Rabu, 20 Agustus 2025

Teh Hangat di Pagi Hari

Ini lanjutan catatan sebelumnya (Dingin di Luar, Hangat di Hati). Pagi hari, Apri serta Kholid juga saya telah bangun dari tidur, dan kami duduk di atas tikar di ruang tamu. Apri telah membuat teh, dan kami pun menyeruput teh hangat di gelas masing-masing. 

“Bagi kebanyakan orang,” kata Apri, “minum teh hangat di pagi hari mungkin biasa aja. Tapi bagiku, minum teh hangat di pagi hari adalah kenikmatan luar biasa.”

Sebelum bekerja bersama Kholid, Apri menganggur cukup lama. Dia sempat kerja serabutan, tapi lebih sering menganggur, sehingga belum tentu setiap hari bisa makan, karena memang tidak ada uang. Kisah lengkap tentang hal itu bisa dibaca di sini: Malam Ngelangut.

Karena sulitnya mendapat uang di masa-masa itu, Apri harus sangat berhemat. Setiap hari dia hanya minum air putih, karena baginya bikin teh artinya menambah pengeluaran. Apalagi jika harus ditambah gula. Menurut cerita Apri pagi itu, kalau suatu hari dia bikin teh, artinya di hari itu tak perlu makan, karena perutnya sudah “dikenyangkan” dengan teh. Sementara di hari lain, Apri hanya minum air putih, dan biasanya hanya makan sebungkus mi instan atau beberapa gorengan dalam sehari.

Tak perlu tanya apakah makan sebungkus mi instan atau beberapa biji gorengan dalam sehari bisa membuat kenyang. Sudah jelas tidak! Tapi kalau kamu cuma punya uang Rp10.000, dan seminggu ke depan belum tentu dapat uang lagi, kamu tentu akan sangat hati-hati menggunakan uangmu. Faktanya, bahkan sudah sangat berhemat pun, Apri sering menjalani hari-hari tanpa uang sama sekali, tak bisa makan apa-apa, dan hanya mengisi perutnya dengan air putih. 
 
Pagi itu, di depan saya dan Kholid, Apri menceritakan, ada suatu masa ketika ia tidak minum teh hingga sebulan lebih, dan ia merasa sangat ingin minum teh hangat di pagi hari. Keinginan yang sederhana, hanya minum teh hangat di pagi hari! Tapi bahkan untuk mewujudkan keinginan sederhana itu, Apri tidak mampu. Karena memang tidak ada uang sama sekali. 

“Akhirnya aku terpikir untuk pergi ke rumah adikku,” ujar Apri mengisahkan.

Adik Apri, seorang perempuan, sudah menikah, dan tinggal bersama suaminya di rumah kontrakan. Jaraknya cukup jauh. Tapi demi bisa minum teh hangat, Apri berangkat dari rumahnya usai subuh, ketika hari masih gelap, lalu jalan kaki menuju rumah adiknya. 

Sekitar satu jam Apri berjalan kaki sendirian, menyusuri jalan panjang yang waktu itu masih sepi, dan dia terus melangkah di trotoar. 

“Di tengah jalan,” Apri berkata sambil tersenyum, “tanpa sengaja aku nemu puntung rokok yang masih cukup panjang.”

Dia ambil puntung rokok yang cukup panjang itu, dan menyimpannya dalam saku. Lalu terus melangkah menuju rumah adiknya.

Sesampai di rumah adiknya, hari sudah terang, dan Apri merasa kelelahan. Dia bertanya apakah ada teh, dan adiknya segera membuatkan segelas teh hangat. 

Apri duduk di teras kontrakan adiknya, menyesap teh hangat di gelas, lalu menyulut puntung rokok yang tadi ia temukan di tengah perjalanan. 

“Nikmatnya luar biasa,” ujar Apri pada kami. Setelah sebulan lebih hanya minum air putih, teh hangat manis dan sepuntung rokok terasa sangat nikmat hingga sulit dilukiskan kata-kata.

Kholid kemudian bertanya, “Adikmu tahu kondisimu waktu itu, Pri?”

“Tahu,” jawab Apri. “Cuma dia hidupnya juga susah, jadi aku ngerti kalau dia nggak bisa bantu banyak. Kadang, kalau pas aku dolan ke tempatnya, dia nyangoni (ngasih) duit beberapa ribu, atau sekantong jajan. Kadang ngasih dua bungkus mi instan. Itu aja, aku udah sangat berterima kasih.”

Apri menyesap teh hangat di gelasnya, lalu berujar, “Aku nggak suka neko-neko, dan nggak punya impian macam-macam dalam hidup. Aku cuma berharap bisa minum teh hangat manis setiap pagi, agar punya cukup energi untuk menjalani hari. Makanya kalau dengar orang ceramah soal 'jangan cinta dunia', atau ‘uang nggak dibawa mati’, aku ingin tertawa. Mereka nggak perlu mengajari, hidupku udah kayak gitu dari dulu.”

Saya mengisap rokok, lalu berkata, “Orang emang biasanya baru ngerti nilai uang setelah nggak punya uang sama sekali. Makanya orang-orang yang suka berlagak ‘uang nggak menjamin kebahagiaan’, hampir dapat dipastikan belum pernah mengalami kondisi nggak punya uang sama sekali. Karena nyatanya untuk bisa minum teh hangat di pagi hari aja butuh uang. Padahal itu sederhana. Cuma teh hangat!”

Kholid berkata, “Aku punya pengalaman yang kayaknya juga nyambung (relate) dengan itu.”

Dulu, Kholid menceritakan, dia pernah mengalami sakit pada punggungnya. Makin hari, sakit pada punggung itu makin terasa, tepatnya di punggung bagian bawah, dan sangat mengganggu kerjanya. Kemungkinan besar, menurut Kholid, sakit pada punggungnya juga terkait pekerjaannya.

Seperti yang pernah saya tuliskan di sini, Kholid bekerja sebagai kuli keceh di pabrik batik. Pekerjaan itu mengharuskan badan banyak bergerak. Kemungkinan, menurut Kholid, dia mengalami “salah posisi” waktu sedang bekerja, hingga ada urat di punggungnya yang “melintir”. Makin hari, sakit di punggung itu terasa kian parah, dan Kholid berencana pijat untuk membetulkan masalah urat di punggungnya. Dia punya tetangga yang ahli pijat, dan Kholid biasa minta pijat kepadanya setiap kali badannya bermasalah. Sayangnya, ketika punggungnya sakit waktu itu, Kholid tidak ada uang untuk biaya pijat.

“Sisa pocokanku (penghasilan mingguannya) cuma tinggal empat puluh ribu, dan itu buat makan aku sama ibuku beberapa hari ke depan,” ujar Kholid.

Akhirnya, meski punggungnya makin terasa tidak nyaman, Kholid tetap menguatkan diri. Dia terus berangkat kerja sambil menahan sakit di punggung, dan berharap Kamis segera datang agar dia mendapat uang pocokan, agar bisa pijat dan membereskan sakit punggungnya.

Lalu Kamis tiba, dan sakit di punggung Kholid juga tiba pada puncaknya. Menjelang asar, dia tiba-tiba ambruk di tempat kerjanya, dan merasa antara sadar dan tidak. Yang ia rasakan waktu itu hanyalah punggungnya yang sangat sakit.

Majikan Kholid, yang tahu hal itu, segera berinisiatif membawa Kholid ke rumah sakit. Tapi Kholid seketika menolak. 

Kepada saya dan Apri pagi itu, Kholid mengatakan, “Bagi orang miskin kayak aku, rumah sakit terdengar mengerikan. Karena yang kupikirkan waktu itu adalah biaya mahal, obat mahal, perawatan mahal, sementara aku nggak ada duit sama sekali.”
 
Akhirnya, karena Kholid menolak dibawa ke rumah sakit, majikannya lalu meminta sopirnya untuk mengantarkan Kholid pulang. Sore itu juga Kholid pulang, dengan membawa uang pocokan hasil kerja seminggu.

Sesampai di rumah, dia minta tolong ibunya agar memanggilkan tukang pijat tetangga mereka. Dugaan Kholid ternyata tepat. Ada urat di punggung bawahnya yang “melintir” hingga menimbulkan sakit. Tukang pijat lalu membetulkan urat yang melintir itu, dan sakit pada punggung Kholid berangsur-angsur mereda. Besoknya, hari Jumat, Kholid istirahat di rumah, dan merasakan badannya mulai sehat, hingga bisa kembali bekerja seperti biasa ketika Sabtu tiba.

Kholid berkata, “Aku sering mendengar orang mengatakan, ‘kerja nggak usah ngoyo’. Sebenarnya, orang melarat kayak aku nggak pernah ingin kerja ngoyo. Kalau bisa, aku ingin nggak kerja sama sekali! Tapi kalau aku nggak kerja, siapa yang ngasih makan aku dan ibuku? Aku tetap kerja meski sambil menahan kesakitan, bukan karena ngoyo, tapi karena nggak punya pilihan lain! Karena kalau nggak kerja, aku nggak dapat uang, dan artinya nggak bisa makan. Orang ngomong seenaknya, sok menasihati kerja nggak usah ngoyo, seolah mereka menanggung kehidupanku.”

Apri menyambung ucapan Kholid, “Ada juga yang sok menasihati agar kita nggak perlu khawatir soal rezeki, karena setiap orang udah dapat jatah rezeki. Dulu, waktu menganggur sampai berbulan-bulan, aku sering semaput karena nggak makan sama sekali akibat nggak ada uang, dan aku mengalami hal kayak gitu berbulan-bulan! Orang yang suka ngomong ‘nggak usah khawatir soal rezeki’ sebaiknya mengalami yang kualami dulu, agar omongannya lebih bermakna.”

Mendengar cerita Apri dan Kholid pagi itu, saya mulai menyadari sesuatu. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau tetangga kita tidak makan berhari-hari karena ketiadaan uang, sampai mau minum teh hangat saja harus berjalan kaki ke tempat adiknya yang sangat jauh. Bahwa bisa jadi kita tidak tahu kalau orang yang kita kenal terpaksa bekerja sambil diam-diam menahan kesakitan, hingga belakangan sampai jatuh pingsan, karena memang dia harus tetap kerja demi bisa dapat uang untuk makan.

Kita tidak tahu, karena mereka mungkin tidak ingin mengganggu kita dengan cerita-cerita orang susah yang terdengar membosankan. Kita tidak tahu, karena mereka memilih untuk memendam masalah hidup mereka sendirian, dan tidak ingin merepotkan orang lain. Kita tidak tahu... dan mestinya kita juga tidak usah sok tahu!

Maksud saya, kita tidak usah sok tahu dengan menasihati mereka “harus begini dan harus begitu” seolah kita tahu kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu! Kita tidak usah sok tahu dengan berlagak tahu semua hal tentang hidup mereka, lalu merasa punya hak mengatur-atur kehidupan mereka—karena faktanya kita tidak tahu!  

Kalau memang kita ingin menunjukkan kepedulian, ada cara yang jauh lebih baik untuk dilakukan, yaitu bertanya, “Apa yang bisa kubantu?” Lalu bantulah kalau memang mampu. Pertanyaan dan sikap semacam itu menunjukkan empati, bahwa kita peduli—bukan hanya berlagak sok ngerti sambil ceramah ndakik-ndakik dan merasa benar sendiri.

Dinginnya

Oh, dinginnya pagi ini... Sedingin pagi yang dingin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Februari 2012.

Disuruh Rejoh

“Aku disuruh rejoh,” kata seorang bocah.

Saya bertanya, “Rejoh itu apa?”

“Itulah, aku juga tidak tahu. Tapi aku disuruh rejoh.”

“Dan orang yang menyuruhmu rejoh itu... dia tahu apa itu rejoh?”

“Mungkin tidak.”

“Apakah dia melakukan rejoh, terlepas apa pun artinya?”

“Tidak.”

....
....

Rejoh celeng!

Benda yang Dipungut dari Neraka

Direktur Perencanaan Korporat PLN, Syofvi Felienty, berharap masyarakat lebih sering menggunakan listrik di rumah, khususnya AC, agar konsumsi listrik terus meningkat, sesuai target PLN. —@kumparan


JADI SELAMA INI KITA GEMBAR-GEMBOR HEMAT LISTRIK ITU BUAT APA?

