Ajaran kuno mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam dosa dan merupakan cacing dari tanah yang perlahan-lahan mendapatkan jalan ke arah Tuhan Yang Maha Mulia, membuat manusia memperoleh citra yang luhur, mengangkatnya untuk mendapatkan nilai surga.
Tetapi filsafat baru mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang luhur, mulia, dengan martabat baru, makna baru, di samping juga kelemahan dan kekurangannya. Semakin lama kita makin menganggap bahwa pandangan yang merendahkan manusia sebagai pandangan yang jahat, karena manusia adalah makhluk Tuhan.
Filsafat baru juga menunjukkan bahwa bagian terbesar dari kita adalah hasil produk atau buatan kita sendiri. Jika kita adalah cacing-cacing dari tanah, maka kita sendirilah yang telah membuatnya demikian; melalui pemikiran, kata-kata, pilihan dan tindakan kita sendiri. Benar bahwa Tuhan yang menciptakan kita, tetapi kita sendirilah yang mengolah diri dan menentukan kehidupan kita.
Hari ini, hidup kita belum berhenti. Napas masih berhembus, jantung masih berdetak dan urat nadi dalam tubuh kita masih berdenyut. Hidup kita masih mengalir seperti darah dalam tubuh kita yang masih lancar mengalir. Selama hidup masih belum berhenti, kita pun masih memiliki kewajiban untuk mengisinya, untuk menjadikan ia baik, karena dengan inilah kita akan memperoleh bekal yang cukup untuk perjalanan hidup kita selanjutnya. Selama Tuhan masih memberikan kita hidup, tidak ada hari tanpa upaya perbaikan diri.
Dalam legenda kuno ada kisah tentang Narciscus yang jatuh cinta kepada dirinya sendiri, sehingga ia begitu menyukai saat-saat ia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin. Dalam masa sekarang ini, ada cukup banyak orang yang menjadi Narciscus modern. Mereka bukan jatuh cinta kepada dirinya sendiri, tetapi mereka telah begitu terbiasa dengan dirinya sendiri.
Orang-orang semacam itu menjalani kehidupannya dengan rutinitas seperti biasa, menganggap segalanya tak ada persoalan sepanjang menyangkut dirinya. Yang menyedihkan adalah bahwa mereka begitu terbiasa dengan dirinya sendiri sehingga mereka lalai untuk melihat cara-cara untuk memperbaiki diri. Mereka sudah puas dengan dirinya sendiri dan apabila ada yang tidak beres, mereka pun menganggap bahwa yang tidak beres adalah segala sesuatu yang ada di luar mereka.
Sekolah-sekolah kepribadian dibangun, kursus-kursus kepemimpinan dibuka dan buku-buku pengembangan diri ditulis, semuanya itu salah satunya bertujuan untuk memperbaiki diri. Bukan hanya sekadar memperbaiki apa yang tampak di mata orang lain, tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki apa yang tidak tampak di mata orang lain. Jika kita cantik di dalam, saya percaya kita pun akan tampak cantik di luar. Jika kita mampu membangun keindahan di dalam batin, saya pun yakin kita bisa membangun dan menyaksikan hidup yang sama indahnya.
Hidup adalah proses pembelajaran tanpa henti, dan setiap hari kita dihadapkan pada serangkaian pelajaran yang mau tak mau harus kita terima dan kita pelajari.
Sebagaimana di sekolah saat guru tengah menerangkan pelajaran di depan kelas, kita bisa duduk dengan tenang dan mendengarkan uraian pelajarannya, kita pun bisa melamun atau bahkan tertidur dan menganggap seolah guru dan pelajaran itu tidak ada. Hasil dari proses pembelajaran itu pun nantinya akan bisa dilihat dari setiap akhir tahun ajaran. Yang serius memahami setiap pelajaran akan mendapatkan nilai tinggi, yang ogah-ogahan dan santai juga akan memperoleh hasil yang sepadan. Sekali lagi, begitu pulalah hidup yang kita jalani ini.
Di dalam ‘sekolah’ kehidupan ini pula, ada tiga jenis manusia. Yang pertama adalah mereka yang belajar dari pengalaman mereka sendiri; mereka adalah orang yang bijaksana. Yang kedua adalah mereka yang belajar dari pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bahagia. Sedangkan yang ketiga adalah mereka yang tidak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bodoh.
Jika hidup adalah sebuah sekolah yang lebih besar, tentu akan menyenangkan dan lebih membanggakan jika kita selalu naik kelas dan memperoleh nilai yang selalu tinggi, kan...?