Jumat, 07 Mei 2010

Kondisi Kebahagiaan



Jika kita bertekad untuk merasa bahagia,
maka kehidupan pun akan memberikannya.


Seorang teman kuliah saya dulu pernah mengalami stres berat ketika menggarap skripsinya. Bukan stres karena skripsinya semata-mata, tapi karena keadaan di rumahnya yang selalu bising. Tiap malam, dia bercerita, ketika dia sudah duduk di depan meja dan siap untuk menggarap skripsinya, suara televisi di ruang tengah mulai mengganggu konsentrasinya. Seluruh keluarganya pecandu sinetron dan mereka tentu tak mau ketinggalan acara favoritnya.

Maka teman saya pun keluar dari kamar dan dengan penuh emosi memarahi keluarganya dan membentak-bentak adiknya. Lalu, ketika volume televisi telah dikecilkan atau bahkan dimatikan sama sekali, teman saya pun kembali ke kamarnya untuk mengurus skripsinya. Tapi sesampai di depan meja, dia tetap tak bisa menulis karena bahan-bahan yang akan ia tulis yang masih ada dalam otaknya telah buyar ketika ia emosi tadi. Ia memulai konsentrasi kembali, tapi emosinya yang belum reda sulit diajak kompromi.

Keadaan seperti itu terus berlanjut sampai berminggu-minggu kemudian, sampai ia merasa takkan bisa menyelesaikan skripsinya.

Ketika hari wisuda tiba, saya melihatnya berada di tengah kerumunan wisudawan yang lain, lengkap dengan jubah dan toga, dan dengan senyumnya yang mengembang. Saya mendekatinya, mengucapkan selamat karena akhirnya ia bisa menyelesaikan skripsinya.

“Akhirnya keluargamu bisa juga memahami kebutuhan konsentrasimu,” kata saya mengingatkan.

“Oh...?” Dia memandang dengan mata kebingungan. “Keluargaku tetap sama saja dengan kebanyakan keluarga yang lain, dan mereka tetap menonton sinetron tiap malam dengan volume keras-keras!”

“Tapi akhirnya kamu tetap bisa konsentrasi?”

Dia tertawa. “Itu karena aku kemudian membeli kapas dan menyumpalkannya ke kupingku sampai aku tidak mendengar apa-apa lagi…!”

Terkadang, bahkan sering, solusi bagi suatu masalah yang terjadi pada diri dan hidup kita tidak membutuhkan penyelesaian dari orang lain, namun membutuhkan penyelesaian dari diri kita sendiri.

Ada begitu banyak orang yang merasa hidupnya tertekan dan merasa susah karena merasa orang lain atau keadaan dan hal-hal di luar dirinya telah mengganggunya. Orang-orang semacam ini akan menjadi sulit untuk bisa hidup bahagia karena dia selalu menginginkan orang lain atau hal-hal di luar dirinya berubah. Mereka ingin orang lain mengubah sikapnya, mereka ingin keadaan di luar dirinya menjadi seperti apa yang diinginkannya agar dia tak lagi merasa tertekan.

Tetapi harapan yang semacam itu tidak bisa dipastikan, bukan? Adalah suatu kenyataan yang sulit untuk bisa mengubah orang lain atau mengubah keadaan di sekeliling kita. Tetapi satu hal yang pasti dan selalu dapat kita lakukan adalah apabila kita mau mengubah diri kita sendiri untuk tidak lagi merasa tertekan—dan hidup bahagia.

Alexander Sholzenitsyn menyatakan, “Seseorang akan bahagia sejauh ia memilih untuk bahagia, dan tak ada sesuatu pun yang mampu menghentikannya.”

Hidup bahagia bukan soal kondisi. Itu adalah soal pilihan. Jika kita memilih untuk bahagia, maka kita akan bahagia, terlepas dari apa dan bagaimana kondisi yang terjadi. Namun jika kita menggantungkan kebahagiaan kita pada suatu situasi tertentu, pada kondisi dan keadaan tertentu, atau pada orang-orang tertentu, maka kebahagiaan kita akan menjadi begitu rapuh. Ketika situasi terkendali, ketika keadaan sesuai dengan harapan, kita bahagia; namun jika tidak, kita pun tidak bahagia.

Hidup ini tergantung pada diri kita, pada sikap pikiran kita, dan kita bisa mengisinya dengan rasa tertekan yang tak kunjung selesai, atau juga bisa menjadikannya sebagai saat-saat yang membahagiakan yang perlu disyukuri.


 
;