Aku tidak pakai AC di rumah. Pertama karena AC menyedot terlalu banyak energi listrik. Kedua, AC menghambatku menikmati udud. Dan ketiga, AC adalah peranti yang tidak ramah lingkungan. Kalau kau ingin melihat lingkaran setan pemanasan global dalam wujud aslinya, lihatlah AC.

Manusia menyalakan AC karena cuaca panas. Semakin banyak AC dinyalakan, energi yang digunakan semakin banyak, dan panas yang dilepaskan ke atmosfer semakin banyak. Hasilnya, bumi semakin panas, dan manusia semakin sering menggunakan AC, dan begitu seterusnya sampai kiamat.

Dalam bayanganku, AC adalah benda yang dipungut dari neraka, dan dikenalkan pada manusia di dunia. Hasilnya, "yang kaulihat sebagai surga sebenarnya neraka, dan yang kaulihat sebagai neraka adalah surga."

Bumi akan jauh lebih baik saat ini, andai AC tidak pernah ditemukan.

Dan sekarang Direktur Perencanaan Korporat PLN berharap semakin banyak orang yang menggunakan AC, dengan alasan "agar konsumsi listrik yang ditargetkan PLN tercapai."

Itu seperti humor gelap yang mengerikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Baru Kali Ini

Baru kali ini nemu "twitwar" yang membuatku penasaran, sampai ngecek ke akun masing-masing: tinystardustt vs siskaeee.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Maret 2019.

Waduh

JKT48 Fanblog http://jkt48fanblog.blogspot.com/ —@gm_gm

Waduh, ini akunnya GM diretas apa gimana?

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Nokia, Dulunya

Nokia itu dulunya pabrik kertas yang menyuplai produknya ke perusahaan telepon. Jaman dulu, tuts telepon pakai bantalan lapisan kertas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Lagi-lagi Nyesel

Lagi-lagi nyesel nonton horor. Kali ini film Us. Sangat tidak enviromental.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2019.

Semalam Suntuk

Semalam suntuk cuma baca artikel di web. Rasanya sampai seperti mabuk. Dan ternyata Andrea Hirata pernah punya istri. Kirain masih lajang!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Tertolong oleh Kerupuk

Ajaib, kalau dipikir-pikir.

Tidak Mengema

Iya.

Minggu, 10 Agustus 2025

Dingin di Luar, Hangat di Hati

Orang yang bekerja seharian biasanya merasakan lelah saat malam hari, hingga hanya ingin istirahat dengan tenang, agar besok dapat bekerja kembali. Apalagi jika kerjanya lebih menggunakan fisik, seperti tukang bangunan, atau tukang cuci batik. Karenanya, saya tahu diri untuk tidak mengganggu—misal mendatangi—teman-teman saya yang bekerja seperti itu, kecuali kalau hari libur, atau mereka yang meminta. Karena saya tahu, mereka pasti kelelahan setelah seharian bekerja, dan ingin menikmati istirahat tanpa terganggu apa pun.

Dulu saya biasa mendatangi Apri—orang yang saya ceritakan di sini—kapan saja, karena waktu itu dia masih belum kerja. Belakangan, Apri bekerja sebagai buruh di pabrik batik bersama Kholid, yang saya ceritakan di sini. Sekarang Apri dan Kholid berteman, karena mereka bekerja di tempat sama, dan mengerjakan hal yang sama. Sebagai teman mereka, saya senang melihatnya.

Malam Jumat kemarin, Kholid mengajak saya kumpul di rumah Apri, untuk menikmati kacang rebus bersama. “Majikanku baru panen kacang,” katanya. Para pekerja, termasuk Apri dan Kholid, mendapat sekantong kacang tanah. Apri dan Kholid lalu punya ide menggabungkan kacang itu, untuk dinikmati bersama.

Saya penyuka kacang rebus. Dan saya senang ngobrol dengan Apri serta Kholid. Jadi, saya lalu datang ke rumah Apri, pada malam Jumat seperti yang mereka minta. Malam itu cuaca agak dingin saat saya melaju ke tempat Apri.

Di rumah Apri, saya mendapati Kholid dan Apri sudah duduk santai di depan sebaskom kacang rebus yang masih hangat. Sambil tersenyum, saya berkata pada Apri, “Kamu bisa ngerebus kacang, Pri?”

“Ya bisa, lah,” sahut Apri. “Wong cuma masukin kacang ke panci, kasih air, terus ditambah sedikit garam.”

Malam itu, seperti biasa, tempat tinggal Apri sunyi ngelangut. Kami duduk di ruang tamu sederhana, beralas tikar, dan menikmati kacang rebus yang masih hangat. Usai puas makan kacang, saya meminum teh hangat di gelas, lalu menyulut rokok. 

Saya bertanya ke Kholid, “Majikanmu punya kebun kacang apa gimana?”

“Nggak cuma kacang,” jawab Kholid, “ada juga singkong, ketela, pepaya, dan sayuran.” Lalu Kholid menceritakan, majikannya punya tanah warisan yang cukup luas di wilayah kabupaten. Daripada tidak digunakan, tanah itu lalu dijadikan kebun, dan pengurusannya diserahkan pada petani setempat. Para petani menggarap tanah luas itu dan menghasilkan aneka tanaman, termasuk kacang tanah. Hasil panen dibagi dua; untuk petani penggarap dan untuk si pemilik tanah.

“Karena majikanku udah kaya, dan nggak terlalu butuh duit,” ujar Kholid, “hasil panen itu nggak dijual, tapi dibagi-bagikan ke para pekerja di pabrik.” Karenanya, beberapa kali, Kholid pernah dapat seikat bayam, di lain waktu pernah dapat ketela, atau buah-buahan.

Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu. “Enak juga ya, punya kebun. Bisa makan hasil tanaman segar.”

Kami lalu membicarakan pengusaha batik yang jadi majikan Kholid dan Apri. Usaha batik tempat mereka bekerja relatif terkenal, dan showroom-nya sering didatangi para pembeli dari luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Sebagian pembeli itu termasuk para pejabat hingga para artis. Kedatangan para artis di sana biasanya membuat orang-orang (tetangga) di sekitar showroom jadi heboh, karena dapat menyaksikan artis-artis dalam wujud nyata.

Percakapan kami lalu beralih membahas artis dan orang-orang terkenal. Apri berkata kepada saya, “Kalau kamu ngefans seorang artis, kamu ingin ketemu dengannya?”

“Nggak,” sahut saya.

“Lhoh, kenapa?” tanya Kholid.

“Ya sadar diri, lah.”

Apri tampak bingung, “Sadar diri gimana?”

Saya mengisap rokok, lalu menjelaskan, “Aku ngefans sama Iwan Fals, misalnya. Aku hafal lagu-lagunya, tahu kisah hidupnya, bahkan memasang posternya di rumah. Pendeknya aku sangat mengenal Iwan Fals, karena mengidolakannya. Tapi Iwan Fals, kan, nggak tahu apalagi kenal aku. Jadi kayaknya aneh aja kalau aku sampai punya keinginan ketemu dia. Lha aku ini siapa?”

Kholid bertanya, “Jadi, kamu sebatas nonton konsernya, gitu?”

“Iya, paling gitu,” jawab saya. “Wong nonton video-video Iwan Fals di YouTube aja, aku udah senang. Kalau ingin melihat langsung, aku paling nonton konsernya, seperti para penggemar yang lain.”

“Nggak ada keinginan ketemu langsung?” tanya Kholid lagi. “Misal biar bisa ngobrol?”

“Nggak, lah,” saya tertawa. “Seperti yang aku bilang tadi, aku sadar diri. Makanya nggak berani ngarep macam-macam.”

Apri dan Kholid manggut-manggut. Lalu saya balik bertanya, “Emang kalian ingin ketemu tokoh idola atau artis yang kalian sukai?”

Kholid berkata, “Jujur, aku dulu ya kepikiran ingin ketemu artis atau tokoh yang aku idolakan. Tapi setelah dengar pengakuanmu barusan, aku jadi mikir, ‘iya, ya, kenapa aku sampai ngarep macam-macam sampai ingin ketemu?’ Ya mungkin aku mau aja ketemu, tapi artisnya, kan, belum tentu mau ketemu aku, hahaha...”

Saya beralih kepada Apri, “Kalau kamu, Pri?”

“Sama kayak kamu,” jawab Apri. “Sebenarnya, aku juga mikirnya sama kayak kamu tadi, cuma aku nggak tahu gimana menyebutnya. Intinya aku juga nggak berani ngarep macam-macam hanya karena ngefans seorang artis. Itu namanya sadar diri, ya?”

Percakapan kami terus mengalir, sambil menikmati kacang rebus, menyesap teh, dan mengisap udud. Tanpa terasa, kacang rebus di baskom akhirnya benar-benar tandas, dan jarum jam sudah menunjuk tengah malam.

Kholid bertanya pada saya, “Kita pulang apa nginap, nih?”

Apri langsung menyela, “Nginap aja, nggak usah pulang.”

Jalan pulang dari rumah Apri harus melewati jalanan gelap dan panjang yang diapit perkebunan dan persawahan. Sebenarnya saya tidak masalah jika harus melewati jalanan itu di tengah malam untuk pulang. Tapi Kholid sepertinya enggan. Jadi kami lalu memutuskan untuk menginap di tempat Apri. 

Setelah membersihkan tikar dari kulit-kulit kacang, kami lalu membaringkan badan. Sambil menunggu lelap, kami bercakap-cakap pelan. 

Kholid berkata, “Ternyata di sini juga dingin kalau tengah malam, ya. Kirain cuma di tempatku. Di tempatmu juga gitu, Da’?”

“Iya,” saya menjawab. “Akhir-akhir ini emang sangat dingin pas tengah malam. Padahal biasanya semromong (panas) terus.”

“Kalian perlu selimut?” tanya Apri.

“Nggak perlu, sih,” sahut Kholid. “Tapi kalau ada sarung, kayaknya bagus.”

Apri bangkit, dan sesaat kemudian menyerahkan sarung untuk saya dan Kholid. Kami lalu menjadikan sarung itu sebagai selimut. 

Udara terasa dingin, malam kian ngelangut.

Takdir Tertawa

Sehelai daun lepas dari ranting. 
Diembus angin, melayang-layang bersama udara. 
Lalu jatuh di tanah basah. 
Di kejauhan, takdir tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Dengan Manusia

Memang paling menyenangkan bercakap-cakap dan saling tertawa dengan manusia. Bukan dengan berhala.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juli 2012.

Ingin Ditanya Begitu

Tadi makan di warung, ada ibu-ibu tanya ke seorang bocah, "Mbakyumu sik opo, nang?"

Aku ingin sekali ditanya begitu, ya Allah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 April 2019.

Tak Perlu Berteriak

Keindahan tak perlu berteriak atau unjuk diri. Tersembunyi di mana pun dunia akan mengakui.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Desember 2012.

Sesekali Ngemeng Inggris

Sekali-sekali nge-tweet pakai bahasa Inggris, ah. Biar kayak orang-orang normal.

....
....

Knowledge is gained by learning, trust by doubt, skill by practice, and love by love.

Self-pity is our worst enemy. And if we yield to it, we can never do anything wise in this world.
    
When there is no enemy within, the enemies outside cannot hurt you.

Love makes time pass away, and time makes love pass away.

The moment when you can feel your life is the moment when you feel and do all the things with the spirit of love.

Hate, like love, outgrow by little things.

Love conceals ugliness, and hate sees many faults.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2014.  

Kebetulan?

Mula-mula, Siemens ambruk. Lalu Sony-Ericsson bercerai, seiring Blackberry mulai gonjang-ganjing. Puncaknya, Nokia bubar. Kebetulan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Mei 2014.  

Kejahatan Terburuk

Kejahatan terburuk yang pernah kuperbuat adalah berpura-pura pada semua orang bahwa aku orang yang sangat bahagia. —Kurt Cobain


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Maret 2019.

Jumat yang Biasa

 Jumat yang sungguh biasa-biasa saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019

Tak Juga Selesai

Baru 930 halaman dari 1.500 halaman. Rasanya tak sampai-sampai. Tak juga selesai.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Jarang Muncul

Iya ya, kenapa Barry Prima sekarang jarang muncul di film Indonesia, ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2012.

Klungsar

Klungsar, kata Jangus.

