Rabu, 08 September 2010

Laila Majnun: A Love Story (4)

Waktu terus berlalu, dan tahun terus bertambah. Kedua orangtua Qais meninggal dunia dimakan usia. Mula-mula ayahnya, kemudian ibunya. Ayah Laila pun menjemput ajal dalam tahun-tahun yang terus berjalan. Dan sepanjang waktu yang terus berlalu itu, dua kekasih tak juga bisa bertemu, terpisah jauh dalam bentangan ruang dan jarak yang tak terjangkau.

Sampai kemudian Ibnu Salam, suami Laila, meninggal dunia karena penyakit. Dia meninggal sebelum sempat menyentuh istrinya sedikit pun. Saat Laila menangis di hari kematiannya, dia menangis bukan karena bersedih ditinggal suaminya, melainkan karena bahagia telah terbebas dari belenggu penjara yang telah mengurung hidupnya selama ini.

Sebagaimana kebiasaan di jazirah Arab, janda yang ditinggal mati suaminya harus memasang cadar di wajahnya, dan tidak boleh menemui siapapun. Selama dua tahun penuh Laila harus selalu berada di dalam tendanya, diasingkan dari dunia, sendirian dengan kesedihannya. Ini, tentu saja, persis seperti apa yang ia inginkan; tidak ada yang lebih menyenangkan daripada hal ini! Sendirian, tanpa rasa takut, mempersembahkan hatinya, jiwanya, dan air matanya, untuk satu-satunya orang yang selalu dicintainya.

Ketika menjalani masa pengasingan setelah menjadi janda, Laila merasakan tubuhnya semakin rapuh, karena beratnya beban dalam hati dan pikiran yang harus ditanggungnya selama ini. Penyakit pun menyerang dirinya tanpa ampun. Saat dia merasakan kematian akan segera datang menjemputnya, Laila memanggil ibunya yang telah renta, dan baru saat itulah Laila mengungkapkan rahasia yang selama ini telah ditutupinya dengan sangat rapat tanpa seorang pun tahu.

Rahasia tentang cintanya, kesetiaannya, tentang satu-satunya kekasih yang begitu dirindukannya dalam hidup. Dan ibu beserta anak itu pun kemudian bertangisan dalam batas akhir kehidupan. Sebelum menghembuskan napas terakhirnya, Laila sempat berpesan kepada ibunya...

“Ibu, cahayaku telah memudar, dan segera lilin keberadaanku akan padam. Sebelum kegelapan datang dan nyawaku diambil, aku harus menceritakan apa yang ada di dalam hatiku.

“Sungguh, aku tidak memiliki pilihan lain selain melepaskan bebanku; kesedihan telah menghancurkan kunci di bibirku, dan aku tidak dapat menahannya lagi. Orang yang kucintai, laki-laki yang karenanya aku hidup dan sekarang yang karenanya aku mati, saat ini jauh dan tak dapat mendengarku.

“Tapi kau dapat mendengarku, Ibu. Dan karena kau dapat mendengarku, maka aku mohon kepadamu untuk mendengarkan baik-baik, dan memenuhi permintaan terakhirku...

“Ketika aku mati, pakaikanlah aku baju pengantin, dan buatlah aku secantik mungkin. Baju pengantinku harus berwarna merah. Merah adalah warna perayaan dan upacara. Bukankah kematian adalah perayaanku? Dan apakah ia bukan upacaraku? Kemudian, setelah itu, tutupi aku dengan kerudung dari tanah, kerudung yang tidak akan pernah kulepaskan lagi.

“Kemudian aku akan menunggu. Aku akan menunggu hingga ia datang. Pengelana yang resah, pengembara hati yang abadi itu akan menemukan jalan menuju makamku, dan di sana dia akan bersimpuh dan memohon padaku untuk menampakkan diri. Tapi kerudung dari tanah itu tidak akan terangkat, maka yang bisa ia lakukan hanyalah menangis tersedu-sedu. Tenangkan dia, Ibu, karena dia sahabat sejatiku. Perlakukan dia dengan baik, dan berikan dia kasih sayang...

“Lakukan ini untuk Tuhan, dan karena aku telah mencintainya. Aku mencintainya lebih dari aku mencintai kehidupan, dan keinginanku adalah kau juga mencintainya. Dia satu-satunya milikku...”

Napas Laila terengah-engah, matanya berputar, butir-butir keringat muncul seperti mutiara di dahinya. Suaranya berubah menjadi bisikan lirih, dan dia melanjutkan,

“Ketika dia datang, kau akan segera mengenalinya. Ketika dia datang, sampaikan pesan ini kepadanya. Katakan padanya, ‘Ketika Laila meninggalkan dunia ini, dia meninggal dengan namamu di bibirnya. Kata-kata terakhirnya adalah tentang kau, dan kau seorang. Di dalam kematian, seperti di dalam kehidupan, dia setia tidak kepada siapapun selain kepadamu. Dia telah ikut memikul kesedihanmu di dunia ini, dan sekarang dia telah membawanya pergi sebagai bekal perjalanannya. Cintanya kepadamu tidak mati bersamanya. Dimana pun dia sekarang, dia tetap merindukanmu...’”

Bibir Laila kemudian bergetar. Dan dengan linangan air mata mengalir di pipinya, dia memanggil nama kekasihnya untuk terakhir kalinya. Ketika suaranya melemah, cahaya di matanya meredup, dan arwahnya melayang bebas dari belenggunya.

Lanjut ke sini.

 
;