"Dari mana sih datangnya ide untuk menulis? Bagaimana cara mendapatkan ide untuk sebuah tulisan?" Itu pertanyaan yang biasa muncul dalam benak banyak orang.
Ide untuk tulisan itu gampang-gampang susah dalam mendapatkannya. Ada kalanya ide mudah ditemukan, bahkan di saat-saat tak terduga, tapi ada kalanya pula ide susah didapatkan meski pikiran dan hati sudah siap menangkapnya, meski kita sudah berjam-jam duduk di depan layar komputer dan siap menuliskannya. Tidak jarang seorang penulis bengong di depan laptop atau di depan komputer dan hanya dapat bertanya-tanya, “Uh-oh, mau menulis apa ya…?”
Saya sendiri kadang mengalami saat-saat semacam itu. Tidak jarang saya duduk bengong di depan komputer sampai berjam-jam tanpa tahu apa yang akan saya tulis, tanpa mampu menemukan apa pun yang dapat saya tulis. Otak seperti kosong. Tak ada ide. Tak ada apa pun yang sepertinya cukup bagus atau cukup menarik untuk ditulis—dan… waktu itu pun saya bertanya-tanya dalam hati, dari mana sih sebenarnya ide bisa datang?
Para penulis senior sering kali menyarankan agar kita selalu menyiapkan kertas dan polpen kemana pun pergi, dan dimana pun berada. Karena, menurut mereka, ide bisa datang dari mana saja—dan begitu ia datang, kita pun telah siap menuliskannya, setidaknya menuliskan ide itu hingga tidak lupa lagi. Apakah saran ini efektif? Sebenarnya, saran ini efektif. Hanya saja, kita kadang tidak mau repot membawa-bawa kertas dan polpen, apalagi repot-repot menulis di sela-sela aktivitas atau kesibukan.
Sebenarnya, saat ini kendala semacam di atas sudah cukup teratasi. Sekarang, para penulis tidak perlu lagi membawa-bawa kertas dan polpen untuk menuliskan ide yang datang, karena ponsel atau laptop atau netbook atau bahkan iPhone dapat menggantikan fungsi kertas dan polpen. Tetapi, semuanya kembali lagi pada niat si orang bersangkutan. Jika malas menuliskannya, tetap saja semua sarana dan ide yang datang tak akan berguna.
Well, ide sebenarnya bisa datang dari mana saja. Saat pergi ke suatu tempat, saat membaca sebuah buku, saat bersama seseorang, saat mengunjungi sebuah acara, atau dalam kesempatan apa pun—ide bisa saja datang untuk kemudian dijadikan bahan tulisan. Sesungguhnya, yang diperlukan untuk menangkap ide adalah kesiapan pikiran—dan hati. Ide muncul dari mana saja, melayang di atas kepala siapa pun, tetapi hanya yang siaplah yang akan dapat menangkapnya, pikiran dan hati yang terbukalah yang akan mampu memperolehnya.
Ketika pertama membuat blog, saya sebenarnya juga panas-dingin karena berpikir, apa saya bisa menulis setiap hari? Meskipun telah cukup terbiasa menulis, tetapi saya tetap merasa tidak yakin dapat menulis secara teratur—karena ide menulis itu tidak datang setiap hari. Ada kalanya ide datang melimpah, namun ada kalanya pula sungai ide itu mengering, dan saya tidak lagi mampu mendapatkannya. Tetapi, ketika akhirnya memberanikan diri membuat blog, ide menulis itu sepertinya datang terus-menerus, tak pernah berhenti—setidaknya sampai saat ini.
Ketika membaca email-email yang masuk, misalnya, saya mendapatkan banyak masukan, saran ataupun pertanyaan yang dapat dijadikan ide untuk tulisan sebuah posting. Inbox email saya bisa dikatakan seperti mata air ide yang tak pernah kering—karena dari sana saya dapat memperoleh banyak ide penulisan yang sebelumnya bahkan belum pernah saya bayangkan. Kalau dulu saya biasa menjawab email yang datang secara personal, sekarang saya bisa memberikan jawabannya melalui posting di blog—termasuk posting ini.
Saya juga banyak mendapatkan ide dari buku-buku atau media lain yang saya baca—atau ketika saya memaksa diri untuk diam dan berpikir. Ketika melihat sesuatu yang aneh atau unik, saya juga dapat memperoleh ide dari situ. Jadi, sekali lagi, ide sesungguhnya bisa datang dari mana saja—selama kita mau membuka mata, menata pikiran, dan menyiapkan hati.
Mungkin ide tidak turun dari langit, tetapi ia akan mendatangi siapa saja yang memang telah menantikannya. Jika kita menginginkan sesuatu, alam semesta akan mendengarkannya. Dan jika kita memang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, alam semesta akan memberikannya.