Jumat, 01 Agustus 2025

Takdir Kadang Punya Sisi Gelap

Mungkinkah seorang pria jatuh cinta pada seorang wanita, dan si wanita juga jatuh cinta kepadanya, tapi si pria memilih tidak menyatakan cintanya? Mungkin saja. Well, kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, dan kita juga tidak tahu apa alasan yang melatari pilihan serta keputusannya.

Kita terbiasa berpikir linier, seolah kehidupan sepasti rumus 1+1=2. Padahal hidup tak selalu begitu, dan keputusan serta pilihan orang per orang kadang memiliki alasan tak terduga. Dua orang yang saling jatuh cinta tak selalu jadi pasangan kekasih, karena takdir kadang punya sisi gelap.

Dalam sebuah percakapan panjang, seorang pria menyatakan bahwa dia memilih tidak menjalin hubungan cinta, dan tak akan pernah menikah apalagi punya anak. Alasannya mungkin mencengangkan, “Aku khawatir akan jadi pasangan yang buruk, yang akan menyakiti pasanganku.”

Dia, sebagaimana yang dikatakannya sendiri, adalah “produk gagal” dari sistem pengasuhan orang tua yang sangat buruk. Dia terluka, trauma, dan semua luka yang dialaminya membentuk pribadinya hingga dewasa. “Aku belum sembuh, dan mungkin tak akan sembuh,” katanya.

Saat mengenang percakapan itu, aku tergoda untuk berpikir bahwa dia psikopat yang menyadari kegelapan dirinya. Dan dia memilih untuk membiarkan kegelapan itu hanya ada pada dirinya, dan tidak ingin mewariskannya ke orang lain (anak yang mungkin dimilikinya).

Aku bertanya apakah dia pernah jatuh cinta, dan dia tersenyum saat menjawab, “Tentu saja.” Lalu dia melanjutkan, “Tapi aku memilih untuk memendamnya—kupikir itu lebih baik, bagiku dan bagi dirinya. Aku hanya akan menjadi pasangan yang buruk, dan itu tidak baik bagi kami.”

Jadi, seseorang mungkin jatuh cinta kepadamu, dan kamu tahu. Tapi dia tak pernah menyatakannya kepadamu. Bisa jadi kamu berpikir dia mempermainkanmu. Tetapi, bagaimana kalau ternyata dia tidak menyatakan cintanya justru karena sangat mencintaimu, dan tak ingin kamu terluka?

Kita tak pernah tahu isi hati orang per orang, selain hanya menebak-nebak. Dan bisa jadi tebakan kita keliru, karena kita terbiasa menggunakan pola pikir kita untuk menilai orang lain. Kita tak pernah tahu isi hati dan pikiran yang disimpan seseorang, karena takdir kadang menikam di kegelapan.

Dalam Hujan

Dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2012.

Seorang Pria Melangkah Sendirian

Di tempat makan langganan, saya duduk berhadapan dengan seseorang, membicarakan sesuatu. Ketika sedang asyik ngobrol, muncul seorang pria, sendirian, dan melangkah melewati meja kami. Pria itu melihat saya, dan kami saling tersenyum. Lalu dia menepuk pundak saya dengan ramah, sambil terus melangkah.

Setelah pria tadi berlalu, orang di hadapan saya berbisik, “Kamu kenal dia?” 

Ya, saya kenal pria tadi, karena kebetulan sering ketemu di sebuah panti asuhan. Lalu kami berteman karena sama-sama nyaman saat ngobrol. 

Lalu orang di hadapan saya berkata, “Dia angkuh sekali. Ya, kan?”

Saya balik bertanya kepadanya, “Kamu kenal dia?” 

“Tidak.”

“Kamu pernah menyapanya?” 

Dia kembali menjawab tidak. 

Saya bertanya, “Jadi, bagaimana kamu bisa menyimpulkan dia angkuh sekali?” 

Dia menjawab ragu-ragu, “Kata orang-orang yang mengenalnya.”

“Kata orang-orang yang mengenalnya”. Deskripsi itu sebenarnya meragukan. Karena jika “orang-orang itu” memang mengenalnya, mereka tidak akan punya kesimpulan semacam itu. Orang-orang itu biasanya hanya sekadar “melihat dari kejauhan”, lalu menyimpulkan sendiri.

Kita sering terjebak pada kondisi absurd semacam itu—tidak mengenal seseorang dalam arti sesungguhnya, cuma mengenal (mungkin lebih tepat disebut melihat) seseorang dari kejauhan, lalu menyimpulkan apa yang kita lihat. Dan hasilnya jelas: Kesimpulan salah!

Ada banyak korban jatuh dari “malapraktik kemanusiaan” semacam ini. Kita tidak mengenal Si A, Si B, Si C, dan seterusnya—kita hanya tahu mereka, dan tahu itu pun dari kejauhan, karena nyatanya memang tidak mengenal secara langsung. Lalu gegabah menyimpulkan. 

Kesimpulan yang benar butuh penelitian yang benar. Penelitian yang benar butuh pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar butuh kedekatan yang benar. Dan kedekatan yang benar, pertama-tama, butuh pikiran yang netral. 

Saya tidak menyalahkan orang di hadapan saya waktu itu, karena dia serupa dengan jutaan orang lain di luar sana, yang terbiasa menilai orang lain berdasarkan “pengamatan dari jauh”, atau sekadar “katanya begini” atau “katanya begitu”. 

Homo sapiens punya kecenderungan alami; jika melihat seseorang tidak sama seperti dirinya, dia akan merasa tidak aman. Kecenderungan alami itulah yang lalu membuat kita mudah menghakimi orang lain sesuai asumsi kita sendiri—dari “dia angkuh” sampai “dia aneh”.

Jadi, siapakah pria tadi, yang melangkah sendirian dan melewati meja kami? Seperti yang saya sebut tadi, kami saling kenal karena sering ketemu di panti asuhan. Menurut saya—yang telah kenal, sering bertemu, bahkan sering mengobrol secara intens—dia sosok yang baik.

Apa buktinya dia “sosok yang baik”? Puluhan anak yatim di panti asuhan bisa menjadi saksi. Dia membiayai sekolah mereka, memberikan pakaian dan penghidupan yang layak, dan dia melakukannya dengan uang miliknya sendiri, tanpa ribut-ribut, tanpa pamer, tanpa publisitas.

Sekilas, sosoknya memang kaku, dengan wajah seperti orang murung. Sikap kaku dan wajah murung itu pula yang mungkin menjadikan banyak orang menilai dia angkuh. Apalagi kenyataannya dia memang sangat pendiam (belakangan saya tahu, dia sebenarnya agak gagap).

Kenyataan itu pula yang membuat kami tadi hanya saling tersenyum—tidak saling sapa dengan seru seperti orang-orang lain umumnya ketika bertemu seseorang yang dikenal. 

Kesimpulan yang benar, tentang seseorang, butuh kedekatan yang sama benar.

“Tak kenal maka tak paham,” kata pepatah. Tapi kita mungkin sering lupa, hingga lebih suka menggunakan asumsi dan penghakiman. Orang-orang yang kita anggap egois dan angkuh, bisa jadi, orang-orang yang justru penuh kasih... yang sayangnya tidak kita tahu.

Keheningan

Keheningan seperti kupu-kupu. Mengepakkan sayap dalam diam, menebarkan keindahan tanpa teriakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 September 2012.

Menginginkan dan Kehilangan

Suka sekali nonton Wonder Woman 1984, dan melihat perjumpaan kembali Diana dengan Steve. Menyaksikan adegan mereka berdua, rasanya seperti melihat bocah dan mbakyunya. Inti ceritanya juga menggelisahkan; kau menginginkan sesuatu, kau kehilangan sesuatu.

Hidup tampaknya memang pertukaran antara keinginan dan kehilangan, karena kita tidak mungkin mendapatkan semuanya—atau bisa? Entahlah. Yang kutahu memang kita harus memilih; mendapatkan sesuatu, atau kehilangan sesuatu. Karena hidup adalah soal pilihan.

Betapa aneh hidup, kalau dipikir-pikir. Kita menginginkan sesuatu karena menyukainya, dan seiring dengan itu juga kehilangan sesuatu—entah sadar atau tidak. Dan ketika sadar, kita kembali menginginkan milik kita, dan rela kehilangan sesuatu yang kita suka. 

“Semua ada harganya,” kata Wonder Woman. Dia benar, tentu saja. 

Memilih yang Kedua

Jika diminta memilih antara mengejar cinta atau menghindari luka, aku akan memilih yang kedua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2019.

Saling Ledek Bocah Kaya

“Kamu kaya raya, tapi makannya di warteg!”

“Kamu lebih parah! Duit triliunan tapi makannya mi instan!”

Kecoak Disuruh Opname

Seorang bocah menangkap kecoak, lalu menggunting satu kakinya. Setelah kecoak itu kehilangan satu kaki, si bocah berkata pada kecoak, “Sana, opname!”

Mau Tidur Sore Lagi

Mau tidur sore, biar kayak orang-orang yang tak punya masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2019.

Ingin Justru

Iya.

Minggu, 20 Juli 2025

Dari Cukai Plastik sampai Ledakan Populasi

Lama gak ngoceh. Sambil nunggu udud habis, aku ingin ngoceh.

Isu cukai plastik kembali mengemuka, dan kita akan diminta membayar setiap lembar plastik yang kita gunakan. Isu ini berawal dari isu sampah plastik. Dan isu sampah plastik berawal dari...? Well, kita perlu mencari tahu, tidak hanya ho’oh setiap kali disodori isu apa pun.

Cukai kantong plastik, juga isu sedotan plastik, sebenarnya menunjukkan satu hal yang sama: Industri yang menciptakan kesalahan, tapi masyarakat (kita semua) yang harus menanggung akibatnya. Begitu pula dengan isu lain yang pernah panas; global warming—podo wae asal usule.

Bahwa bumi mengalami pemanasan global—itu benar! Tidak ada orang waras yang bisa menyangkal. Tapi bagaimana narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” atau bahkan membelokkan isu pemanasan global itulah yang perlu dicermati, karena adanya kepentingan-kepentingan.

Begitu pula dengan isu [sampah] plastik. Bahwa bumi penuh sampah plastik—itu benar! Tak peduli kau orang ilmiah dan enviromental atau tidak, kau pasti setuju sampah plastik ada di mana-mana. Tapi narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” isu itulah yang perlu diperhatikan.

Yang jadi masalah di sini, isu global warming maupun sampah plastik punya keterkaitan langsung dengan lingkungan, dan sebagian besar orang akan merasa dirinya hebat jika “membela kelestarian lingkungan”. Tidak masalah, itu bagus. Cuma, perhatikan narasi yang “memanfaatkannya”.

Kalangan yang menolak cukai plastik itu bukan orang-orang yang tidak sadar lingkungan atau ingin merusak alam dengan lebih banyak menimbun sampah plastik. Yang mereka persoalkan sebenarnya narasi yang digunakan untuk “menunggangi” sampah plastik (sekaligus mengeksploitasinya).

Sama saja dengan para ilmuwan yang menolak isu pemanasan global. Sebenarnya, bukan faktanya yang mereka tolak—wong mereka ilmuwan, yang jelas lebih pintar dari kita. Yang mereka persoalkan adalah narasi yang memanfaatkan sekaligus mengeksploitasi isu demi kepentingan tertentu.

Bagiku, melihat “isu-isu lingkungan” ini sebenarnya cukup jelas, khususnya kalau kita melihat alur dan kronologinya secara komprehensif (bukan sekadar melihat penyu yang hidungnya kemasukan sedotan!) Intinya sih sederhana; industri menciptakan masalah, dan kita yang disalahkan!

Well, pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan isu pemanasan global yang tempo hari begitu ramai diberitakan di dunia? Langkah-langkah besar apa yang sekiranya telah dilakukan berbagai negara untuk mengatasi isu raksasa itu? Dan bagaimana hasilnya, dan seterusnya?

Kalau kau cukup belajar, kau pasti akan heran. Isu yang luar biasa besar itu tiba-tiba hilang sendiri. Padahal, ketika isu digulirkan pertama kali, dunia seperti diberitahu bahwa kiamat akan datang besok pagi. Tapi isu yang spektakuler itu pun kini hilang dan reda sendiri.

