Jumat, 07 Mei 2010

Memilih untuk Bahagia

Kita melihat kebahagiaan seperti pelangi,
selalu berada di atas kepala orang lain, bukan di kepala kita.
Thomas Hardy

Kebahagiaan bukanlah ideal akal, tapi imajinasi.
Immanuel Kant


Beberapa tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan parah, dan harus terbaring di rumah sakit selama berhari-hari. Pada waktu itu saya punya dua pilihan. Saya bisa merasa tertekan dan tersiksa dengan kondisi saya saat itu, atau juga bisa menggunakan waktu-waktu tak berdaya itu untuk sesuatu yang lebih konstruktif.

Waktu itu tubuh saya seolah remuk. Kaki saya sakit, luka, dan berdarah, satu tangan saya patah tulang, satunya lagi penuh luka dan ditancapi jarum infus. Saya tak bisa melakukan apa-apa, tak bisa pergi kemana-mana, tak dapat mengerjakan segala sesuatu yang biasa saya kerjakan. Namun, sekali lagi, saya tetap memiliki dua pilihan. Memilih untuk tertekan dengan segala keadaan itu, atau memilih untuk tetap tenang (dan bahagia) dengan segala kondisi yang ada.

Mungkin ada yang ingin mengatakan, “Mungkinkah orang bisa bahagia dalam kondisi tubuh yang hancur semacam itu?”

Pertama kali saya pun meragukannya. Tetapi ketika kenyataan semacam itu terjadi dan saya mencoba melakukannya, saya bisa melakukannya. Sebelum kejadian kecelakaan itu, kehidupan saya sehari-hari adalah kehidupan yang berlangsung dengan cepat. Saya melewati setiap hari seperti pelari melintasi jalur pacuan, dan saya tak pernah punya waktu untuk menikmati hidup selain dikejar-kejar pekerjaan. Saya merasakan jarum jam setiap hari seperti tidak berdetak tapi berputar cepat, dan saya menginginkan sehari semalam tidak hanya 24 jam.

Tetapi ketika saya terbaring tak berdaya di rumah sakit, seluruh kehidupan saya berubah, dan perspektif saya pun berubah. Sesuatu yang dulu saya pikir tidak mungkin, sekarang tampak menjadi mungkin. Sekarang saya tahu bahwa saya bisa beristirahat dengan tenang, sekarang saya tahu bahwa saya bisa menikmati satu hari dengan penuh khidmat, sekarang saya pun tahu bahwa jarum jam tetap berdetak. Dan siapa yang menyangka kalau berbaring di rumah sakit yang hening sambil mendengarkan detak jarum jam bisa memberikan kebahagiaan...?

Ketika saya berpacu melawan waktu kehidupan, hidup juga seperti berpacu melawan saya. Tetapi ketika saya diam dan tenang, hidup juga seperti melambatkan waktunya dan memberi saya kesempatan untuk menikmatinya.

Di saat-saat itu, saya pun mulai bisa memiliki gambaran yang lebih pasti tentang hidup macam apa sesungguhnya yang saya inginkan. Saya jadi teringat kata-kata yang pernah ditulis Jennie Jerome Churchill, “Hidup tidak selalu mewujudkan apa yang kita inginkan, tapi membuat sesuatu menjadi baik, karena itulah cara mencapai kebahagiaan.”

Ya, bukankah begitu seharusnya? Tidak selamanya hidup ini mewujudkan apa pun yang kita inginkan, namun hidup selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi semakin baik, dan itulah kebahagiaan.

Karenanya, satu-satunya hal yang selalu bisa kita kendalikan adalah diri kita, sikap kita, pikiran kita. Apakah kita bahagia atau tidak bahagia dalam hidup, itu tidak tergantung pada hal-hal di luar kita, tetapi tergantung pada apa yang ada di dalam diri kita.

Situasi, keadaan, dan hal-hal di luar diri kita mungkin tak bisa kita ubah, namun kita selalu bisa mengubah sikap pikiran kita. Kalau kita mau mengubah sikap pikiran kita, maka keadaan di luar kita pun akan ikut berubah. Kalau memang tidak berubah, maka setidaknya kita bisa menatapnya dengan pandangan yang berubah.

Ada sebuah cerita yang bagus sekali untuk mengilustrasikan hal ini.

Seorang petani tua berencana menjual tanah ladangnya yang sudah tak terawat. Ia sudah bosan dengan lingkungan tempat tinggalnya di desa yang terpencil, dan menginginkan bisa tinggal di daerah yang lebih menyenangkan, dengan suasana yang berbeda sebagaimana yang ia bayangkan.

Maka ia pun pergi ke sebuah biro iklan, dan meminta mereka untuk mengiklankan tanahnya yang akan dijual melalui surat kabar. Petugas biro iklan mengunjungi tanah pemukiman petani itu untuk memperoleh data-data buat iklannya. Satu minggu kemudian, iklan itu pun muncul dalam surat kabar dengan kata-kata yang menarik hati.

“Dijual; tanah pemukiman dengan luas dua hektar di daerah sejuk dekat pantai yang indah. Anda bisa membangun rumah besar di sini dengan taman yang alami, karena pohon-pohon besar masih terdapat di tanah ini. Anda juga bisa menjadikannya sebagai tempat berlibur karena daerah ini masih bebas polusi, udaranya bersih, dan suasananya sangat tenang serta nyaman. Anda juga bisa membangun kandang-kandang untuk hewan kesayangan Anda, dan…”

Besoknya, satu hari setelah iklan itu muncul di surat kabar, si petani buru-buru mendatangi biro iklannya, dan meminta mereka untuk membatalkan iklan tersebut.

“Mengapa dibatalkan?” tanya petugas di biro iklan.

“Karena,” jawab si petani dengan gugup, “itulah tempat yang selama ini saya bayangkan bisa saya miliki!”

Kehidupan kita ini terkadang telah memberikan segala hal yang kita inginkan dan kita angankan, hanya saja terkadang pikiran kita tertutup untuk dapat menyaksikannya. Dibutuhkan suatu cara pandang yang lain, dibutuhkan sudut perspektif yang berbeda dan cara berpikir yang baru agar kita bisa melihatnya, untuk kemudian mensyukurinya, dan hidup bahagia di dalamnya.

 
;