Rabu, 01 Oktober 2025

Sandwich Generation dan Pola Pikir Masa Lalu

HSBC Bank pernah melakukan survei pada pekerja formal di Indonesia terkait perencanaan setelah pensiun. Hasilnya, 30% responden sudah menyiapkan diri dalam bentuk investasi, sementara sisanya yang 70% mengandalkan bantuan keuangan anak-anaknya kelak. 

Ada banyak orang tua mengandalkan anak-anaknya, dan anak-anak itu lalu harus menghidupi keluarganya sendiri juga menghidupi orang tuanya. Fenomena itulah yang lalu populer disebut “sandwich generation”—generasi yang terjepit dari atas dan bawah. Dari atas, orang tua menuntut bantuan. Dari bawah, ada kebutuhan si anak sendiri [apalagi kalau sudah punya keluarga sendiri.]

Sandwich generation sebenarnya tidak masalah, kalau si anak memang hidup berkelimpahan, atau setidaknya berkecukupan, sehingga bisa mengulurkan bantuan keuangan untuk orang tua yang sudah pensiun atau sudah sepuh dan tidak lagi bekerja. Tapi bagaimana jika si anak justru hidup pas-pasan?

Bagi banyak orang, hidup saja sudah susah. Menjalani kuliah sampai lulus, susah. Mencari kerja, susah. Memenuhi kebutuhan sehari-hari, susah. Menggapai cita-cita atau impian, susah. Jika generasi susah ini masih dituntut jadi “sandwich”, itu seperti menimpakan beban yang bertambah-tambah.

Sandwich generation, dalam perspektif saya, adalah hasil kekeliruan cara berpikir. Manusia senang “mengidealkan” masa depan—itulah inti masalahnya! Manusia senang membayangkan “hidup bahagia selama-lamanya”, lalu punya anak-anak yang mengurus mereka.

Yang jadi masalah, pola pikir semacam itu sebenarnya warisan masa lalu yang sudah tidak relevan. Seratus tahun lalu—apalagi seribu tahun lalu—jelas berbeda dengan zaman sekarang. Karena zaman sudah berubah, cara berpikir mestinya ikut berubah. Dan inilah masalahnya.

Kita didoktrin untuk percaya pada sesuatu yang sebenarnya hanya relevan di masa lalu. Akibatnya, banyak dari kita yang menjalani hidup di masa sekarang, tapi masih menggunakan pola pikir masa lalu. Sandwich generation hanyalah satu di antara banyak masalah lain yang kemudian lahir.

Di masa lalu belum ada globalisasi; anak masih hidup berdekatan dengan orang tua, meski sudah menikah dan punya keluarga sendiri. Kenyataan itu lalu melahirkan pola pikir “orang tua mengandalkan anak”. Relevan di masa lalu, tapi bisa menjadi masalah di masa kini.

Globalisasi—yang dapat memisahkan anak dan orang tua hingga hidup sangat berjauhan—hanyalah satu hal. Masih ada hal-hal lain yang menjadikan doktrin masa lalu, khususnya terkait sandwich generation, sulit diterapkan di masa sekarang, dan bisa berbuah kekecewaan.

Seperti yang saya sebut tadi, masalah ini berawal dari kekacauan pola pikir. Orang tua di masa lalu berpikir anak adalah investasi yang menguntungkan, dan itu sah. Karena kehidupan di masa lalu memang memungkinkan untuk “menanamkan investasi pada anak-anak”.

Tapi berpikir “anak adalah investasi” di masa sekarang bisa menimbulkan aneka masalah, karena—kalau menggunakan perspektif investasi—“investasimu belum tentu menguntungkan, tapi malah bisa rugi besar”. Masalah bagi orang tua, juga masalah bagi si anak.

Anak zaman dulu mungkin mudah percaya pada aneka doktrin yang dicekokkan ke kepala mereka. Tapi anak zaman sekarang sudah mulai menyadari bahwa “anak tidak minta dilahirkan”. Kesadaran itu, entah kita sadar atau tidak, membawa implikasi yang luar biasa besar.

Anak tidak minta dilahirkan. Kalau kamu punya anak, itu keputusanmu, bukan keputusan si anak. Karena itu keputusanmu, kamulah yang bertanggung jawab, bukan sebaliknya. Semakin ke sini, semakin banyak anak yang sadar soal ini.

Kita meributkan sistem dan isme-isme, tapi yang kita ributkan selalu yang ada di luar sana; kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan aneka isme lain. Seiring dengan itu, kita melupakan sistem yang kita bangun sendiri, isme yang ada di kepala dan keyakinan kita sendiri.

Kita membangun sistem yang angkuh berdasar doktrin yang seharusnya mulai dibongkar dan dipertanyakan, kita membangun isme yang kita yakini benar padahal sudah harus dikaji ulang. Karena sistem dan isme yang disandarkan pada masa lalu hanya relevan untuk masa lalu.

Bahagia Tidak Sesederhana Itu

Sampai sekarang aku lagi mikir. Tempo hari, ada foto yang viral di Twitter, memperlihatkan seorang pria yang duduk dan memangku anaknya di trotoar. Mereka saling berhadapan dan tampak tertawa.

Netizen menyebarkan foto itu, dan menambahkan kalimat, "Bahagia itu sederhana."

Yang kupikirkan... bagaimana kita tahu mereka benar-benar bahagia?

Apakah pria yang memangku anaknya di trotoar itu memang bahagia? Mungkin, ya. Tapi mungkin pula dia sedang stres memikirkan kehidupan mereka, dan satu-satunya cara menyenangkan anaknya adalah membuatnya tertawa.

Terkait kebahagiaan—atau perasaan lain—kita sepertinya punya kecenderungan untuk merasa lebih tahu dibanding orang yang merasakannya. Kita terlalu terbiasa untuk menilai seseorang dari penampakannya, padahal perasaan (termasuk kebahagiaan) adalah sesuatu yang tak terlihat.

Apakah kamu bahagia atau tidak, hanya kamu yang tahu, karena itu perasaanmu—sesuatu yang tak terlihat orang lain. Kamu bisa memasang wajah ceria dan menyuarakan tawa membahana, dan seiring dengan itu kamu menangis diam-diam tanpa seorang pun tahu. Orang lain tidak tahu perasaanmu.

Kita juga bisa melihat seseorang yang tampak gembira, menjadi pusat perhatian di mana-mana, dan kita menganggapnya bahagia, sambil mungkin diam-diam iri kepadanya. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata dia kesepian... dan bersembunyi balik topeng popularitas serta keceriaannya?

"Aku lelah," kata Marilyn Monroe.

Dia mengatakan kata-kata itu saat berada di puncak popularitas, tangga tertinggi yang diimpikan jutaan perempuan lain, ketika dunia sedang memujanya. Satu hari kemudian, dia ditemukan tewas karena overdosis.

Kita tidak tahu perasaan orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Januari 2019.

Lihat Perempuan Cerdas Kok Takut

Di Twitter, khususnya di timeline-ku, banyak wanita cerdas dan berwawasan luas dengan pemikiran yang kritis—terkait diri mereka sendiri, maupun terkait kehidupan secara luas. Bagi sebagian orang, kenyataan ini bisa jadi “mengerikan” dan membuat mereka “khawatir”.

Karenanya tidak heran kalau tempo hari ada rekaman video viral berisi seorang ustaz yang mengatakan, “Kesalahan perempuan zaman now adalah menomorsatukan pendidikan, dan bukan menikah.”

Bahkan sebagai lelaki, aku terluka mendapati kalimat itu. Apalagi perempuan.

Meski pahit, kenyataannya ada banyak lelaki yang rendah diri, dan merasa inferior saat berhadapan dengan wanita hebat. Jadi, alih-alih berupaya memperbaiki diri, laki-laki inferior itu berusaha sekuat tenaga agar perempuan tetap bodoh dan terbelakang, agar bisa terus direndahkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Februari 2019.

Memiliki Diri Sendiri

Dalam kehidupan siapa pun, akan tiba suatu hari ketika yang kita inginkan hanyalah memiliki diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Yang Menjadikan Hidup Ini Berat

Yang menjadikan hidup ini berat bukan hidup itu sendiri, tapi keberadaan orang-orang yang merasa dirinya lebih benar atau lebih suci, lalu memaksa semua orang menjalani hidup seperti dirinya. Sejak zaman Neanderthal, orang-orang semacam itulah yang selalu menimbulkan masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2019.

Tidak Harus Sama

Kamu tidak harus sama dengan orang lain. Kalau kamu berbeda, tidak apa-apa.

Menemukan Keindahan

Kita hanya hidup untuk menemukan keindahan, hal yang lain hanyalah bentuk penantian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Kesunyian Masing-masing

Seseorang berkata, "Nasib adalah kesunyian masing-masing." Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Nama Asli Kue Nastar

Baru tahu.

Ternyata, nama asli kue nastar adalah ananas taart. Sedangkan nama asli kastangel adalah kaas stengels.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2019.

Hari

Hari yang sangat tidak environmental.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Februari 2019.

Sabtu, 20 September 2025

Lelaki di Titik Nol

Sebelas bulan yang lalu, saya menulis catatan di BSM, berjudul Di Bawah Remang Rembulan. Catatan itu mengisahkan saya dan Adit yang mengunjungi Hakim, teman kami, yang waktu itu lagi frustrasi karena menganggur cukup lama setelah kena PHK. Saya mencoba menghubungkan Hakim dengan Alvin, siapa tahu Alvin bisa menerima Hakim bekerja di tempatnya. Saat saya menulis catatan ini, Hakim telah bekerja di tempat Alvin. 

Alvin dan Hakim juga Adit kuliah di kampus yang sama, dan mereka saling kenal. Tapi mereka tidak akrab dengan Alvin, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya yang tidak sekampus dengan Alvin malah akrab dengannya, dari dulu sampai sekarang. Mengapa keanehan semacam itu bisa terjadi? Catatan ini akan mengungkapkan latar belakangnya. 

Kisahnya dimulai bertahun-tahun lalu, saat kami sama-sama awal kuliah. Dan saya mengenal Alvin bukan dari kampus, tapi dari warnet.

Awal 2000-an sampai menjelang 2010, akses internet belum semudah sekarang, khususnya di tempat saya. Karenanya di masa itu banyak warnet (warung internet), yang menyediakan akses internet dengan biaya per jam. Pada masa itu pula, saya mulai kuliah, dan kerap butuh internet untuk menunjang kegiatan kuliah. Jadi saya pun sering mengunjungi warnet.

Ada satu warnet yang sering saya kunjungi, dan warnet itu dijaga seorang pria seumuran saya. Di sanalah awal perkenalan saya dengan Alvin. Pada masa itu, Alvin bekerja sebagai penjaga warnet yang dapat shift sore sampai tengah malam. 

Biasanya, saya datang ke warnet sekitar pukul 20.00. Itu jam ramai, karena pengguna internet kebanyakan datang ke warnet sekitar jam itu. Kalau warnet sedang full pengunjung, saya harus antre, dan penjaga warnet menyodorkan bangku agar saya bisa duduk. Jadi saya pun duduk di sana, menunggu ada pengguna warnet yang selesai, lalu saya bisa menggantikannya. Dari moment itu pula, saya dan penjaga warnet kadang bercakap-cakap. Pada waktu itu saya belum tahu nama dia, sebagaimana dia juga tidak tahu siapa saya.

Karena saya termasuk pelanggan di sana, penjaga warnet itu pun hafal muka saya. Suatu malam, ketika saya sedang antre dan duduk di dekat mejanya, kami bercakap-cakap, sampai kemudian saling menyebut nama kampus tempat kami kuliah. Ketika mendengar nama kampusnya, saya kaget, lalu bertanya, “Kamu pasti kenal Miko, dong.” 

“Kenal,” dia menjawab, “kami satu semester.” Dia lalu balik bertanya, kok saya bisa kenal Miko.

Saya pun menjelaskan, Miko adalah teman saya sebelum kami kuliah, dan Miko pula yang belakangan membawa saya masuk ke sirkel kampusnya, hingga saya mengenal Adit, Hakim, Tanjung, Safik, dan lain-lain. 

Dari situ, percakapan kami lalu mengalir. 

Itulah awal perkenalan saya dengan Alvin. Bukan lewat kampus, tapi lewat warnet, ketika Alvin masih jadi penjaga warnet.