Jika mau melihat contoh yang lebih klasik, coba pelajari isu ledakan populasi. Sebelum dunia mengenal isu pemanasan global, planet ini pernah diguncang isu ledakan populasi. Bahwa kalau populasi tidak terkendali, maka akan bla-bla-bla dan seterusnya, dan seterusnya.

Banyak negara, di masa itu, menerapkan program yang membatasi kelahiran, bahkan Indonesia pernah sukses menerapkan program serupa di zaman Orde Baru. Tetapi, kini, isu ledakan populasi tidak memiliki gaung sama sekali, dan bayi-bayi di bumi terus lahir setiap milidetik!

Kini, populasi penduduk di dunia sudah tak terkendali, dan nyaris tidak ada satu pihak pun—katakanlah WHO—yang berupaya menyerukan bahaya yang mungkin akan terjadi. Padahal ledakan populasi jauh lebih berbahaya daripada sampah plastik atau pemanasan global!

Sekarang, coba pikirkan pertanyaan yang menggelisahkan ini: Kenapa sampah plastik dan pemanasan global dipermasalahkan, tapi ledakan populasi tidak dipermasalahkan?

Haruskah kuberi tahu jawabannya? 

Industri, fellas, jawabannya adalah industri!

Industri membutuhkan pekerja, sebagaimana mereka membutuhkan aneka produksinya terus terjual. Dalam hal pekerja; semakin banyak “stok”, semakin murah harganya. Dalam hal penjualan; semakin banyak yang membutuhkan, semakin mahal harga suatu barang. Sesederhana itu rumusnya.

Industri tidak akan mempermasalahkan berapa banyak anak-anakmu, karena mereka akan menjadi para pekerja berupah murah, sekaligus pasar besar yang akan menyerap aneka produk mereka, meski harus banting tulang demi bisa memilikinya. Industri bahkan ingin kau punya banyak anak!

Industri juga sadar bahwa mereka telah menciptakan polusi serta aneka kerusakan lingkungan. Karenanya, sebelum kau sadar apa yang telah terjadi, mereka pun menudingkan jari ke arahmu, bahwa kaulah sumber penyebab sampah plastik dan berbagai kerusakan alam yang terjadi saat ini.

Jadi mereka menciptakan aneka macam polusi serta mencemari udara dari banyak produk yang mereka hasilkan, tapi kita yang harus bertanggung jawab. Jadi mereka menghasilkan limbah dan sampah plastik di seluruh planet ini, tapi kita yang harus membayar cukai. Aturan keparat apa ini?

Dan kalian terus beranak pinak dengan riang gembira, tanpa menyadari anak-anak kalian hanya akan menjadi budak-budak industri berupah murah, sekaligus terus mencemari dan merusak planet ini. Thanos sudah mengingatkan kita semua soal ini, tapi kita malah menuduhnya bajingan!

Kalau kita mau serius melestarikan bumi, caranya bukan dengan memberi cukai pada plastik! Itu seperti minum obat pusing untuk mengatasi kanker! Ora ilmiah blas! Akar semua masalah di bumi adalah terlalu banyak manusia, jadi itulah yang mestinya dibereskan. Kendalikan populasi!

Tapi kenapa justru tidak ada yang menyeru agar kita mengendalikan populasi? Ya masalahnya sepele, sih. Isu mengendalikan populasi sama sekali tidak seksi, sulit dijual, dan bertentangan dengan kepentingan industri! Lebih dari itu, kita (maksudnya kalian) memang budak evolusi!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Juli 2019.

Orang-Orang Tercerahkan

Semula, Galileo Galilei percaya bahwa Bumi adalah pusat alam semesta, sebagaimana keyakinan umum masyarakatnya. Tapi kepercayaan itu sirna, ketika ia mengenal teleskop. Menggunakan teleskop, yang merupakan teknologi luar biasa di zamannya, Galileo akhirnya mengetahui dan menyadari bahwa Bumi hanyalah kerikil di antara Matahari yang menjadi pusat alam semesta.

Sejak itu, Galileo tahu bahwa pengetahuan atau keyakinan masyarakatnya sebenarnya keliru. Bukan Bumi yang jadi pusat alam semesta, tapi Matahari. Apa yang harus dilakukan Galileo?

Sebagai pembelajar, Galileo tahu ia harus menyatakan kebenaran yang diketahuinya, agar orang-orang menyadari kekeliruan mereka. Tetapi, kejujuran yang ia lakukan membuatnya menerima hukuman. 

Galileo hanya satu di antara banyak orang lain yang menghadapi dilema serupa di berbagai zaman, dan latar belakang itulah yang lalu memunculkan aneka kode rumit, petanda dan petunjuk samar, yang sengaja dibuat orang-orang zaman kuno... untuk ditemukan orang-orang di masa depan, yang mampu memecahkannya.

Tidak selalu manusia siap menerima pengetahuan baru, karena sifat dasar Homo sapiens lebih memilih tenteram daripada gelisah, lebih memilih status quo daripada menerima kebenaran asing. Karena itu pula, Orang-Orang Tercerahkan sejak zaman dulu lebih memilih hidup di kesunyian, menyimpan pengetahuannya dalam petunjuk samar, sambil berharap petunjuk yang mereka tinggalkan bisa ditemukan orang-orang di masa depan.

Saat ini, kita bisa enteng mengatakan bahwa Matahari adalah pusat alam semesta, dan tidak ada pihak mana pun yang mengamuk. Karena modernisasi dan ilmu pengetahuan pada akhirnya—mau tak mau—membuka mata manusia untuk melihat kebenaran. 

Kenyataan yang kita hadapi sekarang berbeda jauh dengan kenyataan yang dulu dihadapi Galileo atau para pembelajar sezamannya. Mereka tidak/belum bisa sebebas kita hari ini, karena ada orang-orang yang merasa menjadi otoritas pemegang kebenaran, yang tak boleh digugat.

Tapi pada masa Galileo atau pada masa kini, selalu ada Orang-Orang Tercerahkan yang tak mau tunduk pada perbudakan kebodohan. 

Tidak Percaya Blas

Akhirnya ada orang berkompeten yang mengatakannya dengan jelas. Dari dulu, aku juga TIDAK PERCAYA BLAS pada hal absurd yang disebut indigo. Itu sebelas dua belas dengan fenomena "disunat jin" padahal yang terjadi hanya masalah medis. Orang memang senang mendramatisir sesuatu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2019.

Hidup Cuma Sekali

Hidup cuma sekali. Isine mung ngapusi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2019.

Kerekereo

“Dk hnneri werucvcvtyyt xvciuer3n 345jhnfmd soda soda soda sdfkdhsf sfaouwer wqrhkqhrjrw shah shah shah... s sofdifu sdpoi opsdfjskjkdfjkf... yoya yoya...”

Lha kok kerekereo!

Hujan Masih Turun

Kirain hujan udah nggak musim. Ternyata masih juga turun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Mahal dan Kemahalan

Mungkin seleraku memang mahal. Tapi yang pasti aku tidak mau membayar apa pun yang kemahalan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2012.

Salah Satu Kenikmatan Hidup

Salah satu kenikmatan hidup adalah menikmati makanan yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Maret 2012.

Lewat Amerika

Paling gitu aja harus lewat Amerika, Belanda, sampai Israel.

Cemen!

Para Perusak Manusia

Di TL-ku sedang ada cowok tolol yang dikeroyok cewek-cewek pintar. Senang melihatnya. 

Cowok-cowok tolol (kau tahu yang kumaksud), tidak hanya ada di medsos, khususnya Twitter, ada jauh lebih banyak di dunia nyata. Mereka menatap hidup, pernikahan, dan pasangan, dengan sangat naif. Sementara itu, ada banyak bangsat yang mengompori mereka agar cepat kawin.

Kenyataan itulah yang membuatku miris. Selain cowok tolol, di dunia ini juga ada cewek-cewek yang sama tololnya, yang menatap hidup dan perkawinan dengan sama tolol. Mereka bisa dibilang "belum tahu apa-apa". Dan mereka dikompori agar segera kawin. Dasar tolol, mereka pun kawin!

Ketika sepasang orang tolol kawin dan beranak-pinak, apa yang terjadi? Kau tahu jawabannya, dan itulah dasar serta alasan kenapa kita harus memerangi bangsat-bangsat yang doyan memprovokasi orang lain cepat kawin. Bangsat-bangsat itulah perusak manusia dalam arti sesungguhnya.

Orang tolol yang belum kawin selalu ada kemungkinan untuk bisa disadarkan, karena hidup serta pikirannya masih luas. Mari bantu mereka. Tapi orang tolol yang sudah kawin dan beranak pinak, mereka sudah "tak terselamatkan", karena pikiran serta hidup mereka sudah sangat sempit.

Aku jadi terpikir untuk membentuk organisasi atau komunitas, bernama Indonesia Tanpa Orang Tolol. Misinya adalah menyadarkan sesama, bahwa hidup tidak sesempit atau sependek selangkangan, dan bahwa tujuan hidup manusia bukan cuma untuk kawin dan beranak pinak lalu keblangsak.

Aku percaya, kelak di masa depan, akan tiba suatu masa ketika manusia menyadari bahwa kawin dan beranak pinak hanyalah pilihan, dan bahwa orang-orang yang suka memprovokasi orang lain cepat kawin dan beranak pinak tanpa persiapan adalah para penjahat kemanusiaan yang menjijikkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2019.

Ngingetin

Iin Nur Indah ini suaranya keren banget. Ngingetin pada Dolores O'Riordan The Cranberries. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Yupu

He.

Kamis, 10 Juli 2025

Di Meja yang Sama

Dunia dibangun di atas pola, dan manusia menjalani kehidupan dengan terperangkap di dalam pola. Bisa jadi pola itu disadari atau sengaja dibentuk secara pribadi, bisa jadi pula terbentuk tanpa sadar karena kebiasaan alami. Hal itu pula yang terjadi terkait tempat makan malam yang biasa saya kunjungi.

Usai makan sendirian, malam itu, seperti biasa saya menyulut rokok, lalu menyandarkan tubuh dengan santai ke sandaran kursi. Biasanya, setelah rokok habis, saya akan mendatangi kasir, dan membayar. Tapi biasanya pula saya lebih lama di sana karena bertemu seseorang. 

Seperti malam tempo hari. Rokok di tangan hampir mencapai setengah ketika seseorang mendatangi meja tempat saya makan, kemudian berdiri di hadapan saya. Dengan suara yang telah saya kenal, dia berkata, “Jam yang sama, meja yang sama, menu yang sama. Aku curiga, kamu juga biasa melewati jalan yang sama.”

Saya tersenyum, dan menyahut, “Kita menyukai pola, atau terjebak dalam pola, dan aku juga mengenali pola dalam caramu berbicara. Elegan, intimidatif.”

Dia tertawa sambil menarik kursi, kemudian duduk di depan saya. Setelah menyulut rokok, dia berkata, “Beberapa hari terakhir, aku membaca arsip yang di dalamnya terdapat istilah yang tidak kupahami. Aku sudah mencoba googling, tapi jawaban yang kudapatkan tidak match. Istilah itu sepertinya lebih bersifat praktis daripada teoritis.”

Saya tertarik, “Dan apa istilah itu?”

“Kontraktor media.”

Saya mengangguk-angguk, dan memahami kenapa dia tidak bisa menemukan penjelasannya lewat googling.

“So,” dia berkata, “aku tahu kontraktor intelijen. Tapi apa itu kontraktor media?”

“Mirip kontraktor intelijen.”

Dia menatap saya dan berkata, “Kamu punya kemampuan menjelaskan sesuatu yang rumit jadi sederhana dan mudah dipahami. Jadi, mengulang pertanyaan tadi, apa itu kontraktor media?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Intelijen membutuhkan kontraktor saat mereka ingin melakukan sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. Begitu pun, media-media besar membutuhkan kontraktor saat mereka ingin meliput sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. So, kontraktor media adalah perantara tak dikenal yang memungkinkan media-media raksasa meliput hal-hal yang sulit mereka sentuh.”

Dia mengernyitkan kening, seperti berusaha mencerna sesuatu. “Sori, aku belum punya bayangan apa-apa. Tolong lanjutkan.”

