, akhir tak terduga.
—Twitter, 5 Januari 2013
Yang kejam, hidup kadang mempertemukan kita
dengan seseorang hanya untuk memisahkannya.
Seolah takdir mengingatkan dialah yang berkuasa.
—Twitter, 5 Januari 2013
Kedekatan dengan seseorang tidak hanya memberikan
ketenangan dan kenyamanan. Tapi juga ketakutan
atau sakit. Takut kehilangan. Tersakiti.
—Twitter, 5 Januari 2013
Setiap kenangan adalah sejengkal jejak di atas pasir.
Semakin banyak jejak di sana, semakin dibutuhkan
ombak besar untuk menghapusnya.
—Twitter, 5 Januari 2013
Kita ingin terus meninggalkan jejak di atas pasir
kenangan kita, sejengkal demi sejengkal. Tapi angin
mendatangkan ombak. Dan semua hilang.
—Twitter, 5 Januari 2013
Yang mengerikan dari kenangan adalah kita tersenyum
ketika membangunnya, dan menangis ketika kehilangan.
Akan ada senyum lagi, tapi lama.
—Twitter, 5 Januari 2013
Jarak bibir dan mata mungkin hanya sejengkal.
Tapi jarak senyum dan tangis kadang butuh waktu
bertahun-tahun perjalanan.
—Twitter, 5 Januari 2013
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Bukan kepergiannya yang kita tangisi. Tapi jejak
kenangan yang telah ditinggalkannya.
—Twitter, 5 Januari 2013
Beberapa orang mengurung diri dalam keterasingan,
menjauhi segala macam hubungan. Kadang alasannya
karena luka dan takut kehilangan. Lagi.
—Twitter, 5 Januari 2013
Sebagian orang terlalu angkuh untuk menghadapi luka
yang kedua dan setelahnya. Sebagian lain terlalu rapuh.
Apa pun, kita tak pernah tahu.
—Twitter, 5 Januari 2013
Masalah hidup kita, per orang, adalah kenyataan
bahwa perjalanan tak selalu sesuai skenario siapa pun.
Alur yang liar, akhir tak terduga.
—Twitter, 5 Januari 2013
Yang kejam, hidup kadang mempertemukan kita
dengan seseorang hanya untuk memisahkannya.
Seolah takdir mengingatkan dialah yang berkuasa.
—Twitter, 5 Januari 2013
Kedekatan dengan seseorang tidak hanya memberikan
ketenangan dan kenyamanan. Tapi juga ketakutan
atau sakit. Takut kehilangan. Tersakiti.
—Twitter, 5 Januari 2013
Setiap kenangan adalah sejengkal jejak di atas pasir.
Semakin banyak jejak di sana, semakin dibutuhkan
ombak besar untuk menghapusnya.
—Twitter, 5 Januari 2013
Kita ingin terus meninggalkan jejak di atas pasir
kenangan kita, sejengkal demi sejengkal. Tapi angin
mendatangkan ombak. Dan semua hilang.
—Twitter, 5 Januari 2013
Yang mengerikan dari kenangan adalah kita tersenyum
ketika membangunnya, dan menangis ketika kehilangan.
Akan ada senyum lagi, tapi lama.
—Twitter, 5 Januari 2013
Jarak bibir dan mata mungkin hanya sejengkal.
Tapi jarak senyum dan tangis kadang butuh waktu
bertahun-tahun perjalanan.
—Twitter, 5 Januari 2013
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Mencintai adalah keheningan ranting yang membiarkan
daun terlepas dan melayang diembus angin.
—Twitter, 4 Juli 2012
Mencintai seseorang berarti
membebaskannya menentukan pilihan.
—Twitter, 8 Juli 2012
Mencintai seseorang berarti
membebaskannya memilih jalan.
—Twitter, 10 Juli 2012
Bukan cinta kalau mencintai dan berharap dibalas.
Cinta adalah sesuatu yang kita berikan tanpa harap imbalan.
—Twitter, 10 Juli 2012
Yang membuat kita menderita bukan cinta,
tapi cinta yang berharap mendapat balasan.
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta dan jatuh cinta adalah hak setiap orang.
Tapi tak berarti cinta harus terbalas. Jika dibalas, itu bonus.
—Twitter, 10 Juli 2012
Kita menyebutnya “jatuh cinta”, bukan “bangun cinta”.
Karena cinta membuat kita jatuh...
untuk bersujud, mengenal kerendahan hati.
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta yang angkuh adalah cinta yang (merasa) harus dibalas.
Tak ada orang menyukai cinta yang angkuh.
Pantas saja cintamu tak terbalas.
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta tak terbalas hanya menyakitkan
bagi yang ingin dibalas. Tapi cinta memang kadang
(bahkan sering) tak terbalas, jadi kenapa pusing?
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta seperti melepaskan merpati ke alam bebas. Ia akan pergi,
menghilang. Tapi percaya saja, ia tahu jalan pulang.
—Twitter, 10 Juli 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
daun terlepas dan melayang diembus angin.
—Twitter, 4 Juli 2012
Mencintai seseorang berarti
membebaskannya menentukan pilihan.
—Twitter, 8 Juli 2012
Mencintai seseorang berarti
membebaskannya memilih jalan.
—Twitter, 10 Juli 2012
Bukan cinta kalau mencintai dan berharap dibalas.
Cinta adalah sesuatu yang kita berikan tanpa harap imbalan.
—Twitter, 10 Juli 2012
Yang membuat kita menderita bukan cinta,
tapi cinta yang berharap mendapat balasan.
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta dan jatuh cinta adalah hak setiap orang.
Tapi tak berarti cinta harus terbalas. Jika dibalas, itu bonus.
—Twitter, 10 Juli 2012
Kita menyebutnya “jatuh cinta”, bukan “bangun cinta”.
