Rabu, 05 Mei 2010

J’Came A Sure*



Saat ketika waktu, ya ya, saat ketika waktu. Saat ketika waktu seharusnya tak datang tapi memilih datang, seharusnya tak tiba tapi entah mengapa. Kalau bisa mengulang, kalau bisa memutar, ya ya, kalau saja bisa mengulang dan bisa memutar.

Kosong dari awal sampai akhir. Seharusnya tak datang, ya ya, seharusnya tak datang. Karena tempatnya tidak di sini—bukan di sini. Dimana hanya yang tahu, letak tepat tempatnya yang terang itu. Atau yang gelap itu. Entahlah.

Pada akhirnya toh tak sesuai—tak pernah ada yang sesuai sepanjang menyangkut tentang sesuatu yang tak sesuai. Begitu pula sesuatu malam itu. Isi yang tak sesuai dengan harapan isi atau yang diisi. Tak sesuai konteks, mungkin begitu. Ya ya, tak sesuai konteks—aku suka istilah itu. Jadi hanya melayang saja seperti balon gas yang terbang di udara—tak berisi, dan anak-anak senang melihatnya. Aku suka istilah ini. Tapi tidak ketika itu terjadi. Tidak…tidak…

Sepertinya memang sudah ada yang berkata—sebelum ada yang berkata. Mungkin seperti itu. Dan seharusnya tidak kesana—tidak datang kesana—bukankah begitu? Itu…sepertinya kesalahan, atau sesuatu yang seharusnya ditinggalkan saja. Kenapa tergoda? Ya ya, ini aneh. Biasanya tidak begitu, kan? Uh oh, biasanya tidak begitu. Hanya saja waktu itu, entah kenapa, bisa datang.

“Aku boleh berkata jujur…?” Itu suaraku.

“Tentu, katakanlah.” Itu suaramu—atau yang kuharap itu suaramu. Tapi tentu saja kau tak menjawab apa-apa—aku hanya mengangankan kau menjawab suaraku.

“Aku tak tahu kalau ternyata isinya seperti itu. Kau tahu siapa aku—seperti apa diriku, bahkan seperti apa jiwaku. Ketika panggilan itu datang, yang kupahami hanyalah bahwa itu panggilan ketulusan, dan kupikir kita akan berbicara dari hati ke hati, seperti dulu—atau yang kupikir begitu. Tapi, well…ternyata isinya cuma…bagaimana aku harus menyebutnya? Mengapa harus kau tunjukkan kepadaku? Dan juga…beberapa hal yang membingungkan dan tak bisa kupahami.”

“Seperti…?”

“Yeah, seperti mata, atau sekitar itu. Seperti telinga, atau sekitar itu. Seperti kata, atau sekitar itu. Seperti laku, atau sekitar itu. Aku tidak mengerti, tapi kupikir aku mengerti—well, kau tahu seperti apa aku. Jadi waktu aku menyaksikan semuanya itu, yang kupikir adalah apa yang biasanya kupikirkan. Dan aku tahu aku benar—atau setidaknya aku berharap benar, meski sesungguhnya aku ingin bayanganku tidak benar. Ini aneh—atau keliru. Atau mungkin cuma bayanganku. Orang-orang tidak jelas dengan ucapan yang tak jelas. Aku tidak paham. Kau mengerti maksudku…?”

“Ya, I know. Lanjutkan…”

“Mustahil untuk mengatakan apa yang sesungguhnya kupikirkan, atau kurasakan. Tapi aku merasa…well, aku merasa…oke, aku tak bisa mengatakannya. Kita bayangkan saja sebuah puzzle. Oke? Aku sudah melihat gambaran jelasnya, aku sudah mencoba meletakkan potongan-potongan puzzle itu pada tempatnya yang tepat, tapi kemudian menyadari bahwa beberapa potong terakhir dari keping puzzle itu ada yang tidak benar—maksudku tidak sesuai dengan gambar dasarnya. You know, aku bisa saja berteriak seperti anak kecil, atau seperti bajingan yang sedang mabuk, ‘Hei keparat, ini bukan salahku! Keping puzzle sialan ini yang tak sesuai dengan gambar dasarnya!’ Tapi kau tahu aku tak mungkin berkata seperti itu. Kau paham maksudku?”

“Ya, aku paham. Teruskan.”

“Aku senang kau paham—aku senang kau bisa memahamiku. Tapi, tidakkah ini aneh?”

“Tidak, ini alami. Maksudku, ini tidak aneh. Kau sama sepertiku.”

“Thanks, aku suka kata-kata itu. Kau mau mengulanginya untukku?”

“Kau sama sepertiku.”

“Oh, kau hampir membuatku menangis. Senang rasanya mengetahui ada orang lain yang sama denganmu—saat kau menyadari bahwa ternyata kau tak sendirian, seperti yang kau duga. Senang rasanya kalau kau bisa mendengar, ‘kau sama sepertiku’. Dan kata-kata itu sungguh jauh berbeda dengan ‘aku sama sepertimu’. Aku suka yang pertama—kedengarannya lebih jujur. Oh, aku…aku tak tahu harus ngomong apa lagi. Sepertinya, sepertinya…kata-kata kecil itu sudah cukup bagiku. Sudah cukup, sudah cukup…”

*Jangan dibaca.


 
;