Selama kuliah, saya sering nyangkruk dengan sirkel Miko, dan bertemu dengan banyak orang lain yang sekampus dengannya, tapi saya tidak pernah bertemu Alvin. Ketika saya tanyakan hal itu pada Alvin, dia mengatakan, “Soalnya aku harus jaga warnet kalau malam hari, jadi nggak ada waktu buat kumpul-kumpul.” Setelah itu, dia menambahkan dengan senyum, “Lagi pula, sirkel Miko isinya anak-anak orang kaya, bukan anak miskin kayak aku.”

Pengakuan itu mungkin terlalu jujur, tapi faktanya memang begitu. Sirkel Miko di kampus dulu memang isinya anak-anak kalangan atas. Di waktu yang sama, Alvin adalah anak miskin yang kuliah sambil berjuang menyambung hidup. 

Alvin merasa tidak cocok berbaur dengan sirkel Miko, dan, di sisi lain, sirkel Miko juga mungkin merasakan hal yang sama. Ini fakta pahit yang mungkin ada di kampus mana pun. Sebagian mahasiswa menikmati masa kuliah dengan kebersamaan dan canda tawa, sementara sebagian mahasiswa lain menjalani kuliah dengan kesendirian dan keprihatinan.
 
Jadi, kegiatan Alvin setiap hari adalah kuliah dari pagi sampai siang. Pulang kuliah, dia beraktivitas di rumah, lalu sore hari berangkat ke warnet tempatnya bekerja, sampai tengah malam. Pukul 00.00, jam kerja Alvin di warnet selesai, lalu dia pulang, tidur, dan besoknya kembali berangkat kuliah, dan begitu seterusnya. Dengan kegiatan harian yang padat seperti itu, Alvin tidak punya waktu luang seperti umumnya mahasiswa lain. 

[Belakangan, Alvin bahkan cuti kuliah, dan tidak masuk kampus selama dua semester atau setahun, hingga makin sulit baginya untuk bertemu teman-teman seangkatannya. Cerita soal ini ada di bawah.]

Karena sering datang ke warnet, saya pun makin akrab dengan Alvin. Percakapan yang awalnya dangkal seperti dua orang asing, seiring waktu berubah jadi percakapan mendalam sebagaimana dua orang yang berteman. Dari situ, saya mulai menyadari kalau Alvin sangat pintar, dengan wawasan yang luar biasa. Ketika saya katakan itu kepadanya, Alvin tertawa dan mengatakan, “Lhah, saban malam aku di sini (maksudnya menjaga warnet dan mengakses internet). Jadi rasanya kayak dipaksa belajar tanpa henti.”

Internet di masa itu sebenarnya belum selengkap sekarang. Tapi bahkan di masa itu, internet telah jadi perpustakaan raksasa dengan aneka pengetahuan. Belakangan, hal itulah yang merekatkan hubungan kami, karena percakapan-percakapan kami kian menyenangkan. Bukan percakapan ringan yang dangkal, tapi percakapan-percakapan mendalam yang membuat kami sama-sama berpikir. Kami menikmati percakapan semacam itu.

Suatu malam, seiring kedekatan kami, Alvin mengatakan, “Minggu depan, aku dapat jatah libur. Aku boleh main ke tempatmu?”

“Silakan,” saya menjawab dengan senang.

Di masa itu saya masih ngontrak, dan Alvin benar-benar datang di waktu yang dijanjikan.

Di ruang tamu, kami mengobrol dengan asyik. Di waktu itu pula, Alvin sempat melihat perpustakaan di rumah saya, dan, sambil memandangi buku-buku di sana, ia berkata, “Sekarang aku paham kenapa aku betah ngobrol denganmu. Kamu bisa nyambung diajak ngobrol apa pun, dan ternyata sebanyak ini referensimu.” 

Kami lalu melanjutkan percakapan di ruang perpustakaan, dan saya mulai menyadari kalau Alvin seorang introver seperti saya. Ia mengaku kurang bisa berbasa-basi, juga merasa kaku saat berinteraksi dengan orang lain kalau “tidak nyambung”. Selama menjaga warnet, komunikasi Alvin dengan para pengunjung warnet hanya sebatas menyebutkan biaya sewa, menerima pembayaran, dan mengucap terima kasih—sudah. Tidak ada basa-basi panjang, tidak ada percakapan macam-macam.

Karenanya, dia mengaku “takjub” saat kami bertemu dan bisa bercakap-cakap sampai lama, bahkan kemudian akrab, hingga belakangan dia dolan ke rumah saya. 

Latar belakang itu pula yang tampaknya menjadikan Alvin kurang akrab dengan Adit dan Hakim, meski mereka sekampus. Adit dan Hakim, dan bisa jadi teman-teman yang lain, mungkin kurang terbiasa berinteraksi dengan orang seperti Alvin yang, menurut mereka, “terlalu ilmiah”—jenis orang yang hanya mau membicarakan hal-hal penting, dan malas kalau diajak ngobrol hal-hal tidak penting.

Kunjungan Alvin ke rumah saya waktu itu belakangan berlanjut dengan kunjungan-kunjungan lain—khususnya saat dia dapat jatah libur dari tempat kerjanya—dan hubungan kami semakin dekat. Dari situ, kami mulai tahu latar belakang masing-masing. Ketika tahu kalau saya berasal dari keluarga miskin, Alvin pun mulai membuka diri.

Alvin adalah anak pertama dengan dua saudara. Sejak Alvin lahir, keluarganya tinggal di rumah kakek dari pihak ayah. Ayah Alvin bekerja sebagai makelar kendaraan, sehingga penghasilannya tidak pasti. Karenanya, Alvin pun kuliah dari hasil kerja sebagai penjaga warnet dan ditunjang beasiswa.

Ketika Alvin lulus SMA, ibunya meninggal. Kemudian, ketika Alvin masuk semester dua di kampusnya, giliran ayahnya meninggal. Kematian sang ayah menjadi awal petaka bagi Alvin dan dua adiknya.

Karena rumah yang ditinggali keluarga Alvin adalah milik sang kakek, rumah itu pun tidak hanya menjadi milik ayah Alvin, tapi juga milik ahli waris lain (adik-adik ayah Alvin). Ketika ayah Alvin meninggal, para ahli waris meminta hak waris mereka. Singkat cerita, rumah itu lalu dijual, dan hasilnya dibagi di antara ahli waris. Alvin dan adik-adiknya menggunakan uang warisan mereka untuk ngekos, dan sejak itu pula mereka tinggal di tempat kos.

Ketika peristiwa itu terjadi, adik-adik Alvin masih SMA, dan Alvin menyadari bahwa cepat atau lambat uang warisan mereka akan habis untuk membiayai kehidupan dan sekolah mereka. Sementara penghasilan Alvin sebagai penjaga warnet hanya cukup untuk membiayai kuliahnya. Alvin pun memutar otak, mencari cara mengatasi masalah itu. 

Alvin lalu terpikir membuat angkruk untuk jualan. [Angkruk adalah sebutan untuk warung semi permanen, biasanya dibuat menggunakan kayu atau baja ringan. Saya tidak tahu apa sebutannya di tempat lain.] Ide itu tercetus karena Alvin sering mendapati pengunjung warnet yang kehabisan rokok, dan terpaksa pergi jauh untuk membeli rokok. Pikir Alvin, apa salahnya kalau dia mencoba jualan rokok dan barang-barang lain di dekat warnetnya?

Jadi, Alvin lalu nekad menggunakan sebagian uang warisan untuk membuat angkruk, dan mengisinya dengan aneka jualan. Agar angkruk itu dapat beroperasi penuh, Alvin memutuskan untuk cuti dari kuliah. Pagi-pagi sekali, Alvin membuka angkruknya, dan berjaga di sana sampai sore. Setelah itu, gantian adiknya yang berjaga di angkruk, sementara Alvin memulai kerja di warnet. Jarak antara angkruk dengan warnet relatif dekat dan, seperti yang diperkirakan Alvin sebelumnya, angkruk miliknya jadi andalan para pengunjung warnet untuk mendapatkan rokok, air mineral, atau cemilan.

Satu tahun kemudian, angkruk itu masih berdiri, dan barang yang dijual di sana semakin banyak. Salah satu adik Alvin lulus dari SMA, dan bersedia menjaga angkruk itu seharian. Jadi Alvin pun bisa kembali kuliah, sambil tetap bekerja sebagai penjaga warnet, juga membantu-bantu adiknya yang berjualan di angkruk.

Di masa-masa itulah awal saya mengenal Alvin yang sering saya temui di warnet. Saya memang melihat ada angkruk di dekat warnet, tapi saya tidak tahu itu milik Alvin, juga tidak tahu bagaimana latar belakang berdirinya angkruk itu, bahkan saya tidak tahu kalau orang yang berjualan di angkruk itu adik Alvin.

Jadi, saya kenal hingga berteman akrab dengan Alvin jauh sebelum dia seperti sekarang. Sebenarnya, seperti yang dikatakan sendiri oleh Alvin, di masa itu dia bahkan berada di titik nol dalam kehidupannya. Ketika dia tidak lagi memiliki orang tua, kehilangan rumah yang semula ia tempati, sampai terpaksa cuti kuliah demi menambah penghasilan agar dapat membiayai sekolah dan kehidupan adik-adiknya.

Dan bertahun-tahun kemudian, lelaki yang jatuh di titik nol itu berhasil membangun kehidupannya hingga sukses dan kaya, hingga teman sekampusnya yang frustrasi akibat PHK bisa bekerja padanya.

Hidup memang naik turun. Yang saat ini di bawah bisa naik, dan yang di atas bisa turun. Saya belajar untuk tidak mudah silau pada yang gemerlap, dan tidak memandang rendah pada yang sedang merangkak dalam gelap. Karena kilau paling cemerlang bisa memudar, dan setelah kegelapan paling pekat selalu datang cahaya.

Musim Semi yang Tersenyum

Di setiap jantung musim dingin terdapat musim semi yang bergetar. Di balik selubung malam terdapat fajar yang tersenyum.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Einstein dan Udud

Kita tentu sepakat bahwa Albert Einstein adalah salah satu orang genius di abad modern. Yang menarik dari Einstein bukan hanya kecerdasannya yang luar biasa, tapi juga kebiasaan-kebiasaannya dalam hidup sehari-hari. Dan salah satu kebiasaannya adalah udud.

Udud, bagi Einstein—saya kutip kalimatnya secara verbatim—“sesuatu yang berkontribusi dalam proses penilaian yang menenangkan dan objektif dalam semua urusan manusia.” Apa pun artinya. Yang jelas, sejarah mencatat bahwa Einstein seorang perokok berat.

Einstein biasa merokok pakai pipa, dan selalu menyiapkan tembakau di kantong. Einstein juga suka jalan kaki—itu kebiasaannya yang lain. Jika dia sedang asyik berjalan, dan tembakaunya habis, dan kebetulan menemukan puntung rokok di jalan, dia akan mengambilnya.

Dia ambil puntung rokok itu, lalu menggunakan tembakaunya untuk ia bakar di pipa—lalu melanjutkan ududnya. Karena kebiasaan itu, orang-orang biasa menyaksikan asap tembakau selalu mengikuti Einstein saat dia berjalan. 

Tentu saja Einstein genius bukan karena udud.

Penelitian modern menyatakan bahwa merokok menghentikan pembentukan sel-sel otak, menipiskan korteks serebral (lapisan luar otak yang bertanggung jawab atas kesadaran), dan menyebabkan otak menginginkan oksigen. Rokok juga, konon, bisa menyebabkan kanker paru-paru.

Tapi ada yang aneh terkait udud ini. Sebuah penelitian di AS menganalisis 20.000 remaja, yang kebiasaan dan kesehatannya dipantau selama 15 tahun. Hasilnya, tanpa melihat umur, latar belakang etnis atau pendidikan, anak-anak yang lebih cerdas merokok lebih banyak!

Jadi, apakah kebiasaan udud memang memiliki kaitan dengan kecerdasan, atau malah mengerutkan otak (bikin orang jadi bodoh), atau bagaimana? 

Entahlah. Tiba-tiba saya ingin udud.

Jalan Lain

Tak ada solusi. Hanya ada jalan lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Menginginkan Pelangi

Jika kita menginginkan pelangi, kita harus rela menerima rintik hujan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Monster

Monster tidak dicipta. Ia dibentuk.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Juli 2012.

Awal dan Akhir

Cinta diawali dengan senyuman, tumbuh bersama ciuman, namun sering berakhir dengan tangisan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Glorifikasi Mi Instan

Selain kucing, hal lain yang sering muncul di TL-ku adalah glorifikasi mi instan. Aku menyebutnya “glorifikasi”, karena puja-puji yang dilayangkan pada mi instan sudah sampai taraf tak masuk akal—setidaknya menurutku. Seolah tidak ada makanan lain di dunia selain mi instan.