Karena cinta membuat kita jatuh...
untuk bersujud, mengenal kerendahan hati.
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta yang angkuh adalah cinta yang (merasa) harus dibalas.
Tak ada orang menyukai cinta yang angkuh.
Pantas saja cintamu tak terbalas.
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta tak terbalas hanya menyakitkan
bagi yang ingin dibalas. Tapi cinta memang kadang
(bahkan sering) tak terbalas, jadi kenapa pusing?
—Twitter, 10 Juli 2012
Cinta seperti melepaskan merpati ke alam bebas. Ia akan pergi,
menghilang. Tapi percaya saja, ia tahu jalan pulang.
—Twitter, 10 Juli 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Aku cemburu kepada rumput,
meski terinjak tak pernah mati, dan terus mekar.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada daun, jatuh dari ranting
tanpa berdarah, tanpa luka, tanpa teriakan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada tanah, terus menumbuhkan
benih meski ia sendiri tak pernah merasakan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada mentari, selalu mampu memberi
meski tak pernah menerima pemberian.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada bintang, rela tak kelihatan
ketika mentari bersinar di kala siang.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada malam, selalu tahu diri
untuk tenggelam setelah fajar menjelang.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada bulan, tetap mengada
meski dalam hening, sunyi, sendiri.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada karang,
selalu tegar menahan ombak, badai, dan gelombang.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada laut, senantiasa menerima
apa pun tanpa protes dan tanpa keluhan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada air, yang selalu dapat
menjernihkan dirinya setelah melalui kekeruhan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada angin, dapat terus bergerak
dalam diam tanpa menarik perhatian.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada langit, yang senantiasa tegar
meski tak memiliki tiang ataupun penopang.
—Twitter, 1 Mei 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
meski terinjak tak pernah mati, dan terus mekar.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada daun, jatuh dari ranting
tanpa berdarah, tanpa luka, tanpa teriakan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada tanah, terus menumbuhkan
benih meski ia sendiri tak pernah merasakan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada mentari, selalu mampu memberi
meski tak pernah menerima pemberian.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada bintang, rela tak kelihatan
ketika mentari bersinar di kala siang.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada malam, selalu tahu diri
untuk tenggelam setelah fajar menjelang.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada bulan, tetap mengada
meski dalam hening, sunyi, sendiri.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada karang,
selalu tegar menahan ombak, badai, dan gelombang.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada laut, senantiasa menerima
apa pun tanpa protes dan tanpa keluhan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada air, yang selalu dapat
menjernihkan dirinya setelah melalui kekeruhan.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada angin, dapat terus bergerak
dalam diam tanpa menarik perhatian.
—Twitter, 1 Mei 2012
Aku cemburu kepada langit, yang senantiasa tegar
meski tak memiliki tiang ataupun penopang.
—Twitter, 1 Mei 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Seorang teman berkata, “Bukan memberi kalau
kau masih berharap balasan, bahkan sekadar ucapan
terima kasih.” Sekarang aku setuju dengannya.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Kadang aku memberi tanpa mendapat ucapan
“terima kasih”. Tapi aku sudah bahagia, karena
telah memiliki kesempatan untuk memberi.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Mengucap “terima kasih” adalah hak orang
yang diberi. Kita tidak bisa menuntutnya. Karena
hak kita hanya sebatas memberi. Itu hak terbaik.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Setiap orang punya hak untuk memberi atau menerima.
Tetapi aku berdoa, semoga selalu dapat memilih hak
untuk memberi. Itu hak yang istimewa.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Jika orang yang kita beri mengucap “terima kasih”,
berbahagialah. Namun jika tidak, kita punya alasan
untuk lebih bahagia. Dan bersyukur.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Aku percaya, dalam hidup ada bandul nasib yang
terus bergerak. Dan “Memberi” adalah cara terbaik
untuk menarik bandul itu ke tempat kita.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Orang boleh melupakan pemberian kita, atau
tak membalas pemberian yang sama. Tetapi Bumi
selalu menumbuhkan biji apa pun yang ia terima.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Jika pemberian kita tak memperoleh balasan,
alam semesta yang akan membalasnya. Jika alam
semesta yang membalas, tunggulah keajaiban.
—Twitter, 11 Agustus 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
kau masih berharap balasan, bahkan sekadar ucapan
terima kasih.” Sekarang aku setuju dengannya.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Kadang aku memberi tanpa mendapat ucapan
“terima kasih”. Tapi aku sudah bahagia, karena
telah memiliki kesempatan untuk memberi.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Mengucap “terima kasih” adalah hak orang
yang diberi. Kita tidak bisa menuntutnya. Karena
hak kita hanya sebatas memberi. Itu hak terbaik.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Setiap orang punya hak untuk memberi atau menerima.
Tetapi aku berdoa, semoga selalu dapat memilih hak
untuk memberi. Itu hak yang istimewa.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Jika orang yang kita beri mengucap “terima kasih”,
berbahagialah. Namun jika tidak, kita punya alasan
untuk lebih bahagia. Dan bersyukur.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Aku percaya, dalam hidup ada bandul nasib yang
terus bergerak. Dan “Memberi” adalah cara terbaik
untuk menarik bandul itu ke tempat kita.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Orang boleh melupakan pemberian kita, atau
tak membalas pemberian yang sama. Tetapi Bumi
selalu menumbuhkan biji apa pun yang ia terima.
—Twitter, 11 Agustus 2012
Jika pemberian kita tak memperoleh balasan,
alam semesta yang akan membalasnya. Jika alam
semesta yang membalas, tunggulah keajaiban.
—Twitter, 11 Agustus 2012
*) Ditranskrip dari timeline @noffret
Langganan:
Postingan (Atom)