Senin, 01 Desember 2025

Menjenguk Orang Sakit

Salah satu etika yang saya pikir jarang dipahami kebanyakan orang adalah etika menjenguk orang sakit. Banyak orang menjenguk orang sakit saat masih dirawat di rumah sakit, sementara sakitnya tergolong parah. Menurut saya, itu kurang tepat. Yang baik adalah menunggu orang sakit itu pulang dari rumah sakit terlebih dulu, baru kita menjenguk ke rumahnya. Hal ini, khususnya, jika kita tidak punya hubungan keluarga dengan si orang sakit.

Ketika seseorang sakit, dan ia dirawat di rumah sakit, kondisinya sering kali tidak memungkinkan untuk menerima kedatangan orang yang datang menjenguk, apalagi jika ramai-ramai, apalagi jika yang datang bukan keluarganya. Bukannya senang, bisa jadi ia malah terganggu atau tidak nyaman.

Kalaupun kita “maksa” ingin menjenguk seseorang yang sakit di rumah sakit—terlepas apa pun alasannya—ada baiknya untuk minta izin terlebih dulu pada keluarga si sakit. Jika pihak keluarganya mengizinkan, silakan datang. Jika tidak diizinkan, sebaiknya tunggu si sakit pulang dulu ke rumahnya.

Orang yang pulang dari rumah sakit belum tentu sudah sembuh. Bisa jadi kondisinya membaik dan dokter mengizinkannya pulang. Di saat itulah kita bisa menjenguk ke rumahnya. Biasanya, si sakit dalam keadaan sadar, dan bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Biasanya pula, si sakit senang dengan kunjungan tersebut.

Beda ketika seseorang masih dirawat di rumah sakit. Umumnya, perawatan di rumah sakit melibatkan infus, selang oksigen, dan lain-lain, yang menyebabkan kondisi pasien tidak nyaman untuk dilihat. Kalau kita yang melihatnya saja tidak nyaman, apalagi si pasien yang menjalani? Jika dalam kondisi semacam itu kita menjenguknya, bisa jadi pasien merasa tidak nyaman atau terganggu.  

Ada pula orang masuk rumah sakit dan menjalani operasi, misalnya. Ketika menjalani operasi, pasien akan dibius agar kehilangan kesadaran. Ketika terbangun dari operasi—karena operasinya sudah selesai—pengaruh obat bius mungkin belum hilang, dan kadang si pasien melakukan atau mengatakan hal-hal yang “aneh”, “ajaib”, atau malah “tidak sopan” dan lain sebagainya. 

Ketika pasien dalam kondisi semacam itu lalu kita menjenguknya, itu sangat tidak tepat. Si pasien, yaitu orang yang kita jenguk, tidak dalam keadaan siap menerima kunjungan orang lain. Karena bisa jadi si pasien [dan keluarganya] akan merasa malu, terganggu, atau tidak nyaman.

Tempo hari, ketika saya masuk rumah sakit, sedari awal saya sudah paham bahwa saya akan menjalani operasi. Jadi, sejak dari rumah, sebelum berangkat ke rumah sakit, saya berpesan pada keluarga agar tidak memberi tahu siapa pun kalau saya masuk rumah sakit. Tujuannya agar tidak ada yang menjenguk saya selama di rumah sakit.

Operasi medis membutuhkan pembiusan; kadang bius lokal, kadang bius total. Dalam kasus saya, pembiusan total dilakukan hingga saya benar-benar tidak sadar. Operasi itu berlangsung lancar. Namun, usai operasi dan saya dikembalikan ke kamar perawatan, efek biusnya mungkin belum hilang. Akibatnya, saya “meracau” tanpa sadar.

Kalian mungkin pernah mendengar cerita “aneh” atau “lucu” tentang orang-orang yang baru terbangun [sadar] dari operasi medis. Ada yang bertingkah tak karuan, ada yang menanyakan hal-hal tak masuk akal, ada pula yang tiba-tiba berbicara dalam bahasa asing.

Di Belanda, misalnya, ada kasus unik semacam itu yang sempat viral pada Mei kemarin. Seorang remaja laki-laki menjalani operasi karena lututnya cedera. Sebagai warga Belanda, ia biasa berbicara dalam bahasa Belanda, menjalani operasi di Belanda, di rumah sakit di Belanda. Namun, saat tersadar dari operasi, ia tiba-tiba berbicara dalam bahasa Inggris, dan merasa dirinya berada di Amerika! Kasus semacam itu disebut foreign language syndrome (FLS), yang kadang terjadi pada pasien operasi.

Saya pun mengalami hal semacam itu, karena mungkin efek bius operasi belum hilang sepenuhnya. Saya terbangun dari ketidaksadaran usai operasi setelah dipindahkan ke kamar perawatan. Ketika sadar, saya tidak langsung mengenali ada di mana, tapi saya melihat adik saya yang waktu itu menemani. Lalu saya mengatakan hal-hal aneh dan tak masuk akal. Adik saya kebingungan, karena tidak paham apa yang saya bicarakan.

Ketika hal itu berlangsung, saya benar-benar tidak sadar!

Belakangan, saya baru tahu soal itu ketika adik saya menceritakannya kepada saya, beberapa hari setelah kami pulang ke rumah. Saya terkejut mendengarnya. Saya mencoba mengingat-ingat peristiwa itu, tapi benar-benar tidak ingat!

Sekarang bayangkan jika saya masih dalam kondisi semacam itu, kemudian ada orang datang menjenguk. Bisa jadi, tanpa sadar, saya melakukan atau mengatakan hal-hal yang akan membuat malu, tidak nyaman, atau bahkan bisa menyakiti perasaan orang yang menjenguk tadi, padahal saya tidak sedang dalam kondisi sadar sepenuhnya, dan tidak sadar pula dengan yang saya lakukan atau saya ucapkan.

Karena itulah sejak awal saya sudah wanti-wanti pada keluarga, agar tidak memberi tahu siapa pun kalau saya masuk rumah sakit. Agar tidak ada yang menjenguk ke sana!

Ketika kemudian saya pulang [ke rumah orang tua], banyak tetangga yang datang menjenguk. Ketika itu terjadi, kondisi saya sudah “waras”, dalam arti bisa diajak berkomunikasi secara sadar. Para penjenguk merasa nyaman, saya yang dijenguk juga merasa senang.

Jadi, kalau boleh menyarankan, jenguklah orang sakit setelah ia pulang ke rumah, bukan saat masih dirawat di rumah sakit. Kalaupun “maksa” mau menjenguk ke rumah sakit, mintalah izin terlebih dulu pada keluarganya. 

Menulis soal ini, saya teringat pada almarhum Saleem Iklim, penyanyi terkenal Malaysia era ’90-an. Di akhir kehidupannya, Saleem dirawat di rumah sakit. Karena artis terkenal, kabar Saleem dirawat di rumah sakit pun cepat menyebar, dan banyak wartawan berdatangan, termasuk dari Indonesia.

Saya kurang tahu Saleem sakit apa, waktu itu. Yang jelas, kondisinya di rumah sakit terlihat memprihatinkan, jauh beda dengan penampilannya yang biasa kita lihat saat menyanyi. Ketika kerumunan wartawan mengelilingi tempat tidurnya di rumah sakit, Saleem berkata, “Tolong jangan ada yang memotret saya, karena saya tidak nyaman dengan kondisi saya sekarang.”

Dasar wartawan, ternyata ada yang memotret Saleem waktu itu, mungkin secara diam-diam. Dan dasar wartawan bangsat, foto itu kemudian muncul di situs berita, lalu menyebar ke mana-mana. Itu benar-benar tidak beretika!

Ketika seseorang sakit, apalagi relatif parah dan dirawat di rumah sakit, ia tidak sempat memikirkan penampilan, tidak sempat menyiapkan diri untuk bertemu dengan orang-orang yang mungkin datang, bahkan kadang tidak sepenuhnya sadar. Itulah kenapa menjenguk orang sakit sebaiknya setelah ia pulang ke rumah, atau—kalau memang mau menjenguknya ke rumah sakit—mintalah izin terlebih dulu pada keluarganya, beri tahu kapan akan datang, agar si sakit setidaknya punya persiapan dan kesadaran bahwa ia akan dikunjungi.

Tab Like Orang di Twitter

Di Twitter, ada semacam kecenderungan pada sebagian orang untuk "melihat kepribadian" orang lain melalui tab Likes (Suka) di akunnya. Konon, tab Likes bisa memberitahukan kepribadian si pemilik akun (seperti apa dia sebenarnya). Bisa jadi itu benar, tapi tentu tidak selalu benar.

Memang, banyak dari kita menyimpan "hal-hal yang terkait diri kita" di tab Likes—misal artikel penting, gambar yang indah, pernak-pernik menawan, etc. Me-likes (memasukkan sesuatu ke tab Likes) itu seperti digerakkan alam bawah sadar, semacam representasi yang tidak kita sadari.

Karena latar belakang semacam itu, tab Likes seseorang memang sering kali merepresentasikan dirinya—seperti apa tab Likes-nya, seperti itulah dirinya. Tapi menilai (atau memperkirakan) seseorang hanya berdasarkan tab Likes-nya semata-mata itu sangat riskan, karena rentan keliru.

Dulu, aku pernah mengumpulkan banyak artikel terkait perawatan diri (lebih spesifik; kecantikan). Ada ratusan artikel yang kumasukkan ke tab Likes waktu itu. Jika saat itu ada orang membuka tab Likes di akunku, dan mendapati ratusan artikel kecantikan, kira-kira apa penilaiannya?

Mungkin orang yang membuka tab Likes di akunku waktu itu akan berpikir kalau aku sangat rajin merawat diri (Wrong!). Atau mengira aku bekerja di salon kecantikan (Wrong!). Atau memprediksi aku mengumpulkan banyak artikel itu untuk kutunjukkan ke pacar (Wrong!).

Alasanku mengumpulkan ratusan artikel kecantikan di tab Likes waktu itu, untuk meriset sesuatu yang membuatku penasaran. Yaitu, sebenarnya bagaimana definisi "cantik" di mata wanita? Karena aku mendapati ada perbedaan definisi antara cantik di mata pria dan cantik di mata wanita.

Tak perlu kujelaskan soal itu di sini, karena penjelasannya sangat panjang sekali—mungkin baru selesai tahun 5996. Inti yang ingin kukatakan adalah; yang kita perkirakan terkait orang lain melalui tab Likes di akunnya belum tentu tepat/sesuai seperti yang ada dalam pikiran kita.

Dan hal semacam itu benar-benar pernah terjadi, pernah kualami—itulah kenapa, aku merasa pede menulis ocehan ini.

Dulu, aku pernah me-likes suatu artikel terkait sesuatu, kali ini soal pria. Tujuanku memasukkan artikel itu sepele; nanti kalau selo akan kubaca. Sudah, cuma itu.

Sayangnya, aku tidak segera selo (punya waktu) untuk membaca artikel tadi. Lalu seorang wanita mungkin—dan hampir bisa dipastikan—membuka tab Likes di akunku, dan menemukan artikel itu. Lalu dia merayuku (dalam arti harfiah) dengan "menggunakan" artikel tadi.

And i'm shocked.

Untung ini Twitter. Andai peristiwa itu terjadi di dunia nyata—katakan saja, face to face—kami pasti akan mengalami situasi yang sangat awkward. Dia tidak tahu apa yang dikatakannya; dia hanya mengambil sesuatu dari yang ia kira merepresentasikan diriku, padahal sangat keliru.

“Dont judge a book by its cover.” Mungkin kita juga perlu untuk berhenti menilai (atau mengira, memperkirakan, apalagi menghakimi) seseorang dari tab Likes di akun Twitter-nya. Mungkin itu benar (tab Likes seseorang merepresentasikan dirinya), tapi tidak selalu benar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Agustus 2021.

Terlalu Lempeng

Aku gak kenal Greschinov, juga gak follow akun dia. Cuma, tiap dia bikin geger di Twitter—karena diolok-olok banyak orang, kayak kemarin—aku memikirkan apa kira-kira kesalahan dia... dan gak tahu. Jangan-jangan dia sebenarnya gak salah apa-apa, tapi kita menganggap dia salah?