Selama bertahun-tahun, aku pernah mencoba berbagai macam merek mi instan, rebus maupun goreng, dari yang standar sampai yang mahal. Dan menurutku, semua mi instan itu... B aja. Belum pernah aku makan mi instan lalu “terkesan” seperti orang-orang di Twitter yang memujanya.

Jadi, aku bertanya-tanya, apakah cara masakku yang keliru? Atau mungkin perlu menambahkan bumbu-bumbu dan sayur tertentu yang dibeli sendiri? Atau bagaimana? Intinya, aku heran kenapa orang-orang begitu memuja kelezatan mi instan, sementara menurutku biasa saja. 

Mungkin aku perlu kencan dengan seseorang yang biasa masak mi instan dan memuja mi instan, dan melihat cara dia memasak mi instan, dan aku ikut mencicipinya, untuk membuktikan semua glorifikasi di TL. Tapi intinya aku hanya ingin berkencan dengan seseorang saja, sih.

Iki aku ngomong opo?

Hari Terkutuk

Di hari terkutuk itu, bahkan penjual nangka tidak jualan.

Setan Tidak Dibelenggu

Setan tidak dibelenggu. Ia masih menggodaku untuk menggodamu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juli 2012.

Satu Jam Lalu

Begitu. Ya, itulah yang ingin kukatakan. Satu jam lalu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2012.

Rabu, 10 September 2025

Kebenaran yang Problematis

Unfortunately, “if I can do it, you can” is overrated.

Omong-omong soal overrated...

Umpama aku mengatakan, “Hanya dengan bermain bola, kamu bisa mendapat penghasilan miliaran, bahkan triliunan.” 

Kamu mungkin bertanya, “Apa iya?” 

Dan aku menjawab yakin, “Iya, buktinya Ronaldo!” 

Apakah perkataanku benar? Tentu benar. Tapi problematis.

Sama saja kalau aku mengatakan, “Hanya dengan ngobrol santai, terus direkam video, kamu bisa mendapat penghasilan tak terhitung banyaknya.” 

Kamu kembali memastikan, “Apa iya?” 

Dan lagi-lagi aku menjawab yakin, “Iya, contohnya Deddy Corbuzier.”

Pernyataan-pernyataanku, dalam dua contoh tadi, tentu saja benar, dan tidak terbantah. 

Benar dan tidak terbantah... sebagai fakta. 

Tapi benar sebagai fakta bukan berarti kemudian bisa dipegang dan ditelan mentah-mentah. Karena ada jenis kebenaran yang problematis.

Faktanya, Ronaldo mendapat penghasilan triliunan dari bermain bola. Faktanya, Deddy Corbuzier mendapat penghasilan miliaran dari ngobrol di podcast. 

Siapa pun tidak bisa membantah kenyataan itu, karena memang itulah faktanya. Tapi fakta itu tidak bisa berhenti di situ.

Maksudku, kita tidak bisa menggunakan Ronaldo atau Deddy Corbuzier untuk menggeneralisasi bahwa semua orang pasti bisa begitu. 

Orang seperti Ronaldo hanya nol koma nol nol nol nol sekian persen dari penduduk bumi. Bermimpi seperti dia bisa jadi sangat utopis.

Begitu pun, kita tidak bisa tiba-tiba membuat channel di YouTube, lalu mengundang orang-orang untuk ngobrol ala podcast, sambil berharap bisa menandingi Deddy Corbuzier. Bahkan umpama kita sepuluh kali lebih pintar dari dia, tetap saja tidak ada jaminan bisa seberhasil dia.

Apa artinya itu? Bahwa di dunia ini ada banyak kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran—dan siapa pun tidak bisa membantah kebenaran itu, karena nyatanya memang benar—tapi sebenarnya kebenaran itu problematis jika tidak disikapi secara bijak.

Ini bahkan jenis kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran, diakui sebagai fakta tak terbantah, bahkan disaksikan jutaan orang. Tapi bahkan seperti itu pun, kebenaran ini masih problematis. Apalagi jenis kebenaran yang masih kita ragukan kebenarannya?

Jadi, Ronaldo adalah pemain bola yang hebat dan mendapat penghasilan besar dari bermain bola—itu benar. 

Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Ronaldo sendiri. Kita tidak bisa menjadikan Ronaldo sebagai ukuran, “Kalau Ronaldo bisa, berarti kita juga bisa!”

Begitu pun, Deddy Corbuzier adalah podcaster dengan subscriber sekaligus penghasilan terbesar di Indonesia—itu benar. 

Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Deddy Corbuzier sendiri. Berpikir setiap orang bisa seperti dia, bisa jadi pikiran yang keliru.

Jadi, apakah kita tidak boleh meniru Ronaldo atau Deddy Corbuzier? 

Bukan begitu maksudku. Yang kumaksud, kita perlu meletakkan kebenaran (dalam hal ini prestasi/pencapaian) orang per orang sesuai proporsinya. 

Kalau kamu bisa, belum tentu aku bisa. Begitu pun sebaliknya.

Menggeneralisasi semua orang “kalau Si A bisa main bola, berarti semua orang juga bisa”, itu sebenarnya sudah keliru sejak dalam ginjal. 

Wong setiap orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, juga kemampuan dan bakat berbeda-beda. Tidak bisa digeneralisasi seenaknya.

Kamu mungkin tidak bisa bermain bola sehebat Ronaldo. Tidak apa-apa. Tapi kamu juga tentu punya kemampuan sendiri yang unik, yang benar-benar tepat dengan dirimu, yang sesuai bakat, kemampuan, dan passion-mu... yang tidak bisa dilakukan siapa pun di dunia, selain dirimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 November 2022.

Dari Mulut ke Mulut

Pada masa Yunani kuno, ada hewan mitologi terkenal bernama manticore atau mantichoras, yang digambarkan sebagai hewan buas dan ganas yang memiliki tiga baris gigi di masing-masing rahangnya, dan di ujung ekornya terdapat duri-duri runcing mengerikan.

Di zaman modern, para ilmuwan memprediksi bahwa sosok manticore sebenarnya rekaan orang di zaman kuno, karena ketakutan terhadap harimau, hewan yang baru dilihatnya. Beberapa orang di masa itu mungkin pertama kali menyaksikan harimau, lalu sangat ketakutan, dan menceritakannya ke orang lain.

Itulah ajaibnya omongan dari mulut ke mulut, dan “keajaiban” itu sudah terjadi sejak zaman Yunani kuno. Si A melihat harimau, ketakutan, lalu menceritakannya pada Si B. Mungkin Si A menggambarkan harimau yang dilihatnya secara akurat, tapi Si B lalu menambahi.

Mungkin Si A mengatakan pada Si B, “Aku melihat hewan aneh, besar, tampak buas, dan mengerikan.” 

Si B lalu menceritakannya pada Si C, “Eh, Si A tadi melihat hewan aneh, buas, dan dia sangat ketakutan. Soalnya, hewan itu punya tiga baris gigi! Gila, kan?”

Si C, yang mendengar cerita itu, lalu menceritakannya pada Si D, “Menurut Si C, Si A tadi melihat hewan buas, aneh, dengan tiga baris gigi mengerikan. Hewan itu juga punya ekor yang ujungnya berduri. Kira-kira hewan apa yang telah dilihat Si A, kok wujudnya aneh begitu?”

Si D lalu menceritakan ulang pada Si E, dan begitu seterusnya. Tiap kali cerita berpindah mulut, deskripsinya berubah, karena si pencerita menambah-nambahi. Hasilnya, seperti yang kemudian diyakini masyarakat Yunani kuno, adalah hewan yang mereka sebut manticore.

Manticore adalah hewan mitos yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya, karena ia hanya “khayalan” orang-orang yang doyan menambah-nambahi cerita. Karena hewan yang sebenarnya dilihat Si A adalah harimau, dan harimau jelas jauh berbeda dengan sosok manticore.

Dalam kasus ini, yang jadi topik pembicaraan adalah hewan, yang ujung-ujungnya cuma menjelma mitologi. Bayangkan jika sosok yang dibicarakan adalah dirimu. Orang yang aslinya baik, bisa berubah buruk, ketika melewati cocot orang per orang—hanya karena sentimen pribadi. 

Waktu Berjalan

Waktu berjalan seperti hantu melintas di kegelapan malam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Geli-geli Gimana

Entah kenapa, sampai sekarang masih "geli-geli gimana" tiap nemu kata "bahenol". Itu asal usul katanya gimana, ya? Dan siapa pencipta/penemu kata itu?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Maret 2019.

Teringat Zaman SMA

Tiap lihat orang Arab fasih ngomong Jawa, aku mesti teringat teman-teman zaman SMA. (Sebagian orang pasti paham dulu aku sekolah di SMA apa).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2019.

Sering Kali

Memang, sering kali yang mengerikan bukan yang ada di luar sana, tapi yang ada di kepala kita.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Siklus Harian

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, dan udud. Siklus harian yang mestinya membosankan, tapi ternyata bisa dinikmati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019.

Merasa Kaya

Mengapa kebanyakan kita suka mengumpulkan barang, dan merasa senang mendapati kulkas di rumah penuh makanan? Karena nenek moyang kita juga begitu. Zaman mereka masih tinggal di gua-gua, mereka juga senang mengumpulkan aneka makanan, dan "merasa kaya" dengan adanya banyak barang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2019.

Pensiun Dini

Kadang bingung dengan konsep pensiun dini. 

Orang ingin pensiun dini, biasanya karena tidak mencintai pekerjaannya. Kalau tidak mencintai pekerjaan, biasanya sulit sukses. Kalau tidak sukses, bagaimana bisa pensiun dini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2019.

Ditelepon Kantor Pajak

Barusan ditelepon kantor pajak. Seorang wanita bersuara ramah berbicara, "Laporan pajak Anda xcwlitrn asfaopu et etjsxsd KYRS sfkk wererwevs sdgdgdiee vskik ewrl rewr ewtpvvx etertery cxbcxbcbd. Begitu..."

Aku menjawab, "Ya, ya," tapi sebenarnya tidak paham blas dia ngomong apa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Sak Klengermu

Iyo.

Senin, 01 September 2025

Lapisan Pengetahuan dan Keyakinan

Ada banyak hal yang memiliki lapisan. Bumi, misalnya, memiliki banyak lapisan, dan pengetahuan manusia belum mampu mengetahui apa yang ada di lapis terdalam. Begitu pun langit, dan hal-hal di antaranya. Semuanya menjadi pengetahuan, dan di dalam pengetahuan pun ada lapisan.‏
 
Siapa yang menjamin pengetahuan yang kita tahu memang benar? Bisa jadi, pengetahuan yang kita tahu—dan kita yakini—sebenarnya salah, karena kita hanya mendapat pengetahuan di lapis terluar yang ternyata hasil rekayasa. Ada banyak pengetahuan yang sebenarnya salah, tapi terkenal.

Selama puluhan tahun, misal, kita mendapat pengetahuan soal sejarah PKI, juga heroisme dan kehebatan tokoh-tokoh tertentu. Belakangan, kita tahu pengetahuan soal PKI hanya rekayasa, sementara heroisme dan kehebatan tokoh-tokoh tertentu yang semula sangat meyakinkan kini mulai dipertanyakan.

Di ranah internasional, kita mengenal tragedi Holocaust yang konon menewaskan 6 juta orang Yahudi. Dunia dipaksa mempercayai kisah itu, tanpa ada kesempatan mempertanyakan. Selama puluhan tahun, Holocaust dianggap kebenaran mutlak, sampai kemudian ada yang berani membongkar.

“Sejarah ditulis pemenang.” Memang tidak selalu begitu, tapi seringnya begitu. Dan kita telah diberitahu kenyataan itu sejak dulu, tapi sering lupa, dan menerima serta mempercayai apa saja yang ditulis oleh para pemenang—siapa pun mereka. Dari situlah muncul lapisan demi lapisan dalam sejarah, pengetahuan, sampai sistem keyakinan.

Selalu ada kemungkinan bahwa sejarah yang kita tahu hanyalah hasil rekayasa. Begitu pula pengetahuan yang kita terima dan kita percaya. Untungnya, sejarah masih memungkinkan pengungkapan, dan pengetahuan masih memungkinkan revisi. Tapi bagaimana dengan sistem keyakinan?

