Jumat, 20 Juni 2025

Kebenaran Tertua di Dunia

Salah satu kebenaran tertua di dunia yang tak juga dipahami manusia: 

Jika rumah tangga bermasalah, yang akan jadi korban terbesar adalah anak-anak di dalamnya. Merekalah yang akan menanggung kepedihan batin sekaligus trauma, yang sering kali terus mereka rasakan sampai dewasa.

Yang disebut "masalah dalam rumah tangga" sebenarnya bukan hanya masalah antara suami dan istri (misal perselingkuhan atau KDRT), tapi juga sikap atau perlakuan orang tua pada anak-anak, kesiapan mental dan emosi orang tua dalam memiliki dan menghadapi anak-anak mereka.

Kita sering mendengar pesan yang serupa doktrinasi, bahwa "anak-anak seperti kertas putih". Itu benar. Anak-anak yang diasuh dan dibesarkan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh dengan cinta kasih serupa [bahkan lebih besar] pada orang tuanya.

Dan... tepat begitu pula sebaliknya.

Ada banyak orang tua di dunia ini yang sangat baik pada anak-anaknya. Itu fakta.

Tapi jangan lupakan fakta bahwa di dunia ini juga ada orang tua yang buruk, yang memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, hingga si anak trauma sampai dewasa, dan memendam kebencian diam-diam.

Kadang-kadang kita begitu egois, dan menilai orang lain berdasarkan pengalaman diri sendiri. Karena orang tua kita baik, misalnya, lalu kita berkeyakinan bahwa semua orang tua di dunia juga sama baik. 

Itu benar-benar naif. Tidak semua anak beruntung punya orang tua yang baik.

Memang, ada kalanya orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk dan kejam, semata-mata karena ketidaktahuan. 

Misalnya, karena dulu dia dibesarkan dengan kejam oleh orang tuanya, lalu dia juga memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, dan menganggap itu hal biasa.

Tetapi, terlepas apa pun alasan dan latar belakangnya, kita menghadapi kebenaran ini: Bahwa kesiapan memiliki anak (misal pengetahuan parenting/pengasuhan) sama penting dengan memiliki anak, sebagaimana kesiapan menikah (secara mental dan emosional) sama penting dengan menikah.

Sayangnya, selama ini kita terus menerus didoktrin dengan berat sebelah. Kita disuruh-suruh menikah, tapi tidak disuruh untuk mempersiapkan diri (secara mental, emosional, sampai finansial). Kita disuruh segera punya anak, tapi tidak disuruh belajar parenting dan pengasuhan anak.

Bisa melihat bagaimana mengerikannya dampak yang ditimbulkan doktrin semacam itu? Hasil yang muncul, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, adalah kekacauan rumah tangga, KDRT, perselingkuhan, tingginya angka perceraian, sampai anak-anak yang trauma dan terluka... dan terluka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 November 2022.

Jumat, 20 Juni 2025

Bukan Aku

Rintik gerimis menerpa jendela kaca. 
Tik. Tik. Tik. 
Seseorang meringkuk di sampingku. 
Matanya lelap. 
Wajahnya milikku. 
Tapi bukan aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Lagi

Lagi pusing lagi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Jejak

Kita meninggalkan jejak kaki di belakang. Kadang terlihat, kadang tidak. Tapi jejak itu ada di sana. Dan, terkadang, seseorang menemukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Agustus 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Karena Sutradaranya

Film yang paling kunantikan saat ini: Ambulance. Karena sutradaranya Michael Bay.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober 2021.

Jumat, 20 Juni 2025

Tidak Butuh Sayap

Kita tidak butuh sayap untuk terbang. Tetapi kita juga tidak perlu menjalani hidup dengan merangkak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Agustus 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Setan Menggodaku

Setan menggodaku agar menggodamu. Ternyata, dia juga menggodamu agar menggodaku. Lalu kita saling menggoda dan tergoda. Dan setan tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Agustus 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Cakep Cuma Pas Habis Mandi

Merasa cakep cuma pas habis mandi. Aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2019.

Jumat, 20 Juni 2025

Selera Humor Tak Terduga

Seseorang di Twitter dengan serius mengklaim dirinya "Presiden Republik Social Media". Twitter memang memiliki selera humor tak terduga.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Maret 2012.

Jumat, 20 Juni 2025

Masih Ramai

Seharian gak lihat Twitter, ternyata sampai sekarang masih ramai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Septmber 2019.

Jumat, 20 Juni 2025

Bagindu

Oh... bagindu. 

Selasa, 10 Juni 2025

Kacang Rebus dan Obrolan Tengah Malam

—Catatan dari Ramadan 2025


Malam ke-17 Ramadan, hujan turun sangat deras. Saya masih di rumah orang tua, waktu itu, karena biasa ikut tarawih di mushala depan rumah ortu. Menjelang tengah malam, hujan yang semula sangat deras perlahan-lahan surut. Ketika akhirnya tinggal gerimis, saya memutuskan untuk pulang.

Sambil berkendara pelan-pelan, saya memperhatikan kanan kiri jalan, mencari warung makan yang masih buka. Sampai kemudian saya melihat gerobak kacang rebus di pinggir jalan, tepat berhadapan dengan sebuah rumah sakit. Saya selalu suka kacang rebus, dan sudah lama tidak makan kacang rebus. Jadi saya pun memutuskan untuk berhenti.

Penjual kacang rebus itu sedang leyeh-leyeh di atas terpal yang ia gelar di trotoar. Ketika saya mendekati gerobaknya, ia bangkit dari leyeh-leyehnya, menyambut saya dengan ramah. Saya memesan dua contong kacang rebus.

Sambil menunggu dia membungkus kacang rebus yang masih hangat, saya melihat sekeliling. Jalanan tampak sepi, karena sudah tengah malam, dan gerimis masih turun. Saya lalu melihat terpal yang digelar di trotoar, dan berpikir, sepertinya enak makan kacang rebus saat tengah malam di pinggir jalan sepi.

Jadi, setelah membayar dua contong kacang rebus, saya bertanya pada penjualnya, “Saya boleh duduk di sini?”

“Silakan,” sahut penjual kacang rebus sambil tersenyum lebar. “Saya malah senang, karena ada teman.”

Kami lalu duduk di atas terpal, dan saya mulai menikmati kacang rebus yang hangat. Trotoar tempat terpal itu terlindung atap depan toko, sehingga tidak terkena gerimis yang masih turun. Tengah malam dingin, kacang rebus hangat, dinikmati di pinggir jalan sepi, adalah kombinasi yang sangat environmental—apa pun artinya. 

Sambil menikmati kacang rebus, saya bertanya, “Sampeyan biasa mangkal di sini sampai tengah malam gini, Mas?” [Maksud saya, kalau dia memang biasa mangkal di sana, saya akan sering mendatanginya, karena memang suka kacang rebus.]

Penjual kacang rebus menyahut sambil tersenyum, “Nggak, Mas. Jam segini biasanya saya udah tidur di rumah.”

Saya menampakkan muka bingung, sambil terus mengunyah.

Penjual kacang rebus melanjutkan, masih dengan senyum, “Biasanya saya udah pulang sekitar isya. Tapi namanya jualan, kadang laris kadang sepi. Sejak Ramadan ini, sepi terus. Kalau pas sepi, saya terus jualan sampai tengah malam gini, nyari tempat yang sekiranya ada pembeli. Makanya saya sengaja bawa terpal, biar bisa leyeh-leyeh kalau pas nemu tempat mangkal yang pas, sekalian istirahat.”

Saya mengangguk-angguk, mulai memahami maksudnya. Dia pasti sengaja berhenti di depan rumah sakit, karena rumah sakit beroperasi 24 jam, dan selalu ada kemungkinan orang yang tertarik makan kacang rebus di tengah malam.

Ketika saya tanya sudah berapa lama dia jualan kacang rebus, dia menjawab, “Ini jalan tiga tahun. Tadinya saya guru, Mas.”

“Hah?” Saya kaget, karena baru mendengar ada guru yang alih profesi jadi penjual kacang rebus.

Penjual kacang rebus lagi-lagi tersenyum, kemudian menceritakan. Tadinya, dia mengabdi sebagai guru di sebuah SD. Sama seperti rata-rata guru honorer lain, dia sangat berharap diangkat jadi PNS. Tapi dia tidak tahu kapan hal itu akan terjadi, sementara honor sebagai guru sangat minim. Tapi yang membuat ia meninggalkan profesinya sebagai guru bukan masalah honor, melainkan dilema yang belakangan ia sadari.

Dia menceritakan, “Ada tetangga saya yang juga guru, dan belakangan diangkat jadi PNS. Selama mengabdi sebagai guru, tetangga saya ini punya usaha warung kelontong yang menopang kehidupannya. Setelah jadi PNS, dia mengajukan kredit ke bank, dan memperbesar warungnya. Belakangan, warung itu jadi toko, semacam minimarket, dan tetangga saya hidup berkecukupan. Yang jadi masalah, orang-orang di kampung kami kemudian menganggap dia korupsi.”

“Padahal dia jadi kaya karena usaha tokonya?” tanya saya.

“Iya,” jawab penjual kacang rebus. “Tetangga saya ini udah buka warung selama bertahun-tahun, udah punya banyak pelanggan. Tapi karena waktu itu masih guru honorer, dia nggak punya modal untuk memperbesar usaha. Setelah jadi PNS, dia punya gaji tetap yang lumayan, hingga bank berani ngasih kredit. Dari kredit itu dia mengembangkan warungnya jadi toko serbaada, dan penghasilan dari situ jelas meningkat. Tapi ya itu tadi, banyak orang di kampung kami nggak bisa memahami hal itu, dan seenaknya menuduh dia jadi kaya karena korupsi, hanya karena dia sekarang jadi PNS.”

Saya manggut-manggut.

Penjual kacang rebus melanjutkan, “Gara-gara hal itu, saya jadi kayak dilema. Di satu sisi, saya bertahan jadi guru honorer sambil berharap jadi PNS. Tapi di sisi lain, saya juga khawatir kalau jadi PNS bakal mendatangkan tuduhan seenaknya dari para tetangga. Akhirnya saya memutuskan keluar [dari pekerjaan sebagai guru] dan mencari pekerjaan lain. Semula, saya sempat kerja di pabrik. Tapi baru setahun [kerja di sana], pabriknya tutup. Habis itu saya mulai jualan kacang rebus, karena sulit nyari kerjaan lain.”

Sekali lagi saya manggut-manggut. Jalan hidup orang memang bisa sangat unik dan tak terduga.

Saya berkata, “Kalau di bulan Ramadan gini, orang dagang apa pun pasti laris, ya?”

Penjual kacang rebus tertawa. “Lha itu sampeyan lihat sendiri, kacang saya masih menggunung.”

Saya menengok ke gerobak, dan kacang rebus di sana memang masih menggunung. Saya kembali berkata, “Di depan mal yang dekat alun-alun, di sana banyak penjual aneka makanan. Saban saya lewat sana, pasti ramai banget. Sampeyan pernah nyoba jualan di sana?”

“Sering,” dia menjawab. “Semula, saya juga mikir gitu, daerah sekitar alun-alun selalu ramai, dan banyak penjual yang buka lapak di sana. Saya udah nyoba jualan di sana, sejak sebelum Ramadan sampai seminggu Ramadan. Tapi jarang yang beli. Saya sebelahan sama warung mi ayam dan tukang siomay. Mereka juga bilang sepi. Jadi emang di sana ramai, banyak orang, tapi mungkin tujuannya belanja ke mal, bukan buat jajan.”

Saya baru tahu soal itu. 