“Bayangkan kamu petinggi media massa berpengaruh, semacam TIME. Kamu ingin meliput skandal besar sekaligus sensitif yang terjadi di sebuah negara—sebut saja Negara X. Kamu telah menemukan whistleblower yang siap mengungkap apa yang terjadi. Sebagai petinggi media, kamu tentu tinggal mengirim jurnalis ke Negara X, mengumpulkan liputan, lalu mengungkapkannya di mediamu. Right? Masalahnya, Negara X telah mengantisipasi hal itu, dan telah melakukan scanning terhadap orang-orang yang berprofesi jurnalis, dan nama-nama para jurnalis akan menyalakan alarm begitu terdeteksi di bandara. Jadi, apa yang akan kamu lakukan jika menghadapi kenyataan semacam itu?”

Dia mengangguk-angguk, dan tampaknya mulai memahami. 

Saya melanjutkan, “Di situlah peran kontraktor. Ada lembaga, atau biro, atau apa pun sebutannya, yang menyediakan orang-orang untuk mengerjakan tugas-tugas peliputan ketika para jurnalis resmi tidak mungkin melakukannya. Orang-orang itu memiliki kemampuan jurnalistik tapi bukan jurnalis. Identitas mereka tidak bisa dilacak ke media mana pun. Saat mereka masuk ke sebuah negara, misalnya, mereka hanya akan dianggap turis atau traveler biasa, dan alarm di bandara tidak akan menyala. Orang-orang tak dikenal itulah yang disebut kontraktor media. Mereka menemui para saksi, whistleblower, mengumpulkan liputan, menulis hasilnya secara lengkap, lalu menyerahkan pada biro yang mempekerjakannya. Biro kemudian menyerahkan hasil kerja itu pada media yang menyewa mereka.” 

Dia mengisap rokoknya, terdiam seperti mencerna penjelasan saya, kemudian berkata, “Sejujurnya, aku baru tahu soal ini.”

“Memang bukan pengetahuan umum.” Kemudian, sambil tersenyum, saya menambahkan, “hingga Google juga tidak tahu.”

Pelayan lewat. 

Dia memesan minuman untuk dirinya dan untuk saya, sambil memberi tahu kalau dia pindah meja.

Setelah pelayan berlalu, dia berkata, “Soal kontraktor media tadi... siapa saja penggunanya?”

“Hampir semua media besar internasional menggunakan jasa mereka. Kamu pikir ada media yang cukup gila mengirimkan jurnalisnya ke Korea Utara, misalnya?”

“I see.” Dia kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Korea Utara sangat ketat dalam pemeriksaan di gerbang masuk. Sepertinya mereka juga memiliki database identitas para jurnalis di seluruh dunia, dan jurnalis bisa bermasalah jika nekat masuk ke sana. Selama ini aku berpikir, bagaimana ada media bisa menjelaskan kondisi di Korea Utara secara detail, sementara nyaris tidak ada jurnalis yang bisa masuk ke sana? Jadi itu pekerjaan para kontraktor...”

Ucapannya terhenti saat pelayan datang membawakan minuman.

Setelah pelayan berlalu, dia kembali berkata, “Para kontraktor itu tentunya bukan orang-orang sembarangan—mereka pasti orang-orang cerdas dengan keberanian luar biasa. Bagaimana biro-biro yang mempekerjakan mereka bisa menemukan orang-orang semacam itu?”
 
“Sama seperti intelijen,” saya menjawab, “mereka mencarinya di kampus-kampus, atau di lembaga-lembaga tertentu. Kandidat terbaik biasanya yang sangat cerdas atau genius, dan tidak terikat hubungan konvensional.”

“Kenapa orang-orang cerdas bahkan genius mau menjadi kontraktor, yang bisa dibilang tidak akan terkenal?”

“Sederhana saja, bayarannya sangat besar. Lagi pula, tidak semua orang ingin terkenal.”

Dia mengangguk-angguk, lalu tersenyum. “Selalu ada hal-hal baru setiap kali ngobrol denganmu.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, dan menyahut, “Senang mendengarnya.”

Kami lalu menyesap minuman, dan saya menyalakan rokok baru. Percakapan kami pun berlanjut dengan menyenangkan seperti biasa. 

Sejak pertama kali melihat dia datang, saya tahu itu bukan tanpa alasan. Dia orang sibuk yang enggan membuang-buang waktu untuk percakapan-percakapan tidak penting. Karenanya dia biasa menggunakan pola komunikasi yang khas; sopan, elegan, tapi intimidatif, karena dia tidak mau buang-buang waktu untuk basa-basi tidak penting atau komunikasi yang mutar-mutar tidak jelas. Orang yang to the point, dan saya menyukai gayanya.

Di tengah jeda percakapan, dia mengambil ponselnya, membukanya beberapa saat, kemudian menyodorkannya ke arah saya. “Kenal orang ini?”

Saya melihat foto seseorang di layar ponsel, lalu menjawab, “Aku kenal dia, tapi dia tentu tidak mengenalku.”

“Dia mengenalmu.”

“Really?”

Dia menutup ponselnya, lalu berkata perlahan, “Dia sedang mengerjakan sesuatu, dan butuh bantuan orang yang benar-benar tahu proyek yang sedang dikerjakannya. Dia tahu kamu, tapi tidak yakin apakah kamu tertarik, mengingat kalian tidak saling kenal. So, aku mencoba membantu dengan menyampaikan ini ke kamu. Kalau kamu tertarik, itu akan jadi kabar gembira buat dia. Tapi kalau kamu tidak tertarik, tidak apa-apa.”

“Aku lagi butuh cashflow sekarang. Dan, ya, aku tertarik.”

Dia berbinar. “Bagus sekali!”

.....
.....

Empat hari kemudian, saya duduk dengan seseorang di kota lain.

Orang Muda Berjiwa Bocah

Ada orang tua berjiwa muda, aku orang muda berjiwa bocah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Thunderbolts Sampah!

Seorang teman ngamuk-ngamuk setelah menonton Thunderbolts, karena menurutnya itu “film sampah”. Sebegitu buruk, menurutnya, hingga “siapa pun yang mengatakan film itu bagus pasti buzzer!”

Dia berkata, “Di X, banyak orang bilang itu film bagus. Aku yakin seratus persen kalau mereka cuma buzzer, terbukti argumen mereka terkesan ngarang-ngarang!”

Saya sudah lama tidak masuk X, jadi tidak tahu soal itu. Cuma, saya memang mendapati banyak reviu terkait Thunderbolts yang menyebut film itu jelek. Banyak orang sepertinya juga tidak terima dengan rating film itu yang terlalu tinggi, mencapai 7 lebih. Menurut mereka, rating yang tepat untuk Thunderbolts adalah 3. Maksimal 5, kalau kamu memang fans berat Marvel.

Saya juga sudah nonton Thunderbolts, dan setuju dengan pendapat mereka semua. Itu film Marvel paling buruk sekaligus paling membosankan yang pernah saya tonton. Disebut film drama tidak bisa, disebut film action tidak ada action-nya, disebut film superhero juga tidak jelas siapa superhero-nya.

Film-film Marvel biasanya memiliki keunggulan yang khas; jalan cerita memikat yang mudah dipahami, tokoh-tokoh menawan dengan karakter unik, pertarungan yang memukau, dan... selalu ada mbakyu!

Dalam Thunderbolts, semua itu tidak ada! Jalan ceritanya tidak jelas, tokoh-tokohnya tidak menarik, pertarungannya membosankan, dan tidak ada mbakyu!

Film itu memiliki durasi 2 jam lebih, dan itu adalah 2 jam yang sangat mengesalkan, membosankan, tidak ada faedahnya. Untuk ukuran Marvel, Thunderbolts memang benar-benar sampah!

Yaris Berstiker Winnie the Pooh

Tadi lihat Yaris berstiker Winnie the Pooh besar di kaca belakang, dan aku jadi teringat sesuatu. 

Sambil nunggu udud habis.

Dulu, aku pernah menghadiri suatu acara, yang melibatkan banyak orang, termasuk banyak temanku. Aku datang sendirian, dan di sana ketemu banyak teman, dan... biasalah, kami ngobrol-ngobrol, sebagian minum, sebagian lain udud. Meski introver, aku juga kadang ikut kumpul-kumpul.

Salah satu temanku yang datang waktu itu bernama Adit. Tapi waktu itu Adit tidak gabung di mejaku—dia ngumpul dengan teman-teman yang lain. 

Lalu datang seorang teman lain, namanya Fadli. Si Fadli ini gabung di mejaku, dan semula tampak asyik-asyik saja.

Beberapa waktu kemudian, aku perlu ke toilet. Fadli ngikutin ke toilet. Dengan wajah gak enak dilihat, Fadli bilang, “Adit kenapa, dah.”

Aku tanya, “Emang dia kenapa?” 

“Dia langsung pergi, begitu aku datang,” jelas Fadli. (Fadli ngomong ini, karena tahu aku dekat dengan Adit).

Sebelumnya—maksudku, di waktu-waktu sebelumnya—Adit pacaran dengan seorang cewek, sebut saja namanya Karin. Lalu mereka putus. 

Berbulan-bulan kemudian sejak putus, Karin jadian dengan Fadli. Adit dan Fadli saling kenal, tapi dia tidak mempermasalahkan Fadli jadian dengan Karin.

Lalu mereka—Fadli dan Adit—berkesempatan bersua di acara yang juga kudatangi. Dan menurut Fadli, Adit segera pergi begitu Fadli datang.

“Gak enak banget,” kata Fadli di toilet waktu itu. “Kayak aku ngerebut pacarnya aja. Padahal kami jadian setelah dia lama putus dengan Karin!”

Waktu itu aku bilang ke Fadli, kalau Adit tidak mempermasalahkan dia jadian dengan Karin—aku percaya pengakuan Adit soal itu. 

Tapi aku juga bertanya-tanya, kenapa Adit langsung pergi begitu Fadli datang—kalau pengakuan Fadli memang benar. 

Biar fair, aku lalu menelepon Adit.

Di toilet yang sepi waktu itu, aku menelepon ponsel Adit, dan membuka loudspeaker agar Fadli ikut mendengarkan pembicaraan kami. 

Waktu telepon terhubung, aku tanya, “Kamu kenapa buru-buru pulang, Dit?” 

Di seberang sana, Adit menjawab, “Perutku tiba-tiba melilit tak karuan.”

Sama sepertiku, Adit juga punya masalah GERD, dan kadang kambuh dengan gejala yang relatif parah. Tadi mungkin dia memakan atau meminum sesuatu yang memicu penyakitnya. 

Lalu aku bilang, “Fadli ngerasa gak enak nih, karena katanya kamu langsung pergi begitu dia datang.”

Di luar dugaan, Adit menjawab, “Emang Fadli datang?”

Aku bilang, “Iya, dia datang. Katanya dia lihat kamu langsung pulang, begitu dia datang.”

“Apaan? Aku nggak lihat dia!”

Setelah percakapan mengalir cukup lama, Fadli dan aku akhirnya yakin, Adit memang tidak melihat Fadli.

Jadi, apa yang terjadi di sini? Fadli terjebak pada asumsi atau khayalannya sendiri—dia mengira [bahkan sampai pada tahap menuduh] Adit langsung pergi begitu dia datang, padahal Adit sama sekali tidak melihat Fadli di sana. Dia buru-buru pulang karena GERD-nya tiba-tiba kambuh.

Untung masalah itu segera selesai, dan hubungan Adit dengan Fadli tetap baik-baik saja. Bagaimana kalau umpama Fadli terjebak pada asumsi atau khayalannya sendiri, dan dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bisa jadi, sampai saat ini Fadli masih akan salah mengira.

Lalu apa hubungan kisah ini dengan Yaris berstiker Winnie the Pooh? 

Itu mobil Karin!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Agustus 2021.

Malas Berdebat

Dulu aku suka main catur, tapi sering kali tak sabar. Lawanku sering mikir bermenit-menit tiap akan menjalankan bidak catur, sementara aku cuma butuh satu detik. Kenyataan ini pula yang membuatku malas berdebat, khususnya di Twitter. Kelamaan mikir, tapi hasilnya tetap tak jelas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 April 2019.

Terang pun Luluh

Subuh. Dan terang pun luluh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 April 2012.