Orang mungkin masih tersenyum saat diberitahu bahwa sejarah yang ia pelajari ternyata salah. Orang juga masih bisa tertawa saat diperlihatkan bahwa pengetahuan yang ia tahu ternyata keliru. Tapi apa yang sekiranya terjadi saat orang diberi tahu bahwa keyakinannya salah dan keliru?

Di zaman kuliah dulu, salah satu mata kuliah yang kuambil adalah Studi Tokoh Islam. Masing-masing mahasiswa membuat makalah mendalam seputar satu tokoh yang dipilih, dan mempresentasikannya. Aku dapat tugas membahas tokoh X (sori, tak bisa kusebutkan namanya).

X adalah tokoh Islam terkemuka, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Temuan, wawasan, serta berbagai perspektifnya, telah membuka cakrawala pengetahuan yang mempengaruhi dunia. Siapa pun yang cukup gaul pasti kenal tokoh ini. Tapi ternyata ada sesuatu yang "mengerikan".

Semakin dalam aku menelusuri kisah hidup tokoh X, semakin bermunculan fakta-fakta aneh dan tak terbayangkan—mungkin lebih tepat disebut “memalukan”. Saat kukonfirmasikan ke dosen, dia menyatakan, “Itu (fakta-fakta memalukan tersebut) benar, tapi sebaiknya jangan diungkapkan.”

Jadi, aku kemudian menulis makalah seputar tokoh X dan hanya menyebutkan sisi-sisi baik serta kehebatannya, tanpa sedikit pun menyebutkan “hal memalukan” yang ia lakukan. Dalam hal itu, aku telah sengaja menyingkirkan satu lapis dari tokoh X, dan hanya menyebutkan lapis terluar.

Itu contoh sederhana bagaimana pengetahuan yang kita dapatkan (dan kita percaya) tidak pernah terjamin benar seutuhnya, karena selalu ada kemungkinan tangan-tangan tak terlihat telah sengaja menyuguhkan apa yang ingin disuguhkan, dan menyingkirkan apa yang ingin disingkirkan.

Dalam contoh tersebut, “rekayasa” yang kulakukan tergolong “soft”, karena hanya memunculkan yang ingin kumunculkan, sambil menyembunyikan yang ingin kusembunyikan. Dalam hal itu, aku sama sekali tidak membengkokkan atau memanipulasi fakta hingga menyimpang atau berubah.‏
 
Tapi bagaimana dengan banyak pengetahuan yang kita dapat selama ini? Siapa yang menjamin kalau pengetahuan itu sama sekali tanpa rekayasa? Dan kalau rekayasa benar terjadi, siapa yang menjamin kalau mereka hanya menyembunyikan sebagian fakta tanpa membengkokkan dan memanipulasi?

Kehidupan yang tidak direfleksikan, kata bocah terkenal di Yunani Kuno, adalah kehidupan yang tidak pantas dijalani. Sekarang, aku memikirkan hal serupa. Jangan-jangan, pengetahuan dan keyakinan yang tidak dipertanyakan adalah pengetahuan dan keyakinan yang tidak pantas diyakini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 April 2019.

Penipuan Terbesar di Dunia

Penipuan itu terjadi di depan mata kita—sewaktu-waktu—dan kita sering kali ikut terlibat di dalamnya, berpura-pura seolah itu tidak terjadi. Kita tahu itu penipuan, tapi kita pura-pura tak tahu, begitu pula orang lain, dan orang yang sedang menjadi korban penipuan. 

Penipuan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu, semakin banyak korban yang tertipu. Dan semua orang tetap pura-pura tak tahu. Beberapa korban kadang menyadari telah tertipu, tetapi kebanyakan mereka malu mengakuinya. Alih-alih mengakui dan memberi tahu orang lain agar tidak tertipu seperti dirinya, mereka justru berusaha agar orang-orang lain tertipu seperti mereka.  

Maka gaya hidup baru pun dimulai. Orang-orang yang telah jadi korban penipuan berusaha menarik orang-orang lain agar tertipu seperti mereka. Bukannya memberi tahu orang lain atas jebakan tipuan yang telah memerangkap mereka, orang-orang itu justru berusaha menipu orang-orang lain tentang kondisinya. 

Bertahun-tahun bahkan berabad-abad kemudian, penipuan itu telah jadi kebudayaan, dan diwariskan turun temurun. Kita adalah anak-anak hasil tipuan yang memerangkap orang-orang dari masa lalu. Dan, bisa jadi, kita pun akan terus melanjutkan perjalanan penipuan itu, dan mewariskannya kepada anak-anak kita.

....
....

Kadang-kadang aku ngeri menjadi manusia.

Punya Kesibukan

Orang yang punya kesibukan adalah orang yang beruntung. Karena setidaknya ia fokus pada kesibukannya, bukan ngerusuhi kehidupan pribadi orang lain.

Kantor Wali Kota Dibakar

Kantor Wali Kota Pekalongan dibakar massa. Di tengah berita demonstrasi hari-hari ini, berita itu mungkin terdengar "wajar". Tapi peristiwa itu sebenarnya sangat janggal dan tak masuk akal. Alasannya sangat sederhana; warga Pekalongan tidak punya masalah dengan wali kotanya!

Jika para jurnalis meliput peristiwa itu, coba wawancarai warga Pekalongan yang benar-benar tinggal di Pekalongan. Mereka akan menyatakan keheranan terkait peristiwa itu. Karena jika warga Pekalongan benar-benar melakukan demonstrasi, mereka tidak akan membakar kantor wali kota!

Rata-rata warga Pekalongan percaya bahwa para pelaku pembakaran kantor wali kota dan penjarahan yang mengikutinya bukan warga Pekalongan. 

Sejak awal, aksi demonstrasi beberapa hari ini sudah tidak wajar. Hati-hati, guys, semua yang terjadi saat ini tidak seperti yang terlihat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Agustus 2025.

Jadi Akik

“Setelah itu, kamu jadi apa?”

“Setelah itu, aku jadi akik.”

....
....

Uwong ora ilmiah blas!

Memahami Arti Agama

Jadi kepikiran. Di Indonesia gak ada ya, situs ala Church and State gitu? Setahuku, yang "agak gila" kayak gitu cuma Indonesian Faith Freedom (terjemahan dari situs berbahasa Inggris). Tapi itu pun diblokir di Indonesia, dan entah masih aktif sampai sekarang atau tidak.

Padahal situs-situs kayak gitu sebenarnya dibutuhkan, agar kita—atau setidaknya sebagian dari kita—bisa belajar tentang agama secara (lebih) objektif, khususnya dari orang yang tidak beragama. Itu tidak saja menambah kearifan dalam beragama, tapi juga untuk menguji iman kita.

Dulu, salah satu mata kuliahku di kampus adalah Perbandingan Agama-Agama. Isinya agak ngeri. Pernah, teman sebelahku di kelas berbisik, "Aku khawatir, begitu keluar kelas, aku sudah kafir."

Tapi nyatanya dia tetap taat beragama, dan tetap tekun beribadah... sampai sekarang.

Dalam pikiranku, orang baru benar-benar memahami arti agama, ketika keyakinannya dalam beragama dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dan realitas-realitas yang secara telak menghantam iman dan keyakinannya... lalu dia berusaha, belajar sangat keras, untuk menemukan jawabannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Agustus 2019.

Percakapan dalam Film

Yang aku suka dari banyak film Hollywood: Tokoh-tokoh dalam film sering kali berbicara dengan nada rendah, dengan kalimat yang simpel (tidak terdengar cerewet), tapi mengandung makna yang dalam.

Kalimat dalam percakapan adalah hal yang selalu kuperhatikan dalam film.

Ada orang-orang yang kalau ngomong kelihatan pinter banget, tapi sebenarnya kosong gak ada isinya.

Kadang kita perlu melakukan hal yang benar, meski hati kita sakit. —Mera, mbakyunya Aquaman


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2019.

Minum Klorofil

Mau beli klorofil, tapi marketplace langganan lagi eror.

Hari gini masih minum klorofil? 

Lhoh, jangan salah. Bocah-bocah superhero, khususnya yang tergabung dalam Avengers, juga minum klorofil. Kalau mereka lagi ngumpul di rumah Tony Stark, minumnya klorofil. Fyi aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 April 2019.

Hujan di Luar

Ini yang hujan di luar, kenapa hatiku yang basah?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Mengetahui Tren Terkini

Mengetahui tren terkini memang baik. Tapi bukan berarti kita harus selalu mengikuti. Tetap jadilah dirimu sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2019.

Ora

Ora bakal.

Ora percoyo.

Ora kere.

Rabu, 20 Agustus 2025

Teh Hangat di Pagi Hari

Ini lanjutan catatan sebelumnya (Dingin di Luar, Hangat di Hati). Pagi hari, Apri serta Kholid juga saya telah bangun dari tidur, dan kami duduk di atas tikar di ruang tamu. Apri telah membuat teh, dan kami pun menyeruput teh hangat di gelas masing-masing. 

“Bagi kebanyakan orang,” kata Apri, “minum teh hangat di pagi hari mungkin biasa aja. Tapi bagiku, minum teh hangat di pagi hari adalah kenikmatan luar biasa.”

Sebelum bekerja bersama Kholid, Apri menganggur cukup lama. Dia sempat kerja serabutan, tapi lebih sering menganggur, sehingga belum tentu setiap hari bisa makan, karena memang tidak ada uang. Kisah lengkap tentang hal itu bisa dibaca di sini: Malam Ngelangut.

Karena sulitnya mendapat uang di masa-masa itu, Apri harus sangat berhemat. Setiap hari dia hanya minum air putih, karena baginya bikin teh artinya menambah pengeluaran. Apalagi jika harus ditambah gula. Menurut cerita Apri pagi itu, kalau suatu hari dia bikin teh, artinya di hari itu tak perlu makan, karena perutnya sudah “dikenyangkan” dengan teh. Sementara di hari lain, Apri hanya minum air putih, dan biasanya hanya makan sebungkus mi instan atau beberapa gorengan dalam sehari.

Tak perlu tanya apakah makan sebungkus mi instan atau beberapa biji gorengan dalam sehari bisa membuat kenyang. Sudah jelas tidak! Tapi kalau kamu cuma punya uang Rp10.000, dan seminggu ke depan belum tentu dapat uang lagi, kamu tentu akan sangat hati-hati menggunakan uangmu. Faktanya, bahkan sudah sangat berhemat pun, Apri sering menjalani hari-hari tanpa uang sama sekali, tak bisa makan apa-apa, dan hanya mengisi perutnya dengan air putih. 
 
Pagi itu, di depan saya dan Kholid, Apri menceritakan, ada suatu masa ketika ia tidak minum teh hingga sebulan lebih, dan ia merasa sangat ingin minum teh hangat di pagi hari. Keinginan yang sederhana, hanya minum teh hangat di pagi hari! Tapi bahkan untuk mewujudkan keinginan sederhana itu, Apri tidak mampu. Karena memang tidak ada uang sama sekali. 

“Akhirnya aku terpikir untuk pergi ke rumah adikku,” ujar Apri mengisahkan.

Adik Apri, seorang perempuan, sudah menikah, dan tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan. Jaraknya cukup jauh. Tapi demi bisa minum teh hangat, Apri berangkat dari rumahnya usai subuh, ketika hari masih gelap, lalu jalan kaki menuju rumah adiknya. 

Sekitar satu jam Apri berjalan kaki sendirian, menyusuri jalan panjang yang waktu itu masih sepi, dan dia terus melangkah di trotoar. 

“Di tengah jalan,” Apri berkata sambil tersenyum, “tanpa sengaja aku nemu puntung rokok yang masih cukup panjang.”

Dia ambil puntung rokok yang cukup panjang itu, dan menyimpannya dalam saku. Lalu terus melangkah menuju rumah adiknya.

Sesampai di rumah adiknya, hari sudah terang, dan Apri merasa kelelahan. Dia bertanya apakah ada teh, dan adiknya segera membuatkan segelas teh hangat. 

Apri duduk di teras kontrakan adiknya, menyesap teh hangat di gelas, lalu menyulut puntung rokok yang tadi ia temukan di tengah perjalanan. 

“Nikmatnya luar biasa,” ujar Apri pada kami. Setelah sebulan lebih hanya minum air putih, teh hangat manis dan sepuntung rokok terasa sangat nikmat hingga sulit dilukiskan kata-kata.

Kholid kemudian bertanya, “Adikmu tahu kondisimu waktu itu, Pri?”

“Tahu,” jawab Apri. “Cuma dia hidupnya juga susah, jadi aku ngerti kalau dia nggak bisa bantu banyak. Kadang, kalau pas aku dolan ke tempatnya, dia nyangoni (ngasih) duit beberapa ribu, atau sekantong jajan. Kadang ngasih dua bungkus mi instan. Itu aja, aku udah sangat berterima kasih.”

