Bahkan setelah memejamkan mata dan mengerahkan seluruh ingatanku yang berhubungan dengan hal itu, tetap saja aku tak mampu mengingat. Itu… itu seperti meteor yang tiba-tiba jatuh dari langit, dan… bruk, sampailah aku di situ.
Yang masih kuingat, aku sampai di sana, dan masih mengingat jalan menuju ke sana—meski biasanya aku mudah lupa untuk hal-hal seperti ini. Jadi, begitulah, aku kembali ke sana lagi, dan lagi, meski sampai saat itu pun aku tetap saja tidak ingat bagaimana awal aku bisa sampai ke sana.
Pada mulanya aku menganggap sekitarku asing. Ya, ya, tentu saja akulah yang asing, karena baru sampai di sana. Tapi kemudian aku mulai terbiasa. Meski, kalau mau jujur, aku tidak merasa nyaman selama berada di sana. Seperti ada yang tidak tepat denganku, begitu pikirku.
Tetapi, entah mengapa, godaan untuk kembali ke sana seperti pelangi yang menari-nari di depan matamu. Kau tidak bisa mengenyahkan dari pandanganmu, dan kau tergoda untuk kembali lagi, dan lagi… dan begitulah yang terjadi padaku. Entah bagaimana awalnya—sekali lagi aku tak ingat—aku kembali lagi ke sana, dan kembali lagi ke sana.
Ini seperti trance, pikirku. Di bawah kesadaran yang tidak bisa kaukendalikan, kau hanya mengikuti nalurimu—dan nalurimu terus-menerus merayumu.
Harus ada satu cara untuk mengakhiri, pikirku ketika sadar dari ‘trance’ yang tak bisa kupahami. Tapi apa, atau bagaimana cara mengakhirinya? Dan bagaimana aku tahu cara mengakhiri, jika aku bahkan tidak merasa mengawali? Aku tetap saja tidak bisa mengingat bagaimana awal aku bisa sampai di sana!
Kadang, kalau sedang tidak melakukan apa pun, dan pikiranku benar-benar tenang, aku mencoba mengingat lagi tentang hal itu, dan berharap, entah bagaimana caranya, salah satu bagian memori di otakku menyembul dan berteriak, “Eureka!”
Tapi tidak terjadi—tak pernah terjadi yang seperti itu.
Yang terjadi, belum lama, aku kembali masuk ke sana, tetapi pintu gerbangnya tertutup. Jangan tanya kenapa, karena aku pun tidak bisa memahaminya. Tidak ada siapa pun. Selain aku. Dan pintu gerbang itu.
Baiklah, pikirku. Dan aku berbalik. Meninggalkan tempat itu.
Ketika langkah-langkah kakiku semakin menjauh, entah mengapa, aku tiba-tiba merasa bahwa itulah kali terakhir aku melihat tempat itu.
Setelah itu, godaan yang biasa kembali menghinggapi pikiranku. Menarikku untuk mencoba kembali masuk ke sana. Tetapi aku tahu tak akan pernah ke sana lagi. Pintunya telah menutup. Dan tak ada siapa pun yang bisa kujadikan tempat untuk bertanya. Gerbangnya telah terkunci. Dan, itulah, kupikir, saatku yang terakhir.
Yang masih kuingat, aku sampai di sana, dan masih mengingat jalan menuju ke sana—meski biasanya aku mudah lupa untuk hal-hal seperti ini. Jadi, begitulah, aku kembali ke sana lagi, dan lagi, meski sampai saat itu pun aku tetap saja tidak ingat bagaimana awal aku bisa sampai ke sana.
Pada mulanya aku menganggap sekitarku asing. Ya, ya, tentu saja akulah yang asing, karena baru sampai di sana. Tapi kemudian aku mulai terbiasa. Meski, kalau mau jujur, aku tidak merasa nyaman selama berada di sana. Seperti ada yang tidak tepat denganku, begitu pikirku.
Tetapi, entah mengapa, godaan untuk kembali ke sana seperti pelangi yang menari-nari di depan matamu. Kau tidak bisa mengenyahkan dari pandanganmu, dan kau tergoda untuk kembali lagi, dan lagi… dan begitulah yang terjadi padaku. Entah bagaimana awalnya—sekali lagi aku tak ingat—aku kembali lagi ke sana, dan kembali lagi ke sana.
Ini seperti trance, pikirku. Di bawah kesadaran yang tidak bisa kaukendalikan, kau hanya mengikuti nalurimu—dan nalurimu terus-menerus merayumu.
Harus ada satu cara untuk mengakhiri, pikirku ketika sadar dari ‘trance’ yang tak bisa kupahami. Tapi apa, atau bagaimana cara mengakhirinya? Dan bagaimana aku tahu cara mengakhiri, jika aku bahkan tidak merasa mengawali? Aku tetap saja tidak bisa mengingat bagaimana awal aku bisa sampai di sana!
Kadang, kalau sedang tidak melakukan apa pun, dan pikiranku benar-benar tenang, aku mencoba mengingat lagi tentang hal itu, dan berharap, entah bagaimana caranya, salah satu bagian memori di otakku menyembul dan berteriak, “Eureka!”
Tapi tidak terjadi—tak pernah terjadi yang seperti itu.
Yang terjadi, belum lama, aku kembali masuk ke sana, tetapi pintu gerbangnya tertutup. Jangan tanya kenapa, karena aku pun tidak bisa memahaminya. Tidak ada siapa pun. Selain aku. Dan pintu gerbang itu.
Baiklah, pikirku. Dan aku berbalik. Meninggalkan tempat itu.
Ketika langkah-langkah kakiku semakin menjauh, entah mengapa, aku tiba-tiba merasa bahwa itulah kali terakhir aku melihat tempat itu.
Setelah itu, godaan yang biasa kembali menghinggapi pikiranku. Menarikku untuk mencoba kembali masuk ke sana. Tetapi aku tahu tak akan pernah ke sana lagi. Pintunya telah menutup. Dan tak ada siapa pun yang bisa kujadikan tempat untuk bertanya. Gerbangnya telah terkunci. Dan, itulah, kupikir, saatku yang terakhir.