Kalau Dipikir-pikir

Kalau dipikir-pikir, semua ini tidak ada yang masuk akal!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Hola

Hola, Baby Doll from Sucker Punch. Wellcome to my place. Are you okay, beib? 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Kenyang dan Ketenangan

Kenyang itu menenangkan. Sayangnya aku malas makan. Meski selalu butuh ketenangan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Salah Satu Misteri

Salah satu misteri dunia yang belum terungkap: Mengapa pegawai bank rata-rata cantik?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2012.

Virus

Haduh, kirain udah hilang selamanya. Ternyata masih nongol juga! Dasar virus! Apa emang harus dihapus aja ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Sahmu

Oh... sahmu.

Selasa, 01 Juli 2025

Tidak Usah Pedulikan Nasihat Orang yang Tidak Peduli Masalahmu

Ada orang-orang yang sepertinya hobi menyemburkan nasihat kepada kita, tapi tidak pernah peduli apa masalah kita. Mereka hanya menyampaikan aneka nasihat yang mereka anggap benar, tapi tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Itu persis seperti dokter memberi resep obat, tanpa tahu apa penyakit pasiennya.

Sebelum memberi resep obat, dokter tentu akan menanyakan terlebih dulu apa keluhan kesehatan pasiennya, lalu melakukan pemeriksaan intensif, dan, setelah tahu apa masalah si pasien, dokter baru memberikan resep obat. Hasilnya, pasien sembuh dari penyakitnya.

Pasien biasanya memiliki keluhan berbeda-beda, dan dokter pun memberikan resep obat yang berbeda. Sungguh konyol kalau ada dokter yang, misalnya, meyakini satu obat tertentu dapat menyembuhkan segala macam penyakit, lalu memaksakan obat itu pada semua pasien yang memiliki masalah kesehatan berbeda-beda.

Semua dokter pasti tahu, tidak ada obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Satu jenis obat mungkin bisa menyembuhkan satu atau dua jenis penyakit, sementara penyakit lain membutuhkan obat lain. Ini hal sederhana yang tentu kita semua sudah tahu.

So, nasihat serupa dengan obat. Jika diberikan secara tepat untuk masalah yang tepat dan dengan dosis yang tepat, nasihat akan benar-benar bermanfaat, khususnya bagi si penerima nasihat. Agar nasihat bisa tepat untuk penerimanya, kita harus tahu lebih dulu apa masalah orangnya.

Masalah—dan kepribadian—setiap orang berbeda-beda. Satu nasihat yang mungkin tepat untuk satu orang, belum tentu akan tepat pula untuk orang yang lain. Sebelum memberi nasihat, cari tahu dulu apa masalahnya, lalu sampaikan nasihat yang tepat, dengan dosis yang tepat, dan cara yang tepat.

Karena nasihat serupa obat. Jika diberikan dengan tepat dan dengan dosis yang tepat, ia bisa menyembuhkan. Tapi jika diberikan secara tidak tepat, apalagi sampai berlebihan, obat bisa mematikan. Orang bisa mati karena obat, begitu pun orang bisa muak karena nasihat.

Obat itu baik, asal diberikan secara tepat, dengan dosis yang tepat. Tapi obat bisa menjadi racun, jika diberikan secara tidak tepat atau berlebihan. Tanyakan pada dokter atau ahli kesehatan mana pun, dan mereka akan membenarkan kata-kata ini. Dan, begitu pula dengan nasihat.

Orang yang kesibukannya ngasih nasihaaaaat melulu, itu sama seperti orang yang menyodor-nyodorkan obat pada siapa pun, tapi sebenarnya tidak tahu apa masalah orang per orang yang ia sodori obat. Ia hanya sok tahu, merasa tahu masalah orang lain, lalu sok pintar memberi nasihat, padahal tidak tahu apa-apa tentang orang yang ia nasihati. 

Ada yang lebih penting dari sekadar menasihati orang lain. Yaitu menasihati diri sendiri.

Sekte Sesat

Zaman SMA dulu, di kota saya ada tren yang aneh, yaitu—apa istilah yang tepat, ya?—eksistensi geng. Jadi, pada masa itu, di mana-mana ada grafiti yang “memperkenalkan” nama geng si pembuat grafiti. Ada geng, misalnya, bernama Alpaz, dan grafiti “Alpaz” muncul di mana-mana, di berbagai tembok, reruntuhan dinding, pintu-pintu toko, dan lain-lain. Grafiti itu sangat jelas dibuat menggunakan cat semprot.

Selama waktu-waktu itu, ke mana pun saya pergi selalu menjumpai grafiti dari cat semprot dalam aneka warna. Diam-diam saya menghafal beberapa nama geng yang sering saya jumpai di coretan grafiti, di antaranya Sloven, Anjal, Kizruh, sampai Sekte Sesat. 

Waktu itu, saya berpikir “Sekte Sesat” adalah nama geng paling menakutkan yang pernah saya temukan grafitinya. Sampai kemudian saya menemukan yang lebih menakutkan ...

... yaitu Sekte Sesat Pemuja Psikopat.

Hal-hal Kecil

Ketika memikirkan betapa besarnya implikasi dari hal-hal kecil, aku jadi tergoda untuk berpikir bahwa sebenarnya tidak ada hal-hal kecil.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2012.

Menikah dan Beli Gundam

Orang sudah menikah, bahkan sekadar beli gundam saja repotnya sampai segitu. Itu pun yang punya uang (dengan bukti bisa dolanan gundam). Apalagi sudah menikah dan tidak punya uang, kayak apa lagi dah repotnya.

"Tapi menikah akan melancarkan rezeki..."

Katakan itu pada istrimu!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Maret 2019.

Sendirian dan Kekuasaan

Selamat malam Minggu, Tuhan. Sendirian kadang menunjukkan kekuasaan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Perumahan Khusus Lajang

Di Swedia, ada perumahan khusus untuk kaum lajang—masing-masing rumah hanya diisi satu orang yang melajang, dan tidak ada orang berkeluarga (punya pasangan dan anak-anak). Kalau kalian tahu ada hal semacam itu di Indonesia, tolong kabari aku, ya. Mungkin aku akan pindah ke sana.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2019.

Mau Tidur Sore

Mau tidur sore, biar kayak orang yang hidupnya biasa-biasa saja.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Lagi Musim

Kayaknya lagi musim orang meriang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2019.

Ingin Dibina

Cuacanya benar-benar membuatku ingin ((( d i b i n a ))) sama mbakyuku. #Apeu


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2019.

Di Rumah yang Hening

Yang tertinggal hanya gambarmu di meja kamarku
Ditemani dua puisi tentang lara hati

Engkau adalah yang terindah sepanjang hidupku
Luka meruah, semua telah berlalu

Yang tersisa rinai tawamu di sudut benakku
Seperti kau masih di sini, larut di pelukku

—Katon, Lara Hati

Jam segini, di rumah yang hening, mendengarkan lagu-lagu Katon Bagaskara rasanya sangat menyenangkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2019.

Jumat, 20 Juni 2025

Kebenaran Tertua di Dunia

Salah satu kebenaran tertua di dunia yang tak juga dipahami manusia: 

Jika rumah tangga bermasalah, yang akan jadi korban terbesar adalah anak-anak di dalamnya. Merekalah yang akan menanggung kepedihan batin sekaligus trauma, yang sering kali terus mereka rasakan sampai dewasa.

Yang disebut "masalah dalam rumah tangga" sebenarnya bukan hanya masalah antara suami dan istri (misal perselingkuhan atau KDRT), tapi juga sikap atau perlakuan orang tua pada anak-anak, kesiapan mental dan emosi orang tua dalam memiliki dan menghadapi anak-anak mereka.

Kita sering mendengar pesan yang serupa doktrinasi, bahwa "anak-anak seperti kertas putih". Itu benar. Anak-anak yang diasuh dan dibesarkan dengan penuh cinta kasih akan tumbuh dengan cinta kasih serupa [bahkan lebih besar] pada orang tuanya.

Dan... tepat begitu pula sebaliknya.

Ada banyak orang tua di dunia ini yang sangat baik pada anak-anaknya. Itu fakta.

Tapi jangan lupakan fakta bahwa di dunia ini juga ada orang tua yang buruk, yang memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, hingga si anak trauma sampai dewasa, dan memendam kebencian diam-diam.

Kadang-kadang kita begitu egois, dan menilai orang lain berdasarkan pengalaman diri sendiri. Karena orang tua kita baik, misalnya, lalu kita berkeyakinan bahwa semua orang tua di dunia juga sama baik. 

Itu benar-benar naif. Tidak semua anak beruntung punya orang tua yang baik.

Memang, ada kalanya orang tua memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk dan kejam, semata-mata karena ketidaktahuan. 

Misalnya, karena dulu dia dibesarkan dengan kejam oleh orang tuanya, lalu dia juga memperlakukan anak-anaknya dengan kejam, dan menganggap itu hal biasa.

Tetapi, terlepas apa pun alasan dan latar belakangnya, kita menghadapi kebenaran ini: Bahwa kesiapan memiliki anak (misal pengetahuan parenting/pengasuhan) sama penting dengan memiliki anak, sebagaimana kesiapan menikah (secara mental dan emosional) sama penting dengan menikah.

Sayangnya, selama ini kita terus menerus didoktrin dengan berat sebelah. Kita disuruh-suruh menikah, tapi tidak disuruh untuk mempersiapkan diri (secara mental, emosional, sampai finansial). Kita disuruh segera punya anak, tapi tidak disuruh belajar parenting dan pengasuhan anak.

Bisa melihat bagaimana mengerikannya dampak yang ditimbulkan doktrin semacam itu? Hasil yang muncul, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, adalah kekacauan rumah tangga, KDRT, perselingkuhan, tingginya angka perceraian, sampai anak-anak yang trauma dan terluka... dan terluka.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 November 2022.

Bukan Aku

Rintik gerimis menerpa jendela kaca. 
Tik. Tik. Tik. 
Seseorang meringkuk di sampingku. 
Matanya lelap. 
Wajahnya milikku. 
Tapi bukan aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Lagi

Lagi pusing lagi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2012.

Jejak

Kita meninggalkan jejak kaki di belakang. Kadang terlihat, kadang tidak. Tapi jejak itu ada di sana. Dan, terkadang, seseorang menemukannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Agustus 2012.

Karena Sutradaranya

Film yang paling kunantikan saat ini: Ambulance. Karena sutradaranya Michael Bay.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober 2021.

Tidak Butuh Sayap

Kita tidak butuh sayap untuk terbang. Tetapi kita juga tidak perlu menjalani hidup dengan merangkak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Agustus 2012.

Setan Menggodaku

Setan menggodaku agar menggodamu. Ternyata, dia juga menggodamu agar menggodaku. Lalu kita saling menggoda dan tergoda. Dan setan tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Agustus 2012.

Cakep Cuma Pas Habis Mandi

Merasa cakep cuma pas habis mandi. Aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 September 2019.

Selera Humor Tak Terduga

Seseorang di Twitter dengan serius mengklaim dirinya "Presiden Republik Social Media". Twitter memang memiliki selera humor tak terduga.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Maret 2012.

Masih Ramai

Seharian gak lihat Twitter, ternyata sampai sekarang masih ramai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Septmber 2019.

Bagindu

Oh... bagindu. 

Selasa, 10 Juni 2025

Kacang Rebus dan Obrolan Tengah Malam

—Catatan dari Ramadan 2025


Malam ke-17 Ramadan, hujan turun sangat deras. Saya masih di rumah orang tua, waktu itu, karena biasa ikut tarawih di mushala depan rumah ortu. Menjelang tengah malam, hujan yang semula sangat deras perlahan-lahan surut. Ketika akhirnya tinggal gerimis, saya memutuskan untuk pulang.

Sambil berkendara pelan-pelan, saya memperhatikan kanan kiri jalan, mencari warung makan yang masih buka. Sampai kemudian saya melihat gerobak kacang rebus di pinggir jalan, tepat berhadapan dengan sebuah rumah sakit. Saya selalu suka kacang rebus, dan sudah lama tidak makan kacang rebus. Jadi saya pun memutuskan untuk berhenti.

Penjual kacang rebus itu sedang leyeh-leyeh di atas terpal yang ia gelar di trotoar. Ketika saya mendekati gerobaknya, ia bangkit dari leyeh-leyehnya, menyambut saya dengan ramah. Saya memesan dua contong kacang rebus.