Apri menyesap teh hangat di gelasnya, lalu berujar, “Aku nggak suka neko-neko, dan nggak punya impian macam-macam dalam hidup. Aku cuma berharap bisa minum teh hangat manis setiap pagi, agar punya cukup energi untuk menjalani hari. Makanya kalau dengar orang ceramah soal 'jangan cinta dunia', atau ‘uang nggak dibawa mati’, aku ingin tertawa. Mereka nggak perlu mengajari, hidupku udah kayak gitu dari dulu.”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Orang emang biasanya baru ngerti nilai uang setelah nggak punya uang sama sekali. Makanya orang-orang yang suka berlagak ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, hampir dapat dipastikan belum pernah mengalami kondisi nggak punya uang sama sekali. Karena nyatanya untuk bisa minum teh hangat di pagi hari aja butuh uang. Padahal itu sederhana. Cuma teh hangat!”

Kholid berkata, “Aku punya pengalaman yang kayaknya juga nyambung (relate) dengan itu.”

Dulu, Kholid menceritakan, dia pernah mengalami sakit pada punggungnya. Makin hari, sakit pada punggung itu makin terasa, tepatnya di punggung bagian bawah, dan sangat mengganggu kerjanya. Kemungkinan besar, menurut Kholid, sakit pada punggungnya juga terkait pekerjaannya.

Seperti yang pernah saya tuliskan di sini, Kholid bekerja sebagai kuli keceh di pabrik batik. Pekerjaan itu mengharuskan badan banyak bergerak. Kemungkinan, menurut Kholid, dia mengalami “salah posisi” waktu sedang bekerja, hingga ada urat di punggungnya yang “melintir”. Makin hari, sakit di punggung itu terasa kian parah, dan Kholid berencana pijat untuk membetulkan masalah urat di punggungnya. Dia punya tetangga yang ahli pijat, dan Kholid biasa minta pijat kepadanya setiap kali badannya bermasalah. Sayangnya, ketika punggungnya sakit waktu itu, Kholid tidak ada uang untuk biaya pijat.

“Sisa pocokanku (penghasilan mingguannya) cuma tinggal empat puluh ribu, dan itu buat makan aku sama ibuku beberapa hari ke depan,” ujar Kholid.

Akhirnya, meski punggungnya makin terasa tidak nyaman, Kholid tetap menguatkan diri. Dia terus berangkat kerja sambil menahan sakit di punggung, dan berharap Kamis segera datang agar dia mendapat uang pocokan, agar bisa pijat dan membereskan sakit punggungnya.

Lalu Kamis tiba, dan sakit di punggung Kholid juga tiba pada puncaknya. Menjelang asar, dia tiba-tiba ambruk di tempat kerjanya, dan merasa antara sadar dan tidak. Yang ia rasakan waktu itu hanyalah punggungnya yang sangat sakit.

Majikan Kholid, yang tahu hal itu, segera berinisiatif membawa Kholid ke rumah sakit. Tapi Kholid seketika menolak. 

Kepada saya dan Apri pagi itu, Kholid mengatakan, “Bagi orang miskin kayak aku, rumah sakit terdengar mengerikan. Karena yang kupikirkan waktu itu adalah biaya mahal, obat mahal, perawatan mahal, sementara aku nggak ada duit sama sekali.”
 
Akhirnya, karena Kholid menolak dibawa ke rumah sakit, majikannya lalu meminta sopirnya untuk mengantarkan Kholid pulang. Sore itu juga Kholid pulang, dengan membawa uang pocokan hasil kerja seminggu.

Sesampai di rumah, dia minta tolong ibunya agar memanggilkan tukang pijat tetangga mereka. Dugaan Kholid ternyata tepat. Ada urat di punggung bawahnya yang “melintir” hingga menimbulkan sakit. Tukang pijat lalu membetulkan urat yang melintir itu, dan sakit pada punggung Kholid berangsur-angsur mereda. Besoknya, hari Jumat, Kholid istirahat di rumah, dan merasakan badannya mulai sehat, hingga bisa kembali bekerja seperti biasa ketika Sabtu tiba.

Kholid berkata, “Aku sering mendengar orang mengatakan, ‘kerja nggak usah ngoyo’. Sebenarnya, orang melarat kayak aku nggak pernah ingin kerja ngoyo. Kalau bisa, aku ingin nggak kerja sama sekali! Tapi kalau aku nggak kerja, siapa yang ngasih makan aku dan ibuku? Aku tetap kerja meski sambil menahan kesakitan, bukan karena ngoyo, tapi karena nggak punya pilihan lain! Karena kalau nggak kerja, aku nggak dapat uang, dan artinya nggak bisa makan. Orang ngomong seenaknya, sok menasihati kerja nggak usah ngoyo, seolah mereka menanggung kehidupanku.”

Apri menyambung ucapan Kholid, “Ada juga yang sok menasihati agar kita nggak perlu khawatir soal rezeki, karena setiap orang udah dapat jatah rezeki. Dulu, waktu menganggur sampai berbulan-bulan, aku sering semaput karena nggak makan sama sekali akibat nggak ada uang, dan aku mengalami hal kayak gitu berbulan-bulan! Orang yang suka ngomong ‘nggak usah khawatir soal rezeki’ sebaiknya mengalami yang kualami dulu, agar omongannya lebih bermakna.”

Mendengar cerita Apri dan Kholid pagi itu, saya mulai menyadari sesuatu. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau tetangga kita tidak makan berhari-hari karena ketiadaan uang, sampai mau minum teh hangat saja harus berjalan kaki ke tempat adiknya yang sangat jauh. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau orang yang kita kenal terpaksa bekerja sambil diam-diam menahan kesakitan, hingga belakangan sampai jatuh pingsan, karena memang dia harus tetap kerja demi bisa dapat uang untuk makan.

Kita tidak tahu, karena mereka mungkin tidak ingin mengganggu kita dengan cerita-cerita orang susah yang terdengar membosankan. Kita tidak tahu, karena mereka memilih untuk memendam masalah hidup mereka sendirian, dan tidak ingin merepotkan orang lain. Kita tidak tahu... dan mestinya kita juga tidak usah sok tahu!

Maksud saya, kita tidak usah sok tahu dengan menasihati mereka “harus begini dan harus begitu” seolah kita tahu kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu! Kita tidak usah sok tahu dengan berlagak tahu semua hal tentang hidup mereka, lalu merasa punya hak mengatur-atur kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu!  

Kalau memang kita ingin menunjukkan kepedulian, ada cara yang jauh lebih baik untuk dilakukan, yaitu bertanya, “Apa yang bisa kubantu?” Lalu bantulah kalau memang mampu. Pertanyaan dan sikap semacam itu menunjukkan empati, bahwa kita peduli—bukan hanya berlagak sok ngerti sambil ceramah ndakik-ndakik dan merasa benar sendiri.

Dinginnya

Oh, dinginnya pagi ini... Sedingin pagi yang dingin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Februari 2012.

Disuruh Rejoh

“Aku disuruh rejoh,” kata seorang bocah.

Saya bertanya, “Rejoh itu apa?”

“Itulah, aku juga tidak tahu. Tapi aku disuruh rejoh.”

“Dan orang yang menyuruhmu rejoh itu... dia tahu apa itu rejoh?”

“Mungkin tidak.”

“Apakah dia melakukan rejoh, terlepas apa pun artinya?”

“Tidak.”

....
....

Rejoh celeng!

Benda yang Dipungut dari Neraka

Direktur Perencanaan Korporat PLN, Syofvi Felienty, berharap masyarakat lebih sering menggunakan listrik di rumah, khususnya AC, agar konsumsi listrik terus meningkat, sesuai target PLN. —@kumparan


JADI SELAMA INI KITA GEMBAR-GEMBOR HEMAT LISTRIK ITU BUAT APA?

Aku tidak pakai AC di rumah. Pertama karena AC menyedot terlalu banyak energi listrik. Kedua, AC menghambatku menikmati udud. Dan ketiga, AC adalah peranti yang tidak ramah lingkungan. Kalau kau ingin melihat lingkaran setan pemanasan global dalam wujud aslinya, lihatlah AC.

Manusia menyalakan AC karena cuaca panas. Semakin banyak AC dinyalakan, energi yang digunakan semakin banyak, dan panas yang dilepaskan ke atmosfer semakin banyak. Hasilnya, bumi semakin panas, dan manusia semakin sering menggunakan AC, dan begitu seterusnya sampai kiamat.

Dalam bayanganku, AC adalah benda yang dipungut dari neraka, dan dikenalkan pada manusia di dunia. Hasilnya, "yang kaulihat sebagai surga sebenarnya neraka, dan yang kaulihat sebagai neraka adalah surga."

Bumi akan jauh lebih baik saat ini, andai AC tidak pernah ditemukan.

Dan sekarang Direktur Perencanaan Korporat PLN berharap semakin banyak orang yang menggunakan AC, dengan alasan "agar konsumsi listrik yang ditargetkan PLN tercapai."

Itu seperti humor gelap yang mengerikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Baru Kali Ini

Baru kali ini nemu "twitwar" yang membuatku penasaran, sampai ngecek ke akun masing-masing: tinystardustt vs siskaeee.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Maret 2019.

Waduh

JKT48 Fanblog http://jkt48fanblog.blogspot.com/ —@gm_gm

Waduh, ini akunnya GM diretas apa gimana?

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Nokia, Dulunya

Nokia itu dulunya pabrik kertas yang menyuplai produknya ke perusahaan telepon. Jaman dulu, tuts telepon pakai bantalan lapisan kertas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Lagi-lagi Nyesel

Lagi-lagi nyesel nonton horor. Kali ini film Us. Sangat tidak enviromental.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2019.

Semalam Suntuk

Semalam suntuk cuma baca artikel di web. Rasanya sampai seperti mabuk. Dan ternyata Andrea Hirata pernah punya istri. Kirain masih lajang!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Tertolong oleh Kerupuk

Ajaib, kalau dipikir-pikir.

Tidak Mengema

Iya.

Minggu, 10 Agustus 2025

Dingin di Luar, Hangat di Hati

Orang yang bekerja seharian biasanya merasakan lelah saat malam hari, hingga hanya ingin istirahat dengan tenang, agar besok dapat bekerja kembali. Apalagi jika kerjanya lebih menggunakan fisik, seperti tukang bangunan, atau tukang cuci batik. Karenanya, saya tahu diri untuk tidak mengganggu—misal mendatangi—teman-teman saya yang bekerja seperti itu, kecuali kalau hari libur, atau mereka yang meminta. Karena saya tahu, mereka pasti kelelahan setelah seharian bekerja, dan ingin menikmati istirahat tanpa terganggu apa pun.

Dulu saya biasa mendatangi Apri—orang yang saya ceritakan di sini—kapan saja, karena waktu itu dia masih belum kerja. Belakangan, Apri bekerja sebagai buruh di pabrik batik bersama Kholid, yang saya ceritakan di sini. Sekarang Apri dan Kholid berteman, karena mereka bekerja di tempat sama, dan mengerjakan hal yang sama. Sebagai teman mereka, saya senang melihatnya.

Malam Jumat kemarin, Kholid mengajak saya kumpul di rumah Apri, untuk menikmati kacang rebus bersama. “Majikanku baru panen kacang,” katanya. Para pekerja, termasuk Apri dan Kholid, mendapat sekantong kacang tanah. Apri dan Kholid lalu punya ide menggabungkan kacang itu, untuk dinikmati bersama.

Saya penyuka kacang rebus. Dan saya senang ngobrol dengan Apri serta Kholid. Jadi, saya lalu datang ke rumah Apri, pada malam Jumat seperti yang mereka minta. Malam itu cuaca agak dingin saat saya melaju ke tempat Apri.

Di rumah Apri, saya mendapati Kholid dan Apri sudah duduk santai di depan sebaskom kacang rebus yang masih hangat. Sambil tersenyum, saya berkata pada Apri, “Kamu bisa ngerebus kacang, Pri?”

“Ya bisa, lah,” sahut Apri. “Wong cuma masukin kacang ke panci, kasih air, terus ditambah sedikit garam.”

Malam itu, seperti biasa, tempat tinggal Apri sunyi ngelangut. Kami duduk di ruang tamu sederhana, beralas tikar, dan menikmati kacang rebus yang masih hangat. Usai puas makan kacang, saya meminum teh hangat di gelas, lalu menyulut rokok. 