Sekadar catatan, saya sering lewat depan mal yang kami bicarakan ini, dan jalanan di sekitar mal selalu ramai, bahkan macet, karena orang-orang berdesakan dengan banyak kendaraan di jalan. Di depan mal ada alun-alun, dan di seputar alun-alun itu penuh orang jualan aneka makanan. Semula, saya mengira keramaian di sana berdampak pada para penjual makanan. Tapi setelah mendengar penjelasan penjual kacang rebus, saya baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Tanpa terasa, kacang di contong sudah habis, lalu saya menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, saya berkata, “Kata orang-orang, Ramadan adalah bulan penuh berkah, jadi jualan apa aja pasti laku, bahkan laris.”

Penjual kacang rebus tertawa getir. “Itu, sih, jare wong kondho (kata orang). Kenyataannya nggak mesti gitu. Karena orang-orang sering kali hanya melihat, tapi nggak mengalami. Kayak sampeyan, misalnya. Lihat sekitar alun-alun selalu ramai, dan berpikir lapak-lapak penjual makanan di sana pasti laris. Nggak, Mas. Sampeyan cuma melihat. Sementara saya, dan para penjual lain, benar-benar mengalami. Dan kami membuktikan sendiri, keramaian yang terlihat itu nggak berarti jualan kami pasti laris. Orang-orang yang ramai di sana itu mungkin ingin jalan-jalan atau belanja di mal, bukan untuk mendatangi lapak-lapak kami.”

Penjelasan itu membuat saya teringat sesuatu. Saya pernah membaca analisis yang menyatakan bahwa kita saat ini sedang memasuki era “resesi yang aneh”—untuk tidak menyebut mengerikan—akibat piramida kehidupan makin meluas di bagian bawah. Dalam skema sederhana, piramida ekonomi terdiri dari tiga bagian. Paling bawah adalah bagian masyarakat miskin, bagian tengah piramida diisi kalangan menengah, sementara puncak piramida ditempati kalangan atas.

Sebagaimana bentuk piramida, semakin ke atas semakin mengecil. Karena nyatanya kalangan atas hanya sedikit, kalangan menangah cukup banyak, sementara kalangan miskin yang paling banyak. Yang jadi masalah, saat ini piramida ekonomi mengalami perubahan; bagian paling bawah—yang berisi orang-orang miskin—semakin meluas, sementara uang hanya berputar di kalangan menangah dan atas. Akibatnya, kalangan menengah dan atas mungkin saat ini tidak terlalu merasakan adanya resesi. Tapi kalangan terbawah, yaitu orang-orang miskin, benar-benar terimpit karena mereka harus memperebutkan jumlah uang yang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.

Dalam skala sederhana, penjelasan penjual kacang rebus tadi “match” dengan analisis tersebut. Kalau kamu termasuk kalangan atas, hampir dapat dipastikan kamu tidak merasakan masalah ekonomi sama sekali, karena uang masih lancar berputar. Kalau kamu termasuk kalangan menengah, kamu mungkin merasakan masalah ekonomi, tapi kamu belum terpikir resesi, karena setidaknya masih ada uang yang mudah diperoleh, misalnya penghasilan tetap. Tapi kalau kamu termasuk kalangan bawah, kamu pasti berani bersumpah bahwa saat ini sulit sekali mencari uang, karena perputaran uang di kalangan terbawah memang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.

Kita saat ini sedang mengalami resesi yang aneh sekaligus mengerikan, karena resesi itu hanya dialami dan dirasakan kalangan bawah. Jadi orang-orang dari kalangan atas tetap asyik membeli iPhone terbaru, kalangan menengah tetap jalan-jalan di mal, sementara kalangan bawah makin tercekik. Karena bahkan sekadar untuk bertahan hidup pun, mereka merasakan napas kian menipis.

Larut malam itu, duduk di terpal bersama penjual kacang rebus, saya menatap gerimis yang masih turun. Rintik air tak putus-putus, dan entah kapan akan berhenti. Sementara dingin kian menggigit.

Selasa, 10 Juni 2025

Menyaksikan Dunia Terbakar

Masih ingat Alqaeda? Dulu, Alqaeda muncul dan dunia gempar. Setelah Alqaeda hancur, muncul ISIS. Kini, ISIS mengalami kehancuran seperti Alqaeda. 

Aku berani bertaruh, kelak akan muncul sesuatu yang serupa, yang akan kembali membuat dunia kacau seperti sebelumnya.

Dunia tidak baik-baik saja, karena dunia memang sengaja dirancang untuk tidak baik-baik saja.

Sementara di sini sebagian orang sibuk mengurusi selangkangan, di luar sana ada orang-orang yang terus merancang dan mencabik-cabik peradaban manusia, demi menyaksikan dunia terbakar.

Dulu, waktu awal ISIS muncul, sebagian orang (yang mungkin merasa pintar) menghubung-hubungkan kemunculan ISIS dengan "pasukan berbendera hitam" yang konon akan muncul di akhir zaman, sebagaimana yang telah dinubuatkan.

Orang-orang itu melihat "permainan" dengan cara terbalik.

Orang yang merancang ISIS memang sengaja menciptakan gerombolan itu sesuai "nubuat akhir zaman" (pasukan berbendera hitam) agar orang-orang naif mempercayainya begitu. Bukan nubuat yang meramalkan kelahiran ISIS, tapi ISIS yang memang sengaja dibentuk agar sesuai gambaran nubuat.

Yang paling mudah memang menipu manusia dengan embel-embel agama, memberi mereka mimpi tentang utopia. Lalu mereka tersesat sambil meyakini diri paling benar, sambil membunuh manusia lainnya.

Dan sementara itu, di kegelapan, orang-orang tertawa menyaksikan dunia yang terbakar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Ritual Bocah

Saya lagi duduk sendirian sambil menikmati udud, ketika seorang bocah lewat, kemudian mendekati batu besar yang ada di pinggir jalan.

Di depan batu besar, bocah itu tampak diam sejenak, lalu berkata dengan suara keras, “Dia adalah hedot! Dia adalah hedot! Oh, oh, oh!” Setelah itu dia menepuk batu dengan cukup keras, tiga kali. Dia kembali tampak diam sejenak di depan batu, lalu pergi meneruskan langkah.

Saya tertarik menyaksikan itu. 

Setelah udud habis, saya mendekati batu besar di sana, diam sejenak di hadapannya, lalu berkata dengan suara keras, “Dia adalah hedot! Dia adalah hedot! Oh, oh, oh!” Setelah itu saya menepuk batu dengan cukup keras, tiga kali. Saya kembali diam sejenak di depan batu, lalu pergi meninggalkannya.

Jiwa bocah saya terasa damai.

Selasa, 10 Juni 2025

Petanda Ribuan Tahun

Ribuan tahun lalu, ada orang-orang yang meninggalkan "petanda" lewat patung, rute-rute jalan, karya seni, lukisan, hingga catatan-catatan abstrak dalam buku-buku tua berdebu. Petanda-petanda itu ditinggalkan begitu saja, tampak tidak penting, tapi "memandu" siapa pun yang tahu.

Ribuan tahun kemudian, di zaman digital, orang-orang semacam itu tetap ada, mewarisi pengetahuan-pengetahuan kuno yang diwariskan dari masa ribuan tahun lalu, dan kini mereka mewariskannya pada generasi mendatang. Tidak lagi lewat patung dan semacamnya... tapi lewat internet.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Zamani di HRC

Tempo hari di Hard Rock Cafe Singapura, Zamani bernyanyi riang, setelah bangkit dari patah hati yang nyaris membunuhnya. Dia membuktikan waktu memang menyembuhkan luka hati, dan orang bisa terlahir kembali.

Bagi yang tak tahu siapa Zamani, lihat di sini » http://bit.ly/2cCh0Mj 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Catatan dari Sunyi

Catatan dari tempat paling terpencil di dunia, terindah di bawah langit, sekaligus paling sunyi di muka bumi.

Kesunyian Sunyi » https://bit.ly/2HJtos3 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Maret 2019.

Selasa, 10 Juni 2025

Gemboran

Ora awan, ora bengi, gaweane gemboran.

Selasa, 10 Juni 2025

Ada Apa dengan Brama?

Seharian tadi ada ratusan orang masuk blogku dengan keyword "Brama Kumbara", "Brama vs Kampala", dan semacamnya. Ada apa dengan Brama ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Selasa, 10 Juni 2025

Kultwit Soal Kultwit

Coba ya, ada yang kultwit soal kultwit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Selasa, 10 Juni 2025

Umur 14

Sekarang aku jadi mengingat-ingat, apa yang sekiranya dulu kulakukan waktu berumur 14.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2020.

Selasa, 10 Juni 2025

Terlalu Sering

Sri Mulyani terlalu sering mendapat penghargaan dengan embel-embel "terbaik", dan itu justru mencurigakan, meski mungkin terkesan hebat bagi orang awam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Buka Bersama Kaum Introver

—Catatan dari Ramadan 2025


Hari kedua Ramadan, Rusli mengirim pesan WhatsApp ke ponsel saya, “Kalau nanti sore aku mengundangmu datang ke rumah untuk buka bersama, kamu mau?”

Saya menjawab, “Ya, aku datang.”

Sore harinya, sekitar pukul 17.00, saya berangkat ke rumah Rusli. Bayangan saya waktu itu, Rusli mengundang beberapa teman kami. Tetapi, ketika sampai di rumah Rusli, saya tidak mendapati siapa pun, selain si tuan rumah.

“Aku berencana mengundang satu orang per hari untuk buka bersama, sampai akhir Ramadan,” Rusli menjelaskan, “dan kamu orang pertama yang kuundang.”

Saya agak tercengang mendengarnya.

Rusli mengajak saya ke samping rumah, tempat kami biasa nyangkruk kalau ketemu. Di tempat itu ada meja, dan di atasnya terdapat aneka jajan di piring. Dari kue lapis, lumpiang, martabak mini, risoles, yang semuanya tampak enak. 

Sambil menunggu maghrib, kami duduk di sana dan bercakap-cakap. Saya bertanya, “Gimana ceritanya, kok kamu punya ide buka bersama yang aneh ini?”

Rusli tersenyum. “Kemarin, pas hari pertama Ramadan, banyak wanita di kampung sini yang jualan jajan, lewat depan rumah. Aku kenal rata-rata mereka, dan aku beli beberapa jajan untuk buka puasa. Sambil menikmati jajan-jajan itu, aku teringat pada ibuku dulu.”

Lalu Rusli menceritakan. Dulu, saat ibunya masih ada, ibu Rusli kerap membeli jajan yang dijual para wanita di kampung mereka. Di tempat Rusli, setiap hari ada beberapa wanita yang keliling kampung, dan mereka selalu mendatangi rumah Rusli, menawarkan dagangan. Setiap hari pula, ibu Rusli membeli dagangan wanita-wanita itu, biasanya secara bergilir. Karena itu, setiap hari selalu ada jajan yang berbeda-beda di rumah Rusli.

Rusli pernah bertanya pada ibunya, kenapa ia rutin membeli jajan dari para wanita itu setiap hari, dan ibunya memberi jawaban tak terduga. Ibu Rusli mengatakan, “Wanita-wanita yang berdagang keliling itu para janda. Suami mereka udah meninggal, dan mereka harus menghidupi anak-anaknya. Karena itu Ibu selalu berusaha membeli dagangan mereka, sebagai upaya kecil membantu para wanita itu, agar mereka nggak kehilangan harapan.”

Penjelasan itu sangat mengejutkan bagi Rusli, karena ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ibu Rusli juga seorang janda, karena ayah Rusli telah meninggal sejak lama. Jadi ibu Rusli tentunya juga tahu bagaimana kehidupan, tantangan, serta perasaan yang dialami para janda yang berjualan keliling itu. 

