Ada begitu banyak buku yang pernah ditulis untuk membahas persoalan cinta dengan berbagai dimensi dan perspektif, namun pembahasan mengenai hal yang satu ini sepertinya tak pernah menemui garis akhir. Cinta seolah terlalu besar jika hanya diungkapkan dengan satu sudut pandang, satu definisi, satu perspektif ataupun satu dimensi. Ia adalah sesuatu yang bebas dan tak terdefinisikan; ia memberontak pada segala belenggu perspektif dan dimensi apapun yang mencoba mendefinisikannya, dan inilah yang menjadikan cinta tak pernah menemui garis akhir dalam pembahasannya.
Di dalam kehidupan manusia, cinta telah menjadi sesuatu yang mewarnai, bahkan mendominasi dalam setiap denyut jantung dan detak nadi bahkan aliran darah dalam hidup sehari-hari. Ada begitu banyak kejahatan dan kehancuran yang dilatarbelakangi oleh cinta, juga ada begitu banyak kebahagiaan dan kemuliaan yang diciptakan oleh cinta.
Para pakar kriminologi menyatakan bahwa ada dua alasan besar yang menyebabkan seorang manusia sampai melakukan pembunuhan terhadap manusia lainnya. Alasan yang pertama adalah harta, sedang alasan yang kedua adalah cinta. Ketika mata hati digelapkan oleh cinta yang buta, maka cinta itu pun bisa menjadi pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan yang bahkan belum pernah dibayangkannya.
Tetapi cinta pulalah yang menjadi penggerak utama dari begitu banyak keajaiban hidup yang dilakoni manusia. Seorang lelaki renta dengan fisik yang lemah bisa bertahan bekerja di bawah sengatan terik panas matahari dan diguyur dingin hujan karena cintanya kepada keluarganya. Seorang ibu yang kelelahan di tengah malam dapat terbangun dari tidurnya tanpa mengeluh demi untuk menenangkan tangis bayinya. Dua anak manusia yang pada mulanya tidak saling mengenal dan terpisah bermil-mil jauhnya bisa disatukan dalam sebuah rumah, membangun dan membina hidup bersama, juga disebabkan oleh cinta.
Cinta adalah energi yang besar, luar biasa besar, dan energi besar itu bisa digunakan untuk membangun, ataupun merusak. Ia adalah sarana sekuat mukjizat yang dapat digunakan manusia sebagai alat untuk membawanya kepada kemuliaan, ataupun juga kerendahan. Karena cinta hanya sarana, ia hanya mengikuti pada siapapun yang membawa dan menggunakannya. Karena cinta hanya alat, ia bisa digunakan untuk sesuatu yang konstruktif, ataupun destruktif...dan kitalah yang akan mempertanggungjawabkannya.
Memang tidak salah bila dikatakan bahwa cinta seumpama pisau bermata dua. Sebilah pisau dapat digunakan untuk mengupas bawang dan mengiris kentang, namun juga dapat digunakan untuk menggorok leher orang. Baik dan buruknya pisau itu tergantung penuh pada pemiliknya, pembawanya, penggunanya.
Seperti sarana yang lain apapun, cinta bersifat netral, dan juga relatif. Ia tidak baik, ia juga tidak jahat, dan kitalah yang membuatnya baik atau menjadikannya jahat. Dan apabila cinta itu kemudian membawa seseorang pada kelamnya kejahatan, maka cinta tak pernah salah, sebagaimana apabila cinta menjunjung seseorang pada tingginya kemuliaan, pun cinta tak pernah disanjung atas hasilnya. Pemiliknyalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, pemiliknya pula yang akan memperoleh hasilnya. Cinta tetap cinta.
Kita selalu punya hak serta kebebasan untuk membawa dan memilikinya, serta untuk menggunakannya. Kita bisa menjadikan cinta sebagai jalan terjal yang menggelincirkan kita ke jurang kehancuran, namun kita juga dapat menjadikan cinta sebagai jembatan yang akan menyeberangkan kita kepada kebahagiaan dan kehidupan yang penuh suka cita dan kemuliaan. Karena cinta tetap cinta...semuanya terserah kita.