Saya bertanya ke Kholid, “Majikanmu punya kebun kacang apa gimana?”

“Nggak cuma kacang,” jawab Kholid, “ada juga singkong, ketela, pepaya, dan sayuran.” Lalu Kholid menceritakan, majikannya punya tanah warisan yang cukup luas di wilayah kabupaten. Daripada tidak digunakan, tanah itu lalu dijadikan kebun, dan pengurusannya diserahkan pada petani setempat. Para petani menggarap tanah luas itu dan menghasilkan aneka tanaman, termasuk kacang tanah. Hasil panen dibagi dua; untuk petani penggarap dan untuk si pemilik tanah.

“Karena majikanku udah kaya, dan nggak terlalu butuh duit,” ujar Kholid, “hasil panen itu nggak dijual, tapi dibagi-bagikan ke para pekerja di pabrik.” Karenanya, beberapa kali, Kholid pernah dapat seikat bayam, di lain waktu pernah dapat ketela, atau buah-buahan.

Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. “Enak juga ya, punya kebun. Bisa makan hasil tanaman segar.”

Kami lalu membicarakan pengusaha batik yang jadi majikan Kholid dan Apri. Usaha batik tempat mereka bekerja relatif terkenal, dan showroom-nya sering didatangi para pembeli dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Sebagian pembeli itu termasuk para pejabat hingga para artis. Kedatangan para artis di sana biasanya membuat orang-orang (tetangga) di sekitar showroom jadi heboh, karena dapat menyaksikan artis-artis dalam wujud nyata.

Percakapan kami lalu beralih membahas artis dan orang-orang terkenal. Apri berkata kepada saya, “Kalau kamu ngefans seorang artis, kamu ingin ketemu dengannya?”

“Nggak,” sahut saya.

“Lhoh, kenapa?” tanya Kholid.

“Ya sadar diri, lah.”

Apri tampak bingung, “Sadar diri gimana?”

Saya mengisap rokok, lalu menjelaskan, “Aku ngefans sama Iwan Fals, misalnya. Aku hafal lagu-lagunya, tahu kisah hidupnya, bahkan memasang posternya di rumah. Pendeknya aku sangat mengenal Iwan Fals, karena mengidolakannya. Tapi Iwan Fals, kan, nggak tahu apalagi kenal aku. Jadi kayaknya aneh aja kalau aku sampai punya keinginan ketemu dia. Lha aku ini siapa?”

Kholid bertanya, “Jadi, kamu sebatas nonton konsernya, gitu?”

“Iya, paling gitu,” jawab saya. “Wong nonton video-video Iwan Fals di YouTube aja, aku udah senang. Kalau ingin melihat langsung, aku paling nonton konsernya, seperti para penggemar yang lain.”

“Nggak ada keinginan ketemu langsung?” tanya Kholid lagi. “Misal biar bisa ngobrol?”

“Nggak, lah,” saya tertawa. “Seperti yang aku bilang tadi, aku sadar diri. Makanya nggak berani ngarep macam-macam.”

Apri dan Kholid manggut-manggut. Lalu saya balik bertanya, “Emang kalian ingin ketemu tokoh idola atau artis yang kalian sukai?”

Kholid berkata, “Jujur, aku dulu ya kepikiran ingin ketemu artis atau tokoh yang aku idolakan. Tapi setelah dengar pengakuanmu barusan, aku jadi mikir, ‘iya, ya, kenapa aku sampai ngarep macam-macam sampai ingin ketemu?’ Ya mungkin aku mau aja ketemu, tapi artisnya, kan, belum tentu mau ketemu aku, hahaha...”

Saya beralih kepada Apri, “Kalau kamu, Pri?”

“Sama kayak kamu,” jawab Apri. “Sebenarnya, aku juga mikirnya sama kayak kamu tadi, cuma aku nggak tahu gimana menyebutnya. Intinya aku juga nggak berani ngarep macam-macam hanya karena ngefans seorang artis. Itu namanya sadar diri, ya?”

Percakapan kami terus mengalir, sambil menikmati kacang rebus, menyesap teh, dan mengisap udud. Tanpa terasa, kacang rebus di baskom akhirnya benar-benar tandas, dan jarum jam sudah menunjuk tengah malam.

Kholid bertanya pada saya, “Kita pulang apa nginap, nih?”

Apri langsung menyela, “Nginap aja, nggak usah pulang.”

Jalan pulang dari rumah Apri harus melewati jalanan gelap dan panjang yang diapit perkebunan dan persawahan. Sebenarnya saya tidak masalah jika harus melewati jalanan itu di tengah malam untuk pulang. Tapi Kholid sepertinya enggan. Jadi kami lalu memutuskan untuk menginap di tempat Apri. 

Setelah membersihkan tikar dari kulit-kulit kacang, kami lalu membaringkan badan. Sambil menunggu lelap, kami bercakap-cakap pelan. 

Kholid berkata, “Ternyata di sini juga dingin kalau tengah malam, ya. Kirain cuma di tempatku. Di tempatmu juga gitu, Da’?”

“Iya,” saya menjawab. “Akhir-akhir ini emang sangat dingin pas tengah malam. Padahal biasanya semromong (panas) terus.”

“Kalian perlu selimut?” tanya Apri.

“Nggak perlu, sih,” sahut Kholid. “Tapi kalau ada sarung, kayaknya bagus.”

Apri bangkit, dan sesaat kemudian menyerahkan sarung untuk saya dan Kholid. Kami lalu menjadikan sarung itu sebagai selimut. 

Udara terasa dingin, malam kian ngelangut.

Takdir Tertawa

Sehelai daun lepas dari ranting. 
Diembus angin, melayang-layang bersama udara. 
Lalu jatuh di tanah basah. 
Di kejauhan, takdir tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Dengan Manusia

Memang paling menyenangkan bercakap-cakap dan saling tertawa dengan manusia. Bukan dengan berhala.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juli 2012.

Ingin Ditanya Begitu

Tadi makan di warung, ada ibu-ibu tanya ke seorang bocah, "Mbakyumu sik opo, nang?"

Aku ingin sekali ditanya begitu, ya Allah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 April 2019.

Tak Perlu Berteriak

Keindahan tak perlu berteriak atau unjuk diri. Tersembunyi di mana pun dunia akan mengakui.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2012.

Sesekali Ngemeng Inggris

Sekali-sekali nge-tweet pakai bahasa Inggris, ah. Biar kayak orang-orang normal.

....
....

Knowledge is gained by learning, trust by doubt, skill by practice, and love by love.

Self-pity is our worst enemy. And if we yield to it, we can never do anything wise in this world.
    
When there is no enemy within, the enemies outside cannot hurt you.

Love makes time pass away, and time makes love pass away.

The moment when you can feel your life is the moment when you feel and do all the things with the spirit of love.

Hate, like love, outgrow by little things.

Love conceals ugliness, and hate sees many faults.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2014.  

Kebetulan?

Mula-mula, Siemens ambruk. Lalu Sony-Ericsson bercerai, seiring Blackberry mulai gonjang-ganjing. Puncaknya, Nokia bubar. Kebetulan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Mei 2014.  

Kejahatan Terburuk

Kejahatan terburuk yang pernah kuperbuat adalah berpura-pura pada semua orang bahwa aku orang yang sangat bahagia. —Kurt Cobain


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2019.

Jumat yang Biasa

 Jumat yang sungguh biasa-biasa saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019

Tak Juga Selesai

Baru 930 halaman dari 1.500 halaman. Rasanya tak sampai-sampai. Tak juga selesai.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Jarang Muncul

Iya ya, kenapa Barry Prima sekarang jarang muncul di film Indonesia, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2012.

Klungsar

Klungsar, kata Jangus.

Jumat, 01 Agustus 2025

Takdir Kadang Punya Sisi Gelap

Mungkinkah seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita, dan si wanita juga jatuh cinta kepadanya, tapi si pria memilih tidak menyatakan cintanya? Mungkin saja. Well, kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, dan kita juga tidak tahu apa alasan yang melatari pilihan serta keputusannya.

Kita terbiasa berpikir linier, seolah kehidupan sepasti rumus 1+1=2. Padahal hidup tak selalu begitu, dan keputusan serta pilihan orang per orang kadang memiliki alasan tak terduga. Dua orang yang saling jatuh cinta tak selalu jadi pasangan kekasih, karena takdir kadang punya sisi gelap.

Dalam sebuah percakapan panjang, seorang pria menyatakan bahwa dia memilih tidak menjalin hubungan cinta, dan tak akan pernah menikah apalagi punya anak. Alasannya mungkin mencengangkan, “Aku khawatir akan jadi pasangan yang buruk, yang akan menyakiti pasanganku.”

Dia, sebagaimana yang dikatakannya sendiri, adalah “produk gagal” dari sistem pengasuhan orang tua yang sangat buruk. Dia terluka, trauma, dan semua luka yang dialaminya membentuk pribadinya hingga dewasa. “Aku belum sembuh, dan mungkin tak akan sembuh,” katanya.

Saat mengenang percakapan itu, aku tergoda untuk berpikir bahwa dia psikopat yang menyadari kegelapan dirinya. Dan dia memilih untuk membiarkan kegelapan itu hanya ada pada dirinya, dan tidak ingin mewariskannya ke orang lain (anak yang mungkin dimilikinya).

Aku bertanya apakah dia pernah jatuh cinta, dan dia tersenyum saat menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia melanjutkan, “Tapi aku memilih untuk memendamnya—kupikir itu lebih baik, bagiku dan bagi dirinya. Aku hanya akan menjadi pasangan yang buruk, dan itu tidak baik bagi kami.”

Jadi, seseorang mungkin jatuh cinta kepadamu, dan kamu tahu. Tapi dia tak pernah menyatakannya kepadamu. Bisa jadi kamu berpikir dia mempermainkanmu. Tetapi, bagaimana kalau ternyata dia tidak menyatakan cintanya justru karena sangat mencintaimu, dan tak ingin kamu terluka?

Kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, selain hanya menebak-nebak. Dan bisa jadi tebakan kita keliru, karena kita terbiasa menggunakan pola pikir kita untuk menilai orang lain. Kita tak pernah tahu isi hati dan pikiran yang disimpan seseorang, karena takdir kadang menikam di kegelapan.

Dalam Hujan

Dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2012.

Seorang Pria Melangkah Sendirian

Di tempat makan langganan, saya duduk berhadapan dengan seseorang, membicarakan sesuatu. Ketika sedang asyik ngobrol, muncul seorang pria, sendirian, dan melangkah melewati meja kami. Pria itu melihat saya, dan kami saling tersenyum. Lalu dia menepuk pundak saya dengan ramah, sambil terus melangkah.

Setelah pria tadi berlalu, orang di hadapan saya berbisik, “Kamu kenal dia?” 

Ya, saya kenal pria tadi, karena kebetulan sering ketemu di sebuah panti asuhan. Lalu kami berteman karena sama-sama nyaman saat ngobrol. 

Lalu orang di hadapan saya berkata, “Dia angkuh sekali. Ya, kan?”

Saya balik bertanya kepadanya, “Kamu kenal dia?” 

“Tidak.”

“Kamu pernah menyapanya?” 

Dia kembali menjawab tidak. 

Saya bertanya, “Jadi, bagaimana kamu bisa menyimpulkan dia angkuh sekali?” 

Dia menjawab ragu-ragu, “Kata orang-orang yang mengenalnya.”

“Kata orang-orang yang mengenalnya”. Deskripsi itu sebenarnya meragukan. Karena jika “orang-orang itu” memang mengenalnya, mereka tidak akan punya kesimpulan semacam itu. Orang-orang itu biasanya hanya sekadar “melihat dari kejauhan”, lalu menyimpulkan sendiri.

Kita sering terjebak pada kondisi absurd semacam itu—tidak mengenal seseorang dalam arti sesungguhnya, cuma mengenal (mungkin lebih tepat disebut melihat) seseorang dari kejauhan, lalu menyimpulkan apa yang kita lihat. Dan hasilnya jelas: Kesimpulan salah!

Ada banyak korban jatuh dari “malapraktik kemanusiaan” semacam ini. Kita tidak mengenal Si A, Si B, Si C, dan seterusnya—kita hanya tahu mereka, dan tahu itu pun dari kejauhan, karena nyatanya memang tidak mengenal secara langsung. Lalu gegabah menyimpulkan. 

Kesimpulan yang benar butuh penelitian yang benar. Penelitian yang benar butuh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar butuh kedekatan yang benar. Dan kedekatan yang benar, pertama-tama, butuh pikiran yang netral. 