“Sejak itu,” ujar Rusli pada saya kemudian, “aku jadi punya pandangan berbeda pada wanita-wanita yang sering menawarkan jualannya ke sini. Tadinya aku nggak punya perasaan apa-apa, selain hanya berpikir kalau mereka berjualan. Tapi setelah mendengar penjelasan ibuku, aku menyadari kalau wanita-wanita itu bukan sekadar berjualan—mereka sedang mempertahankan hidupnya, berusaha menghidupi anak-anaknya, dengan upaya yang mereka bisa.”
 
Rusli mengenal wanita-wanita yang berjualan itu, karena memang tinggal di perkampungan yang sama. Ketika ibunya meninggal beberapa tahun lalu, Rusli melanjutkan kebiasaan ibunya; membeli dagangan para wanita yang biasa datang ke rumahnya. 

Dalam perspektif Rusli, para wanita yang berjualan itu bukan sekadar mencari untung yang paling beberapa rupiah, tapi juga mempertahankan harapan bahwa hidup masih layak dijalani, bahwa upaya yang mereka lakukan tidak sia-sia. Karenanya, ketika membeli dagangan para wanita itu, Rusli tidak berpikir bahwa ia sedang membeli dagangan mereka, tapi lebih sebagai semacam upaya menunaikan kewajiban moral pada sesama manusia.

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan itu.

Rusli melanjutkan, “Kemarin, pas beli jajan mereka untuk buka puasa, aku terpikir ingin beli lebih banyak. Masalahnya, aku nggak akan bisa menghabiskannya sendiri. Jadi aku lalu punya ide bikin acara buka bersama yang aneh ini, mengundang satu teman per hari, agar aku bisa terus membeli jajan dari para wanita itu setiap hari. Mereka senang, aku juga senang, dan teman-teman yang kuundang juga semoga ikut senang.”

“Aku senang, Rus,” ujar saya jujur. “Jajan-jajan di meja ini favoritku.”

Ketika azan maghrib terdengar, kami memulai buka puasa dengan teh hangat yang telah siap di meja, lalu menyantap jajan di piring. Seperti yang saya bayangkan, jajan-jajan itu memang enak. Teh hangat, jajan tradisional, dan udud, adalah kombinasi buka puasa yang sangat environmental—apa pun artinya.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00, Rusli menawari untuk keluar cari makan, tapi saya mengatakan, “Aku masih kenyang sekarang, dan biasanya juga cuma makan pas sahur.”

“Yang bener?” 

“Iya,” saya menjawab, “kalau puasa, aku cuma makan satu kali, biasanya kalau udah larut malam, atau pas jam sahur.”

Biasanya, saat buka puasa, saya hanya minum teh hangat, makan jajan, dan udud. Sudah. Setelah itu berangkat ke rumah ortu, karena ikut shalat tarawih di sana, dan pulangnya mampir ke warung untuk makan. Kalau kebetulan belum lapar, saya pulang ke rumah, lalu baru keluar mencari makan setelah tengah malam atau sekitar jam makan sahur. Itu satu-satunya waktu saya makan nasi, dan hanya satu kali itu.

Rusli bertanya, “Emang kamu nggak lapar pas siangnya?”

Saya tersenyum, “Namanya juga puasa, ya pasti lapar, lah!”

Rusli tertawa, “Maksudku, kalau kamu sadar bakal kelaparan karena cuma makan satu kali, kenapa nggak makan dua kali, pas buka dan pas sahur?”

“Jawabannya mungkin terdengar filosofis.”

“Jelasin aja, siapa tahu aku tertarik mengikuti.”

Saya lalu menjelaskan, “Aku mikirnya gini. Puasa itu pembelajaran untuk menahan diri, karena asal kata puasa—shaum—artinya memang menahan diri. Menahan lapar, menahan haus, menahan hasrat ingin udud, dan menahan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sebagai manusia. Di malam hari, aku masih minum teh dalam jumlah banyak, dan masih udud dalam jumlah banyak. Aku cuma mengurangi makan, karena baru itu yang bisa kulakukan. Kenapa ini penting? Karena kalau di bulan puasa aku masih makan dalam jumlah banyak seperti di hari-hari biasa, ya buat apa puasa? Itu kayak cuma memindahkan waktu makan dari siang ke malam, dan esensi puasa jadi hilang.”

Rusli ngikik, tapi kemudian manggut-manggut. “Aku paham sekarang.”

Saya meminum teh di gelas, lalu berkata, “Makanya aku heran campur bingung tiap melihat orang-orang merazia warung-warung yang buka di bulan Ramadan, lalu memarahi orang-orang lain yang nggak puasa. Jika puasa bertujuan menahan diri, itu di mana letak menahan dirinya? Lagian nggak setiap orang Islam juga puasa Ramadan, misal karena lagi haid, atau lagi sakit, atau kebetulan lagi bepergian jauh dan butuh makan di warung.”

Seiring percakapan yang terus mengalir, jajan di piring semakin habis, sementara asbak makin penuh puntung rokok.

Rusli berkata, “Aku baru ingat sekarang. Kamu, kan, punya masalah GERD, ya. Dengan kamu cuma makan satu kali, itu nggak apa-apa selama puasa? Soalnya ada orang yang sampai pingsan bahkan meninggal karena GERD-nya kumat pas puasa.”

“Mungkin daya tahan tubuh atau masalah GERD orang per orang beda-beda, ya,” saya menjawab. “Kalau aku sendiri, selama ada sesuatu yang masuk ke perut, misal jajan kayak gini, terus juga makan nasi pas jam sahur, bisa dibilang nggak ada masalah. Biasanya, GERD-ku kambuh kalau sama sekali nggak ada makanan yang masuk, atau cuma makan sesuatu yang nggak bergizi.”

Saya lalu menceritakan, “Dulu pernah kejadian, pas bulan puasa aku nggak makan apa-apa, karena semalaman terus-terusan hujan. Aku malas keluar. Pas buka puasa, aku cuma minum teh sambil udud. Malam harinya, aku cuma beli siomay yang kebetulan lewat. Besoknya, perutku melilit nggak karuan, GERD-ku kambuh, dan aku merasa mau mati. Aku pergi ke apotek, beli obat, dan terpaksa batalin puasa. Sejak itu aku mengingat-ingat untuk cukup gizi selama puasa, agar kejadian kayak gitu nggak terulang. Yang konyol, aku cerita kejadian itu ke adikku. Terus adikku cerita ke Ibu, dan kayaknya Ibu salah nangkep dan mengira sebulan itu aku nggak puasa. Hahaha...”

“Terus kamu jelasin hal yang sebenarnya ke ibumu?”

“Nggak.”

Rusli heran, “Lhoh, kenapa?”

Sambil tertawa, saya menjawab, “Aku berpuasa untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Jadi kalau ibuku atau siapa pun mengira aku nggak puasa, ya bodo amat, wong itu memang bukan urusan mereka.”

Rusli ikut tertawa, dan menyahut, “Sekarang aku paham arti puasa yang sebenarnya. Hahaha...” 

Minggu, 01 Juni 2025

Memang Begitu

Dulu, waktu kecil, aku berpikir uang bisa membuat orang bahagia. Sekarang, setelah dewasa, aku menyadari bahwa memang begitulah kenyataannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Masalah Umat Manusia

Setiap kali mendengar orang mengatakan "kita diciptakan/dilahirkan dengan sempurna", aku berpikir... bagaimana dengan mereka yang terlahir dengan cerebral palsy? Atau bayi-bayi yang lahir dengan jantung bocor? Atau dengan anggota tubuh yang tak lengkap? Ada yang bisa menjelaskan?

Tentu aku tidak berani mengatakan "apa cuma aku yang berpikir begini?" karena di planet ini ada 7 miliar manusia. Pasti ada banyak orang yang berpikir serupa. Pertanyaannya, kenapa tidak (atau setidaknya jarang kita dengar) ada yang berani terang-terangan mempertanyakannya?

Masalah umat manusia, dalam pikiranku, adalah kondisi terpaksa mempercayai sesuatu, meski jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan, bahkan umpama kenyataan itu tepat ada di depan mata. Manusia lebih memilih aman untuk percaya, daripada gelisah dan mempertanyakan kepercayaannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Urip Isine Doktrin

Malam larut gini, ada orang lagi teriak-teriak dikeraskan toa, mendoktrin orang-orang tentang—yang dia sebut—kebenaran. Urip kok isine doktrin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Ketololan Khas Twitter

Ketololan khas Twitter:

Si A mem-follow Si B.

Si B tidak mem-follow Si A, tapi Si B berharap Si A mendekatinya, aktif mengejarnya, berharap Si A melakukan semua yang ia inginkan.

Kalau kau kebetulan mengalami hal seperti Si B, sebaiknya berhentilah mimpi dan berhalusinasi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Slilit di Sela Gigi

Aku sering berpikir, masalah hidup kita mirip slilit yang menyelip di sela gigi, dan kita tidak menemukan tusuk gigi atau apa pun. Kita gelisah merasakan kondisi yang sangat mengganggu, tapi sulit menjelaskan ke orang lain, dan bisa jadi mereka malah menggampangkan masalah kita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Jika Ingin Bahagia

Jika menginginkan kehidupan bahagia, ikatkan pada tujuan, bukan pada orang atau sesuatu. —Albert Einstein


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Pagi yang Akademis

Pagi yang sungguh akademis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 April 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Perjuangan Berat Pertama

Perjuangan berat pertama manusia setiap hari adalah bangkit dari tempat tidur, dan melawan kemalasannya sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Down Sampai Kiamat

Facebook tidak bisa diakses, Instagram down, begitu pula WhatsApp? Bodo amat! Semoga semuanya tetap down sampai kiamat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Ingin Udara

Iya.

Selasa, 20 Mei 2025

Pamit dari Medsos untuk Sementara

Saya menulis catatan ini pada 1 Mei 2025, dan catatan ini mungkin akan saya sematkan di halaman muka blog ini untuk beberapa waktu ke depan, sebagai semacam pemberitahuan bagi siapa pun yang [mungkin] berkepentingan.

Sejak Ramadan kemarin, yang dimulai pada 1 Maret 2025, saya sudah meninggalkan media sosial. Itu sebenarnya bukan hal baru, karena sejak dulu saya memang selalu off dari medsos saat Ramadan datang. Jika ingin membuktikan, coba scroll medsos X saya hingga ke tahun-tahun lalu. Akan selalu ada 1 sampai 2 bulan yang kosong, dan bulan yang kosong itu pasti bertepatan dengan Ramadan. “Tradisi” itu sudah saya lakukan dari beberapa tahun lalu, sejak X masih bernama Twitter.

Orang-orang yang telah lama mengenal saya di medsos X kemungkinan sudah tahu kebiasaan itu. Bahwa saya selalu off dari medsos saat Ramadan, dan baru kembali setelah bulan Syawal. Tapi orang-orang yang mungkin baru mengenal saya di medsos X bisa jadi mengira saya “menghilang”.

Sebenarnya saya tidak menghilang. Karena off dari medsos sejak Ramadan sampai Syawal itu memang komitmen pribadi yang selalu saya lakukan setiap tahun.

Biasanya, sebelum off di bulan Ramadan, saya akan ngasih pemberitahuan di timeline bahwa saya akan libur selama Ramadan dan akan kembali setelah Syawal. Biar orang-orang tidak mengira saya “tiba-tiba hilang tanpa kabar”. Tapi jelang Ramadan kemarin, saya sengaja tidak menulis pemberitahuan itu, karena tidak ingin orang-orang lain terpengaruh lalu mengikuti saya.

