Selasa, 02 November 2010

Hakikat Pembelajaran

Pembelajaran secara berkesinambungan merupakan persyaratan
minimum untuk meraih kesuksesan dalam bidang apa pun.
Denis Waitley

Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir;
semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar
bahwa aku tak mengetahui apa pun.
Voltaire


Jangan pernah sedetik pun meyakini bahwa sekolah dan pendidikan formal adalah satu-satunya sarana pembelajaran. Sekolah dan pendidikan formal hanyalah semacam ‘pemaksa’ agar kita mau belajar.

Ingat waktu masih kecil dulu? Orangtua menyuruh kita belajar dengan menggunakan dalih sekolah. Tetangga akan menilai kita sebagai orang yang belajar apabila kita bersekolah, dan mereka akan menilai kita sebagai orang yang tidak belajar bila tidak sekolah.

Lalu saat usia kita mulai beranjak besar, saat kita meninggalkan sekolah dasar dan mulai masuk sekolah menengah, di dalam pikiran kita pun mulai tertanam semacam keyakinan bahwa sekolah adalah identitas pembelajaran. Artinya, waktu itu kita merasa bahwa kita akan menjadi pintar bila sekolah, dan akan bodoh bila tidak sekolah.

Keyakinan itu kemudian semakin kuat mengakar dalam diri kita saat meninggalkan SMP, dan mulai memasuki SMA. Kita begitu ketakutan saat tak bisa melanjutkan sekolah, dan di antara kita pun sampai ada yang merengek-rengek agar bagaimana pun caranya bisa tetap melanjutkan sekolah hingga SMA.

Ironisnya, orangtua, tetangga, dan handai taulan kita pun memiliki pemikiran yang sama, bahwa orang hanya akan menjadi pintar karena sekolah, dan akan menjadi bodoh kalau tidak sekolah.

Saat lulus SMA, ketika pikiran sudah mulai dewasa, mungkin kita mulai bisa berpikir jernih dan menyadari bahwa sekolah bukanlah satu-satunya sarana yang bisa membuat kita menjadi pintar, bahwa tanpa sekolah pun kita bisa menjadi orang yang pintar. Tapi waktu itu kita telah terpenjara dalam sesuatu yang disebut ‘gengsi pendidikan’. Kita tak mau menghentikan sekolah kita, tak mau menghentikan jenjang pendidikan formal kita. Maka kita pun merengek kembali pada orangtua, agar bisa mengusahakan diri kita masuk perguruan tinggi.

Meskipun kemudian kegiatan kuliah kita lakukan dengan ogah-ogahan atau asal-asalan, kita tak peduli, asalkan kita memiliki status yang jelas, sebagai orang yang sedang belajar, sebagai orang yang berpendidikan.

Dan kelak, ketika lulus dari perguruan tinggi, saat di belakang nama kita telah ditambahi huruf-huruf tertentu yang disebut titel atau gelar, kita pun merasa itu belum cukup, dan kemudian kita berusaha kembali untuk bisa meneruskan jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Waktu itu, kita tidak menganggapnya sebagai gengsi lagi, tapi sudah menjadi semacam candu.

Kenyataan semacam itulah yang sejak berpuluh-puluh tahun lalu sudah diteriakkan oleh Ivan Illich, bahwa sekolah dan segala bentuk pendidikan formal pada akhirnya tidak mencerdaskan siswa yang belajar di dalamnya, melainkan hanya menciptakan ketergantungan atau perasaan kecanduan yang neurotik.

Sudah waktunya bagi kita untuk menyadari bahwa sekolah dan segala bentuk pendidikan formal hanyalah bagian kecil dari ruang lingkup pendidikan yang maha luas bernama kehidupan ini. Belajar itu wajib, tapi sekolah itu sunah. Artinya, kita memang boleh tidak sekolah, tapi kita tidak boleh tidak belajar.

Teruslah belajar meski tak lagi bersekolah, teruslah belajar meski di luar jam kuliah. Kalau kita hanya mendasarkan pembelajaran pada kuliah dan lembaran makalah, itu bukannya menjadikan kita makin pintar atau cerdas, tapi justru akan menyempitkan pikiran kita sendiri. Dunia tak selebar makalah, kehidupan tak sesempit kampus atau ruang kuliah.

Jadilah pintar dan kejarlah titel atau gelar apa pun yang kita inginkan—tetapi jangan sedetik pun menganggap bahwa semua gelar dan titel itu adalah tujuan dalam belajar. Pembelajaran tidak mengejar gelar, pembelajaran tidak mengejar jubah, toga, dan ijazah pengakuan. Semua hal yang ada di luar proses belajar—dari gelar sampai pekerjaan—hanyalah hadiah yang akan kita dapatkan jika kita benar-benar tulus dalam belajar.

Kalau kita belajar untuk tujuan mendapatkan gelar, hanya gelar itulah yang akan kita dapatkan. Kalau kita belajar untuk tujuan mendapatkan pekerjaan, hanya pekerjaan itulah yang akan kita dapatkan.

“Tetapi,” kata orang-orang bijak, “jika kita belajar untuk tujuan belajar, maka kita akan mendapatkan apa pun yang kita inginkan, apa pun yang kita harapkan, bahkan apa pun yang kita impikan.”

Pembelajaran adalah tujuan penciptaan, pembelajaran adalah perjalanan menuju pencerahan.

 
;