Saya tidak menyalahkan orang di hadapan saya waktu itu, karena dia serupa dengan jutaan orang lain di luar sana, yang terbiasa menilai orang lain berdasarkan “pengamatan dari jauh”, atau sekadar “katanya begini” atau “katanya begitu”. 

Homo sapiens punya kecenderungan alami; jika melihat seseorang tidak sama seperti dirinya, dia akan merasa tidak aman. Kecenderungan alami itulah yang lalu membuat kita mudah menghakimi orang lain sesuai asumsi kita sendiri—dari “dia angkuh” sampai “dia aneh”.

Jadi, siapakah pria tadi, yang melangkah sendirian dan melewati meja kami? Seperti yang saya sebut tadi, kami saling kenal karena sering ketemu di panti asuhan. Menurut saya—yang telah kenal, sering bertemu, bahkan sering mengobrol secara intens—dia sosok yang baik.

Apa buktinya dia “sosok yang baik”? Puluhan anak yatim di panti asuhan bisa menjadi saksi. Dia membiayai sekolah mereka, memberikan pakaian dan penghidupan yang layak, dan dia melakukannya dengan uang miliknya sendiri, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer, tanpa publisitas.

Sekilas, sosoknya memang kaku, dengan wajah seperti orang murung. Sikap kaku dan wajah murung itu pula yang mungkin menjadikan banyak orang menilai dia angkuh. Apalagi kenyataannya dia memang sangat pendiam (belakangan saya tahu, dia sebenarnya agak gagap).

Kenyataan itu pula yang membuat kami tadi hanya saling tersenyum—tidak saling sapa dengan seru seperti orang-orang lain umumnya ketika bertemu seseorang yang dikenal. 

Kesimpulan yang benar, tentang seseorang, butuh kedekatan yang sama benar.

“Tak kenal maka tak paham,” kata pepatah. Tapi kita mungkin sering lupa, hingga lebih suka menggunakan asumsi dan penghakiman. Orang-orang yang kita anggap egois dan angkuh, bisa jadi, orang-orang yang justru penuh kasih... yang sayangnya tidak kita tahu.

Keheningan

Keheningan seperti kupu-kupu. Mengepakkan sayap dalam diam, menebarkan keindahan tanpa teriakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 September 2012.

Menginginkan dan Kehilangan

Suka sekali nonton Wonder Woman 1984, dan melihat perjumpaan kembali Diana dengan Steve. Menyaksikan adegan mereka berdua, rasanya seperti melihat bocah dan mbakyunya. Inti ceritanya juga menggelisahkan; kau menginginkan sesuatu, kau kehilangan sesuatu.

Hidup tampaknya memang pertukaran antara keinginan dan kehilangan, karena kita tidak mungkin mendapatkan semuanya—atau bisa? Entahlah. Yang kutahu memang kita harus memilih; mendapatkan sesuatu, atau kehilangan sesuatu. Karena hidup adalah soal pilihan.

Betapa aneh hidup, kalau dipikir-pikir. Kita menginginkan sesuatu karena menyukainya, dan seiring dengan itu juga kehilangan sesuatu—entah sadar atau tidak. Dan ketika sadar, kita kembali menginginkan milik kita, dan rela kehilangan sesuatu yang kita suka. 

“Semua ada harganya,” kata Wonder Woman. Dia benar, tentu saja. 

Memilih yang Kedua

Jika diminta memilih antara mengejar cinta atau menghindari luka, aku akan memilih yang kedua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2019.

Saling Ledek Bocah Kaya

“Kamu kaya raya, tapi makannya di warteg!”

“Kamu lebih parah! Duit triliunan tapi makannya mi instan!”

Kecoak Disuruh Opname

Seorang bocah menangkap kecoak, lalu menggunting satu kakinya. Setelah kecoak itu kehilangan satu kaki, si bocah berkata pada kecoak, “Sana, opname!”

Mau Tidur Sore Lagi

Mau tidur sore, biar kayak orang-orang yang tak punya masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2019.

Ingin Justru

Iya.

Minggu, 20 Juli 2025

Dari Cukai Plastik sampai Ledakan Populasi

Lama gak ngoceh. Sambil nunggu udud habis, aku ingin ngoceh.

Isu cukai plastik kembali mengemuka, dan kita akan diminta membayar setiap lembar plastik yang kita gunakan. Isu ini berawal dari isu sampah plastik. Dan isu sampah plastik berawal dari...? Well, kita perlu mencari tahu, tidak hanya ho’oh setiap kali disodori isu apa pun.

Cukai kantong plastik, juga isu sedotan plastik, sebenarnya menunjukkan satu hal yang sama: Industri yang menciptakan kesalahan, tapi masyarakat (kita semua) yang harus menanggung akibatnya. Begitu pula dengan isu lain yang pernah panas; global warming—podo wae asal usule.

Bahwa bumi mengalami pemanasan global—itu benar! Tidak ada orang waras yang bisa menyangkal. Tapi bagaimana narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” atau bahkan membelokkan isu pemanasan global itulah yang perlu dicermati, karena adanya kepentingan-kepentingan.

Begitu pula dengan isu [sampah] plastik. Bahwa bumi penuh sampah plastik—itu benar! Tak peduli kau orang ilmiah dan enviromental atau tidak, kau pasti setuju sampah plastik ada di mana-mana. Tapi narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” isu itulah yang perlu diperhatikan.

Yang jadi masalah di sini, isu global warming maupun sampah plastik punya keterkaitan langsung dengan lingkungan, dan sebagian besar orang akan merasa dirinya hebat jika “membela kelestarian lingkungan”. Tidak masalah, itu bagus. Cuma, perhatikan narasi yang “memanfaatkannya”.

Kalangan yang menolak cukai plastik itu bukan orang-orang yang tidak sadar lingkungan atau ingin merusak alam dengan lebih banyak menimbun sampah plastik. Yang mereka persoalkan sebenarnya narasi yang digunakan untuk “menunggangi” sampah plastik (sekaligus mengeksploitasinya).

Sama saja dengan para ilmuwan yang menolak isu pemanasan global. Sebenarnya, bukan faktanya yang mereka tolak—wong mereka ilmuwan, yang jelas lebih pintar dari kita. Yang mereka persoalkan adalah narasi yang memanfaatkan sekaligus mengeksploitasi isu demi kepentingan tertentu.

Bagiku, melihat “isu-isu lingkungan” ini sebenarnya cukup jelas, khususnya kalau kita melihat alur dan kronologinya secara komprehensif (bukan sekadar melihat penyu yang hidungnya kemasukan sedotan!) Intinya sih sederhana; industri menciptakan masalah, dan kita yang disalahkan!

Well, pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan isu pemanasan global yang tempo hari begitu ramai diberitakan di dunia? Langkah-langkah besar apa yang sekiranya telah dilakukan berbagai negara untuk mengatasi isu raksasa itu? Dan bagaimana hasilnya, dan seterusnya?

Kalau kau cukup belajar, kau pasti akan heran. Isu yang luar biasa besar itu tiba-tiba hilang sendiri. Padahal, ketika isu digulirkan pertama kali, dunia seperti diberitahu bahwa kiamat akan datang besok pagi. Tapi isu yang spektakuler itu pun kini hilang dan reda sendiri.

Jika mau melihat contoh yang lebih klasik, coba pelajari isu ledakan populasi. Sebelum dunia mengenal isu pemanasan global, planet ini pernah diguncang isu ledakan populasi. Bahwa kalau populasi tidak terkendali, maka akan bla-bla-bla dan seterusnya, dan seterusnya.

Banyak negara, di masa itu, menerapkan program yang membatasi kelahiran, bahkan Indonesia pernah sukses menerapkan program serupa di zaman Orde Baru. Tetapi, kini, isu ledakan populasi tidak memiliki gaung sama sekali, dan bayi-bayi di bumi terus lahir setiap milidetik!

Kini, populasi penduduk di dunia sudah tak terkendali, dan nyaris tidak ada satu pihak pun—katakanlah WHO—yang berupaya menyerukan bahaya yang mungkin akan terjadi. Padahal ledakan populasi jauh lebih berbahaya daripada sampah plastik atau pemanasan global!

Sekarang, coba pikirkan pertanyaan yang menggelisahkan ini: Kenapa sampah plastik dan pemanasan global dipermasalahkan, tapi ledakan populasi tidak dipermasalahkan?

Haruskah kuberi tahu jawabannya? 

Industri, fellas, jawabannya adalah industri!

Industri membutuhkan pekerja, sebagaimana mereka membutuhkan aneka produksinya terus terjual. Dalam hal pekerja; semakin banyak “stok”, semakin murah harganya. Dalam hal penjualan; semakin banyak yang membutuhkan, semakin mahal harga suatu barang. Sesederhana itu rumusnya.

Industri tidak akan mempermasalahkan berapa banyak anak-anakmu, karena mereka akan menjadi para pekerja berupah murah, sekaligus pasar besar yang akan menyerap aneka produk mereka, meski harus banting tulang demi bisa memilikinya. Industri bahkan ingin kau punya banyak anak!

Industri juga sadar bahwa mereka telah menciptakan polusi serta aneka kerusakan lingkungan. Karenanya, sebelum kau sadar apa yang telah terjadi, mereka pun menudingkan jari ke arahmu, bahwa kaulah sumber penyebab sampah plastik dan berbagai kerusakan alam yang terjadi saat ini.

Jadi mereka menciptakan aneka macam polusi serta mencemari udara dari banyak produk yang mereka hasilkan, tapi kita yang harus bertanggung jawab. Jadi mereka menghasilkan limbah dan sampah plastik di seluruh planet ini, tapi kita yang harus membayar cukai. Aturan keparat apa ini?

Dan kalian terus beranak pinak dengan riang gembira, tanpa menyadari anak-anak kalian hanya akan menjadi budak-budak industri berupah murah, sekaligus terus mencemari dan merusak planet ini. Thanos sudah mengingatkan kita semua soal ini, tapi kita malah menuduhnya bajingan!

Kalau kita mau serius melestarikan bumi, caranya bukan dengan memberi cukai pada plastik! Itu seperti minum obat pusing untuk mengatasi kanker! Ora ilmiah blas! Akar semua masalah di bumi adalah terlalu banyak manusia, jadi itulah yang mestinya dibereskan. Kendalikan populasi!

Tapi kenapa justru tidak ada yang menyeru agar kita mengendalikan populasi? Ya masalahnya sepele, sih. Isu mengendalikan populasi sama sekali tidak seksi, sulit dijual, dan bertentangan dengan kepentingan industri! Lebih dari itu, kita (maksudnya kalian) memang budak evolusi!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Juli 2019.

Orang-Orang Tercerahkan

Semula, Galileo Galilei percaya bahwa Bumi adalah pusat alam semesta, sebagaimana keyakinan umum masyarakatnya. Tapi kepercayaan itu sirna, ketika ia mengenal teleskop. Menggunakan teleskop, yang merupakan teknologi luar biasa di zamannya, Galileo akhirnya mengetahui dan menyadari bahwa Bumi hanyalah kerikil di antara Matahari yang menjadi pusat alam semesta.

Sejak itu, Galileo tahu bahwa pengetahuan atau keyakinan masyarakatnya sebenarnya keliru. Bukan Bumi yang jadi pusat alam semesta, tapi Matahari. Apa yang harus dilakukan Galileo?

Sebagai pembelajar, Galileo tahu ia harus menyatakan kebenaran yang diketahuinya, agar orang-orang menyadari kekeliruan mereka. Tetapi, kejujuran yang ia lakukan membuatnya menerima hukuman. 

Galileo hanya satu di antara banyak orang lain yang menghadapi dilema serupa di berbagai zaman, dan latar belakang itulah yang lalu memunculkan aneka kode rumit, petanda dan petunjuk samar, yang sengaja dibuat orang-orang zaman kuno... untuk ditemukan orang-orang di masa depan, yang mampu memecahkannya.

Tidak selalu manusia siap menerima pengetahuan baru, karena sifat dasar Homo sapiens lebih memilih tenteram daripada gelisah, lebih memilih status quo daripada menerima kebenaran asing. Karena itu pula, Orang-Orang Tercerahkan sejak zaman dulu lebih memilih hidup di kesunyian, menyimpan pengetahuannya dalam petunjuk samar, sambil berharap petunjuk yang mereka tinggalkan bisa ditemukan orang-orang di masa depan.

Saat ini, kita bisa enteng mengatakan bahwa Matahari adalah pusat alam semesta, dan tidak ada pihak mana pun yang mengamuk. Karena modernisasi dan ilmu pengetahuan pada akhirnya—mau tak mau—membuka mata manusia untuk melihat kebenaran. 