Off dari medsos saat Ramadan itu komitmen pribadi yang saya patuhi sendiri. Tapi saya tidak berharap orang-orang lain mengikuti kebiasaan itu, khususnya menjelang Ramadan kemarin. Ada banyak persoalan terkait masyarakat dan bangsa yang perlu disuarakan dan diperjuangkan. Saya ingin orang-orang—khususnya para aktivis—tetap aktif di medsos X dan menyuarakan hal-hal yang masih perlu diperjuangkan. Karena itulah saya sengaja tidak memberi pemberitahuan apapun terkait liburnya saya dari medsos X menjelang Ramadan. 

Jadi, sekali lagi, liburnya saya dari medsos X sejak awal Ramadan kemarin itu bukan “menghilang”. Itu memang tradisi yang telah saya lakukan sejak beberapa tahun sebelumnya, setiap Ramadan datang. 

Biasanya, setelah off selama Ramadan, saya akan kembali ke medsos setelah lebaran, atau setelah bulan Syawal selesai. Makanya, seperti yang tadi saya katakan, selalu ada satu sampai dua bulan yang kosong di timeline saya dalam setiap tahun.

Sekarang, saat menulis catatan ini, saya sedang galau. Jika mengikuti aturan yang saya buat sendiri, mestinya saya sudah mulai masuk medsos X lagi pada akhir April, atau setelah bulan Syawal selesai. Semula, saya berencana akan masuk ke medsos X pada 1 Mei 2025. Tetapi, belakangan saya galau hingga menulis catatan ini.

Ada banyak hal yang sedang saya urusi dan kerjakan di dunia nyata, dari kehidupan pribadi sampai urusan kerja. Dalam hal itu, saya merasa kekurangan waktu, setidaknya untuk saat ini. Latar belakang itu menjadikan saya jadi ragu-ragu ketika akan kembali masuk ke medsos X, karena bagaimana pun akan mengurangi waktu yang bisa saya gunakan untuk melakukan hal-hal yang lebih penting untuk dilakukan. 

Sekadar curhat. Tahun 2025—khususnya awal 2025—sebenarnya moment sedih bagi saya, karena proyek yang saya impikan sejak beberapa tahun sebelumnya gagal total akibat masalah terkait orang yang jadi partner saya. Sebelumnya, saya telah merancang dan mempersiapkan proyek itu sejak empat tahun lalu, dan mestinya terwujud pada 2024 kemarin. Tapi terjadi masalah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, yang mengakibatkan proyek itu gagal total. Karena penjelasan soal ini cukup panjang, saya telah menulisnya dalam catatan terpisah, dan kalian bisa membacanya di sini: Duit Miliaran Lenyap Seperti Mimpi.

Dalam rencana semula, proyek itu [mestinya] terwujud pada akhir 2024, dan awal 2025 saya akan ada di Jakarta. Di moment itulah saya berencana mampir ke Cinere untuk makan di Warteg Barokah! [Itu resolusi saya untuk tahun 2025, omong-omong.]

Tetapi, sialan, proyek itu gagal. Saya frustrasi karena kegagalan itu terjadi bukan karena proyeknya, tapi karena masalah yang terjadi pada partner saya. Sementara tabungan saya sudah terkuras untuk membiayai penelitian terkait proyek itu. 

Karena itulah saya galau. Saya tidak mungkin pergi jauh ke Jakarta atau ke Cinere cuma untuk makan di warteg! Lebih dari itu, saya harus kembali fokus bekerja dan berpikir, untuk membangun proyek lain, sebagai semacam kompensasi atas kegagalan proyek tadi. Sebenarnya ini proyek pribadi, jadi saya tidak bertanggung jawab pada siapa pun. Masalahnya, saya sangat menyesali kegagalan itu, dan berpikir harus menemukan hal lain untuk dikerjakan [dan menghasilkan uang].

Akhirnya, setelah menimbang dan memikirkan cukup lama, saya memutuskan untuk hiatus atau berhenti sejenak dari dunia maya, khususnya medsos X, agar bisa fokus menggunakan waktu yang ada untuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting. 

Jadi, saya menulis catatan ini sebagai pemberitahuan bagi siapa pun yang [mungkin] berkepentingan bahwa, terhitung mulai 1 Mei 2025, saya memutuskan untuk libur sejenak dari medsos X. Sampai kapan libur atau hiatus ini akan berlangsung, saya belum bisa memastikan. Intinya, fokus saya saat ini adalah mengerjakan hal-hal penting yang memang harus segera dikerjakan. Setelah hal-hal itu selesai, saya akan kembali ke medsos X, tapi saya belum bisa memastikan kapan waktunya.

Lalu bagaimana dengan update blog ini? Kemungkinan blog ini akan terus di-update seperti biasa. Begitu pula situs Belajar Sampai Mati (BSM). Sekadar informasi, blog ini serta situs BSM di-update secara otomatis. Jadi saya tidak perlu rutin masuk ke dasbor untuk melakukan update. Saya hanya perlu memasukkan catatan-catatan dan artikel-artikel yang perlu diterbitkan, dan tumpukan catatan serta artikel itu terbit sendiri secara otomatis berdasarkan waktu yang telah saya setel.

Hal itu berbeda dengan medsos X. Saya masuk ke medsos X karena memang butuh tahu informasi atau berita apa yang sedang terjadi hari itu, jadi saya harus benar-benar masuk ke sana. Fakta bahwa selama ini saya hanya muncul di medsos X pada pukul 22.00, karena saya membatasi diri agar tidak sering-sering masuk ke sana. 

Biasanya, kalau masuk ke medsos X pada pukul 22.00, saya akan memindai timeline, membaca dan memperhatikan berita serta informasi-informasi terkini—menyimpannya jika penting, me-repost jika memang harus disebarkan, atau mengomentari jika saya tertarik mengomentari. Itu kegiatan yang mau tak mau mengharuskan saya masuk ke medsos X, dan tidak bisa menggunakan otomatisasi.

Karena itulah saya akhirnya memutuskan untuk sejenak meninggalkan medsos X, agar bisa lebih menghemat waktu, untuk menangani dan mengerjakan hal-hal yang lebih penting untuk dikerjakan. Saya pikir itu lebih bermanfaat, khususnya bagi saya.

Saya berharap nantinya bisa kembali ke medsos X, dan berinteraksi dengan siapa pun, seperti sebelumnya. 

Jika ada di antara kalian yang perlu menghubungi saya, silakan gunakan e-mail. Sekarang, izinkan saya mengucap “selamat tinggal”—untuk sementara.

Selasa, 20 Mei 2025

Footnote untuk Footnote

Mumpung lagi ramai soal rokok, aku mau ngasih footnote untuk “footnote” ini.

(Wong footnote kok dikasih footnote?)

Yo wis, ben. Wong ini juga bukan karya ilmiah.



Omong-omong soal Philip Morris...

Sambil nunggu udud habis.

Philip Morris International adalah perusahaan rokok dan tembakau terbesar di dunia, yang, ndilalahnya, merupakan produsen rokok yang biasa aku konsumsi. Dua merek rokok yang biasa kuisap adalah Dji Sam Soe dan Marlboro Black. Keduanya milik perusahaan Philip Morris.

Memang, rokok kretek Dji Sam Soe diproduksi oleh PT HM Sampoerna yang merupakan perusahaan Indonesia. Dji Sam Soe bahkan merek rokok pertama di Indonesia. Tapi produsen Dji Sam Soe yang legendaris itu telah diakuisisi oleh Philip Morris pada 2005 silam.

Terlepas dari urusan itu, aku merasa perlu menjelaskan kenapa ocehanku di sini selalu diawali “sambil nunggu udud habis”. Kenapa?

Ya karena memang aku masuk Twitter lalu ngoceh di sini sekadar untuk sebat (menikmati sebatang rokok), habis itu sudah, log out. Ngopo suwi-suwi?

Kemudian, aku sengaja menunjukkan diri kalau aku seorang perokok, biar kalau sewaktu-waktu kita ketemu, kamu bisa memaklumi kebiasaanku. 

Sebaliknya, kalau umpama kamu antirokok (misal alergi pada asap rokok), setidaknya kamu bisa “jaga jarak sejak dalam pikiran”.

Sebagai perokok, aku tidak ingin mengajak siapa pun untuk juga merokok, pun tidak ingin melarang siapa pun merokok. 

Merokok atau tidak itu kan hak orang per orang. 

Cuma, kalau boleh menyarankan, kalau kamu belum pernah merokok, sebaiknya tidak usah merokok. 

Alasannya?

Menurutku alasannya sepele saja; harga rokok [makin] mahal! Dan makin ke sini harganya makin tak karuan, karena cukai yang terus naik, dan konsumen makin tercekik. 

Kalau kamu tidak merokok, setidaknya kamu bisa terbebas dari urusan harga rokok yang makin tak masuk akal.

“Lhah, kamu udah tahu harga rokok makin gak masuk akal, kenapa masih juga merokok?” 

Pertanyaan itu butuh jawaban panjang, dan tidak mungkin aku ocehkan di sini. Ingat, aku ngoceh di sini cuma sambil nunggu udud habis. Ududku—dan usiamu—jelas tidak akan cukup.

Intinya, merokok atau tidak adalah hak setiap orang. Seperti hak apa pun, selama hak merokok dilakukan tanpa melanggar hak orang lain, everything is OK. 

Pertanyaan lain, apakah merokok memang bikin kecanduan? Apakah merokok memang merusak kesehatan, dan bla-bla-bla?

Dengan segala kejujuran, aku merasa tidak punya kapasitas untuk menjawab pertanyaan itu. Jadi sila tanyakan pertanyaan itu pada ahli yang berkompeten, agar jawabannya lebih bisa dipertanggungjawabkan. (Maksudku ke pakar kesehatan, bukan ke Sri Mulyani).

Ududku habis.

*) Ocehan ini TIDAK disponsori Philip Morris.

**) Ya mestinya dia nyeponsori, sih. (Lhah?)


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 November 2022.

Selasa, 20 Mei 2025

Menangis

Aku selalu menangis tiap baca beginian, dan karena itulah aku selalu marah tiap melihat orang menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin tanpa persiapan. Aku tidak peduli dengan perkawinanmu, yang kukhawatirkan adalah nasib anak-anakmu. 

Orang yang menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin tanpa persiapan itu lebih hina dari binatang ternak, lebih bejat dari iblis, karena merekalah perusak manusia yang sesungguhnya... bahkan sebelum si manusia itu dilahirkan. Selalu ada anak terluka di balik kebodohan orang tuanya.

Iblis—kalau pun ia memang ada—baru bisa merusak manusia setelah seorang manusia eksis di dunia. Tapi orang yang menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin tanpa persiapan; telah merusak seorang manusia, bahkan sebelum dilahirkan, yakni calon anak yang akan dilahirkan dari perkawinan.

Kalau kau menjadi korban suatu kejahatan, kau akan mengutuk kejahatan serupa, jauh lebih keras dari siapa pun yang tidak menjadi korban kejahatan yang sama. Karena kau merasakan sakitnya, dan kau tidak ingin orang-orang lain—anak-anak lain—mengalami luka seperti yang kau alami.

Susahnya, di dunia yang terkutuk ini ada banyak orang yang tak bisa berempati, dan menuduh si korban "terlalu mendramatisir", dll. Orang yang tidak pernah menjadi korban memang sulit memahami bagaimana perasaan seorang korban.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Agustus 2019.

Selasa, 20 Mei 2025

Keyakinan Buta

"Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anak-anaknya."

"Banyak anak banyak rezeki."

Oh, well, benar sekali! Doktrinasi memang selalu benar, kan? 

Tidak ada yang lebih merusak di muka bumi, selain keyakinan buta pada doktrinasi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 September 2019.

Selasa, 20 Mei 2025

Usia Memang Kejam

Pernah nemu klip lama film Steven Seagal di YouTube, zaman dia masih ramping, jauh banget dengan yang sekarang.