Kalau menurutku, dia tuh cuma—apa istilah yang tepat, ya?—“terlalu lempeng”. Maksudnya, gak ada mbeling-mbelingnya sama sekali, jadi mungkin kelihatan “aneh” (cupu) di mata kebanyakan anak Twitter yang gahul-gahul. Padahal ya dia gak salah apa-apa, cuma “terlalu lempeng” aja.

Biasanya anak-anak pintar emang gitu—kelihatan aneh, padahal ya gak salah apa-apa. Makanya di sekolah biasanya jadi sasaran bullying teman-temannya. Mestinya budaya semacam itu gak usah diterus-terusin, lah. Dia mungkin beda dengan kebanyakan kita, atau terlalu lugu, ya biar aja.

Apakah Greschinov sadar kalau dia “terlalu lempeng”? Kemungkinan sih nggak. Buktinya dia nyari jodoh yang mau “dibimbing”—cuma orang lempeng yang punya kepercayaan diri setinggi itu. (Aku malah ingin “dibimbing” sama mbakyuku. Apeu.)

Kayaknya kita perlu belajar untuk menerima kenyataan bahwa “berbeda dengan kita bukan berarti kesalahan”.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12-13 Mei 2022.

Mengingatkan

"Tugas kami hanya mengingatkan." | Mengingatkan kok maksa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Januari 2019.

Kamar Pria dan Kamar Wanita

Mengapa kamar wanita biasa rapi, sementara kamar pria cenderung berantakan? Karena wanita membutuhkan ruang agar bisa nyaman, sementara pria bisa membuat dirinya nyaman dengan ruang yang ada (meski berantakan).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Maret 2019.

Kelaparan Jam Segini!

Yang paling menjengkelkan, perut kelaparan jam segini!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Seumur Hidup

Beberapa orang mengira ada orang yang memiliki kesabaran seluas samudra. Dan mereka mengujinya. Lalu menyesal seumur hidup.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2012.

Api Dalam Sekam

Api dalam sekam sering kali berbahaya, karena nyalanya kadang sepanas neraka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Februari 2012.

Berdesir di Hati

Selalu ada yang berdesir di hati setiap kali mendengar ada orang pergi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Ngajak Kangen

Howone ngajak kangen. Apeu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2019.

Minggu, 30 November 2025

Catcalling Itu Tidak Berpendidikan!

Mungkin aku kurang gaul, atau terlalu lama ngobrol dengan ikan. Tapi aku sering tidak paham dengan fenomena sosial yang kadang terjadi antarmanusia—sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah, tapi jadi sulit karena rupanya ada orang-orang yang senang mempersulit diri.

Di dunia nyata, ada fenomena—yang kuanggap aneh—yang disebut catcalling. Cowok melihat cewek lewat, lalu bersiul atau melakukan/mengatakan sesuatu yang ia pikir dapat menarik perhatian si cewek. Aku tidak tahu, benar-benar tidak tahu, apa manfaat melakukan itu (catcalling)?

Apakah tujuan cowok melakukan catcalling agar bisa berkenalan dengan si cewek? Kalau memang itu tujuannya, kupikir sangat aneh, karena itu justru cara yang sulit. Wong ingin kenalan saja sampai pakai aksi catcalling yang jelas akan membuat si cewek tidak nyaman dan justru tak tertarik.

Kalau memang ingin kenalan dengan seorang cewek, jauh lebih mudah mengatakannya langsung, dengan sopan, jelas, dan memastikan pada si cewek bahwa kita ingin kenal dengannya. Simpel, sederhana. Kalau si cewek tidak mau kenalan denganmu, yo wis, lanjutkan hidupmu.

Itu fenomena di dunia nyata yang dulu sering kutemui. Betapa untuk menarik perhatian atau ingin kenalan saja, seseorang sampai melakukan hal sulit dan bikin tak nyaman (catcalling), padahal ada cara yang lebih mudah dan sederhana, yaitu mengajak kenalan langsung dengan sopan.

Di dunia maya, fenomena sosial semacam itu rupanya juga ada, meski dalam bentuk lain. Orang-orang melakukan aneka hal sulit yang bahkan kadang membuat diri mereka frustrasi, hanya untuk menarik perhatian seseorang... padahal ada cara yang lebih mudah dan sederhana.

Contoh, Si A ingin kenal dengan Si B. Tapi Si A berharap Si B yang mengajak kenalan. Si A ingin dekat dengan Si B. Tapi Si A berharap Si B yang mendekati. Si A ingin menjalin hubungan dengan Si B, tapi Si A berharap Si B yang menunjukkan inisiatif. Itu piye, kalau dipikir-pikir?

Dalam perspektifku, jauh lebih mudah kalau Si A yang berinisitif, karena dialah yang punya keinginan. Inisiatif—melakukan langkah yang dirasa baik dan wajar—adalah kewajiban siapa pun yang punya keinginan, khususnya keinginan di antara sesama manusia.

Itu tak jauh beda dengan, misalnya, kita punya hajatan dan berharap para tetangga datang untuk meramaikan. Kita tidak bisa cuma duduk diam dan menunggu tetangga berdatangan. Kita harus berinisiatif, mengundang mereka baik-baik, hingga mereka juga datang dengan nyaman.

Kalau Si A tertarik dan ingin dekat dengan Si B, maka Si A yang harus punya inisiatif—tidak bisa dibalik! Karena tidak ada jaminan Si B juga tertarik kepada Si A, hingga Si A tidak bisa mengandalkan kalau Si B yang akan berinisiatif. Menurutku ini urusan yang sangat sederhana.

Kalau aku tertarik pada seseorang—dan “tertarik” di sini bermakna general—aku akan mengatakannya langsung pada pihak bersangkutan. Jika responsnya positif, aku akan melanjutkan. Jika responsnya negatif, aku akan berhenti. Simpel, mudah, dan semua pihak tetap nyaman.

Begitu pun kalau tertarik secara personal pada perempuan, misalnya. Aku akan berinisiatif, mencoba mendekati. Jika responsnya baik, aku akan melanjutkan. Jika responsnya buruk, aku akan berhenti. Aku tidak ingin membuat dia tidak nyaman, juga tidak ingin menyiksa diri sendiri.

Karena itulah, aku tidak paham dengan fenomena sosial—di dunia nyata maupun di dunia maya—yang kadang dilakukan orang-orang di sekeliling kita. Mereka punya keinginan pada orang lain, tapi justru berharap orang lain yang punya inisiatif terkait keinginan mereka. Itu piye?

Berusaha menarik perhatian orang lain dengan tujuan agar orang itu tertarik kepada kita—dalam apa pun bentuknya—tak jauh beda dengan perilaku catcalling. Itu tidak sopan, selain juga mengganggu dan membuat orang lain tidak nyaman. Mosok hampir 2026 masih juga main catcalling?

Kecuali Versinya

Banyak hal yang tak berbeda, kecuali versinya. Kupikir, begitu pun manusia.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Suara Mengganggu

Bukan boleh tidaknya bersuara yang jadi masalah. Tapi jika suaramu mengganggu atau memekakkan telinga orang sebelahmu, itulah masalahnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Berkomunikasi dengan Anak SMA

Ternyata, jauh lebih sulit berkomunikasi dengan anak SMA daripada dengan profesor. Anak SMA punya setumpuk istilah yang ruwetnya ngujubilah.

Dan... bagaimana cara membaca sandi ruwet yang ditulis anak SMA ini? » "It cbnrx d fbq it y aq dh ptuz 5 dy tp aq yoem zmpt gnt nmx. . ."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2012.

Saat Dilema

 Saat dilema muncul dalam kehidupan nyata. Drama. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2012.

Mimpi yang Pulang

Bagaimana mendefinisikan "mimpi yang pulang"? Khayal menjadi nyata, harap yang mewujud? Atau ilusi yang digenggam seolah kenyataan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2012.

Buku Berjudul Aneh

Ada buku judulnya "Jika Sang Ahmad (Tanpa Mim) Memilih". Dari tadi mencoba memikirkan maksudnya, tapi tetap belum paham juga.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2012.

Mulai Agak Sembuh

Yak, dan timeline makin asyik aja nih kayaknya. Seru! Sepertinya Indonesia mulai agak sembuh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Februari 2012.

Seumur-umur

Seumur-umur punya Twitter, baru kali ini aku ngerasa timeline sangat seru untuk dibaca.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2012.

Jam Segini

Jam segini kerjaan baru selesai. Ingin tidur. Tapi juga kangen rumah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2012.

Menggoda

Cuaca sepertinya tahu menggoda. Waktu aku masih santai di rumah, di luar sangat adem. Sekarang, giliran mau keluar, cuaca memanas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Januari 2012.

Sabtu, 15 November 2025

16 Tahun Menulis Blog

Tanggal 15 November 2009 sepertinya perlu saya catat sebagai hari penting dalam hidup, karena di hari itu saya mulai menulis di blog ini pertama kali, lalu berlanjut, terus berlanjut, sampai sekarang, hingga tanpa terasa sudah 16 tahun. 

Enam belas tahun! 

Ketika pertama kali menulis di blog ini, enam belas tahun lalu, saya tidak tahu sampai kapan akan berlangsung. Yang saya tahu, saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan, yaitu sesuatu yang saya cintai; menulis. Seperti yang pernah saya katakan dalam catatan-catatan sebelumnya, saya menulis di blog ini sebagai catatan diary. Jika sebelumnya saya suka menulis diary di buku, sekarang di blog.

Sejak SMP, saya suka menulis diary—benar-benar di buku diary! Pada masa itu ada buku-buku tulis yang dicetak indah, dengan sampul tebal dan ilustrasi menawan, kadang pula ada yang dilengkapi gembok plus kuncinya! Itulah buku diary, sesuatu yang mungkin tidak lagi dikenal anak-anak zaman sekarang. Faktanya, kalau saya masuk ke toko buku dan peralatan kantor (stationery), hampir tidak pernah lagi saya mendapati buku-buku diary di etalase.

Saya suka mengoleksi buku-buku diary yang indah itu, dan suka menulis di dalamnya. Setiap hari. Tentang apa saja. Hal-hal yang saya alami di sekolah, pengalaman bersama teman-teman, atau aktivitas keseharian yang saya lakukan, pikiran-pikiran di kepala, semua saya tulis di buku diary. Rasanya seperti memiliki tempat curhat yang menyenangkan. Saya bisa bercerita apa saja, menulis apa saja, menertawakan diri sendiri, atau kadang menangisi sesuatu, dan buku diary menampung semua itu dalam lembaran-lembarannya.

Kesukaan menulis diary terus berlanjut sampai SMA, hingga kuliah, hingga buku berisi catatan-catatan pribadi itu bertumpuk-tumpuk saking banyaknya. 

Lalu zaman internet datang, dan blog lahir ke dunia maya. 

Awal ketertarikan saya pada blog adalah saat tahu bahwa blog semacam diary, tapi di internet. Saya pun menengok tumpukan buku-buku diary yang berderet di kamar, dan berpikir, “Mungkin sudah saatnya aku berhenti menulis di buku, dan mulai menulis di internet.” Pikir saya waktu itu, kalau terus menulis diary di buku, tumpukan diary itu akan terus bertambah, sementara kamar saya tidak luas-luas amat.

Jadi, enam belas tahun yang lalu, pada 15 November 2009, saya pun mulai menulis catatan di blog. Pada masa itu internet masih “langka” di kota saya, dan saya menulis catatan-catatan awal blog ini di warnet. Hingga beberapa tahun, catatan-catatan di blog ini saya tulis di warnet, sampai kemudian internet mulai dapat diakses lebih mudah, dan saya bisa menulis catatan-catatan untuk blog ini di rumah. Perpindahan yang membuat saya bisa menulis dengan lebih nyaman!

Di buku maupun di blog, semangat dan tujuan saya menulis diary tetap sama; menuangkan hal-hal yang saya pikirkan, yang saya alami, yang saya rasakan, yang saya gelisahkan, dan yang akan saya baca sendiri! Ya namanya juga diary!