Sambil menunggu dia membungkus kacang rebus yang masih hangat, saya melihat sekeliling. Jalanan tampak sepi, karena sudah tengah malam, dan gerimis masih turun. Saya lalu melihat terpal yang digelar di trotoar, dan berpikir, sepertinya enak makan kacang rebus saat tengah malam di pinggir jalan sepi.

Jadi, setelah membayar dua contong kacang rebus, saya bertanya pada penjualnya, “Saya boleh duduk di sini?”

“Silakan,” sahut penjual kacang rebus sambil tersenyum lebar. “Saya malah senang, karena ada teman.”

Kami lalu duduk di atas terpal, dan saya mulai menikmati kacang rebus yang hangat. Trotoar tempat terpal itu terlindung atap depan toko, sehingga tidak terkena gerimis yang masih turun. Tengah malam dingin, kacang rebus hangat, dinikmati di pinggir jalan sepi, adalah kombinasi yang sangat environmental—apa pun artinya. 

Sambil menikmati kacang rebus, saya bertanya, “Sampeyan biasa mangkal di sini sampai tengah malam gini, Mas?” [Maksud saya, kalau dia memang biasa mangkal di sana, saya akan sering mendatanginya, karena memang suka kacang rebus.]

Penjual kacang rebus menyahut sambil tersenyum, “Nggak, Mas. Jam segini biasanya saya udah tidur di rumah.”

Saya menampakkan muka bingung, sambil terus mengunyah.

Penjual kacang rebus melanjutkan, masih dengan senyum, “Biasanya saya udah pulang sekitar isya. Tapi namanya jualan, kadang laris kadang sepi. Sejak Ramadan ini, sepi terus. Kalau pas sepi, saya terus jualan sampai tengah malam gini, nyari tempat yang sekiranya ada pembeli. Makanya saya sengaja bawa terpal, biar bisa leyeh-leyeh kalau pas nemu tempat mangkal yang pas, sekalian istirahat.”

Saya mengangguk-angguk, mulai memahami maksudnya. Dia pasti sengaja berhenti di depan rumah sakit, karena rumah sakit beroperasi 24 jam, dan selalu ada kemungkinan orang yang tertarik makan kacang rebus di tengah malam.

Ketika saya tanya sudah berapa lama dia jualan kacang rebus, dia menjawab, “Ini jalan tiga tahun. Tadinya saya guru, Mas.”

“Hah?” Saya kaget, karena baru mendengar ada guru yang alih profesi jadi penjual kacang rebus.

Penjual kacang rebus lagi-lagi tersenyum, kemudian menceritakan. Tadinya, dia mengabdi sebagai guru di sebuah SD. Sama seperti rata-rata guru honorer lain, dia sangat berharap diangkat jadi PNS. Tapi dia tidak tahu kapan hal itu akan terjadi, sementara honor sebagai guru sangat minim. Tapi yang membuat ia meninggalkan profesinya sebagai guru bukan masalah honor, melainkan dilema yang belakangan ia sadari.

Dia menceritakan, “Ada tetangga saya yang juga guru, dan belakangan diangkat jadi PNS. Selama mengabdi sebagai guru, tetangga saya ini punya usaha warung kelontong yang menopang kehidupannya. Setelah jadi PNS, dia mengajukan kredit ke bank, dan memperbesar warungnya. Belakangan, warung itu jadi toko, semacam minimarket, dan tetangga saya hidup berkecukupan. Yang jadi masalah, orang-orang di kampung kami kemudian menganggap dia korupsi.”

“Padahal dia jadi kaya karena usaha tokonya?” tanya saya.

“Iya,” jawab penjual kacang rebus. “Tetangga saya ini udah buka warung selama bertahun-tahun, udah punya banyak pelanggan. Tapi karena waktu itu masih guru honorer, dia nggak punya modal untuk memperbesar usaha. Setelah jadi PNS, dia punya gaji tetap yang lumayan, hingga bank berani ngasih kredit. Dari kredit itu dia mengembangkan warungnya jadi toko serbaada, dan penghasilan dari situ jelas meningkat. Tapi ya itu tadi, banyak orang di kampung kami nggak bisa memahami hal itu, dan seenaknya menuduh dia jadi kaya karena korupsi, hanya karena dia sekarang jadi PNS.”

Saya manggut-manggut.

Penjual kacang rebus melanjutkan, “Gara-gara hal itu, saya jadi kayak dilema. Di satu sisi, saya bertahan jadi guru honorer sambil berharap jadi PNS. Tapi di sisi lain, saya juga khawatir kalau jadi PNS bakal mendatangkan tuduhan seenaknya dari para tetangga. Akhirnya saya memutuskan keluar [dari pekerjaan sebagai guru] dan mencari pekerjaan lain. Semula, saya sempat kerja di pabrik. Tapi baru setahun [kerja di sana], pabriknya tutup. Habis itu saya mulai jualan kacang rebus, karena sulit nyari kerjaan lain.”

Sekali lagi saya manggut-manggut. Jalan hidup orang memang bisa sangat unik dan tak terduga.

Saya berkata, “Kalau di bulan Ramadan gini, orang dagang apa pun pasti laris, ya?”

Penjual kacang rebus tertawa. “Lha itu sampeyan lihat sendiri, kacang saya masih menggunung.”

Saya menengok ke gerobak, dan kacang rebus di sana memang masih menggunung. Saya kembali berkata, “Di depan mal yang dekat alun-alun, di sana banyak penjual aneka makanan. Saban saya lewat sana, pasti ramai banget. Sampeyan pernah nyoba jualan di sana?”

“Sering,” dia menjawab. “Semula, saya juga mikir gitu, daerah sekitar alun-alun selalu ramai, dan banyak penjual yang buka lapak di sana. Saya udah nyoba jualan di sana, sejak sebelum Ramadan sampai seminggu Ramadan. Tapi jarang yang beli. Saya sebelahan sama warung mi ayam dan tukang siomay. Mereka juga bilang sepi. Jadi emang di sana ramai, banyak orang, tapi mungkin tujuannya belanja ke mal, bukan buat jajan.”

Saya baru tahu soal itu. 

Sekadar catatan, saya sering lewat depan mal yang kami bicarakan ini, dan jalanan di sekitar mal selalu ramai, bahkan macet, karena orang-orang berdesakan dengan banyak kendaraan di jalan. Di depan mal ada alun-alun, dan di seputar alun-alun itu penuh orang jualan aneka makanan. Semula, saya mengira keramaian di sana berdampak pada para penjual makanan. Tapi setelah mendengar penjelasan penjual kacang rebus, saya baru menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

Tanpa terasa, kacang di contong sudah habis, lalu saya menyulut rokok. Setelah mengisapnya sesaat, saya berkata, “Kata orang-orang, Ramadan adalah bulan penuh berkah, jadi jualan apa aja pasti laku, bahkan laris.”

Penjual kacang rebus tertawa getir. “Itu, sih, jare wong kondho (kata orang). Kenyataannya nggak mesti gitu. Karena orang-orang sering kali hanya melihat, tapi nggak mengalami. Kayak sampeyan, misalnya. Lihat sekitar alun-alun selalu ramai, dan berpikir lapak-lapak penjual makanan di sana pasti laris. Nggak, Mas. Sampeyan cuma melihat. Sementara saya, dan para penjual lain, benar-benar mengalami. Dan kami membuktikan sendiri, keramaian yang terlihat itu nggak berarti jualan kami pasti laris. Orang-orang yang ramai di sana itu mungkin ingin jalan-jalan atau belanja di mal, bukan untuk mendatangi lapak-lapak kami.”

Penjelasan itu membuat saya teringat sesuatu. Saya pernah membaca analisis yang menyatakan bahwa kita saat ini sedang memasuki era “resesi yang aneh”—untuk tidak menyebut mengerikan—akibat piramida kehidupan makin meluas di bagian bawah. Dalam skema sederhana, piramida ekonomi terdiri dari tiga bagian. Paling bawah adalah bagian masyarakat miskin, bagian tengah piramida diisi kalangan menengah, sementara puncak piramida ditempati kalangan atas.

Sebagaimana bentuk piramida, semakin ke atas semakin mengecil. Karena nyatanya kalangan atas hanya sedikit, kalangan menangah cukup banyak, sementara kalangan miskin yang paling banyak. Yang jadi masalah, saat ini piramida ekonomi mengalami perubahan; bagian paling bawah—yang berisi orang-orang miskin—semakin meluas, sementara uang hanya berputar di kalangan menangah dan atas. Akibatnya, kalangan menengah dan atas mungkin saat ini tidak terlalu merasakan adanya resesi. Tapi kalangan terbawah, yaitu orang-orang miskin, benar-benar terimpit karena mereka harus memperebutkan jumlah uang yang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.

Dalam skala sederhana, penjelasan penjual kacang rebus tadi “match” dengan analisis tersebut. Kalau kamu termasuk kalangan atas, hampir dapat dipastikan kamu tidak merasakan masalah ekonomi sama sekali, karena uang masih lancar berputar. Kalau kamu termasuk kalangan menengah, kamu mungkin merasakan masalah ekonomi, tapi kamu belum terpikir resesi, karena setidaknya masih ada uang yang mudah diperoleh, misalnya penghasilan tetap. Tapi kalau kamu termasuk kalangan bawah, kamu pasti berani bersumpah bahwa saat ini sulit sekali mencari uang, karena perputaran uang di kalangan terbawah memang makin sedikit, sementara yang memperebutkan semakin banyak.

Kita saat ini sedang mengalami resesi yang aneh sekaligus mengerikan, karena resesi itu hanya dialami dan dirasakan kalangan bawah. Jadi orang-orang dari kalangan atas tetap asyik membeli iPhone terbaru, kalangan menengah tetap jalan-jalan di mal, sementara kalangan bawah makin tercekik. Karena bahkan sekadar untuk bertahan hidup pun, mereka merasakan napas kian menipis.

Larut malam itu, duduk di terpal bersama penjual kacang rebus, saya menatap gerimis yang masih turun. Rintik air tak putus-putus, dan entah kapan akan berhenti. Sementara dingin kian menggigit.

Menyaksikan Dunia Terbakar

Masih ingat Alqaeda? Dulu, Alqaeda muncul dan dunia gempar. Setelah Alqaeda hancur, muncul ISIS. Kini, ISIS mengalami kehancuran seperti Alqaeda. 

Aku berani bertaruh, kelak akan muncul sesuatu yang serupa, yang akan kembali membuat dunia kacau seperti sebelumnya.

Dunia tidak baik-baik saja, karena dunia memang sengaja dirancang untuk tidak baik-baik saja.

Sementara di sini sebagian orang sibuk mengurusi selangkangan, di luar sana ada orang-orang yang terus merancang dan mencabik-cabik peradaban manusia, demi menyaksikan dunia terbakar.

Dulu, waktu awal ISIS muncul, sebagian orang (yang mungkin merasa pintar) menghubung-hubungkan kemunculan ISIS dengan "pasukan berbendera hitam" yang konon akan muncul di akhir zaman, sebagaimana yang telah dinubuatkan.

Orang-orang itu melihat "permainan" dengan cara terbalik.

Orang yang merancang ISIS memang sengaja menciptakan gerombolan itu sesuai "nubuat akhir zaman" (pasukan berbendera hitam) agar orang-orang naif mempercayainya begitu. Bukan nubuat yang meramalkan kelahiran ISIS, tapi ISIS yang memang sengaja dibentuk agar sesuai gambaran nubuat.

Yang paling mudah memang menipu manusia dengan embel-embel agama, memberi mereka mimpi tentang utopia. Lalu mereka tersesat sambil meyakini diri paling benar, sambil membunuh manusia lainnya.

Dan sementara itu, di kegelapan, orang-orang tertawa menyaksikan dunia yang terbakar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 April 2019.

Ritual Bocah

Saya lagi duduk sendirian sambil menikmati udud, ketika seorang bocah lewat, kemudian mendekati batu besar yang ada di pinggir jalan.

Di depan batu besar, bocah itu tampak diam sejenak, lalu berkata dengan suara keras, “Dia adalah hedot! Dia adalah hedot! Oh, oh, oh!” Setelah itu dia menepuk batu dengan cukup keras, tiga kali. Dia kembali tampak diam sejenak di depan batu, lalu pergi meneruskan langkah.

Saya tertarik menyaksikan itu. 