Mengingat bahwa dia aktor film action terkenal, agak mengherankan melihat dia jadi buncit kayak sekarang. Rata-rata aktor lain, yang sama-sama menua, masih tetap ramping, dengan perut yang tetap rata. Sementara Seagal sudah kesulitan berlari, akibat berat badannya. 

Kalau kita lihat film-film Seagal yang sekarang, semua adegan dia saat berlari—misal saat mengejar penjahat—akan dipotong (dihilangkan). Pernah ada satu film yang sempat memperlihatkan dia berlari, dan tampak jelas kalau Seagal kini kesulitan berlari akibat berat badan.

Usia memang kejam, kalau dipikir-pikir. Ia “merusak” wujud kita... perlahan-lahan... sebegitu perlahan, hingga kita sering tidak menyadari. Bahkan Steven Seagal, sang master beladiri—yang bisa menjatuhkan lawan tarung hanya dalam sedetik—juga akhirnya kalah oleh usia.  

Selasa, 20 Mei 2025

Cahaya dan Kegelapan

Perang antara Cahaya dan Kegelapan di dunia manusia belum selesai. Tetapi, setidaknya, sekarang banyak yang mulai sadar bahwa pihak yang mengklaim sebagai cahaya sebenarnya justru datang dari kegelapan... dan berusaha menarik manusia pada kegelapan.

Selasa, 20 Mei 2025

Pecah Ndasku!

Dikarang-karang dewe, dipercoyo dewe, terus rakyat dipekso kudu melu percoyo. Pecah ndasku!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 September 2019.

Selasa, 20 Mei 2025

Bocah Melangkah Sendirian

Seorang bocah melangkah sendirian sambil berbicara sendiri, “Laik-laik piye?” dan dia mengulang ucapannya secara berkala sambil terus melangkah.

Aku tersenyum menyaksikannya.

Selasa, 20 Mei 2025

Bukan untuk Semua Orang

Kalau kamu bangun pagi, terus bawaannya lemes, rasanya ingin tidur lagi... ya, aku juga gitu. Mungkin bangun pagi memang bukan untuk semua orang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Oktober 2019.

Selasa, 20 Mei 2025

Hujan, Listrik Mati

Hujan, dan sekarang listrik mati. Bagus sekali! Padahal aku sudah mau tidur...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 September 2019.

Selasa, 20 Mei 2025

Tauge

Paling suka kalau makan di warung, pakai lalapan, terus ada taugenya. Tauge adalah karunia alam semesta.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 September 2019.

Selasa, 20 Mei 2025

Algoritma Twitter

Algoritma @Twitter akhir-akhir ini bikin tidak nyaman. Ada akun-akun yang tidak kuikuti, tapi tweet-tweet mereka terus muncul di TL-ku, hanya karena akun itu "diikuti oleh orang lain yang kuikuti". Ini seperti memaksa seseorang memakan sesuatu, hanya karena temanmu memakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Agustus 2019.

Sabtu, 10 Mei 2025

Tapi Ini Bukan Soal Knalpot

Ini persoalan riskan untuk dibicarakan, tapi sering muncul di media sosial X (dulu Twitter), dan memicu perdebatan yang sering kali tidak sampai pada kesimpulan apapun.

Sekarang, izinkan saya berbagi pengetahuan yang benar-benar saya tahu, karena telah memiliki pengalaman sangat lama, sehingga saya bisa mengatakannya secara pasti—berdasarkan pengalaman. Yaitu tentang knalpot. Yang punya mobil atau motor pasti sangat tahu apa itu knalpot.

Kalau kita beli kendaraan baru di dealer, biasanya knalpot yang terpasang adalah knalpot standar pabrikan. Sebagian orang tidak puas dengan knalpot standar, khususnya para pemakai kendaraan sport. Agar pacuan mesin lebih gahar, mereka menggantinya dengan knalpot racing.

Apakah beda knalpot standar dengan knalpot racing? 

Menurut saya, berdasarkan pengalaman, jelas beda! Secara sederhana, fungsi knalpot racing untuk menaikkan kemampuan mesin hingga dapat dipacu lebih cepat [dan lebih enteng]. Itu alasan pemakaian knalpot racing.

Terkait hal itu, banyak orang menyatakan bahwa pemakaian knalpot racing bikin bensin jadi boros. Anehnya, banyak mekanik yang tidak setuju pendapat itu, dan menyatakan bahwa pemakaian knalpot racing tidak berpengaruh ke bensin. Ini aneh, karena mekanik yang menyatakan.

Jadi, apakah pemakaian knalpot racing menyebabkan bensin jadi boros, atau tidak? 

Berdasarkan pengalaman, saya bisa menjawab dengan tegas, “Ya!” Pemakaian knalpot racing bikin bensin jadi boros, bahkan bisa mencapai dua kali lipat, khususnya kalau kendaraanmu tipe sport.

Karenanya, saya benar-benar bingung ketika mendapati mekanik mengatakan bahwa knalpot racing tidak berpengaruh ke bensin. Mereka tentu ngomong berdasarkan pengetahuan mereka sebagai mekanik. Tapi pengetahuan mereka bertolak belakang dengan pengalaman nyata!

Siapa pun yang memakai knalpot racing—yang benar-benar racing, lho, ya—pasti tahu kalau bensin kendaraan jadi lebih cepat habis dibanding saat memakai knalpot standar. Meski dikendarai dengan cara yang sama, kecepatan yang sama, tetap saja bensinnya sangat terasa lebih boros.

So, kalau kamu punya tunggangan kesayangan, dan terpikir untuk ganti knalpot racing, coba minta pendapat dari dua pihak—mekanik di bengkel, dan orang yang telah pengalaman memakai knalpot racing. Pendapat mereka bisa berbeda, dan kamu bisa membuktikan sendiri untuk tahu mana yang benar.

Tetapi, seperti yang telah dinyatakan di judul, ini bukan soal knalpot.

Sabtu, 10 Mei 2025

Makin Berat

Dan kepalaku rasanya makin berat. Saatnya untuk tidur, waktunya tenang beristirahat.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Mei 2014.  

Sabtu, 10 Mei 2025

Seharum Mbakyu

Barusan ngambil gorden di tempat laundry. Sudah selesai, sudah dibungkus rapi, dan wanginya seharum mbakyu. #Apeu


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 April 2019.

Sabtu, 10 Mei 2025

Sulit Bangun Pagi

Memang paling menyenangkan bangun pagi. Tapi entah kenapa selalu sulit bangun pagi. Hmm... ini sebenarnya pagi atau siang, sih?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Sabtu, 10 Mei 2025

Tombol Enter Keganjal Kotoran

Ternyata, tombol Enter keganjal kotoran dikit aja efeknya bisa mengerikan di laptop. Semalaman pusing gara-gara masalah sepele ini. #curhat


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2012.

Sabtu, 10 Mei 2025

Twitterphobia

Si @stonenobrien katanya mengidap twitterphobia ya? Tapi hebat tuh cewek. Ngetwit baru 1 kali, follower udah 1 juta lebih.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Sabtu, 10 Mei 2025

Akibat Kekhawatiran

Lebih banyak orang yang mati akibat kekhawatiran, daripada karena kenyataan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Sabtu, 10 Mei 2025

Nasib Terbaik

Nasib terbaik adalah menjadi rempah-rempah.

Sabtu, 10 Mei 2025

Beda Satu Huruf

Lubrikasi dan rubrikasi cuma beda satu huruf. Tapi maknanya beda jauh. Mungkin memang tidak ada hal kecil di dunia ini. Semuanya punya arti.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2012.

Sabtu, 10 Mei 2025

Buanget

Jalan raya semrawut buanget.
 
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2019.

Sabtu, 10 Mei 2025

O, Pisa

O, pisa.

Kamis, 01 Mei 2025

Duit Miliaran Lenyap Seperti Mimpi

Berita itu sangat mengejutkan, dan muncul di ponsel ketika saya baru selesai makan siang. Beritanya mengenai seseorang yang diduga terlibat skandal mencengangkan. Feed di ponsel lalu menyuguhkan tumpukan berita serupa. Dengan pikiran terguncang, saya membaca berita-berita terkait skandal itu, dan seketika kepala saya terasa berat. 

Saya terkejut setengah mati mendapati berita-berita itu karena; pertama, saya mengenal sosok yang diberitakan; kedua, saya tidak menyangka dia terlibat skandal semacam itu; dan ketiga, ada uang sangat besar yang berpotensi lenyap!

Saya melakukan screenshot salah satu berita, lalu mengirimkannya pada orang yang namanya tertulis dalam berita tersebut. Saya hanya membubuhkan pesan, “What the fuck is this?”

Sesaat kemudian, dia menelepon ke ponsel saya, “Aku sedang dalam perjalanan untuk meeting di Batang. Bisa ketemu besok?”

Saya bertanya, “Di mana kamu menginap?”

Dia menyebutkan nama hotel yang telah ia booking.

“Besok pagi aku sarapan di hotelmu.”

Semua berawal empat tahun sebelumnya, bermula dari sebuah ide yang berpotensi menghasilkan uang sangat besar. Tapi saya tidak bisa melakukannya sendirian, karena butuh sumber daya yang sama besar.

Empat tahun sebelumnya, saya menemukan ide menarik—sebuah produk digital berbasis AI—tapi waktu itu terbentur pada teknologi yang belum ada. Jadi saya tahu bagaimana mengerjakan ide itu untuk menghasilkan karya sekaligus menghasilkan uang, tapi saya membutuhkan sarana teknologi tertentu yang, sayangnya, waktu itu belum tersedia. 

Tetapi saya tahu bahwa cepat atau lambat, teknologi yang saya butuhkan akan muncul. Seseorang entah di mana akan menciptakannya. Di era teknologi, itu keniscayaan, dan yang perlu saya lakukan waktu itu hanyalah menunggu sambil mematangkan rencana terkait ide yang saya temukan. Begitu momentumnya datang, saya tinggal mengeksekusi ide saya dan menghasilkan cuan besar.

Dalam bisnis, khususnya di kehidupan penuh teknologi digital yang bergerak sangat cepat, saya menciptakan “rumus” sendiri yang saya patuhi sendiri. Rumus itu adalah: Ide + Momentum = Cuan.

Dalam perspektif saya, ide hebat mungkin mengagumkan. Tapi ketika ide itu dieksekusi tanpa momentum yang tepat, hasilnya bisa mengecewakan, atau setidaknya biasa-biasa saja. Sebaliknya, ide yang mungkin sederhana bisa menghasilkan cuan besar jika dieksekusi pada momentum yang tepat. Saya menemukan rumus itu bertahun-tahun lalu, ketika pertama kali menghasilkan banyak uang di era booming media cetak.

Ketika kemudian media cetak beralih ke media digital, rumus tadi tetap bisa diaplikasikan, dan menghasilkan efek yang sama. Hal paling krusial dalam hal ini adalah momentum. Di dunia digital yang terus melesat gila-gilaan, momentum sering kali hanya muncul sekali, lalu lewat secepat kilat. Tugas saya adalah melihat momentum datang, dan menangkapnya, lalu mengisi momentum dengan ide yang telah saya siapkan. Itu membutuhkan penggodokan ide bertahun-tahun, perencanaan berbulan-bulan, dan kadang biaya besar untuk penelitian, tapi hasilnya tidak mengecewakan.

Empat tahun sebelumnya, saya telah menyiapkan ide semacam itu. Yang masih saya tunggu adalah teknologi memadai untuk mewujudkannya. Begitu teknologi yang saya butuhkan telah tercipta, momentum akan muncul, dan saya akan membanjiri pasar dengan ide (produk) yang telah saya siapkan. Dalam hal itu, saya membutuhkan sumber daya dalam skala besar untuk mengerjakannya, dan itu artinya juga membutuhkan modal sangat besar.