Meski begitu, saya menyadari bahwa kali ini saya menulis diary di internet, dan tidak menutup kemungkinan catatan diary saya akan ditemukan orang-orang lain yang kemudian ikut membacanya. Saya tentu tidak mempermasalahkan hal itu, dan senang kalau ada orang-orang yang ikut membaca catatan saya dan mendapat manfaat dari catatan-catatan yang saya tulis, sekecil apapun manfaat itu.

Tetapi, bagaimana pun, tujuan awal saya menulis di blog ini adalah sebagai diary yang akan saya baca sendiri. Karena itu, prinsip saya dalam ngeblog sederhana, “Jika ada orang lain yang ikut membaca ya silakan, kalau tidak ada yang membaca juga tidak apa-apa.” Karenanya, sejak awal ngeblog, saya sama sekali tidak terbebani dengan jumlah pembaca, tidak terobsesi jadi seleblog (atau selebblog; selebritas di dunia blogger), sekaligus menjadi alasan saya tidak menyediakan kolom komentar di blog. Saya hanya ingin menulis. Untuk saya baca sendiri. Egois, tapi ini diary!

Dan blog yang “egois” ini sekarang telah berusia 16 tahun. Benar-benar keegoisan yang menyebalkan!

Belakangan, saya terpikir untuk juga memasukkan catatan-catatan saya di Twitter (yang sekarang berubah nama jadi X) ke blog ini. Hal itu dilatarbelakangi kejadian mengesalkan yang saya alami. Jadi, di Twitter dulu ada akun yang saya ikuti, dan saya sering memfavoritkan twit-twit akun tersebut. Tapi kemudian akun itu hilang entah ke mana, dan twit-twit bagusnya—yang telah saya simpan di tab favorit—ikut hilang. Saya sangat menyesali hal itu. 

Karena kejadian tersebut, saya lalu terpikir, “Apa jadinya kalau akunku, entah bagaimana, tiba-tiba hilang dan tidak dapat diakses?” Meski kekhawatiran itu mungkin terlalu berlebihan, saya jadi terpikir untuk “menyelamatkan” catatan-catatan saya di Twitter dengan cara mentranskripnya ke blog. Catatan-catatan saya di Twitter tentu tidak penting-penting amat, tapi itu bagian dari diri saya. Lagi pula, Twitter telah dianggap diary bagi banyak orang. Jadi apa salahnya kalau saya memindahkan catatan diary di Twitter ke diary di blog?

Well, selama 16 tahun menulis di blog, apa yang saya dapatkan? Kesenangan! Dan kepuasan batin, kalau boleh saya tambahkan. Blog ini adalah tempat saya menulis apa saja, tempat saya bersenang-senang, sekaligus tempat saya terus mengasah kemampuan menulis. Jangan lupa, saya penulis! Sebagai penulis, saya harus terus melatih, mengasah, dan menjaga kemampuan menulis, agar kemampuan itu tidak aus dan hilang.  

Dengan terus menulis dari waktu ke waktu—juga mentranskrip catatan-catatan dari Twitter ke blog—saya bisa menilai, introspeksi, mengoreksi tulisan sekaligus diri saya sendiri, memperbaiki kekurangan di sana-sini, agar tulisan—dan semoga juga diri saya—terus lebih baik. Setidaknya ada lebih dari 4.000 catatan di blog ini—tepatnya 4.045 catatan yang terpublikasikan—dan ribuan catatan itu tentunya dapat menjadi pembelajaran, khususnya bagi saya pribadi.

Omong-omong soal itu, tempo hari saya bertemu teman kuliah saat lagi makan mi ayam di warung. Teman kuliah itu bernama Teguh. Kami pun ngobrol, dan Teguh mengatakan dia rutin membaca blog ini. Teguh menyatakan, “Tulisan-tulisanmu yang sekarang tidak sesangar dulu!”

Jadi, zaman kuliah dulu, saya bikin majalah yang seluruh isinya saya tulis sendiri, lalu saya cetak sendiri, dan menjualnya ke mahasiswa di kampus. Majalah itu dibaca ribuan mahasiswa, termasuk Teguh. Yang membuat banyak mahasiswa antusias pada majalah itu [mungkin] karena topik-topiknya kontroversial, dan saya menulisnya secara frontal—sesuatu yang mungkin baru mereka temukan. 

Ketika bertemu tempo hari, Teguh membandingkan tulisan-tulisan saya di majalah itu dengan tulisan-tulisan saya sekarang di blog. Menurut Teguh, “Tulisan-tulisanmu sekarang jauh berbeda dengan yang dulu. Sekarang lebih kalem dan lebih santun.”

Saya mengatakan, “Mungkin karena usia, ya. Dulu masih belia, masih meledak-ledak. Sekarang lebih kalem.”

Saya tidak tahu akan sampai kapan menulis di blog. Yang jelas, usia blog ini terus bertambah, begitu pula usia saya. Seiring pikiran semakin matang dan kesadaran terus terasah, saya berharap bisa menulis lebih baik, sekaligus menjadi pribadi yang juga lebih baik.   

Dunia Ini Penuh Hal-hal Mbuh

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, dan memikirkan betapa dunia ini penuh hal-hal mbuh.

Salah satu bocah mengagumkan yang pernah ada di planet ini adalah Orontius Finaeus (1494-1555). Dia bocah “mbah-mbuh” yang bahkan bolak-balik masuk penjara. Tapi meski "mbah-mbuh", dia terkenal sebagai ahli matematika, dan mendapat gelar medis dari Universitas Navarre di Paris.

Pada tahun 1519, dia menemukan proyeksi peta, dan memproduksi peta dunia yang sekarang kita pakai. Pada masanya, peta buatan Orontius Finaeus lebih akurat dibanding peta lain pada waktu itu. Sebenarnya bahkan lebih akurat dibanding peta mana pun yang dibuat sampai tahun 1800. 

Pada tahun 1520, dialah orang pertama yang terpikir menggunakan gerhana bulan untuk menentukan garis bujur sebuah tempat. Pada tahun 1531, dia mendapat gelar kehormatan di Collège Royal Paris, seiring aktivitasnya menulis karya ilmiah. Untuk ukuran bocah “mbah-mbuh”, itu prestasi luar biasa. 

Tapi yang paling mencengangkan dari Orontius Finaeus bukan itu. Pada tahun 1532, dia membuat peta Antartika, dan bisa menggambarkan permukaan Antartika yang tertutup es, aliran sungai, pola pengeringannya, dan lain-lain... padahal waktu itu belum ada orang yang pernah ke Antartika! 

Belakangan, ketika manusia modern mulai bisa merambah kawasan Antartika dan memahami tempat itu seutuhnya, mereka makin tercengang. Garis pantai pada peta Antartika yang dihasilkan Orontius Finaeus sekian abad lalu ternyata sama persis seperti peta Antartika modern saat ini.

Pertanyaannya, tentu saja, dari mana Orontius Finaeus bisa tahu dan memahami Antartika, bahkan sampai detailnya, padahal waktu itu belum pernah ada satu orang pun—termasuk dirinya—yang pernah ke sana? Pertanyaan itu masih misteri, hingga kini. 

Dunia memang penuh hal-hal mbuh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 April 2019.

Apel dan Jatuh

Adam jatuh gara-gara apel. Newton menemukan gravitasi karena kejatuhan apel. Jobs menggunakan logo apel karena jatuhnya seorang ilmuwan.

"Apel" dan "Jatuh" sepertinya berhubungan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Kangen Mbakyu

Semalam aku tidak bisa tidur, karena kangen mbakyu. Sampai pagi mataku tak bisa dipejamkan, karena terus kangen mbakyu.

Sampai akhirnya aku mengantuk, dan tiba-tiba sadar, aku tidak punya mbakyu.

Lalu aku tertidur.

Semesta Bekerja

Seorang seleb TikTok wanita asal Thailand datang ke showroom batik. Dia memilih banyak item—kain, baju, dan lain-lain—dan meminta daftar harganya. 

Setelah minta izin, dia melakukan live di TikTok, menawarkan aneka batik pada jutaan follower-nya. Lalu “keajaiban” terjadi.

Hanya dalam waktu setengah jam, dia telah menjual banyak item, dengan total pembayaran ke pihak showroom batik senilai Rp800 jutaan. Entah berapa keuntungan yang dia dapat dari penjualan itu—dia memakai mata uang Baht Thailand di TikTok—tapi yang jelas dia tersenyum puas.

Secara sederhana, saya merasa melihat cara dunia bekerja. Kamu lahir dari keluarga kaya, punya kehidupan menarik yang bisa dipamerkan di media sosial, hingga memiliki banyak pengikut. Setelah itu, kamu bisa mendapatkan banyak uang, tanpa harus banyak keringat.

Di waktu yang sama, kamu di semesta lain lahir dari keluarga miskin, punya kehidupan penuh trauma, penderitaan, dan air mata. Kamu harus bangun pagi buta untuk berangkat kerja, lalu pulang malam dengan tubuh letih dan lelah, hanya demi uang tak seberapa.

Biarkan semesta bekerja, kata orang-orang. Bagaimana jika semesta bekerja dengan cara menempatkan si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin? Bagaimana jika semesta bekerja dengan cara tidak adil, tapi kita dipaksa percaya bahwa itulah keadilan takdir?

Harapan

Harapan kadang-kadang melukai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Quem Não Está

E quem decide as coisas aqui sou eu, não é padre, pastor, monge ou pai de santo! Quem não está satisfeito mete o pé, o Paraguai é logo ali.

Entahlah, apapun maksudnya. Tapi aku menyukai artinya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2012.

Suatu Hari Saya Sadar

Bahwa kehidupan ini sungguh sia-sia jika tidak bisa menikmati kelembutan karamel hitam. 

Perihnya Kebodohan

Kalau kau tidak tahan menanggung lelahnya belajar, kau harus siap menanggung perihnya kebodohan. —Imam Syafii


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Maret 2019.

Berkat

Tidak tahu adalah berkat. Apalagi tahu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Februari 2012.

Sabtu, 01 November 2025

Bersyukur Melihat Orang Lain Susah

Di Twitter, dulu pernah ada keributan tentang “cara orang bersyukur”. Kita mungkin masih ingat tweet seseorang yang terkenang penjual jajan di sekolahnya yang dari dulu sampai sekarang tidak berubah, sementara dia telah banyak berubah, dan dia bersyukur atas hal itu. Dia bersyukur karena, seiring bergantinya waktu, dia terus berkembang. Sementara si penjual jajan di sekolahnya dari dulu tetap menjadi penjual jajan.

Secara pribadi, saya memahami, dia tidak bermaksud menghina atau merendahkan si penjual jajan di sekolahnya. Dia hanya memaparkan fakta, dan dari fakta itu dia menemukan cara atau refleksi untuk bersyukur. Menurut saya sebatas itu. Tapi menurut netizen, masalahnya jadi rumit, dan tweet tadi viral serta mendapat banyak tanggapan negatif.

Menurut netizen, dan bisa jadi mereka juga benar, “Kenapa mau bersyukur saja harus melihat kesusahan orang lain?” Maksud mereka, kalau mau bersyukur ya bersyukur saja, tidak usah menggunakan kesusahan orang lain sebagai sarana untuk bersyukur. 

Jujur saja, itu menampar kesadaran kita.

Sebenarnya, bukan hanya orang tadi yang melakukan hal semacam itu—ada banyak dari kita yang juga menggunakan orang lain [yang posisinya kita anggap lebih rendah] untuk bersyukur. Ini, menurut saya, karena kesalahan didikan yang kita terima sejak kecil. Saya juga menerima didikan semacam itu.

Sedari kecil hingga remaja, khususnya waktu sekolah, hampir bisa dipastikan kita pernah mendengar guru atau orang tua kita mengatakan, kira-kira, “Lihatlah ke bawah, agar kita bersyukur.”

“Lihatlah ke bawah.” Nasihat itu menggiring pikiran kita untuk menemukan dan melihat orang-orang yang nasibnya tidak sebaik kita, sehingga menerbitkan perasaan syukur di hati, karena “merasa lebih baik”.