Begitu pula dengan ide.
Ide untuk tulisan itu gampang-gampang susah dalam mendapatkannya. Ada kalanya ide mudah ditemukan, bahkan di saat-saat tak terduga, tapi ada kalanya pula ide susah didapatkan meski pikiran dan hati sudah siap menangkapnya, meski kita sudah berjam-jam duduk di depan layar komputer dan siap menuliskannya. Tidak jarang seorang penulis bengong di depan laptop atau di depan komputer dan hanya dapat bertanya-tanya, “Uh-oh, mau menulis apa ya…?”
Saya sendiri kadang mengalami saat-saat semacam itu. Tidak jarang saya duduk bengong di depan komputer sampai berjam-jam tanpa tahu apa yang akan saya tulis, tanpa mampu menemukan apa pun yang dapat saya tulis. Otak seperti kosong. Tak ada ide. Tak ada apa pun yang sepertinya cukup bagus atau cukup menarik untuk ditulis—dan… waktu itu pun saya bertanya-tanya dalam hati, dari mana sih sebenarnya ide bisa datang?
Para penulis senior sering kali menyarankan agar kita selalu menyiapkan kertas dan polpen kemana pun pergi, dan dimana pun berada. Karena, menurut mereka, ide bisa datang dari mana saja—dan begitu ia datang, kita pun telah siap menuliskannya, setidaknya menuliskan ide itu hingga tidak lupa lagi. Apakah saran ini efektif? Sebenarnya, saran ini efektif. Hanya saja, kita kadang tidak mau repot membawa-bawa kertas dan polpen, apalagi repot-repot menulis di sela-sela aktivitas atau kesibukan.
Sebenarnya, saat ini kendala semacam di atas sudah cukup teratasi. Sekarang, para penulis tidak perlu lagi membawa-bawa kertas dan polpen untuk menuliskan ide yang datang, karena ponsel atau laptop atau netbook atau bahkan iPhone dapat menggantikan fungsi kertas dan polpen. Tetapi, semuanya kembali lagi pada niat si orang bersangkutan. Jika malas menuliskannya, tetap saja semua sarana dan ide yang datang tak akan berguna.
Well, ide sebenarnya bisa datang dari mana saja. Saat pergi ke suatu tempat, saat membaca sebuah buku, saat bersama seseorang, saat mengunjungi sebuah acara, atau dalam kesempatan apa pun—ide bisa saja datang untuk kemudian dijadikan bahan tulisan. Sesungguhnya, yang diperlukan untuk menangkap ide adalah kesiapan pikiran—dan hati. Ide muncul dari mana saja, melayang di atas kepala siapa pun, tetapi hanya yang siaplah yang akan dapat menangkapnya, pikiran dan hati yang terbukalah yang akan mampu memperolehnya.
Ketika pertama membuat blog, saya sebenarnya juga panas-dingin karena berpikir, apa saya bisa menulis setiap hari? Meskipun telah cukup terbiasa menulis, tetapi saya tetap merasa tidak yakin dapat menulis secara teratur—karena ide menulis itu tidak datang setiap hari. Ada kalanya ide datang melimpah, namun ada kalanya pula sungai ide itu mengering, dan saya tidak lagi mampu mendapatkannya. Tetapi, ketika akhirnya memberanikan diri membuat blog, ide menulis itu sepertinya datang terus-menerus, tak pernah berhenti—setidaknya sampai saat ini.
Ketika membaca email-email yang masuk, misalnya, saya mendapatkan banyak masukan, saran ataupun pertanyaan yang dapat dijadikan ide untuk tulisan sebuah posting. Inbox email saya bisa dikatakan seperti mata air ide yang tak pernah kering—karena dari sana saya dapat memperoleh banyak ide penulisan yang sebelumnya bahkan belum pernah saya bayangkan. Kalau dulu saya biasa menjawab email yang datang secara personal, sekarang saya bisa memberikan jawabannya melalui posting di blog—termasuk posting ini.
Saya juga banyak mendapatkan ide dari buku-buku atau media lain yang saya baca—atau ketika saya memaksa diri untuk diam dan berpikir. Ketika melihat sesuatu yang aneh atau unik, saya juga dapat memperoleh ide dari situ. Jadi, sekali lagi, ide sesungguhnya bisa datang dari mana saja—selama kita mau membuka mata, menata pikiran, dan menyiapkan hati.
Mungkin ide tidak turun dari langit, tetapi ia akan mendatangi siapa saja yang memang telah menantikannya. Jika kita menginginkan sesuatu, alam semesta akan mendengarkannya. Dan jika kita memang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, alam semesta akan memberikannya.
Begitu pula dengan ide.