Unfortunately, “if I can do it, you can” is overrated.
Omong-omong soal overrated...
Umpama aku mengatakan, “Hanya dengan bermain bola, kamu bisa mendapat penghasilan miliaran, bahkan triliunan.”
Kamu mungkin bertanya, “Apa iya?”
Dan aku menjawab yakin, “Iya, buktinya Ronaldo!”
Apakah perkataanku benar? Tentu benar. Tapi problematis.
Sama saja kalau aku mengatakan, “Hanya dengan ngobrol santai, terus direkam video, kamu bisa mendapat penghasilan tak terhitung banyaknya.”
Kamu kembali memastikan, “Apa iya?”
Dan lagi-lagi aku menjawab yakin, “Iya, contohnya Deddy Corbuzier.”
Pernyataan-pernyataanku, dalam dua contoh tadi, tentu saja benar, dan tidak terbantah.
Benar dan tidak terbantah... sebagai fakta.
Tapi benar sebagai fakta bukan berarti kemudian bisa dipegang dan ditelan mentah-mentah. Karena ada jenis kebenaran yang problematis.
Faktanya, Ronaldo mendapat penghasilan triliunan dari bermain bola. Faktanya, Deddy Corbuzier mendapat penghasilan miliaran dari ngobrol di podcast.
Siapa pun tidak bisa membantah kenyataan itu, karena memang itulah faktanya. Tapi fakta itu tidak bisa berhenti di situ.
Maksudku, kita tidak bisa menggunakan Ronaldo atau Deddy Corbuzier untuk menggeneralisasi bahwa semua orang pasti bisa begitu.
Orang seperti Ronaldo hanya nol koma nol nol nol nol sekian persen dari penduduk bumi. Bermimpi seperti dia bisa jadi sangat utopis.
Begitu pun, kita tidak bisa tiba-tiba membuat channel di YouTube, lalu mengundang orang-orang untuk ngobrol ala podcast, sambil berharap bisa menandingi Deddy Corbuzier. Bahkan umpama kita sepuluh kali lebih pintar dari dia, tetap saja tidak ada jaminan bisa seberhasil dia.
Apa artinya itu? Bahwa di dunia ini ada banyak kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran—dan siapa pun tidak bisa membantah kebenaran itu, karena nyatanya memang benar—tapi sebenarnya kebenaran itu problematis jika tidak disikapi secara bijak.
Ini bahkan jenis kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran, diakui sebagai fakta tak terbantah, bahkan disaksikan jutaan orang. Tapi bahkan seperti itu pun, kebenaran ini masih problematis. Apalagi jenis kebenaran yang masih kita ragukan kebenarannya?
Jadi, Ronaldo adalah pemain bola yang hebat dan mendapat penghasilan besar dari bermain bola—itu benar.
Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Ronaldo sendiri. Kita tidak bisa menjadikan Ronaldo sebagai ukuran, “Kalau Ronaldo bisa, berarti kita juga bisa!”
Begitu pun, Deddy Corbuzier adalah podcaster dengan subscriber sekaligus penghasilan terbesar di Indonesia—itu benar.
Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Deddy Corbuzier sendiri. Berpikir setiap orang bisa seperti dia, bisa jadi pikiran yang keliru.
Jadi, apakah kita tidak boleh meniru Ronaldo atau Deddy Corbuzier?
Bukan begitu maksudku. Yang kumaksud, kita perlu meletakkan kebenaran (dalam hal ini prestasi/pencapaian) orang per orang sesuai proporsinya.
Kalau kamu bisa, belum tentu aku bisa. Begitu pun sebaliknya.
Menggeneralisasi semua orang “kalau Si A bisa main bola, berarti semua orang juga bisa”, itu sebenarnya sudah keliru sejak dalam ginjal.
Wong setiap orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, juga kemampuan dan bakat berbeda-beda. Tidak bisa digeneralisasi seenaknya.
Kamu mungkin tidak bisa bermain bola sehebat Ronaldo. Tidak apa-apa. Tapi kamu juga tentu punya kemampuan sendiri yang unik, yang benar-benar tepat dengan dirimu, yang sesuai bakat, kemampuan, dan passion-mu... yang tidak bisa dilakukan siapa pun di dunia, selain dirimu.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 November 2022.