Nasihat semacam itu memang terkesan logis dan masuk akal. Kalau kebetulan sepatu kita lusuh, misalnya, kita bisa melihat orang lain yang tak punya sepatu. Kalau kebetulan kita tak punya sepatu, kita bisa melihat orang lain yang tak punya kaki. Dan seterusnya, dan seterusnya. Cara berpikir semacam itu memungkinkan kita “merasa lebih baik”, hingga mendorong kita untuk bersyukur.

Di masa kecil dulu, kita menganggap nasihat itu layak diikuti, dan itulah yang kebanyakan kita lakukan. Setiap kali kita merasa susah, kita melihat orang lain yang lebih susah. Setiap kali kita menghadapi masalah dan pusing karenanya, kita berusaha mencari dan menemukan orang lain yang menghadapi masalah lebih besar.

Tapi sekarang kita menyadari, cara bersyukur semacam itu tidak sehat, karena menjadikan kesusahan atau bahkan kemalangan orang lain sebagai sarana untuk bersyukur. Saya pikir, dengan cara semacam itu, sebenarnya yang kita lakukan bukan bersyukur, tapi sekadar merasa lebih baik, dan perasaan itu membuat kita senang.

Jadi, sebenarnya kita senang saat mendapati ada orang yang lebih malang nasibnya dari kita. Kita senang menemukan orang yang menghadapi masalah lebih besar dari masalah kita. Kita senang melihat orang yang lebih miskin dari kita. Kita senang... bukan bersyukur. 

Kenyataan ini tentu masalah, dan masalah ini dilahirkan oleh didikan dan doktrinasi yang keliru, yang mengarahkan kita untuk “melihat ke bawah”. Bersyukur, mestinya, tidak dengan cara semacam itu.

Berkirim Surat

Jika masa lalu berkirim surat pada hari ini, alamatnya telah berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Januari 2012.

Telur Mata Sapi

Membicarakan telur mata sapi artinya membicarakan telur, bukan sapi. Karena telur mata sapi bukan telur yang terbuat/berasal dari sapi.

Meski terdiri dari tiga suku kata, "telur mata sapi" tidak berhubungan dengan mata dan sapi, tapi murni telur. Itulah konteks.

Bodoh adalah memperdebatkan dari bagian tubuh sapi mana telur mata sapi dibuat. Bahkan sapi pun tidak melakukan hal semacam itu.

Oh ya, tentu saja orang berhak memperdebatkan bahwa telur mata sapi berasal dari tubuh sapi. Tapi aku tak mau buang waktu untuk ikutan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Telur Orak-arik

Telur orak-arik adalah; a) Telur yang diorak-arik, b) Aktivitas mengorak-arik telur, c) Kebebasan yang dipahami dengan kesadaran pada telur.

Masalah kita mungkin terlalu menyederhanakan masalah rumit, dan membuat rumit hal-hal sederhana. Misalnya dengan menyatakannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Colekan Lembut

"Entahlah" adalah colekan lembut pengetahuan kepada kebingungan, atau genggaman yang disembunyikan di kegelapan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Perlu Pemberhentian

Saat melangkah di hamparan pasir, kita tak menengok ke belakang untuk melihat jejak yang ditinggalkan. Hidup memang perlu pemberhentian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

Kesempitan

Seperti udara yang berkurang, kesempitan mengikis kesadaran perlahan-lahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Tidak Tahu

Tidak tahu adalah berkat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Januari 2012.

Serpihan yang Kemarin

Pagi adalah saat menata kembali serpihan yang kemarin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2012.

02.30

Jam 02.30, Ma'am, jam 02.30.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Januari 2012.

Senin, 20 Oktober 2025

Update

Saya menulis catatan ini dalam kondisi setengah sehat dan setengah sakit, karena baru keluar dari rumah sakit. Yang saya rasakan, sakitnya [masih] lebih banyak dari sehatnya.

Beberapa waktu yang lalu saya harus masuk rumah sakit karena kondisi kesehatan tertentu, dan sekarang saya baru beberapa hari meninggalkan rumah sakit. [Saya menulis catatan ini bukan karena memaksakan diri, saya menulis catatan ini sebagai semacam latihan untuk mengembalikan kemampuan saya menulis seperti biasa. Setelah keluar dari rumah sakit, saya merasa pikiran saya kurang mampu bekerja maksimal, jadi secepatnya saya harus melakukan “antisipasi”.]

Saat ini, meski telah keluar dari rumah sakit, saya belum bisa mengatakan kalau saya “sudah sembuh” karena sepertinya masih butuh waktu cukup lama untuk benar-benar memulihkan kesehatan saya seperti semula. Kesehatan fisik, maupun kesehatan pikiran. Bantu doakan saya melewati semua ini. 

Setelah keluar dari rumah sakit, saya tinggal di rumah orang tua, karena bagaimana pun saya butuh orang lain untuk membantu-bantu kebutuhan saya sehari-hari, dan di rumah orang tua ada adik yang begitu baik membantu-bantu kebutuhan saya sehari-hari. Tapi sekarang saya sudah kembali ke rumah saya sendiri, karena merasa tubuh sudah lumayan kuat untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri, dan karena saya juga tidak enak terus menerus merepotkan adik serta ibu saya. Bagaimana pun, saya sudah memilih untuk hidup sendiri, dan saya harus menghadapi konsekuensinya.

Selama tinggal di rumah orang tua—dan itu cukup lama—banyak sekali orang yang datang menjenguk, khususnya para tetangga di kampung. Saya sangat terharu dan berterima kasih atas kepedulian serta dukungan mereka, sekaligus tidak menyangka kalau saya akan mendapat kunjungan serta dukungan sebanyak itu dari para tetangga. Kehadiran mereka membuat saya merasa lebih sehat. 

Selain kunjungan para tetangga, saya juga tidak menyangka akan mendapat kunjungan dari teman-teman lama yang saat ini rata-rata sudah jadi orang tua. Dari teman-teman lama yang datang, ada satu orang yang membuat saya menangis saat bertemu dengannya.

Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih kanak-kanak, saya berteman dengan seseorang bernama Ruli. Dia teman sekolah, juga teman sekampung, jadi keluarga saya kenal keluarga Ruli, sebagaimana keluarga Ruli kenal keluarga saya. Pertemanan kami terus berlangsung sampai kami sama-sama besar, sampai kemudian mulai jarang ketemu setelah kami sama-sama mulai bekerja, layaknya anak-anak muda yang lain.

Sampai suatu waktu Ruli menikah, lalu pindah ke tempat lain, dan praktis kami tidak pernah ketemu lagi. Pada waktu itu saya juga sudah tidak tinggal di kampung halaman, jadi kemungkinan ketemunya memang hampir mustahil. Tapi Ruli adalah teman saya, dan dia tetap teman saya... meski kami tidak pernah lagi ketemu.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya baru keluar dari rumah sakit kemarin, Ibu Ruli mendengar keberadaan saya di rumah orang tua (orang tua Ruli masih tinggal di kampung yang sama, begitu pula orang tua saya). Ibu Ruli memberi tahu Ruli soal kabar saya, dan suatu malam Ruli datang ke rumah orang tua saya bersama ibunya.

Saya langsung mengenali Ruli, sabahat dari masa kecil, dan kami merasa seperti reuni. Kami bercakap-cakap dengan hangat, bersama ibu saya dan ibu Ruli, saling bertukar kabar. Bagaimana pun kami telah terpisah selama bertahun-tahun, dan baru saat itu bisa kembali bertemu, meski dalam kondisi yang tidak ideal karena saya dalam kondisi sakit.

Yang membuat saya sangat terharu adalah saat Ruli dan ibunya akan berpamitan, Ruli tiba-tiba memeluk saya, dan, dengan mata membasah, dia berkata, “Aku sangat merindukan pertemanan kita dulu.”

Saya merasakan pelukannya yang erat, dan, dengan mata yang sama membasah, saya berkata, “Setelah sembuh nanti, aku akan dolan ke rumahmu, seperti dulu.” Lalu air mata saya runtuh tak terbendung.

Itu menjadi moment yang sangat emosional bagi kami, sekaligus moment istimewa bagi saya karena bisa kembali ketemu teman dari masa kanak-kanak dulu; teman yang tetap menjadi teman meski tahun-tahun panjang telah berlalu. 

Amal Alamuddin adalah Mbakyu

Dulu, sebelum (akhirnya) menikah dengan Amal, George Clooney pernah bersumpah tidak akan pernah menikah lagi. Banyak yang paham, Clooney bersedia menikah dengan Amal bukan sekadar karena cinta, tapi juga karena kesamaan visi—sesuatu yang tidak dimiliki rata-rata wanita lain.

Selama ini, George Clooney menghabiskan uangnya untuk membiayai satelit mata-mata, yang ia tempatkan di titik-titik tertentu yang ia inginkan. Salah satunya adalah Sudan—yang belakangan membuat Omar al-Bashir, diktator Sudan, ngamuk-ngamuk tak karuan begitu tahu dimata-matai.

Apa motivasi George Clooney memata-matai Sudan? Mungkin sekadar bersenang-senang, atau bisa pula karena dendam pribadi. Omar al-Bashir telah divonis sebagai penjahat perang di Hague, dan George Clooney, sebagaimana yang diakuinya, “membencinya setengah mati.”

Kebencian Clooney sebenarnya beralasan. Omar al-Bashir membantai rakyat Sudan seenaknya, dan satelit mata-mata yang ditempatkan Clooney sebagai semacam pengingat bagi sang diktator agar dia berhenti berbuat gila. Dan dunia mengarahkan pandangan ke Sudan, karena Clooney.

“Hobi” yang dilakukan Clooney bisa jadi sulit diterima rata-rata wanita yang tentu lebih ingin uangnya digunakan untuk pelesir atau membeli barang-barang mahal. Karena itulah Clooney pernah bersumpah tidak akan menikah, sampai akhirnya bertemu Amal yang bisa memahami visinya.

Sekadar pengingat, Amal Alamuddin bukan hanya wanita mempesona, tapi juga seorang pengacara Inggris-Lebanon, yang mengkhususkan diri dalam hukum internasional dan hak asasi manusia. Dia jelas bisa memahami visi George Clooney. Dengan kata lain, Amal Alamuddin adalah mbakyu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2019.

Demokrasi

Mengapa Amerika selalu memaksa orang-orang di seluruh dunia, di bawah todongan senjata, untuk memakai sistem pemerintahannya? Kalau sistem ini benar-benar baik, kita tidak perlu memaksa; mereka akan mencurinya. —Dick Gregory, komedian Amerika

Apakah demokrasi memang sistem yang baik? Ya, setidaknya, demokrasi memungkinkan semua orang menempati posisi setara—satu kepala, satu suara. Tetapi jika ditanya, kenapa sistem demokrasi dipaksakan di dunia, jawabannya agak pahit. Yakni karena sistem ini memungkinkan manipulasi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2019.

Ruang Privat Orang Lain

Yang kusukai dari Twitter; makin banyak orang sadar kalau menikah dan punya anak adalah pilihan pribadi orang per orang. Kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk menikah atau tidak, seperti kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk punya anak atau tidak. Itu hak, pilihan individu.

Saat ini, kita bahkan bisa tahu mana orang "berpendidikan/beradab" dan mana yang tidak, dari urusan menikah dan punya anak. Jika seseorang suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah, atau nyinyir "kapan kawin", atau tanya-tanya kapan punya anak, sudah jelas dia tidak beradab.

Ada bagian kehidupan orang lain yang bisa kita masuki, dan ada bagian yang tidak boleh kita masuki, dan hanya orang-orang beradab yang memahami etika ini. Keputusan menikah dan punya anak adalah bagian yang masuk ranah privat—hak/urusan pribadi—yang tidak boleh kita masuki.

Jika kelak aku menikah, menua, dan punya anak, aku akan selalu mengingatkan diriku sendiri agar menjaga mulut saat berinteraksi dengan orang-orang yang lebih muda, untuk tidak pernah bertanya "kapan kawin", atau semacamnya. Karena selain tidak beradab, itu sangat tidak berpendidikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Agustus 2021.