Ide yang waktu itu saya pikirkan murni ide saya, tapi saya menyadari bahwa tidak menutup kemungkinan ada orang-orang di luar sana yang juga memiliki ide serupa. Di dunia internet yang begitu terbuka seperti sekarang, seratus orang yang terserak di berbagai belahan bumi bisa memiliki ide serupa, meski tidak pernah saling terkoneksi. Karena itulah pentingnya momentum. Siapa pun yang mampu melihat dan menggunakan momentum secara tepat, ia akan jadi pemenang!

Butuh waktu dua tahun bagi saya untuk menunggu teknologi yang saya butuhkan, dan akhirnya teknologi itu muncul, meski waktu itu masih tahap BETA. Permulaan yang bagus, pikir saya penuh gairah. Dan selama dua tahun menunggu, saya telah memikirkan dan memikirkan dan memikirkan dan memikirkan ide saya berulang-ulang, menghabiskan banyak biaya untuk penelitian, meninjau dan memeriksanya dari berbagai perspektif, lalu menulis rencana eksekusinya. 

Butuh puluhan halaman untuk menuliskan rencana itu, tapi hasil finalnya begitu sederhana—sesederhana yang bisa saya pikirkan. Begitu teknologi yang saya tunggu sudah memadai untuk digunakan, saya akan segera mengeksekusi ide tadi, lalu membanjiri pasar dalam skala besar-besaran! Jika, di waktu yang sama, ada orang-orang lain punya ide serupa dan menghasilkan produk sama, dan mereka berencana masuk pasar, mereka sudah kehilangan momentum. 

Ide dan rencana itu lalu saya bicarakan dengan seseorang—dia seorang inventor yang juga memegang valuasi sangat besar. Jika saya sebutkan namanya, kemungkinan besar kalian mengenal, karena media-media kerap memberitakan kiprahnya.

Kami membicarakan ide itu berjam-jam, dengan santai tapi serius, dan kami saling percaya. Di hadapan kami waktu itu ada berkas-berkas berisi coretan, skema, dan aneka catatan. Setelah puas membicarakannya, dia berkata, “Aku percaya ide dan rencanamu sepenuhnya. Jadi, apa yang kamu butuhkan?” 

“SDM,” saya menjawab. “Aku tinggal di kota kecil, dan tidak yakin ada SDM yang mampu menangani ide ini. Orang-orang yang kita butuhkan untuk menangani pekerjaan ini rata-rata tinggal di kota besar, dan karena itulah aku membutuhkanmu. Kamu punya akses untuk mendapatkan SDM berkompeten yang kita butuhkan, dan kamu bisa memimpin mereka.”

“Done.” Dia tersenyum dan mengangguk. “Selain itu?”

“Kapital.” Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Sejak tadi, aku berkali-kali menyebut momentum, karena itulah modal paling penting yang kita miliki. Dan untuk menggunakan momentum itu, kita butuh modal kapital yang besar. Pertama untuk membiayai SDM yang jumlahnya pasti akan banyak, dan kedua untuk membanjiri pasar dengan produk kita, sebelum ada pesaing di luar sana melakukannya. Tabunganku sudah terkuras untuk membiayai penelitian ini, jadi aku butuh dana segar.”
 
Sekali lagi dia mengangguk. Sebagai visioner, dia pasti bisa melihat potensi besar di depan mata, dan dia bisa membayangkan berapa besar uang yang akan kami hasilkan. Dia kemudian berkata, “Anggap saja itu sudah beres. Apa yang perlu kulakukan selanjutnya?”
 
Saya menyesap minuman di gelas, lalu mengatakan, “Buatlah perusahaan baru, dan kamu bisa menjadi CEO-nya. Aku tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Tapi tolong pastikan aku punya hak supervisi untuk mengawasi semuanya dikerjakan dengan benar, dan pastikan cashflow ke rekeningku selalu lancar.”

Dia tersenyum lebar, dan berkata, “Fair enough.”

Ketika kami menyepakati perjanjian, saya membayangkan saat-saat mendebarkan yang akan datang tak lama lagi. Ide saya akan terwujud menjadi sesuatu yang dapat dinikmati jutaan orang, rencana saya akan dijalankan dalam skala besar hingga membanjiri pasar, dan uang akan mengalir dengan lancar. Dia akan tampil di media, seperti biasa, mendapatkan popularitas yang akan meningkatkan reputasinya, sementara saya akan menyaksikan kesuksesan itu sambil menikmati udud di balik layar. 

Tetapi, persetan, dua bulan setelah itu... petaka terjadi. Dia terlibat skandal yang mengejutkan, dan beritanya muncul di berbagai media.

“What the fuck is this?” Saya mengirimkan pesan itu ke ponselnya, bersama screenshot berita yang saya baca di ponsel.

Sesaat kemudian, dia menelepon ke ponsel saya, “Aku sedang dalam perjalanan untuk meeting di Batang. Bisa ketemu besok?” Dia menyebutkan nama hotel yang telah ia booking.

“Besok pagi aku sarapan di hotelmu.”

Besok paginya, saya datang ke hotel tempatnya menginap, dan kami bertemu di tempat sarapan. Makanan di hotel itu sebenarnya sangat enak, tapi pagi itu terasa hambar. 

Ketika kami akhirnya membicarakan berita yang saya baca—terkait skandal keparat yang melibatkannya—dia berkata dengan nada bersalah, “Posisiku serbasalah saat ini, dan kamu pasti memahami kalau pemberitaan yang terjadi sekarang akan berdampak negatif untuk rencana kita. Aku bisa tetap mem-backup rencanamu seperti yang telah kita bicarakan, tapi aku tidak yakin kamu mau menerima, mengingat posisiku sekarang.”

Saya memahami maksudnya, dan kepala saya terasa mau pecah. Karena skandal yang terjadi, saya jelas tidak bisa melanjutkan kerja sama dengannya, padahal rencana kami sudah hampir tiba di tahap final. Artinya, saya juga tidak bisa memulainya lagi dari nol dengan pihak lain.

Saya terdiam cukup lama, memegangi pelipis yang berdenyut-denyut, membayangkan uang miliaran yang tiba-tiba lenyap. Seperti mimpi. Dan sekarang saya terbangun, dan menyadari mimpi itu tidak terjadi.

Dia berkata perlahan, “Aku benar-benar minta maaf atas yang terjadi sekarang, dan aku bisa memahami kekecewaanmu.”

Saya menyulut rokok, mengisapnya dengan wajah murung, tidak yakin apa yang harus saya katakan.

Dia kemudian bergumam ragu-ragu, “Terkait, uhm... masalah yang terjadi saat ini... kamu bisa membantuku?”

Saya berkata dengan berat, “Kamu sudah dewasa. Kamu bisa membereskan kotoranmu sendiri.”

Ketika kemudian saya pergi meninggalkan hotel, langkah kaki saya terasa berat, dan sejak itu saya tenggelam dalam frustrasi. 

Empat tahun saya menunggu, memikirkan, dan merencanakan ide cemerlang yang butuh waktu berbulan-bulan untuk mematangkannya hingga sampai tahap final, dan telah menguras tabungan saya untuk biaya penelitian. Ketika ide itu tinggal diwujudkan pada momentum yang tepat untuk menghasilkan uang dalam jumlah sangat besar, seketika rusak gara-gara skandal tak terduga, dan impian saya lenyap!

Belakangan, ketika saya menulis catatan ini, ide yang ada di kepala saya telah muncul di pasar, dinikmati jutaan orang. Seseorang di luar sana telah mewujudkannya, meski dengan cara berbeda seperti yang saya rencanakan, tapi ide itu terbukti berhasil seperti yang saya ramalkan. Siapa pun penciptanya, dia telah mendapatkan momentumnya. Dan uang dalam jumlah sangat besar sedang mengalir ke rekeningnya. 

Apakah saya menyesal? Jelas! Karena saya bukan hanya kehilangan banyak uang untuk biaya penelitian, tapi juga kehilangan banyak uang yang jelas-jelas telah ada di depan mata!

Tapi sekarang bukan waktu untuk menyesali yang telah terjadi. Sekarang adalah waktu untuk kembali berpikir, bermimpi, dan mengerjakan sesuatu. 

Kamis, 01 Mei 2025

If You Ask Why

6 Underground. 

If you ask why, because the film shows that there are people who think the same as me. It may sound egocentric, but you like people who think the same as you. —@noffret, 25 Desember 2024.

If You Ask Why

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Desember 2024.

Kamis, 01 Mei 2025

Meruntuhkan Peradaban Dulu

Aku perlu meruntuhkan peradaban terlebih dulu. —@noffret, 22 Desember 2024.

Meruntuhkan Peradaban Dulu

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Desember 2024.

Kamis, 01 Mei 2025

Ocehan Ngawur Soal Warteg

Sebagai orang yang biasa makan di warteg selama bertahun-tahun di berbagai tempat, aku tahu betul ocehan ini ngawur. —@noffret, 21 Desember 2024.

Ocehan Ngawur Soal Warteg

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Desember 2024.

Kamis, 01 Mei 2025

Resolusi 2025

Omong-omong soal warteg, salah satu resolusiku tahun depan adalah makan di Warteg Barokah di Cinere.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Desember 2024.

Minggu, 20 April 2025

Ujian Terbesar dalam Hidup

“Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but none about his or her own.” -- Paulo Coelho (@MindWisdomMoney, 20 April 2022)

Sering kali memang begini. Kita merasa tahu apa yang terbaik untuk orang lain, apa yang harus dilakukan orang lain, dan segala hal tentang orang lain, tapi kita kadang tidak tahu apa yang terbaik bagi diri sendiri. Lebih ironis, kita bahkan tidak menyadari siapa diri kita.

Jadi kepikiran.

Pernah bertanya-tanya, apa ujian terbesar setiap orang dalam hidup?

Sambil nunggu udud habis.

Jika kita dikaruniai usia sampai ribuan tahun, hingga bisa melihat banyak hal di dunia, kita akan menyadari bahwa ujian terbesar setiap orang dalam hidup bukan menggapai cita-cita, bukan menjaga kesehatan, juga bukan mencari pasangan.

Ujian terbesar setiap orang dalam hidup...

Ujian terbesar setiap orang dalam hidup adalah kemampuan membebaskan setiap orang lain menjadi diri mereka sendiri, kebesaran hati untuk menerima setiap orang dengan segala keunikan manusiawi mereka, dan kesadaran bahwa kita semua berbeda dengan segala latar belakang dan pikiran.

Kemampuan membebaskan setiap orang menjadi diri mereka sendiri—itulah ujian terbesar setiap orang, dan, diakui atau tidak, sebagian besar dari kita gagal.

Kita sering merasa lebih tahu tentang orang lain, tentang hidup mereka, lalu ingin orang lain harus begini, harus begitu.

Entah bagaimana, kita sering lupa bahwa SETIAP ORANG BERBEDA DENGAN KITA. Secara fisik maupun psikis. Berbeda latar belakang, berbeda pengalaman, berbeda pemikiran, dan masing-masing kita kemudian menjalani kehidupan berdasarkan aneka perbedaan yang kita alami dan kita jalani.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, bisa panjang sekali, dan usia kalian jelas tidak akan cukup.

Jadi, untuk mempersingkat ocehan—karena ini juga cuma nunggu udud habis—dan agar tidak terjadi kesalahpahaman, mari kita gunakan contoh-contoh nyata yang bisa dipahami siapa pun.

Contoh. Ada pria yang tidak/belum menikah, padahal kita menganggap dia sudah layak menikah. Kita berpikir, dia seharusnya sudah menikah, lalu kita menyindir, menyinyiri, sampai bertanya-tanya "kapan kawin?" kepadanya. Kita bersikap seolah-olah tahu apa yang terbaik bagi dirinya.