Kenyataan yang kita hadapi sekarang berbeda jauh dengan kenyataan yang dulu dihadapi Galileo atau para pembelajar sezamannya. Mereka tidak/belum bisa sebebas kita hari ini, karena ada orang-orang yang merasa menjadi otoritas pemegang kebenaran, yang tak boleh digugat.

Tapi pada masa Galileo atau pada masa kini, selalu ada Orang-Orang Tercerahkan yang tak mau tunduk pada perbudakan kebodohan. 

Tidak Percaya Blas

Akhirnya ada orang berkompeten yang mengatakannya dengan jelas. Dari dulu, aku juga TIDAK PERCAYA BLAS pada hal absurd yang disebut indigo. Itu sebelas dua belas dengan fenomena "disunat jin" padahal yang terjadi hanya masalah medis. Orang memang senang mendramatisir sesuatu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2019.

Hidup Cuma Sekali

Hidup cuma sekali. Isine mung ngapusi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2019.

Kerekereo

“Dk hnneri werucvcvtyyt xvciuer3n 345jhnfmd soda soda soda sdfkdhsf sfaouwer wqrhkqhrjrw shah shah shah... s sofdifu sdpoi opsdfjskjkdfjkf... yoya yoya...”

Lha kok kerekereo!

Hujan Masih Turun

Kirain hujan udah nggak musim. Ternyata masih juga turun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Mahal dan Kemahalan

Mungkin seleraku memang mahal. Tapi yang pasti aku tidak mau membayar apa pun yang kemahalan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2012.

Salah Satu Kenikmatan Hidup

Salah satu kenikmatan hidup adalah menikmati makanan yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Maret 2012.

Lewat Amerika

Paling gitu aja harus lewat Amerika, Belanda, sampai Israel.

Cemen!

Para Perusak Manusia

Di TL-ku sedang ada cowok tolol yang dikeroyok cewek-cewek pintar. Senang melihatnya. 

Cowok-cowok tolol (kau tahu yang kumaksud), tidak hanya ada di medsos, khususnya Twitter, ada jauh lebih banyak di dunia nyata. Mereka menatap hidup, pernikahan, dan pasangan, dengan sangat naif. Sementara itu, ada banyak bangsat yang mengompori mereka agar cepat kawin.

Kenyataan itulah yang membuatku miris. Selain cowok tolol, di dunia ini juga ada cewek-cewek yang sama tololnya, yang menatap hidup dan perkawinan dengan sama tolol. Mereka bisa dibilang "belum tahu apa-apa". Dan mereka dikompori agar segera kawin. Dasar tolol, mereka pun kawin!

Ketika sepasang orang tolol kawin dan beranak-pinak, apa yang terjadi? Kau tahu jawabannya, dan itulah dasar serta alasan kenapa kita harus memerangi bangsat-bangsat yang doyan memprovokasi orang lain cepat kawin. Bangsat-bangsat itulah perusak manusia dalam arti sesungguhnya.

Orang tolol yang belum kawin selalu ada kemungkinan untuk bisa disadarkan, karena hidup serta pikirannya masih luas. Mari bantu mereka. Tapi orang tolol yang sudah kawin dan beranak pinak, mereka sudah "tak terselamatkan", karena pikiran serta hidup mereka sudah sangat sempit.

Aku jadi terpikir untuk membentuk organisasi atau komunitas, bernama Indonesia Tanpa Orang Tolol. Misinya adalah menyadarkan sesama, bahwa hidup tidak sesempit atau sependek selangkangan, dan bahwa tujuan hidup manusia bukan cuma untuk kawin dan beranak pinak lalu keblangsak.

Aku percaya, kelak di masa depan, akan tiba suatu masa ketika manusia menyadari bahwa kawin dan beranak pinak hanyalah pilihan, dan bahwa orang-orang yang suka memprovokasi orang lain cepat kawin dan beranak pinak tanpa persiapan adalah para penjahat kemanusiaan yang menjijikkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2019.

Ngingetin

Iin Nur Indah ini suaranya keren banget. Ngingetin pada Dolores O'Riordan The Cranberries. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Yupu

He.

Kamis, 10 Juli 2025

Di Meja yang Sama

Dunia dibangun di atas pola, dan manusia menjalani kehidupan dengan terperangkap di dalam pola. Bisa jadi pola itu disadari atau sengaja dibentuk secara pribadi, bisa jadi pula terbentuk tanpa sadar karena kebiasaan alami. Hal itu pula yang terjadi terkait tempat makan malam yang biasa saya kunjungi.

Usai makan sendirian, malam itu, seperti biasa saya menyulut rokok, lalu menyandarkan tubuh dengan santai ke sandaran kursi. Biasanya, setelah rokok habis, saya akan mendatangi kasir, dan membayar. Tapi biasanya pula saya lebih lama di sana karena bertemu seseorang. 

Seperti malam tempo hari. Rokok di tangan hampir mencapai setengah ketika seseorang mendatangi meja tempat saya makan, kemudian berdiri di hadapan saya. Dengan suara yang telah saya kenal, dia berkata, “Jam yang sama, meja yang sama, menu yang sama. Aku curiga, kamu juga biasa melewati jalan yang sama.”

Saya tersenyum, dan menyahut, “Kita menyukai pola, atau terjebak dalam pola, dan aku juga mengenali pola dalam caramu berbicara. Elegan, intimidatif.”

Dia tertawa sambil menarik kursi, kemudian duduk di depan saya. Setelah menyulut rokok, dia berkata, “Beberapa hari terakhir, aku membaca arsip yang di dalamnya terdapat istilah yang tidak kupahami. Aku sudah mencoba googling, tapi jawaban yang kudapatkan tidak match. Istilah itu sepertinya lebih bersifat praktis daripada teoritis.”

Saya tertarik, “Dan apa istilah itu?”

“Kontraktor media.”

Saya mengangguk-angguk, dan memahami kenapa dia tidak bisa menemukan penjelasannya lewat googling.

“So,” dia berkata, “aku tahu kontraktor intelijen. Tapi apa itu kontraktor media?”

“Mirip kontraktor intelijen.”

Dia menatap saya dan berkata, “Kamu punya kemampuan menjelaskan sesuatu yang rumit jadi sederhana dan mudah dipahami. Jadi, mengulang pertanyaan tadi, apa itu kontraktor media?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Intelijen membutuhkan kontraktor saat mereka ingin melakukan sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. Begitu pun, media-media besar membutuhkan kontraktor saat mereka ingin meliput sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. So, kontraktor media adalah perantara tak dikenal yang memungkinkan media-media raksasa meliput hal-hal yang sulit mereka sentuh.”

Dia mengernyitkan kening, seperti berusaha mencerna sesuatu. “Sori, aku belum punya bayangan apa-apa. Tolong lanjutkan.”

“Bayangkan kamu petinggi media massa berpengaruh, semacam TIME. Kamu ingin meliput skandal besar sekaligus sensitif yang terjadi di sebuah negara—sebut saja Negara X. Kamu telah menemukan whistleblower yang siap mengungkap apa yang terjadi. Sebagai petinggi media, kamu tentu tinggal mengirim jurnalis ke Negara X, mengumpulkan liputan, lalu mengungkapkannya di mediamu. Right? Masalahnya, Negara X telah mengantisipasi hal itu, dan telah melakukan scanning terhadap orang-orang yang berprofesi jurnalis, dan nama-nama para jurnalis akan menyalakan alarm begitu terdeteksi di bandara. Jadi, apa yang akan kamu lakukan jika menghadapi kenyataan semacam itu?”

Dia mengangguk-angguk, dan tampaknya mulai memahami. 

Saya melanjutkan, “Di situlah peran kontraktor. Ada lembaga, atau biro, atau apa pun sebutannya, yang menyediakan orang-orang untuk mengerjakan tugas-tugas peliputan ketika para jurnalis resmi tidak mungkin melakukannya. Orang-orang itu memiliki kemampuan jurnalistik tapi bukan jurnalis. Identitas mereka tidak bisa dilacak ke media mana pun. Saat mereka masuk ke sebuah negara, misalnya, mereka hanya akan dianggap turis atau traveler biasa, dan alarm di bandara tidak akan menyala. Orang-orang tak dikenal itulah yang disebut kontraktor media. Mereka menemui para saksi, whistleblower, mengumpulkan liputan, menulis hasilnya secara lengkap, lalu menyerahkan pada biro yang mempekerjakannya. Biro kemudian menyerahkan hasil kerja itu pada media yang menyewa mereka.” 

Dia mengisap rokoknya, terdiam seperti mencerna penjelasan saya, kemudian berkata, “Sejujurnya, aku baru tahu soal ini.”

“Memang bukan pengetahuan umum.” Kemudian, sambil tersenyum, saya menambahkan, “hingga Google juga tidak tahu.”

Pelayan lewat. 

Dia memesan minuman untuk dirinya dan untuk saya, sambil memberi tahu kalau dia pindah meja.

Setelah pelayan berlalu, dia berkata, “Soal kontraktor media tadi... siapa saja penggunanya?”

“Hampir semua media besar internasional menggunakan jasa mereka. Kamu pikir ada media yang cukup gila mengirimkan jurnalisnya ke Korea Utara, misalnya?”

“I see.” Dia kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Korea Utara sangat ketat dalam pemeriksaan di gerbang masuk. Sepertinya mereka juga memiliki database identitas para jurnalis di seluruh dunia, dan jurnalis bisa bermasalah jika nekat masuk ke sana. Selama ini aku berpikir, bagaimana ada media bisa menjelaskan kondisi di Korea Utara secara detail, sementara nyaris tidak ada jurnalis yang bisa masuk ke sana? Jadi itu pekerjaan para kontraktor...”

Ucapannya terhenti saat pelayan datang membawakan minuman.

Setelah pelayan berlalu, dia kembali berkata, “Para kontraktor itu tentunya bukan orang-orang sembarangan—mereka pasti orang-orang cerdas dengan keberanian luar biasa. Bagaimana biro-biro yang mempekerjakan mereka bisa menemukan orang-orang semacam itu?”
 
“Sama seperti intelijen,” saya menjawab, “mereka mencarinya di kampus-kampus, atau di lembaga-lembaga tertentu. Kandidat terbaik biasanya yang sangat cerdas atau genius, dan tidak terikat hubungan konvensional.”

“Kenapa orang-orang cerdas bahkan genius mau menjadi kontraktor, yang bisa dibilang tidak akan terkenal?”

“Sederhana saja, bayarannya sangat besar. Lagi pula, tidak semua orang ingin terkenal.”

Dia mengangguk-angguk, lalu tersenyum. “Selalu ada hal-hal baru setiap kali ngobrol denganmu.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, dan menyahut, “Senang mendengarnya.”

Kami lalu menyesap minuman, dan saya menyalakan rokok baru. Percakapan kami pun berlanjut dengan menyenangkan seperti biasa. 

Sejak pertama kali melihat dia datang, saya tahu itu bukan tanpa alasan. Dia orang sibuk yang enggan membuang-buang waktu untuk percakapan-percakapan tidak penting. Karenanya dia biasa menggunakan pola komunikasi yang khas; sopan, elegan, tapi intimidatif, karena dia tidak mau buang-buang waktu untuk basa-basi tidak penting atau komunikasi yang mutar-mutar tidak jelas. Orang yang to the point, dan saya menyukai gayanya.

Di tengah jeda percakapan, dia mengambil ponselnya, membukanya beberapa saat, kemudian menyodorkannya ke arah saya. “Kenal orang ini?”

Saya melihat foto seseorang di layar ponsel, lalu menjawab, “Aku kenal dia, tapi dia tentu tidak mengenalku.”

“Dia mengenalmu.”

“Really?”

Dia menutup ponselnya, lalu berkata perlahan, “Dia sedang mengerjakan sesuatu, dan butuh bantuan orang yang benar-benar tahu proyek yang sedang dikerjakannya. Dia tahu kamu, tapi tidak yakin apakah kamu tertarik, mengingat kalian tidak saling kenal. So, aku mencoba membantu dengan menyampaikan ini ke kamu. Kalau kamu tertarik, itu akan jadi kabar gembira buat dia. Tapi kalau kamu tidak tertarik, tidak apa-apa.”

“Aku lagi butuh cashflow sekarang. Dan, ya, aku tertarik.”

Dia berbinar. “Bagus sekali!”

.....
.....

Empat hari kemudian, saya duduk dengan seseorang di kota lain.

 
;