Modus

Orang yang mengatakan, “Aku ngomong begini untuk kebaikanmu.” Biasanya dia ngomong begitu untuk kepuasan egonya sendiri. 

Hidup Bisa Berantakan

Hidup bisa berantakan, dan upaya memperbaikinya bisa penuh kekacauan. Tapi bukan berarti kita harus hancur.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2019.

Kamu

Semua drama cinta panjang lebar dan bertele-tele di muka bumi ini sebenarnya bisa disingkat dalam satu kata, "Kamu."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2012.

Stiker Sialan

Stiker kertas tuh ngeselin. Kalau sudah nempel, sulit dilepaskan. Kalau pun bisa dilepas, pasti ada sisa-sisa tempelan yang sulit dihilangkan.

Ini aku lagi beres-beres rumah, dan kemarin butuh waktu seharian penuh cuma untuk membersihkan pintu kamar dari tempelan stiker.

Sekadar tip agar tidak mengalami kerepotan seperti yang kualami:

Kalau ingin menempel stiker, sebaiknya pastikan stiker terbuat dari plastik, hingga lebih mudah dilepas sewaktu-waktu, dan lebih bersih.

Tapi lebih baik lagi tidak usah nempel stiker! Rumah jadi tampak lebih rapi.

Kelak, kalau aku punya pacar, dan berencana menikahinya, aku akan bertanya, "Apakah kamu suka nempel-nempel stiker di rumah?"

Jika jawabanya "ya", aku akan minta putus!

Hidup ini sudah penuh masalah dan kerepotan, dan tempelan stiker sialan di rumah akan menambah masalah!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Maret 2019.

Mood

Kalau mood udah rusak, mau apa-apa rasanya males semua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Nama-nama Generasi

Dari dulu aku gelisah mikir ini: Kenapa penamaan atau penyebutan generasi dimulai dari X? Tiba-tiba kita mengenal Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z. Lalu Generasi A sampai Generasi W ke mana? Kenapa tidak dimulai dari A? Dan siapa sebenarnya yang bikin penyebutan absurd ini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Maret 2019.

Makhluk Paling Beruntung

Makhluk paling beruntung di dunia mungkin kucing yang disayangi pemiliknya.

Dan Kegalauan

Dan kegalauan membunuh perlahan-lahan...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2012.

Santai

Kapan terakhir kali aku bisa santai? Rasanya sudah lama sekali, sebegitu lamanya sampai aku lupa bagaimana caranya bersantai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Jare

Urip kok isine jare.

Rabu, 01 Oktober 2025

Sandwich Generation dan Pola Pikir Masa Lalu

HSBC Bank pernah melakukan survei pada pekerja formal di Indonesia terkait perencanaan setelah pensiun. Hasilnya, 30% responden sudah menyiapkan diri dalam bentuk investasi, sementara sisanya yang 70% mengandalkan bantuan keuangan anak-anaknya kelak. 

Ada banyak orang tua mengandalkan anak-anaknya, dan anak-anak itu lalu harus menghidupi keluarganya sendiri juga menghidupi orang tuanya. Fenomena itulah yang lalu populer disebut “sandwich generation”—generasi yang terjepit dari atas dan bawah. Dari atas, orang tua menuntut bantuan. Dari bawah, ada kebutuhan si anak sendiri [apalagi kalau sudah punya keluarga sendiri.]

Sandwich generation sebenarnya tidak masalah, kalau si anak memang hidup berkelimpahan, atau setidaknya berkecukupan, sehingga bisa mengulurkan bantuan keuangan untuk orang tua yang sudah pensiun atau sudah sepuh dan tidak lagi bekerja. Tapi bagaimana jika si anak justru hidup pas-pasan?

Bagi banyak orang, hidup saja sudah susah. Menjalani kuliah sampai lulus, susah. Mencari kerja, susah. Memenuhi kebutuhan sehari-hari, susah. Menggapai cita-cita atau impian, susah. Jika generasi susah ini masih dituntut jadi “sandwich”, itu seperti menimpakan beban yang bertambah-tambah.

Sandwich generation, dalam perspektif saya, adalah hasil kekeliruan cara berpikir. Manusia senang “mengidealkan” masa depan—itulah inti masalahnya! Manusia senang membayangkan “hidup bahagia selama-lamanya”, lalu punya anak-anak yang mengurus mereka.

Yang jadi masalah, pola pikir semacam itu sebenarnya warisan masa lalu yang sudah tidak relevan. Seratus tahun lalu—apalagi seribu tahun lalu—jelas berbeda dengan zaman sekarang. Karena zaman sudah berubah, cara berpikir mestinya ikut berubah. Dan inilah masalahnya.

Kita didoktrin untuk percaya pada sesuatu yang sebenarnya hanya relevan di masa lalu. Akibatnya, banyak dari kita yang menjalani hidup di masa sekarang, tapi masih menggunakan pola pikir masa lalu. Sandwich generation hanyalah satu di antara banyak masalah lain yang kemudian lahir.

Di masa lalu belum ada globalisasi; anak masih hidup berdekatan dengan orang tua, meski sudah menikah dan punya keluarga sendiri. Kenyataan itu lalu melahirkan pola pikir “orang tua mengandalkan anak”. Relevan di masa lalu, tapi bisa menjadi masalah di masa kini.

Globalisasi—yang dapat memisahkan anak dan orang tua hingga hidup sangat berjauhan—hanyalah satu hal. Masih ada hal-hal lain yang menjadikan doktrin masa lalu, khususnya terkait sandwich generation, sulit diterapkan di masa sekarang, dan bisa berbuah kekecewaan.

Seperti yang saya sebut tadi, masalah ini berawal dari kekacauan pola pikir. Orang tua di masa lalu berpikir anak adalah investasi yang menguntungkan, dan itu sah. Karena kehidupan di masa lalu memang memungkinkan untuk “menanamkan investasi pada anak-anak”.

Tapi berpikir “anak adalah investasi” di masa sekarang bisa menimbulkan aneka masalah, karena—kalau menggunakan perspektif investasi—“investasimu belum tentu menguntungkan, tapi malah bisa rugi besar”. Masalah bagi orang tua, juga masalah bagi si anak.

Anak zaman dulu mungkin mudah percaya pada aneka doktrin yang dicekokkan ke kepala mereka. Tapi anak zaman sekarang sudah mulai menyadari bahwa “anak tidak minta dilahirkan”. Kesadaran itu, entah kita sadar atau tidak, membawa implikasi yang luar biasa besar.

Anak tidak minta dilahirkan. Kalau kamu punya anak, itu keputusanmu, bukan keputusan si anak. Karena itu keputusanmu, kamulah yang bertanggung jawab, bukan sebaliknya. Semakin ke sini, semakin banyak anak yang sadar soal ini.

Kita meributkan sistem dan isme-isme, tapi yang kita ributkan selalu yang ada di luar sana; kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan aneka isme lain. Seiring dengan itu, kita melupakan sistem yang kita bangun sendiri, isme yang ada di kepala dan keyakinan kita sendiri.

Kita membangun sistem yang angkuh berdasar doktrin yang seharusnya mulai dibongkar dan dipertanyakan, kita membangun isme yang kita yakini benar padahal sudah harus dikaji ulang. Karena sistem dan isme yang disandarkan pada masa lalu hanya relevan untuk masa lalu.

Bahagia Tidak Sesederhana Itu

Sampai sekarang aku lagi mikir. Tempo hari, ada foto yang viral di Twitter, memperlihatkan seorang pria yang duduk dan memangku anaknya di trotoar. Mereka saling berhadapan dan tampak tertawa.

Netizen menyebarkan foto itu, dan menambahkan kalimat, "Bahagia itu sederhana."

Yang kupikirkan... bagaimana kita tahu mereka benar-benar bahagia?

Apakah pria yang memangku anaknya di trotoar itu memang bahagia? Mungkin, ya. Tapi mungkin pula dia sedang stres memikirkan kehidupan mereka, dan satu-satunya cara menyenangkan anaknya adalah membuatnya tertawa.

Terkait kebahagiaan—atau perasaan lain—kita sepertinya punya kecenderungan untuk merasa lebih tahu dibanding orang yang merasakannya. Kita terlalu terbiasa untuk menilai seseorang dari penampakannya, padahal perasaan (termasuk kebahagiaan) adalah sesuatu yang tak terlihat.

Apakah kamu bahagia atau tidak, hanya kamu yang tahu, karena itu perasaanmu—sesuatu yang tak terlihat orang lain. Kamu bisa memasang wajah ceria dan menyuarakan tawa membahana, dan seiring dengan itu kamu menangis diam-diam tanpa seorang pun tahu. Orang lain tidak tahu perasaanmu.

Kita juga bisa melihat seseorang yang tampak gembira, menjadi pusat perhatian di mana-mana, dan kita menganggapnya bahagia, sambil mungkin diam-diam iri kepadanya. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata dia kesepian... dan bersembunyi balik topeng popularitas serta keceriaannya?

"Aku lelah," kata Marilyn Monroe.

Dia mengatakan kata-kata itu saat berada di puncak popularitas, tangga tertinggi yang diimpikan jutaan perempuan lain, ketika dunia sedang memujanya. Satu hari kemudian, dia ditemukan tewas karena overdosis.

Kita tidak tahu perasaan orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Januari 2019.

Lihat Perempuan Cerdas Kok Takut

Di Twitter, khususnya di timeline-ku, banyak wanita cerdas dan berwawasan luas dengan pemikiran yang kritis—terkait diri mereka sendiri, maupun terkait kehidupan secara luas. Bagi sebagian orang, kenyataan ini bisa jadi “mengerikan” dan membuat mereka “khawatir”.

Karenanya tidak heran kalau tempo hari ada rekaman video viral berisi seorang ustaz yang mengatakan, “Kesalahan perempuan zaman now adalah menomorsatukan pendidikan, dan bukan menikah.”

Bahkan sebagai lelaki, aku terluka mendapati kalimat itu. Apalagi perempuan.

Meski pahit, kenyataannya ada banyak lelaki yang rendah diri, dan merasa inferior saat berhadapan dengan wanita hebat. Jadi, alih-alih berupaya memperbaiki diri, laki-laki inferior itu berusaha sekuat tenaga agar perempuan tetap bodoh dan terbelakang, agar bisa terus direndahkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Februari 2019.

Memiliki Diri Sendiri

Dalam kehidupan siapa pun, akan tiba suatu hari ketika yang kita inginkan hanyalah memiliki diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Yang Menjadikan Hidup Ini Berat

Yang menjadikan hidup ini berat bukan hidup itu sendiri, tapi keberadaan orang-orang yang merasa dirinya lebih benar atau lebih suci, lalu memaksa semua orang menjalani hidup seperti dirinya. Sejak zaman Neanderthal, orang-orang semacam itulah yang selalu menimbulkan masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2019.

Tidak Harus Sama

Kamu tidak harus sama dengan orang lain. Kalau kamu berbeda, tidak apa-apa.

Menemukan Keindahan

Kita hanya hidup untuk menemukan keindahan, hal yang lain hanyalah bentuk penantian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Kesunyian Masing-masing

Seseorang berkata, "Nasib adalah kesunyian masing-masing." Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Nama Asli Kue Nastar

Baru tahu.

Ternyata, nama asli kue nastar adalah ananas taart. Sedangkan nama asli kastangel adalah kaas stengels.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2019.

Hari

Hari yang sangat tidak environmental.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Februari 2019.

Sabtu, 20 September 2025

Lelaki di Titik Nol

Sebelas bulan yang lalu, saya menulis catatan di BSM, berjudul Di Bawah Remang Rembulan. Catatan itu mengisahkan saya dan Adit yang mengunjungi Hakim, teman kami, yang waktu itu lagi frustrasi karena menganggur cukup lama setelah kena PHK. Saya mencoba menghubungkan Hakim dengan Alvin, siapa tahu Alvin bisa menerima Hakim bekerja di tempatnya. Saat saya menulis catatan ini, Hakim telah bekerja di tempat Alvin. 