Kita bersikap seolah-olah tahu apa yang terbaik bagi dirinya... padahal kita sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang kehidupannya.

Bisa jadi, dia sengaja tidak buru-buru menikah karena memang belum siap, masih punya tanggungan keluarga (menghidupi orang tua dan adik-adik), dlsb.

Kita tidak pernah BERTANYA kenapa dia tidak/belum menikah, tapi kita langsung MENGHAKIMI bahwa dia seharusnya sudah menikah!

Pernahkah kita bertanya-tanya, "Aku ini siapa, sampai merasa berhak mengatur-atur kehidupannya? Dia mungkin punya pemikiran lain yang tidak aku tahu."

Beda soal kalau, misalnya, ada pria yang tidak/belum menikah, lalu mengganggu istri orang lain, atau semacamnya.

Tapi kalau seseorang tidak/belum menikah, dan dia tidak mengganggu siapa pun, bisakah kita juga tidak mengganggu kehidupannya? 

Itulah ujian terbesar setiap kita.

Contoh lain. Ada orang yang sifat, kepribadian, maupun kebiasaannya, benar-benar berbeda dengan kita. Bisakah kita membebaskan dia untuk tetap jadi dirinya sendiri tanpa harus kita recoki dengan "seharusnya kamu begini", dan "seharusnya kamu begitu"?

Itu ujian, dan kita gagal.

Padahal aturannya sederhana: Jika orang lain berbeda dengan kita, dan dia tidak mengganggu atau merugikan siapa pun, ya biarkan saja.

Jika kita memang merasa tidak cocok dengannya, ya berarti kita bukan orang yang tepat menjadi temannya. Kita bisa mencari orang lain yang cocok.

Ironi kebanyakan orang adalah; kita tidak menyukai sifat atau kepribadian seseorang karena berbeda dengan kita, tapi ingin kenal dan berteman dengannya, lalu berusaha mengubah orang itu sesuai keinginan kita!

Itulah ironi paling menyedihkan tentang manusia.

Lha kita ini siapa?

Karenanya benar yang dikatakan Paulo Coelho, “Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead their lives, but none about his or her own.”

Kita merasa sangat tahu tentang orang lain, dan, di sisi lain, kita sebenarnya tidak tahu apa-apa tetang diri sendiri.

Seperti yang kukhawatirkan tadi, ocehan ini masih panjang sekali... tapi ududku habis.

"Kalau udud habis itu mbok nyulut lagi, jangan ocehan dipotong padahal belum selesai..."

Tolong katakan itu pada Philip Morris!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Oktober 2022.

Minggu, 20 April 2025

Wisata Bocah

Aku jadi ingin menggelar (((( wisata bocah )))). Appeeuhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2020.

Minggu, 20 April 2025

Jembatan Kaca di Cina

Setiap kali melihat orang-orang melangkah di titian kaca Cina, aku selalu terbayang sirathal mustaqim. "Ada yang melesat seperti kilat, ada yang berlari, ada yang berjalan pelan, ada yang merangkak..." (meski tentu tidak ada yang jatuh ke neraka).

Titian kaca ini mungkin yang model baru, pakai sensasi retak saat kaca diinjak. Padahal tanpa sensasi retak seperti itu pun sudah sangat mengerikan. Kita melangkah di atas kaca bening, di sebuah jembatan yang tergantung ratusan meter di atas tebing. Rasanya tak karuan.

Titian kaca itu dibangun dengan tujuan "agar para wisatawan bisa menikmati keindahan pemandangan di bawah." Kenyataannya, kebanyakan wisatawan yang melangkah di atas kaca itu pada mikir, "KEINDAHAN PEMANDANGAN DI BAWAH APAAN? INI KAPAN SAMPAI UJUNG, BANGSAT? MAU MATI RASANYA!"

Sangat langka orang yang bisa melangkah santai di jembatan kaca itu. Apalagi sampai selo "menikmati pemandangan di bawah". Saat sudah masuk area jembatan, rata-rata mereka akan jalan cepat, agar cepat sampai. Sebagian ada yang merangkak, dan tidak sedikit yang sampai menangis.

Seorang teman, bernama Salman, pernah melewati jembatan kaca itu, dan dia misuh-misuh sepanjang jalan. Waktu ditanya apakah dia bersedia liburan ke sana lagi, Salman dengan mantap menjawab, "Ora sudi! Mending ndusel nang hotel!"

Aku sepakat dengannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2020.

Minggu, 20 April 2025

Fakta Ironis Manusia

Fakta ironis manusia (1):

Ada hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah, jika kita berpikir sederhana, tapi kita justru mempersulit diri dengan melakukan hal-hal rumit. 

Fakta ironis manusia (2):

Orang bisa melakukan kesalahan, tapi merasa benar, bahkan menganggap orang lain yang salah. Tak cukup berhenti di situ, dia dengan pede menyebarkannya pada orang-orang lain, bahwa dirinya tidak salah. Tapi kita tahu, dia salah!

Fakta ironis manusia (3):

Orang bisa begitu bodoh, tapi merasa dirinya sangat pintar, bahkan menganggap orang lainlah yang bodoh. Sebegitu merasa pintar, dia sampai mengajak orang-orang lain agar sama bodoh seperti dirinya. Ini konyol, dan kita tahu.

Mau lanjut biar genap sampai 100. Tapi ududku habis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 November 2022.

Minggu, 20 April 2025

Gelegar Toa Masjid dan Tangis Sunyi Orang Miskin

Saban Jumat, pengurus masjid mengumumkan jumlah uang sumbangan yang masuk dari jemaah. Nominal terakhir sudah mencapai 200 jutaan. Dan jumlah itu tentu akan terus naik seiring waktu.

Dari waktu ke waktu, jumlah nominal yang diumumkan terus naik dan terus naik. Sekilas itu terdengar bagus, tapi juga membuat sebagian orang bertanya-tanya, kenapa hasil sumbangan hanya terus dikumpulkan dan tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat?

Di komputerku, ada catatan (yang kutulis untuk kubaca sendiri), berjudul "Wanita yang Menangis Setiap Jumat". Kisahnya terkait sumbangan yang terkumpul di masjid, yang tidak pernah digunakan, bahkan sekadar untuk meringankan beban hidup orang-orang yang tinggal di sekitar masjid.

Dalam tulisan itu, aku mengisahkan (pada diriku sendiri) tentang wanita yang hidup di belakang masjid, di rumah nyaris ambruk, bersama dua anaknya yang masih kecil. Suaminya telah meninggal, dan si wanita menyambung hidup dengan berjualan jajan, yang hasilnya tak seberapa.

Setiap Jumat, wanita itu mendengar pengurus masjid mengumumkan dengan bangga bahwa uang yang terkumpul di masjid sudah mencapai ratusan juta; pengumuman yang membuat si wanita menangisi nasibnya, kemelaratannya, anak-anaknya yang kelaparan, dan Tuhan yang entah ada di mana.

Kita hidup di dunia yang tidak adil, bahkan sejak masih menjadi janin. Kita hidup di antara ketimpangan-ketimpangan, bukan hanya antara yang kaya dan yang miskin, tapi juga antara kemegahan masjid yang suaranya menggelegar dan tangis sunyi orang-orang nelangsa yang kelaparan.

Toa masjid tak henti bersuara, mengabarkan surga di balik langit, tapi mungkin lupa bahwa yang paling dibutuhkan orang-orang kelaparan hanyalah makanan. Akan lebih baik kalau tugas pengurus masjid tak hanya mengumumkan kekayaan, tapi juga memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat.

Aku ingin, suatu saat di hari Jumat, mendengar pengurus masjid mengumumkan, "Kas masjid saat ini nol, karena semua sumbangan jemaah sudah dimanfaatkan sebaik-baiknya, sampai rupiah terakhir. Laporan lengkapnya bisa dilihat di papan depan."

Aku bersumpah akan menyumbang lagi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Februari 2020.

Minggu, 20 April 2025

Sebenarnya Rahasia Umum

Meski aku tidak/belum menikah, aku tahu kenyataannya memang seperti ini:
@noffret


Standar sih. 

Kalau cewek: kawin lalu merasa gak jadi dirinya sendiri dan kehilangan mimpi-mimpi besarnya.

Kalau cowok: kawin lalu merasa seks lama-lama sudah gak asik dan menyenangkan lagi

Kalau bikin film yang dibalik, baru menarik 

@tunggalp


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Desember 2019.

Minggu, 20 April 2025

Ternyata Berbahaya

Lagi baca jurnal, ternyata pestisida jauh lebih berbahaya daripada yang mungkin kita kira. Salah satunya menyumbang faktor risiko kanker, dan ini menjawab kenapa kasus kanker saat ini begitu tinggi.

Masalahnya, di mana kita bisa mendapat makanan alami tanpa paparan zat kimia?

Hal tak terduga lain, yang ternyata lebih berbahaya dari yang mungkin kita kira adalah air (selain air sumur) yang kita konsumsi di rumah, yang ternyata juga terpapar zat kimia. Air yang diolah (seperti PAM atau air isi ulang) memang menggunakan zat kimia untuk menjernihkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Desember 2019.

Minggu, 20 April 2025

Bersyukur Tidak Punya Pacar

Malam Minggu, dan hujan deras banget. Aku bersyukur tidak punya pacar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2020.

Minggu, 20 April 2025

Kok Iso?

Kok iso mirip ngono? 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2020.

Minggu, 20 April 2025

Bandos

Di tempatku, nama jajanan ini adalah bandos. Tapi ternyata di tempat lain punya nama berbeda-beda. Ini menarik, setidaknya bagiku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Januari 2020.

Minggu, 20 April 2025

Wakfun

Oh, wakfun.

Kamis, 10 April 2025

Sejarah Tak Pernah Adil

Omong-omong soal Gaddafi...

Sambil nunggu udud habis.

Gaddafi (nama aslinya Muammar Khadafi) mungkin bukan pahlawan, tapi dia juga tidak sebajingan yang diocehkan Amerika. 

Tapi sejarah, seperti kata Napoleon, “ditulis oleh pemenang”. Kita mungkin bisa menyaksikan sejarah Gaddafi secara utuh, tapi tidak bagi anak cucu kita kelak.

Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab, “assyajar” (syajaratun), yang artinya “pohon”.

Di masa lalu, penggunaan kata sejarah (assyajar) hanya mengacu pada asal usul atau silsilah seseorang. Seiring perkembangan, kata sejarah merujuk pada segala yang lampau, termasuk peristiwa.

Seperti yang dibilang tadi, kita saat ini masih bisa melihat/mempelajari sejarah Gaddafi relatif utuh, karena Gaddafi baru tewas pada Oktober 2011, atau sebelas tahun yang lalu. 

Tapi, seperti yang terjadi pada yang lain, sejarah Gaddafi akan terus mengalami erosi dan distorsi.

Karena sejarah [selalu] ditulis oleh pemenang, dan mereka merasa punya hak untuk melakukannya. 

Meski kelak pihak yang kalah juga akan menulis sejarah mereka sendiri, kita tahu upaya itu tidak akan terlalu berarti, karena sejarah versi pemenang telah telanjur terdoktrinasi.

Kita bisa melihat contoh ini secara sempurna pada, misalnya, Adolf Hitler dan Mahatma Gandhi. 

Kita tidak menyaksikan sosok dan kehidupan mereka, karena kisah mereka telah berlalu puluhan tahun lalu, jauh sebelum kita lahir. Kita hanya mengenal mereka dari buku-buku sejarah.

Dan apa yang kita dapatkan dari buku-buku sejarah? Bahwa Mahatma Gandhi adalah seorang pahlawan, dan bahwa Adolf Hitler adalah seorang bajingan. 

