Hakikatnya, ramalan dibuat berdasarkan siklus pengulangan—sesuatu yang telah terjadi berulang-ulang kali—hingga orang pun kemudian menjadi tahu gejalanya. Seperti ramalan cuaca, umpamanya. Orang seringkali mengatakan (atau lebih tepatnya meramalkan) bahwa bulan Desember-Januari adalah musim penghujan. Mengapa mereka bisa meramalkan seperti itu? Karena selama puluhan tahun hal itulah yang terjadi. Selama puluhan tahun hujan selalu saja turun di bulan-bulan itu. Karena ada siklus pengulangan, maka orang pun kemudian bisa meramalkan.
Nah, salah satu warisan berharga dari nenek moyang kita adalah ramalan ini. Selama ratusan tahun nenek moyang kita hidup dengan memperhatikan gejala alam, siklus perputaran hidup, dan juga ‘kebiasaan’ yang terjadi ketika sebuah kepribadian bertemu dengan kepribadian yang lain. Di dalam perspektif orang Jawa, hal semacam itu disebut sebagai ‘ilmu titen’ atau pengetahuan yang disadap secara alami karena tekun memperhatikan.
Pada awalnya, ilmu atau pengetahuan yang didapat dengan cara itu hanya disampaikan dari mulut ke mulut—selama ratusan tahun—hingga kemudian literatur menuliskannya dalam bentuk tulisan. Dalam perspektif modern, literatur semacam itu mungkin terkesan tidak ilmiah, tetapi orang-orang mempercayainya, karena hal itu telah teruji selama ratusan tahun.
Lebih dari itu, pengetahuan atau keyakinan orang atas sesuatu karena ketekunan memperhatikan bukan hanya terjadi pada orang Jawa. Masyarakat Chaldean di Babilonia juga melakukan hal yang serupa, dan pengetahuan yang mereka sadap dari pengamatan yang amat tekun itu kemudian terkenal dengan istilah ‘ilmu astrologi’. Hal itu bahkan telah dilakukan semenjak tiga ribu tahun sebelum Masehi.
Sementara masyarakat Cina juga melakukan hal yang sama semenjak dua ribu tahun sebelum Masehi, dan mereka bahkan secara lebih jauh mengembangkan astrologi dengan prinsip-prinsip kepribadian manusia, dimana pengetahuan yang didasarkan atas pengamatan ini kelak disebut sebagai ‘cap dji shio’ atau yang sekarang lebih terkenal dengan istilah ‘shio’ saja. Hal serupa itu juga terjadi pula di suku-suku Indian kuno ataupun pada suku-suku bangsa Maya di Amerika Tengah, juga pada suku Aztec kuno dan ratusan masyarakat lain di muka bumi.
Kemudian, lima ratus tahun sebelum Masehi, bangsa Yunani juga mulai mengembangkan pengetahuan yang sama, dimana Plato dan Phytagoras saat itu begitu sibuk menuliskan ramalan-ramalan mereka atas pengetahuan yang mereka sadap dari siklus pergeseran letak bintang-bintang yang berulang.
Jauh-jauh hari sebelum itu, sebelum Plato dan Phytagoras di Yunani sibuk mengamati peredaran bintang dan pergeseran antar planet, masyarakat Mesopotamia bahkan telah melakukan hal itu semenjak dua ribu tahun sebelum Masehi, dan mereka bahkan telah memberikan nama-nama bagi rasi bintang yang saat ini dikenal dengan sebutan ‘zodiak’.
See...? Semuanya adalah ramalan, sesuatu yang berasal dan bermula dari pengamatan atas siklus yang berulang. Tetapi pengetahuan atas hal itu telah teruji selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, bahkan semenjak tahun Masehi belum diciptakan. Orang mengamati, memperhatikan, mencermati dan kemudian melihat bahwa ada satu siklus tertentu yang terus berputar dan berulang—dan dari situlah kemudian orang membuat ramalan-ramalan.
Ramalan atas zodiak (yang didasarkan pada tanggal dan bulan lahir), ramalan atas shio (yang didasarkan pada tahun kelahiran dan watak dasar manusia), ramalan atas weton (yang didasarkan pada hari pasaran orang Jawa), ramalan atas numerologi (yang didasarkan pada perhitungan misteri matematika), ramalan atas feng shui (yang didasarkan pada elemen kelahiran seseorang) dan segala bentuk ramalan lain, hakikatnya adalah refleksi atas pengamatan siklus yang berulang. Begitu pula dengan ramalan-ramalan yang dikaitkan dengan kepribadian seseorang—itu semua juga didasarkan pada sandaran yang sama.
Jadi, meskipun pengetahuan atas ramalan bukanlah pengetahuan yang eksak dan penuh kepastian, namun pengetahuan atas hal itu telah teruji selama ribuan tahun sehingga orang mempercayainya. Tetapi, terlepas dari benar-tidaknya ramalan, terlepas dari positif-negatifnya efek ramalan dan terlepas dari bagaimana sikap serta kepercayaan orang atas suatu ramalan, langkah paling bijak dalam menghadapi suatu ramalan adalah dengan menempatkannya sebagai sebuah pengetahuan. Lebih dari itu, orang mempelajari ramalan pun bukan untuk dijadikan sebagai acuan yang pasti dalam melangkah atau melakukan sesuatu, namun lebih pada upaya persiapan dalam menghadapi sesuatu.
Yang lebih penting dari itu, fungsi ramalan juga mengajak kita untuk bercermin dan melihat diri, untuk melakukan koreksi dan introspeksi, untuk secara jernih dan objektif melihat dimana kelebihan yang kita miliki untuk kita pertahankan dan kita kembangkan, dan mana kelemahan yang kita miliki untuk kita perbaiki atau bahkan kita hilangkan. Ramalan yang bagus mungkin benar—dan kita patut merayakannya. Namun jika ramalan terdengar buruk, maka kita dapat mengubah ramalan itu dengan cara mengubah sesuatu yang mungkin juga buruk yang ada pada diri kita.
Selamat meramal—semoga harimu menyenangkan...