Alvin dan Hakim juga Adit kuliah di kampus yang sama, dan mereka saling kenal. Tapi mereka tidak akrab dengan Alvin, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya yang tidak sekampus dengan Alvin malah akrab dengannya, dari dulu sampai sekarang. Mengapa keanehan semacam itu bisa terjadi? Catatan ini akan mengungkapkan latar belakangnya. 

Kisahnya dimulai bertahun-tahun lalu, saat kami sama-sama awal kuliah. Dan saya mengenal Alvin bukan dari kampus, tapi dari warnet.

Awal 2000-an sampai menjelang 2010, akses internet belum semudah sekarang, khususnya di tempat saya. Karenanya di masa itu banyak warnet (warung internet), yang menyediakan akses internet dengan biaya per jam. Pada masa itu pula, saya mulai kuliah, dan kerap butuh internet untuk menunjang kegiatan kuliah. Jadi saya pun sering mengunjungi warnet.

Ada satu warnet yang sering saya kunjungi, dan warnet itu dijaga seorang pria seumuran saya. Di sanalah awal perkenalan saya dengan Alvin. Pada masa itu, Alvin bekerja sebagai penjaga warnet yang dapat shift sore sampai tengah malam. 

Biasanya, saya datang ke warnet sekitar pukul 20.00. Itu jam ramai, karena pengguna internet kebanyakan datang ke warnet sekitar jam itu. Kalau warnet sedang full pengunjung, saya harus antre, dan penjaga warnet menyodorkan bangku agar saya bisa duduk. Jadi saya pun duduk di sana, menunggu ada pengguna warnet yang selesai, lalu saya bisa menggantikannya. Dari moment itu pula, saya dan penjaga warnet kadang bercakap-cakap. Pada waktu itu saya belum tahu nama dia, sebagaimana dia juga tidak tahu siapa saya.

Karena saya termasuk pelanggan di sana, penjaga warnet itu pun hafal muka saya. Suatu malam, ketika saya sedang antre dan duduk di dekat mejanya, kami bercakap-cakap, sampai kemudian saling menyebut nama kampus tempat kami kuliah. Ketika mendengar nama kampusnya, saya kaget, lalu bertanya, “Kamu pasti kenal Miko, dong.” 

“Kenal,” dia menjawab, “kami satu semester.” Dia lalu balik bertanya, kok saya bisa kenal Miko.

Saya pun menjelaskan, Miko adalah teman saya sebelum kami kuliah, dan Miko pula yang belakangan membawa saya masuk ke sirkel kampusnya, hingga saya mengenal Adit, Hakim, Tanjung, Safik, dan lain-lain. 

Dari situ, percakapan kami lalu mengalir. 

Itulah awal perkenalan saya dengan Alvin. Bukan lewat kampus, tapi lewat warnet, ketika Alvin masih jadi penjaga warnet.

Selama kuliah, saya sering nyangkruk dengan sirkel Miko, dan bertemu dengan banyak orang lain yang sekampus dengannya, tapi saya tidak pernah bertemu Alvin. Ketika saya tanyakan hal itu pada Alvin, dia mengatakan, “Soalnya aku harus jaga warnet kalau malam hari, jadi nggak ada waktu buat kumpul-kumpul.” Setelah itu, dia menambahkan dengan senyum, “Lagi pula, sirkel Miko isinya anak-anak orang kaya, bukan anak miskin kayak aku.”

Pengakuan itu mungkin terlalu jujur, tapi faktanya memang begitu. Sirkel Miko di kampus dulu memang isinya anak-anak kalangan atas. Di waktu yang sama, Alvin adalah anak miskin yang kuliah sambil berjuang menyambung hidup. 

Alvin merasa tidak cocok berbaur dengan sirkel Miko, dan, di sisi lain, sirkel Miko juga mungkin merasakan hal yang sama. Ini fakta pahit yang mungkin ada di kampus mana pun. Sebagian mahasiswa menikmati masa kuliah dengan kebersamaan dan canda tawa, sementara sebagian mahasiswa lain menjalani kuliah dengan kesendirian dan keprihatinan.
 
Jadi, kegiatan Alvin setiap hari adalah kuliah dari pagi sampai siang. Pulang kuliah, dia beraktivitas di rumah, lalu sore hari berangkat ke warnet tempatnya bekerja, sampai tengah malam. Pukul 00.00, jam kerja Alvin di warnet selesai, lalu dia pulang, tidur, dan besoknya kembali berangkat kuliah, dan begitu seterusnya. Dengan kegiatan harian yang padat seperti itu, Alvin tidak punya waktu luang seperti umumnya mahasiswa lain. 

[Belakangan, Alvin bahkan cuti kuliah, dan tidak masuk kampus selama dua semester atau setahun, hingga makin sulit baginya untuk bertemu teman-teman seangkatannya. Cerita soal ini ada di bawah.]

Karena sering datang ke warnet, saya pun makin akrab dengan Alvin. Percakapan yang awalnya dangkal seperti dua orang asing, seiring waktu berubah jadi percakapan mendalam sebagaimana dua orang yang berteman. Dari situ, saya mulai menyadari kalau Alvin sangat pintar, dengan wawasan yang luar biasa. Ketika saya katakan itu kepadanya, Alvin tertawa dan mengatakan, “Lhah, saban malam aku di sini (maksudnya menjaga warnet dan mengakses internet). Jadi rasanya kayak dipaksa belajar tanpa henti.”

Internet di masa itu sebenarnya belum selengkap sekarang. Tapi bahkan di masa itu, internet telah jadi perpustakaan raksasa dengan aneka pengetahuan. Belakangan, hal itulah yang merekatkan hubungan kami, karena percakapan-percakapan kami kian menyenangkan. Bukan percakapan ringan yang dangkal, tapi percakapan-percakapan mendalam yang membuat kami sama-sama berpikir. Kami menikmati percakapan semacam itu.

Suatu malam, seiring kedekatan kami, Alvin mengatakan, “Minggu depan, aku dapat jatah libur. Aku boleh main ke tempatmu?”

“Silakan,” saya menjawab dengan senang.

Di masa itu saya masih ngontrak, dan Alvin benar-benar datang di waktu yang dijanjikan.

Di ruang tamu, kami mengobrol dengan asyik. Di waktu itu pula, Alvin sempat melihat perpustakaan di rumah saya, dan, sambil memandangi buku-buku di sana, ia berkata, “Sekarang aku paham kenapa aku betah ngobrol denganmu. Kamu bisa nyambung diajak ngobrol apa pun, dan ternyata sebanyak ini referensimu.” 

Kami lalu melanjutkan percakapan di ruang perpustakaan, dan saya mulai menyadari kalau Alvin seorang introver seperti saya. Ia mengaku kurang bisa berbasa-basi, juga merasa kaku saat berinteraksi dengan orang lain kalau “tidak nyambung”. Selama menjaga warnet, komunikasi Alvin dengan para pengunjung warnet hanya sebatas menyebutkan biaya sewa, menerima pembayaran, dan mengucap terima kasih—sudah. Tidak ada basa-basi panjang, tidak ada percakapan macam-macam.

Karenanya, dia mengaku “takjub” saat kami bertemu dan bisa bercakap-cakap sampai lama, bahkan kemudian akrab, hingga belakangan dia dolan ke rumah saya. 

Latar belakang itu pula yang tampaknya menjadikan Alvin kurang akrab dengan Adit dan Hakim, meski mereka sekampus. Adit dan Hakim, dan bisa jadi teman-teman yang lain, mungkin kurang terbiasa berinteraksi dengan orang seperti Alvin yang, menurut mereka, “terlalu ilmiah”—jenis orang yang hanya mau membicarakan hal-hal penting, dan malas kalau diajak ngobrol hal-hal tidak penting.

Kunjungan Alvin ke rumah saya waktu itu belakangan berlanjut dengan kunjungan-kunjungan lain—khususnya saat dia dapat jatah libur dari tempat kerjanya—dan hubungan kami semakin dekat. Dari situ, kami mulai tahu latar belakang masing-masing. Ketika tahu kalau saya berasal dari keluarga miskin, Alvin pun mulai membuka diri.

Alvin adalah anak pertama dengan dua saudara. Sejak Alvin lahir, keluarganya tinggal di rumah kakek dari pihak ayah. Ayah Alvin bekerja sebagai makelar kendaraan, sehingga penghasilannya tidak pasti. Karenanya, Alvin pun kuliah dari hasil kerja sebagai penjaga warnet dan ditunjang beasiswa.

Ketika Alvin lulus SMA, ibunya meninggal. Kemudian, ketika Alvin masuk semester dua di kampusnya, giliran ayahnya meninggal. Kematian sang ayah menjadi awal petaka bagi Alvin dan dua adiknya.

Karena rumah yang ditinggali keluarga Alvin adalah milik sang kakek, rumah itu pun tidak hanya menjadi milik ayah Alvin, tapi juga milik ahli waris lain (adik-adik ayah Alvin). Ketika ayah Alvin meninggal, para ahli waris meminta hak waris mereka. Singkat cerita, rumah itu lalu dijual, dan hasilnya dibagi di antara ahli waris. Alvin dan adik-adiknya menggunakan uang warisan mereka untuk ngekos, dan sejak itu pula mereka tinggal di tempat kos.

Ketika peristiwa itu terjadi, adik-adik Alvin masih SMA, dan Alvin menyadari bahwa cepat atau lambat uang warisan mereka akan habis untuk membiayai kehidupan dan sekolah mereka. Sementara penghasilan Alvin sebagai penjaga warnet hanya cukup untuk membiayai kuliahnya. Alvin pun memutar otak, mencari cara mengatasi masalah itu. 

Alvin lalu terpikir membuat angkruk untuk jualan. [Angkruk adalah sebutan untuk warung semi permanen, biasanya dibuat menggunakan kayu atau baja ringan. Saya tidak tahu apa sebutannya di tempat lain.] Ide itu tercetus karena Alvin sering mendapati pengunjung warnet yang kehabisan rokok, dan terpaksa pergi jauh untuk membeli rokok. Pikir Alvin, apa salahnya kalau dia mencoba jualan rokok dan barang-barang lain di dekat warnetnya?

Jadi, Alvin lalu nekad menggunakan sebagian uang warisan untuk membuat angkruk, dan mengisinya dengan aneka jualan. Agar angkruk itu dapat beroperasi penuh, Alvin memutuskan untuk cuti dari kuliah. Pagi-pagi sekali, Alvin membuka angkruknya, dan berjaga di sana sampai sore. Setelah itu, gantian adiknya yang berjaga di angkruk, sementara Alvin memulai kerja di warnet. Jarak antara angkruk dengan warnet relatif dekat dan, seperti yang diperkirakan Alvin sebelumnya, angkruk miliknya jadi andalan para pengunjung warnet untuk mendapatkan rokok, air mineral, atau cemilan.

Satu tahun kemudian, angkruk itu masih berdiri, dan barang yang dijual di sana semakin banyak. Salah satu adik Alvin lulus dari SMA, dan bersedia menjaga angkruk itu seharian. Jadi Alvin pun bisa kembali kuliah, sambil tetap bekerja sebagai penjaga warnet, juga membantu-bantu adiknya yang berjualan di angkruk.

Di masa-masa itulah awal saya mengenal Alvin yang sering saya temui di warnet. Saya memang melihat ada angkruk di dekat warnet, tapi saya tidak tahu itu milik Alvin, juga tidak tahu bagaimana latar belakang berdirinya angkruk itu, bahkan saya tidak tahu kalau orang yang berjualan di angkruk itu adik Alvin.

Jadi, saya kenal hingga berteman akrab dengan Alvin jauh sebelum dia seperti sekarang. Sebenarnya, seperti yang dikatakan sendiri oleh Alvin, di masa itu dia bahkan berada di titik nol dalam kehidupannya. Ketika dia tidak lagi memiliki orang tua, kehilangan rumah yang semula ia tempati, sampai terpaksa cuti kuliah demi menambah penghasilan agar dapat membiayai sekolah dan kehidupan adik-adiknya.