Setelah udud habis, saya mendekati batu besar di sana, diam sejenak di hadapannya, lalu berkata dengan suara keras, “Dia adalah hedot! Dia adalah hedot! Oh, oh, oh!” Setelah itu saya menepuk batu dengan cukup keras, tiga kali. Saya kembali diam sejenak di depan batu, lalu pergi meninggalkannya.

Jiwa bocah saya terasa damai.

Petanda Ribuan Tahun

Ribuan tahun lalu, ada orang-orang yang meninggalkan "petanda" lewat patung, rute-rute jalan, karya seni, lukisan, hingga catatan-catatan abstrak dalam buku-buku tua berdebu. Petanda-petanda itu ditinggalkan begitu saja, tampak tidak penting, tapi "memandu" siapa pun yang tahu.

Ribuan tahun kemudian, di zaman digital, orang-orang semacam itu tetap ada, mewarisi pengetahuan-pengetahuan kuno yang diwariskan dari masa ribuan tahun lalu, dan kini mereka mewariskannya pada generasi mendatang. Tidak lagi lewat patung dan semacamnya... tapi lewat internet.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2019.

Zamani di HRC

Tempo hari di Hard Rock Cafe Singapura, Zamani bernyanyi riang, setelah bangkit dari patah hati yang nyaris membunuhnya. Dia membuktikan waktu memang menyembuhkan luka hati, dan orang bisa terlahir kembali.

Bagi yang tak tahu siapa Zamani, lihat di sini » http://bit.ly/2cCh0Mj 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Catatan dari Sunyi

Catatan dari tempat paling terpencil di dunia, terindah di bawah langit, sekaligus paling sunyi di muka bumi.

Kesunyian Sunyi » https://bit.ly/2HJtos3 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Maret 2019.

Gemboran

Ora awan, ora bengi, gaweane gemboran.

Ada Apa dengan Brama?

Seharian tadi ada ratusan orang masuk blogku dengan keyword "Brama Kumbara", "Brama vs Kampala", dan semacamnya. Ada apa dengan Brama ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Kultwit Soal Kultwit

Coba ya, ada yang kultwit soal kultwit.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Umur 14

Sekarang aku jadi mengingat-ingat, apa yang sekiranya dulu kulakukan waktu berumur 14.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2020.

Terlalu Sering

Sri Mulyani terlalu sering mendapat penghargaan dengan embel-embel "terbaik", dan itu justru mencurigakan, meski mungkin terkesan hebat bagi orang awam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2019.

Minggu, 01 Juni 2025

Buka Bersama Kaum Introver

—Catatan dari Ramadan 2025


Hari kedua Ramadan, Rusli mengirim pesan WhatsApp ke ponsel saya, “Kalau nanti sore aku mengundangmu datang ke rumah untuk buka bersama, kamu mau?”

Saya menjawab, “Ya, aku datang.”

Sore harinya, sekitar pukul 17.00, saya berangkat ke rumah Rusli. Bayangan saya waktu itu, Rusli mengundang beberapa teman kami. Tetapi, ketika sampai di rumah Rusli, saya tidak mendapati siapa pun, selain si tuan rumah.

“Aku berencana mengundang satu orang per hari untuk buka bersama, sampai akhir Ramadan,” Rusli menjelaskan, “dan kamu orang pertama yang kuundang.”

Saya agak tercengang mendengarnya.

Rusli mengajak saya ke samping rumah, tempat kami biasa nyangkruk kalau ketemu. Di tempat itu ada meja, dan di atasnya terdapat aneka jajan di piring. Dari kue lapis, lumpiang, martabak mini, risoles, yang semuanya tampak enak. 

Sambil menunggu maghrib, kami duduk di sana dan bercakap-cakap. Saya bertanya, “Gimana ceritanya, kok kamu punya ide buka bersama yang aneh ini?”

Rusli tersenyum. “Kemarin, pas hari pertama Ramadan, banyak wanita di kampung sini yang jualan jajan, lewat depan rumah. Aku kenal rata-rata mereka, dan aku beli beberapa jajan untuk buka puasa. Sambil menikmati jajan-jajan itu, aku teringat pada ibuku dulu.”

Lalu Rusli menceritakan. Dulu, saat ibunya masih ada, ibu Rusli kerap membeli jajan yang dijual para wanita di kampung mereka. Di tempat Rusli, setiap hari ada beberapa wanita yang keliling kampung, dan mereka selalu mendatangi rumah Rusli, menawarkan dagangan. Setiap hari pula, ibu Rusli membeli dagangan wanita-wanita itu, biasanya secara bergilir. Karena itu, setiap hari selalu ada jajan yang berbeda-beda di rumah Rusli.

Rusli pernah bertanya pada ibunya, kenapa ia rutin membeli jajan dari para wanita itu setiap hari, dan ibunya memberi jawaban tak terduga. Ibu Rusli mengatakan, “Wanita-wanita yang berdagang keliling itu para janda. Suami mereka udah meninggal, dan mereka harus menghidupi anak-anaknya. Karena itu Ibu selalu berusaha membeli dagangan mereka, sebagai upaya kecil membantu para wanita itu, agar mereka nggak kehilangan harapan.”

Penjelasan itu sangat mengejutkan bagi Rusli, karena ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ibu Rusli juga seorang janda, karena ayah Rusli telah meninggal sejak lama. Jadi ibu Rusli tentunya juga tahu bagaimana kehidupan, tantangan, serta perasaan yang dialami para janda yang berjualan keliling itu. 

“Sejak itu,” ujar Rusli pada saya kemudian, “aku jadi punya pandangan berbeda pada wanita-wanita yang sering menawarkan jualannya ke sini. Tadinya aku nggak punya perasaan apa-apa, selain hanya berpikir kalau mereka berjualan. Tapi setelah mendengar penjelasan ibuku, aku menyadari kalau wanita-wanita itu bukan sekadar berjualan—mereka sedang mempertahankan hidupnya, berusaha menghidupi anak-anaknya, dengan upaya yang mereka bisa.”
 
Rusli mengenal wanita-wanita yang berjualan itu, karena memang tinggal di perkampungan yang sama. Ketika ibunya meninggal beberapa tahun lalu, Rusli melanjutkan kebiasaan ibunya; membeli dagangan para wanita yang biasa datang ke rumahnya. 

Dalam perspektif Rusli, para wanita yang berjualan itu bukan sekadar mencari untung yang paling beberapa rupiah, tapi juga mempertahankan harapan bahwa hidup masih layak dijalani, bahwa upaya yang mereka lakukan tidak sia-sia. Karenanya, ketika membeli dagangan para wanita itu, Rusli tidak berpikir bahwa ia sedang membeli dagangan mereka, tapi lebih sebagai semacam upaya menunaikan kewajiban moral pada sesama manusia.

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan itu.

Rusli melanjutkan, “Kemarin, pas beli jajan mereka untuk buka puasa, aku terpikir ingin beli lebih banyak. Masalahnya, aku nggak akan bisa menghabiskannya sendiri. Jadi aku lalu punya ide bikin acara buka bersama yang aneh ini, mengundang satu teman per hari, agar aku bisa terus membeli jajan dari para wanita itu setiap hari. Mereka senang, aku juga senang, dan teman-teman yang kuundang juga semoga ikut senang.”

“Aku senang, Rus,” ujar saya jujur. “Jajan-jajan di meja ini favoritku.”

Ketika azan maghrib terdengar, kami memulai buka puasa dengan teh hangat yang telah siap di meja, lalu menyantap jajan di piring. Seperti yang saya bayangkan, jajan-jajan itu memang enak. Teh hangat, jajan tradisional, dan udud, adalah kombinasi buka puasa yang sangat environmental—apa pun artinya.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00, Rusli menawari untuk keluar cari makan, tapi saya mengatakan, “Aku masih kenyang sekarang, dan biasanya juga cuma makan pas sahur.”

“Yang bener?” 

“Iya,” saya menjawab, “kalau puasa, aku cuma makan satu kali, biasanya kalau udah larut malam, atau pas jam sahur.”

Biasanya, saat buka puasa, saya hanya minum teh hangat, makan jajan, dan udud. Sudah. Setelah itu berangkat ke rumah ortu, karena ikut shalat tarawih di sana, dan pulangnya mampir ke warung untuk makan. Kalau kebetulan belum lapar, saya pulang ke rumah, lalu baru keluar mencari makan setelah tengah malam atau sekitar jam makan sahur. Itu satu-satunya waktu saya makan nasi, dan hanya satu kali itu.

Rusli bertanya, “Emang kamu nggak lapar pas siangnya?”

Saya tersenyum, “Namanya juga puasa, ya pasti lapar, lah!”

Rusli tertawa, “Maksudku, kalau kamu sadar bakal kelaparan karena cuma makan satu kali, kenapa nggak makan dua kali, pas buka dan pas sahur?”

“Jawabannya mungkin terdengar filosofis.”

“Jelasin aja, siapa tahu aku tertarik mengikuti.”

Saya lalu menjelaskan, “Aku mikirnya gini. Puasa itu pembelajaran untuk menahan diri, karena asal kata puasa—shaum—artinya memang menahan diri. Menahan lapar, menahan haus, menahan hasrat ingin udud, dan menahan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sebagai manusia. Di malam hari, aku masih minum teh dalam jumlah banyak, dan masih udud dalam jumlah banyak. Aku cuma mengurangi makan, karena baru itu yang bisa kulakukan. Kenapa ini penting? Karena kalau di bulan puasa aku masih makan dalam jumlah banyak seperti di hari-hari biasa, ya buat apa puasa? Itu kayak cuma memindahkan waktu makan dari siang ke malam, dan esensi puasa jadi hilang.”

Rusli ngikik, tapi kemudian manggut-manggut. “Aku paham sekarang.”

Saya meminum teh di gelas, lalu berkata, “Makanya aku heran campur bingung tiap melihat orang-orang merazia warung-warung yang buka di bulan Ramadan, lalu memarahi orang-orang lain yang nggak puasa. Jika puasa bertujuan menahan diri, itu di mana letak menahan dirinya? Lagian nggak setiap orang Islam juga puasa Ramadan, misal karena lagi haid, atau lagi sakit, atau kebetulan lagi bepergian jauh dan butuh makan di warung.”

Seiring percakapan yang terus mengalir, jajan di piring semakin habis, sementara asbak makin penuh puntung rokok.

Rusli berkata, “Aku baru ingat sekarang. Kamu, kan, punya masalah GERD, ya. Dengan kamu cuma makan satu kali, itu nggak apa-apa selama puasa? Soalnya ada orang yang sampai pingsan bahkan meninggal karena GERD-nya kumat pas puasa.”

“Mungkin daya tahan tubuh atau masalah GERD orang per orang beda-beda, ya,” saya menjawab. “Kalau aku sendiri, selama ada sesuatu yang masuk ke perut, misal jajan kayak gini, terus juga makan nasi pas jam sahur, bisa dibilang nggak ada masalah. Biasanya, GERD-ku kambuh kalau sama sekali nggak ada makanan yang masuk, atau cuma makan sesuatu yang nggak bergizi.”

Saya lalu menceritakan, “Dulu pernah kejadian, pas bulan puasa aku nggak makan apa-apa, karena semalaman terus-terusan hujan. Aku malas keluar. Pas buka puasa, aku cuma minum teh sambil udud. Malam harinya, aku cuma beli siomay yang kebetulan lewat. Besoknya, perutku melilit nggak karuan, GERD-ku kambuh, dan aku merasa mau mati. Aku pergi ke apotek, beli obat, dan terpaksa batalin puasa. Sejak itu aku mengingat-ingat untuk cukup gizi selama puasa, agar kejadian kayak gitu nggak terulang. Yang konyol, aku cerita kejadian itu ke adikku. Terus adikku cerita ke Ibu, dan kayaknya Ibu salah nangkep dan mengira sebulan itu aku nggak puasa. Hahaha...”

“Terus kamu jelasin hal yang sebenarnya ke ibumu?”

“Nggak.”

Rusli heran, “Lhoh, kenapa?”

Sambil tertawa, saya menjawab, “Aku berpuasa untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain. Jadi kalau ibuku atau siapa pun mengira aku nggak puasa, ya bodo amat, wong itu memang bukan urusan mereka.”

Rusli ikut tertawa, dan menyahut, “Sekarang aku paham arti puasa yang sebenarnya. Hahaha...” 

 
;