Dalam sejarah, kehidupan begitu hitam-putih, dan manusia hanyalah sosok-sosok tak berarti yang bisa dipoles dengan warna apa pun.

Sejarah begitu fasih menulis kejahatan Adolf Hitler, sebagaimana sejarah begitu mulus menulis kemuliaan Mahatma Gandhi. 

Adolf Hitler, dalam rekaman sejarah, mewujud sesosok monster yang hanya berisi kejahatan. Dan, di sisi lain, Gandhi mewujud sosok manusia mulia tanpa cela.

Yang tidak pernah atau setidaknya jarang dikatakan sejarah adalah... Gandhi dan Hitler sebenarnya berteman! 

Ketika Gandhi memperjuangkan bangsanya dari penjajahan Britania, Hitler mendukung Gandhi, dan mereka kerap berkorespondensi, dan Gandhi menyebut Hitler sebagai “Temanku”.

Lebih jauh, Gandhi bahkan mengatakan, dalam suratnya kepada Hitler, “Saya tidak percaya hal-hal buruk yang dikatakan orang tentang Anda.” 

Gandhi bisa melihat Hitler secara utuh, karena dia benar-benar mengenal Hitler, bukan hanya sebagai sosok asing yang sekadar “katanya”.

Adolf Hitler, bagi Gandhi, hanyalah manusia biasa, yang mungkin memiliki keburukan, tapi juga memiliki kebaikan. 

Tapi sejarah tak pernah adil, kita tahu, khususnya kepada Hitler. Dan sejarah juga tidak akan adil pada antagonis, termasuk pada Saddam Hussein atau Muammar Gaddafi.

Ini adalah catatan sejarah yang berisi kebaikan-kebaikan Adolf Hitler ketika ia memimpin Jerman—sesuatu yang tidak akan diajarkan guru-guru sejarah mana pun di dunia. 

Kalian akan terkejut dan tercengang membaca isinya.


Ketika Adolf Hitler menjadi pemimpin Jerman, dia dicintai rakyat Jerman, dan itu bukan tanpa alasan.

And then, bagaimana dengan Gandhi? Sebenarnya, Gandhi juga bukan orang sempurna. Jika aku harus menulisnya secara jujur dan apa adanya, isinya bisa membuat kalian eneg. 

Tetapi, jauh lebih aman menulis kebaikan seorang bajingan, daripada mengungkap keburukan seorang pahlawan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Oktober 2022.

Kamis, 10 April 2025

Sendirian

Omong-omong soal sendirian...

Sambil nunggu udud habis.

Aku telah melakukan ini bertahun-tahun. Makan sendirian di mana pun, belanja ke swalayan sendirian, nonton film sendirian, ke mana-mana sendirian. Aku bahkan menemui orang-orang tak dikenal di tempat yang jauhnya bermil-mil... sendirian.

Kita akan tahu seperti apa aslinya diri kita, saat berada di tempat yang tidak seorang pun mengenali kita.

Berjalan-jalan di tengah malam di kotamu sendiri, misalnya, akan jauh berbeda rasanya saat kamu berjalan-jalan di tengah malam di kota lain, dan tak seorang pun mengenalmu.

Saat sendirian, kita akan menyadari bahwa kita tidak bisa mengandalkan siapa pun, selain diri sendiri. Itu akan membuka topeng siapa pun.

Karenanya, kalau kamu ingin tahu seperti aslinya seseorang, bawa dia ke tempat yang tidak seorang pun mengenali [apalagi peduli] kepadanya.

Tanpa sadar, kita sebenarnya "mengikatkan diri" dengan lingkungan tempat kita tinggal. Karenanya, banyak orang merasa "aman" saat berada di tempat tinggalnya, karena berpikir orang-orang mengenali [dan akan peduli] kepadanya. Perasaan itu, disadari atau tidak, membuat kita lemah.

Orang akan benar-benar terlihat aslinya saat berada di tempat yang tidak seorang pun mengenalinya. Mau tidak mau, dia harus jadi dirinya sendiri... dan itu akan mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya.

Karenanya, terbiasa sendirian tidak membuatmu lemah. Itu membuatmu kuat.

Jangan mudah terkesan apalagi tertipu oleh gaya seseorang, jika dia ada di tempat yang sudah dia kenal, dengan orang-orang yang mengenalinya. 

Kamu baru akan tahu seperti apa aslinya, jika dia berada di tempat asing, jauh dari tempat tinggalnya, dan tak seorang pun mengenalinya.

Jika—entah bagaimana dan entah dengan alasan apa—kita perlu bertemu, kamu bisa pegang kata-kata ini: Aku akan menemuimu sendirian, di mana pun tempat pertemuannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 November 2022.

Kamis, 10 April 2025

Tengah Malam

Tengah malam di sebuah kota 
Jalanan sunyi lengang 
Seorang lelaki berdiri, diam 
Menatap rembulan 
Langit gelap 
Lolong serigala terdengar


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Kamis, 10 April 2025

Bencana Bukan Dark Joke

Lama-lama kok gerah juga ya, lihat bencana-bencana dijadikan konten humor murahan yang sama sekali tak lucu, tapi berdalih dark joke, dan menuduh orang-orang lain yang tak bisa menerimanya sebagai "tidak open minded".

Jika yang disebut open minded adalah bisa menerima dark joke, dan jika yang disebut dark joke adalah menjadikan bencana kemanusiaan sebagai humor murahan yang tak lucu, aku tak peduli jika disebut tidak open minded hanya karena tidak paham dark fuckin' joke.

Menggunakan bencana sebagai konten humor yang sama sekali tidak lucu, lalu berdalih itu dark joke. Sebenarnya, justru perilaku tanpa empati "menjadikan bencana sebagai humor" itulah dark joke dalam arti sebenarnya! Yang dark buka joke-nya, tapi pelakunya. 

Menjadikan bencana kemanusiaan sebagai materi konten yang dianggapnya lucu, dan menyebut dark joke, lalu menuduh orang lain yang tak bisa menerima sebagai "tidak open minded". Justru yang tidak open minded itu si pembuat joke. Sebegitu tidak open minded, sampai tidak tahu empati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Januari 2020.

Kamis, 10 April 2025

Gemes Lihat Buku Tebal

Lihat buku-buku baru, tebal-tebal, langsung gemesssssh... ingin baca semuaaaaah! Aku kudu piye, ya Allah?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Februari 2020.

Kamis, 10 April 2025

Tahu-tahu Udah Sore

Sejak bangun tidur tadi terus asyik baca buku, tahu-tahu udah sore.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2020.

Kamis, 10 April 2025

Orang Kok Bisa Asyik Pacaran?

Orang-orang yang bisa asyik pacaran itu... gimana ceritanya? Sementara aku menganggap pacaran sebagai hubungan penuh beban sekaligus membosankan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2020.

Kamis, 10 April 2025

Cokelat Hangat di Cuaca Dingin

Hujan, banjir, dan dingin gini, secangkir cokelat hangat sepertinya pilihan yang tepat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2020.

Kamis, 10 April 2025

Anak Kecil Lucu

Kalau lihat anak kecil lucu gitu, jadi pengin punya anak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2020.

Kamis, 10 April 2025

Untuk Apa

Untuk apa punya pemerintah
Kalau hidup terus-terusan susah
Iwan Fals, Desa


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Februari 2020.

Selasa, 01 April 2025

Kutukan Paling Mematikan

Barusan nyari anget-anget ke warung bakso. Di warung ada 3 laki-laki yang lagi ngobrol. Salah satunya terdengar berkata, "Wanita tuh kalau diluruskan ya Allaaaaaah, sulitnya setengah mati! Entah cuma istriku, atau memang semua wanita begitu?"

Temannya terdengar menyahut...

"Kayaknya semua wanita emang gitu," sahut si teman. "Soalnya istriku juga gitu. Kalau diajak omong sulitnya minta ampun! Jadinya sering makan ati."

Istilah "diluruskan" dan "diajak omong" dalam percakapan itu mungkin maksudnya konotatif. 

Laki-laki ketiga mengatakan hal serupa.

"Kalau apa-apa, mending tak kerjakan sendiri," kata laki-laki ketiga. "Daripada ajak omong istri, ujung-ujungnya malah ribut, gak ada hasilnya apa-apa."

Aku duduk di sebelah meja mereka. Sambil makan bakso, percakapan mereka sangat jelas terdengar. Dan aku tersenyum, diam-diam.

Sebelumnya, aku juga sering mendengar para wanita saling curhat dan mengobrolkan suami mereka. Percakapan-percakapan mereka juga sebelas dua belas dengan yang tadi kudengar. Para wanita itu saling mengeluhkan suaminya. 

Di media sosial semacam Instagram, orang-orang pamer kemesraan dengan pasangan. Mereka berani menunjukkan muka, bahkan menebar senyuman seolah pasangan paling bahagia di dunia. Tapi di akun semacam Cermin Lelaki (yang jujur dan apa adanya), tidak ada yang berani pasang muka.

Karena pernikahan, setidaknya dalam pikiranku, adalah kehidupan tertutup topeng yang memberi tahu dunia bahwa mereka baik-baik saja, padahal tidak. Itu kehidupan yang jelas penuh tekanan. Sebegitu tertekan, sampai mereka butuh akun semacam Cermin Lelaki untuk sekadar curhat.

Setiap pilihan tentu mengandung konsekuensi, baik pilihan untuk menikah atau pilihan untuk melajang. Yang paling bangsat adalah orang-orang yang menikah, lalu sok bahagia padahal diam-diam tertekan, dan hobi menyuruh-nyuruh serta menyinyiri orang-orang lain agar cepat kawin.

Aku bisa tahu apakah perkawinanmu bahagia atau tidak, dengan melihat apakah cocotmu terjaga atau tidak. Kalau kau suka nyinyir dan menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin agar bahagia dan bla-bla-bla, bahkan iblis di neraka pun tahu... jauh di lubuh hatimu kau tidak bahagia.

Pernah ada keparat tolol yang saban waktu menyuruh-nyuruhku cepat kawin, dengan segala bujuk rayu memuakkan. Ketika kutanya, kenapa suka menyuruh-nyuruhku kawin, dia menjawab, "Karena aku kasihan melihatmu."

Oh, well, kasihan melihatku!

Padahal aku justru kasihan melihatnya!

Ujian perkawinan yang tidak pernah dikatakan siapa pun kepadamu:

Kalau kau bahagia bersama pasanganmu, masalahmu adalah anak. Kalau kau bahagia dengan pasanganmu dan punya anak, masalahmu adalah uang. Kalau kau bahagia dengan pasanganmu dan punya anak serta uang, masalahmu...

...adalah kesehatan. Kalau kau bahagia bersama pasanganmu, punya anak, uang, juga sehat, masalahmu adalah kesetiaan. Kalau kau bahagia dengan pasangan dan anakmu, serta punya uang, sehat, dan saling setia, masalahmu adalah keluarga.

Dan hanya sedikit yang lolos dari kutukan itu.

Tentu saja aku percaya ada orang-orang yang bahagia dalam perkawinan, tapi hanya segelintir! Dalam statistik, jumlahnya paling nol koma sekian. Selebihnya bergelimang masalah dan saling tertekan diam-diam. Wong hidup sendiri saja bisa penuh masalah, apalagi hidup dalam ikatan.

Karenanya, bocah-bocah Amerika punya guyonan, "Kutukan paling mematikan sebenarnya bukan 'Avra kedavra', tapi 'Hari ini kunikahkan kalian'."

"Avra kedavra" mengakhiri masalah. Tapi "Hari ini kunikahkan kalian" memulai masalah. Dalam bayanganku, itu seperti membuka Kotak Pandora.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2020.

 
;