Dan bertahun-tahun kemudian, lelaki yang jatuh di titik nol itu berhasil membangun kehidupannya hingga sukses dan kaya, hingga teman sekampusnya yang frustrasi akibat PHK bisa bekerja padanya.

Hidup memang naik turun. Yang saat ini di bawah bisa naik, dan yang di atas bisa turun. Saya belajar untuk tidak mudah silau pada yang gemerlap, dan tidak memandang rendah pada yang sedang merangkak dalam gelap. Karena kilau paling cemerlang bisa memudar, dan setelah kegelapan paling pekat selalu datang cahaya.

Musim Semi yang Tersenyum

Di setiap jantung musim dingin terdapat musim semi yang bergetar. Di balik selubung malam terdapat fajar yang tersenyum.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Einstein dan Udud

Kita tentu sepakat bahwa Albert Einstein adalah salah satu orang genius di abad modern. Yang menarik dari Einstein bukan hanya kecerdasannya yang luar biasa, tapi juga kebiasaan-kebiasaannya dalam hidup sehari-hari. Dan salah satu kebiasaannya adalah udud.

Udud, bagi Einstein—saya kutip kalimatnya secara verbatim—“sesuatu yang berkontribusi dalam proses penilaian yang menenangkan dan objektif dalam semua urusan manusia.” Apa pun artinya. Yang jelas, sejarah mencatat bahwa Einstein seorang perokok berat.

Einstein biasa merokok pakai pipa, dan selalu menyiapkan tembakau di kantong. Einstein juga suka jalan kaki—itu kebiasaannya yang lain. Jika dia sedang asyik berjalan, dan tembakaunya habis, dan kebetulan menemukan puntung rokok di jalan, dia akan mengambilnya.

Dia ambil puntung rokok itu, lalu menggunakan tembakaunya untuk ia bakar di pipa—lalu melanjutkan ududnya. Karena kebiasaan itu, orang-orang biasa menyaksikan asap tembakau selalu mengikuti Einstein saat dia berjalan. 

Tentu saja Einstein genius bukan karena udud.

Penelitian modern menyatakan bahwa merokok menghentikan pembentukan sel-sel otak, menipiskan korteks serebral (lapisan luar otak yang bertanggung jawab atas kesadaran), dan menyebabkan otak menginginkan oksigen. Rokok juga, konon, bisa menyebabkan kanker paru-paru.

Tapi ada yang aneh terkait udud ini. Sebuah penelitian di AS menganalisis 20.000 remaja, yang kebiasaan dan kesehatannya dipantau selama 15 tahun. Hasilnya, tanpa melihat umur, latar belakang etnis atau pendidikan, anak-anak yang lebih cerdas merokok lebih banyak!

Jadi, apakah kebiasaan udud memang memiliki kaitan dengan kecerdasan, atau malah mengerutkan otak (bikin orang jadi bodoh), atau bagaimana? 

Entahlah. Tiba-tiba saya ingin udud.

Jalan Lain

Tak ada solusi. Hanya ada jalan lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Menginginkan Pelangi

Jika kita menginginkan pelangi, kita harus rela menerima rintik hujan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Monster

Monster tidak dicipta. Ia dibentuk.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Juli 2012.

Awal dan Akhir

Cinta diawali dengan senyuman, tumbuh bersama ciuman, namun sering berakhir dengan tangisan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Glorifikasi Mi Instan

Selain kucing, hal lain yang sering muncul di TL-ku adalah glorifikasi mi instan. Aku menyebutnya “glorifikasi”, karena puja-puji yang dilayangkan pada mi instan sudah sampai taraf tak masuk akal—setidaknya menurutku. Seolah tidak ada makanan lain di dunia selain mi instan.

Selama bertahun-tahun, aku pernah mencoba berbagai macam merek mi instan, rebus maupun goreng, dari yang standar sampai yang mahal. Dan menurutku, semua mi instan itu... B aja. Belum pernah aku makan mi instan lalu “terkesan” seperti orang-orang di Twitter yang memujanya.

Jadi, aku bertanya-tanya, apakah cara masakku yang keliru? Atau mungkin perlu menambahkan bumbu-bumbu dan sayur tertentu yang dibeli sendiri? Atau bagaimana? Intinya, aku heran kenapa orang-orang begitu memuja kelezatan mi instan, sementara menurutku biasa saja. 

Mungkin aku perlu kencan dengan seseorang yang biasa masak mi instan dan memuja mi instan, dan melihat cara dia memasak mi instan, dan aku ikut mencicipinya, untuk membuktikan semua glorifikasi di TL. Tapi intinya aku hanya ingin berkencan dengan seseorang saja, sih.

Iki aku ngomong opo?

Hari Terkutuk

Di hari terkutuk itu, bahkan penjual nangka tidak jualan.

Setan Tidak Dibelenggu

Setan tidak dibelenggu. Ia masih menggodaku untuk menggodamu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juli 2012.

Satu Jam Lalu

Begitu. Ya, itulah yang ingin kukatakan. Satu jam lalu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2012.

Rabu, 10 September 2025

Kebenaran yang Problematis

Unfortunately, “if I can do it, you can” is overrated.

Omong-omong soal overrated...

Umpama aku mengatakan, “Hanya dengan bermain bola, kamu bisa mendapat penghasilan miliaran, bahkan triliunan.” 

Kamu mungkin bertanya, “Apa iya?” 

Dan aku menjawab yakin, “Iya, buktinya Ronaldo!” 

Apakah perkataanku benar? Tentu benar. Tapi problematis.

Sama saja kalau aku mengatakan, “Hanya dengan ngobrol santai, terus direkam video, kamu bisa mendapat penghasilan tak terhitung banyaknya.” 

Kamu kembali memastikan, “Apa iya?” 

Dan lagi-lagi aku menjawab yakin, “Iya, contohnya Deddy Corbuzier.”

Pernyataan-pernyataanku, dalam dua contoh tadi, tentu saja benar, dan tidak terbantah. 

Benar dan tidak terbantah... sebagai fakta. 

Tapi benar sebagai fakta bukan berarti kemudian bisa dipegang dan ditelan mentah-mentah. Karena ada jenis kebenaran yang problematis.

Faktanya, Ronaldo mendapat penghasilan triliunan dari bermain bola. Faktanya, Deddy Corbuzier mendapat penghasilan miliaran dari ngobrol di podcast. 

Siapa pun tidak bisa membantah kenyataan itu, karena memang itulah faktanya. Tapi fakta itu tidak bisa berhenti di situ.

Maksudku, kita tidak bisa menggunakan Ronaldo atau Deddy Corbuzier untuk menggeneralisasi bahwa semua orang pasti bisa begitu. 

Orang seperti Ronaldo hanya nol koma nol nol nol nol sekian persen dari penduduk bumi. Bermimpi seperti dia bisa jadi sangat utopis.

Begitu pun, kita tidak bisa tiba-tiba membuat channel di YouTube, lalu mengundang orang-orang untuk ngobrol ala podcast, sambil berharap bisa menandingi Deddy Corbuzier. Bahkan umpama kita sepuluh kali lebih pintar dari dia, tetap saja tidak ada jaminan bisa seberhasil dia.

Apa artinya itu? Bahwa di dunia ini ada banyak kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran—dan siapa pun tidak bisa membantah kebenaran itu, karena nyatanya memang benar—tapi sebenarnya kebenaran itu problematis jika tidak disikapi secara bijak.

Ini bahkan jenis kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran, diakui sebagai fakta tak terbantah, bahkan disaksikan jutaan orang. Tapi bahkan seperti itu pun, kebenaran ini masih problematis. Apalagi jenis kebenaran yang masih kita ragukan kebenarannya?

Jadi, Ronaldo adalah pemain bola yang hebat dan mendapat penghasilan besar dari bermain bola—itu benar. 

Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Ronaldo sendiri. Kita tidak bisa menjadikan Ronaldo sebagai ukuran, “Kalau Ronaldo bisa, berarti kita juga bisa!”

Begitu pun, Deddy Corbuzier adalah podcaster dengan subscriber sekaligus penghasilan terbesar di Indonesia—itu benar. 

Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Deddy Corbuzier sendiri. Berpikir setiap orang bisa seperti dia, bisa jadi pikiran yang keliru.

Jadi, apakah kita tidak boleh meniru Ronaldo atau Deddy Corbuzier? 

Bukan begitu maksudku. Yang kumaksud, kita perlu meletakkan kebenaran (dalam hal ini prestasi/pencapaian) orang per orang sesuai proporsinya. 

Kalau kamu bisa, belum tentu aku bisa. Begitu pun sebaliknya.

Menggeneralisasi semua orang “kalau Si A bisa main bola, berarti semua orang juga bisa”, itu sebenarnya sudah keliru sejak dalam ginjal. 

Wong setiap orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, juga kemampuan dan bakat berbeda-beda. Tidak bisa digeneralisasi seenaknya.

Kamu mungkin tidak bisa bermain bola sehebat Ronaldo. Tidak apa-apa. Tapi kamu juga tentu punya kemampuan sendiri yang unik, yang benar-benar tepat dengan dirimu, yang sesuai bakat, kemampuan, dan passion-mu... yang tidak bisa dilakukan siapa pun di dunia, selain dirimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 November 2022.

Dari Mulut ke Mulut

Pada masa Yunani kuno, ada hewan mitologi terkenal bernama manticore atau mantichoras, yang digambarkan sebagai hewan buas dan ganas yang memiliki tiga baris gigi di masing-masing rahangnya, dan di ujung ekornya terdapat duri-duri runcing mengerikan.

Di zaman modern, para ilmuwan memprediksi bahwa sosok manticore sebenarnya rekaan orang di zaman kuno, karena ketakutan terhadap harimau, hewan yang baru dilihatnya. Beberapa orang di masa itu mungkin pertama kali menyaksikan harimau, lalu sangat ketakutan, dan menceritakannya ke orang lain.

Itulah ajaibnya omongan dari mulut ke mulut, dan “keajaiban” itu sudah terjadi sejak zaman Yunani kuno. Si A melihat harimau, ketakutan, lalu menceritakannya pada Si B. Mungkin Si A menggambarkan harimau yang dilihatnya secara akurat, tapi Si B lalu menambahi.

Mungkin Si A mengatakan pada Si B, “Aku melihat hewan aneh, besar, tampak buas, dan mengerikan.” 

Si B lalu menceritakannya pada Si C, “Eh, Si A tadi melihat hewan aneh, buas, dan dia sangat ketakutan. Soalnya, hewan itu punya tiga baris gigi! Gila, kan?”

Si C, yang mendengar cerita itu, lalu menceritakannya pada Si D, “Menurut Si C, Si A tadi melihat hewan buas, aneh, dengan tiga baris gigi mengerikan. Hewan itu juga punya ekor yang ujungnya berduri. Kira-kira hewan apa yang telah dilihat Si A, kok wujudnya aneh begitu?”

Si D lalu menceritakan ulang pada Si E, dan begitu seterusnya. Tiap kali cerita berpindah mulut, deskripsinya berubah, karena si pencerita menambah-nambahi. Hasilnya, seperti yang kemudian diyakini masyarakat Yunani kuno, adalah hewan yang mereka sebut manticore.

Manticore adalah hewan mitos yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya, karena ia hanya “khayalan” orang-orang yang doyan menambah-nambahi cerita. Karena hewan yang sebenarnya dilihat Si A adalah harimau, dan harimau jelas jauh berbeda dengan sosok manticore.

Dalam kasus ini, yang jadi topik pembicaraan adalah hewan, yang ujung-ujungnya cuma menjelma mitologi. Bayangkan jika sosok yang dibicarakan adalah dirimu. Orang yang aslinya baik, bisa berubah buruk, ketika melewati cocot orang per orang—hanya karena sentimen pribadi. 

Waktu Berjalan

Waktu berjalan seperti hantu melintas di kegelapan malam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Geli-geli Gimana

Entah kenapa, sampai sekarang masih "geli-geli gimana" tiap nemu kata "bahenol". Itu asal usul katanya gimana, ya? Dan siapa pencipta/penemu kata itu?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Maret 2019.

Teringat Zaman SMA

Tiap lihat orang Arab fasih ngomong Jawa, aku mesti teringat teman-teman zaman SMA. (Sebagian orang pasti paham dulu aku sekolah di SMA apa).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2019.

Sering Kali

Memang, sering kali yang mengerikan bukan yang ada di luar sana, tapi yang ada di kepala kita.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Siklus Harian

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, dan udud. Siklus harian yang mestinya membosankan, tapi ternyata bisa dinikmati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019.

Merasa Kaya

Mengapa kebanyakan kita suka mengumpulkan barang, dan merasa senang mendapati kulkas di rumah penuh makanan? Karena nenek moyang kita juga begitu. Zaman mereka masih tinggal di gua-gua, mereka juga senang mengumpulkan aneka makanan, dan "merasa kaya" dengan adanya banyak barang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2019.

Pensiun Dini

Kadang bingung dengan konsep pensiun dini. 

Orang ingin pensiun dini, biasanya karena tidak mencintai pekerjaannya. Kalau tidak mencintai pekerjaan, biasanya sulit sukses. Kalau tidak sukses, bagaimana bisa pensiun dini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2019.

Ditelepon Kantor Pajak

Barusan ditelepon kantor pajak. Seorang wanita bersuara ramah berbicara, "Laporan pajak Anda xcwlitrn asfaopu et etjsxsd KYRS sfkk wererwevs sdgdgdiee vskik ewrl rewr ewtpvvx etertery cxbcxbcbd. Begitu..."

Aku menjawab, "Ya, ya," tapi sebenarnya tidak paham blas dia ngomong apa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Sak Klengermu

Iyo.

Senin, 01 September 2025

Lapisan Pengetahuan dan Keyakinan

Ada banyak hal yang memiliki lapisan. Bumi, misalnya, memiliki banyak lapisan, dan pengetahuan manusia belum mampu mengetahui apa yang ada di lapis terdalam. Begitu pun langit, dan hal-hal di antaranya. Semuanya menjadi pengetahuan, dan di dalam pengetahuan pun ada lapisan.‏
 
Siapa yang menjamin pengetahuan yang kita tahu memang benar? Bisa jadi, pengetahuan yang kita tahu—dan kita yakini—sebenarnya salah, karena kita hanya mendapat pengetahuan di lapis terluar yang ternyata hasil rekayasa. Ada banyak pengetahuan yang sebenarnya salah, tapi terkenal.

Selama puluhan tahun, misal, kita mendapat pengetahuan soal sejarah PKI, juga heroisme dan kehebatan tokoh-tokoh tertentu. Belakangan, kita tahu pengetahuan soal PKI hanya rekayasa, sementara heroisme dan kehebatan tokoh-tokoh tertentu yang semula sangat meyakinkan kini mulai dipertanyakan.

Di ranah internasional, kita mengenal tragedi Holocaust yang konon menewaskan 6 juta orang Yahudi. Dunia dipaksa mempercayai kisah itu, tanpa ada kesempatan mempertanyakan. Selama puluhan tahun, Holocaust dianggap kebenaran mutlak, sampai kemudian ada yang berani membongkar.

“Sejarah ditulis pemenang.” Memang tidak selalu begitu, tapi seringnya begitu. Dan kita telah diberitahu kenyataan itu sejak dulu, tapi sering lupa, dan menerima serta mempercayai apa saja yang ditulis oleh para pemenang—siapa pun mereka. Dari situlah muncul lapisan demi lapisan dalam sejarah, pengetahuan, sampai sistem keyakinan.

Selalu ada kemungkinan bahwa sejarah yang kita tahu hanyalah hasil rekayasa. Begitu pula pengetahuan yang kita terima dan kita percaya. Untungnya, sejarah masih memungkinkan pengungkapan, dan pengetahuan masih memungkinkan revisi. Tapi bagaimana dengan sistem keyakinan?

Orang mungkin masih tersenyum saat diberitahu bahwa sejarah yang ia pelajari ternyata salah. Orang juga masih bisa tertawa saat diperlihatkan bahwa pengetahuan yang ia tahu ternyata keliru. Tapi apa yang sekiranya terjadi saat orang diberi tahu bahwa keyakinannya salah dan keliru?

Di zaman kuliah dulu, salah satu mata kuliah yang kuambil adalah Studi Tokoh Islam. Masing-masing mahasiswa membuat makalah mendalam seputar satu tokoh yang dipilih, dan mempresentasikannya. Aku dapat tugas membahas tokoh X (sori, tak bisa kusebutkan namanya).

X adalah tokoh Islam terkemuka, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Temuan, wawasan, serta berbagai perspektifnya, telah membuka cakrawala pengetahuan yang mempengaruhi dunia. Siapa pun yang cukup gaul pasti kenal tokoh ini. Tapi ternyata ada sesuatu yang "mengerikan".

Semakin dalam aku menelusuri kisah hidup tokoh X, semakin bermunculan fakta-fakta aneh dan tak terbayangkan—mungkin lebih tepat disebut “memalukan”. Saat kukonfirmasikan ke dosen, dia menyatakan, “Itu (fakta-fakta memalukan tersebut) benar, tapi sebaiknya jangan diungkapkan.”

Jadi, aku kemudian menulis makalah seputar tokoh X dan hanya menyebutkan sisi-sisi baik serta kehebatannya, tanpa sedikit pun menyebutkan “hal memalukan” yang ia lakukan. Dalam hal itu, aku telah sengaja menyingkirkan satu lapis dari tokoh X, dan hanya menyebutkan lapis terluar.

Itu contoh sederhana bagaimana pengetahuan yang kita dapatkan (dan kita percaya) tidak pernah terjamin benar seutuhnya, karena selalu ada kemungkinan tangan-tangan tak terlihat telah sengaja menyuguhkan apa yang ingin disuguhkan, dan menyingkirkan apa yang ingin disingkirkan.

Dalam contoh tersebut, “rekayasa” yang kulakukan tergolong “soft”, karena hanya memunculkan yang ingin kumunculkan, sambil menyembunyikan yang ingin kusembunyikan. Dalam hal itu, aku sama sekali tidak membengkokkan atau memanipulasi fakta hingga menyimpang atau berubah.‏
 
Tapi bagaimana dengan banyak pengetahuan yang kita dapat selama ini? Siapa yang menjamin kalau pengetahuan itu sama sekali tanpa rekayasa? Dan kalau rekayasa benar terjadi, siapa yang menjamin kalau mereka hanya menyembunyikan sebagian fakta tanpa membengkokkan dan memanipulasi?

Kehidupan yang tidak direfleksikan, kata bocah terkenal di Yunani Kuno, adalah kehidupan yang tidak pantas dijalani. Sekarang, aku memikirkan hal serupa. Jangan-jangan, pengetahuan dan keyakinan yang tidak dipertanyakan adalah pengetahuan dan keyakinan yang tidak pantas diyakini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 April 2019.

Penipuan Terbesar di Dunia

Penipuan itu terjadi di depan mata kita—sewaktu-waktu—dan kita sering kali ikut terlibat di dalamnya, berpura-pura seolah itu tidak terjadi. Kita tahu itu penipuan, tapi kita pura-pura tak tahu, begitu pula orang lain, dan orang yang sedang menjadi korban penipuan. 

Penipuan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu, semakin banyak korban yang tertipu. Dan semua orang tetap pura-pura tak tahu. Beberapa korban kadang menyadari telah tertipu, tetapi kebanyakan mereka malu mengakuinya. Alih-alih mengakui dan memberi tahu orang lain agar tidak tertipu seperti dirinya, mereka justru berusaha agar orang-orang lain tertipu seperti mereka.  

Maka gaya hidup baru pun dimulai. Orang-orang yang telah jadi korban penipuan berusaha menarik orang-orang lain agar tertipu seperti mereka. Bukannya memberi tahu orang lain atas jebakan tipuan yang telah memerangkap mereka, orang-orang itu justru berusaha menipu orang-orang lain tentang kondisinya. 

Bertahun-tahun bahkan berabad-abad kemudian, penipuan itu telah jadi kebudayaan, dan diwariskan turun temurun. Kita adalah anak-anak hasil tipuan yang memerangkap orang-orang dari masa lalu. Dan, bisa jadi, kita pun akan terus melanjutkan perjalanan penipuan itu, dan mewariskannya kepada anak-anak kita.

....
....

Kadang-kadang aku ngeri menjadi manusia.

Punya Kesibukan

Orang yang punya kesibukan adalah orang yang beruntung. Karena setidaknya ia fokus pada kesibukannya, bukan ngerusuhi kehidupan pribadi orang lain.

Kantor Wali Kota Dibakar

Kantor Wali Kota Pekalongan dibakar massa. Di tengah berita demonstrasi hari-hari ini, berita itu mungkin terdengar "wajar". Tapi peristiwa itu sebenarnya sangat janggal dan tak masuk akal. Alasannya sangat sederhana; warga Pekalongan tidak punya masalah dengan wali kotanya!

Jika para jurnalis meliput peristiwa itu, coba wawancarai warga Pekalongan yang benar-benar tinggal di Pekalongan. Mereka akan menyatakan keheranan terkait peristiwa itu. Karena jika warga Pekalongan benar-benar melakukan demonstrasi, mereka tidak akan membakar kantor wali kota!

Rata-rata warga Pekalongan percaya bahwa para pelaku pembakaran kantor wali kota dan penjarahan yang mengikutinya bukan warga Pekalongan. 

Sejak awal, aksi demonstrasi beberapa hari ini sudah tidak wajar. Hati-hati, guys, semua yang terjadi saat ini tidak seperti yang terlihat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Agustus 2025.

Jadi Akik

“Setelah itu, kamu jadi apa?”

“Setelah itu, aku jadi akik.”

....
....

Uwong ora ilmiah blas!

Memahami Arti Agama

Jadi kepikiran. Di Indonesia gak ada ya, situs ala Church and State gitu? Setahuku, yang "agak gila" kayak gitu cuma Indonesian Faith Freedom (terjemahan dari situs berbahasa Inggris). Tapi itu pun diblokir di Indonesia, dan entah masih aktif sampai sekarang atau tidak.

Padahal situs-situs kayak gitu sebenarnya dibutuhkan, agar kita—atau setidaknya sebagian dari kita—bisa belajar tentang agama secara (lebih) objektif, khususnya dari orang yang tidak beragama. Itu tidak saja menambah kearifan dalam beragama, tapi juga untuk menguji iman kita.

Dulu, salah satu mata kuliahku di kampus adalah Perbandingan Agama-Agama. Isinya agak ngeri. Pernah, teman sebelahku di kelas berbisik, "Aku khawatir, begitu keluar kelas, aku sudah kafir."

Tapi nyatanya dia tetap taat beragama, dan tetap tekun beribadah... sampai sekarang.

Dalam pikiranku, orang baru benar-benar memahami arti agama, ketika keyakinannya dalam beragama dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dan realitas-realitas yang secara telak menghantam iman dan keyakinannya... lalu dia berusaha, belajar sangat keras, untuk menemukan jawabannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Agustus 2019.

Percakapan dalam Film

Yang aku suka dari banyak film Hollywood: Tokoh-tokoh dalam film sering kali berbicara dengan nada rendah, dengan kalimat yang simpel (tidak terdengar cerewet), tapi mengandung makna yang dalam.

Kalimat dalam percakapan adalah hal yang selalu kuperhatikan dalam film.

Ada orang-orang yang kalau ngomong kelihatan pinter banget, tapi sebenarnya kosong gak ada isinya.

Kadang kita perlu melakukan hal yang benar, meski hati kita sakit. —Mera, mbakyunya Aquaman


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2019.

Minum Klorofil

Mau beli klorofil, tapi marketplace langganan lagi eror.

Hari gini masih minum klorofil? 

Lhoh, jangan salah. Bocah-bocah superhero, khususnya yang tergabung dalam Avengers, juga minum klorofil. Kalau mereka lagi ngumpul di rumah Tony Stark, minumnya klorofil. Fyi aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 April 2019.

 
;