Selasa, 04 Mei 2010

Untuk Jiwa Terkasih

Seperti angin, jiwaku mengalir di keheningan. Seperti bintang, ruhku tenggelam dalam sinar, dan terlahir menjadi cahaya setelah melalui kegelapan. Seperti rembulan, pikiranku membisu... hanya diam dan memberikan yang dimilikinya. Akulah angin, akulah bintang, akulah rembulan, akulah anak alam, akulah jiwa yang mencari tempat bersemayam di jiwa Tuhan.

Kehidupan memeluk ragaku, sementara kematian tersenyum kepadaku, dan aku tak pernah bisa melepaskan pesona kematian dari panca inderaku. Apalah arti kematian selain berdiri telanjang di bawah sinar bulan dan menatap langit penuh bintang? Apalah arti kematian selain tersenyum tanpa beban dari debu-debu kehidupan?

Ketika pertama kali menyadari hakikat kehidupanku, aku memanggil-manggilmu... Memanggil-manggilmu dalam tiap tengah malam, dalam setiap keheningan demi keheningan yang kulalui... sendiri... dalam tiap titian hati.

Aku menyadari hidupku tak akan pernah lama lagi, dan aku pun lebih memilih untuk merahasiakan cinta yang ada dalam jiwaku... cinta yang tak pernah kukatakan, cinta yang hanya kuketahui bersama Tuhan. Mengapa harus kunyatakan cinta kepadamu kalau hanya akan merenggutkan tangismu? Mengapa kau harus tahu cinta ini, kalau kemudian akan kutinggal pergi? Mengapa harus kukatakan cintaku kalau kau hanya akan menangisi kematianku?

Bila cinta harus memilih antara kehidupan dan kematian, aku memilih kematian.

....
....

Kau pernah datang dalam hidupku, sekian waktu, sekian abad, sekian milenium yang lalu. Dan kuyakin aku akan tetap mencintaimu, sekian waktu, sekian abad, sekian milenium yang akan datang—saat yang akan kembali mempertemukanku denganmu.

Aku tak pernah takut kehilanganmu, karena bagaimana aku bisa merasa takut jika kematian pun tersenyum kepadaku? Bagaimana aku harus merasa kehilanganmu jika aku tahu kau hanya diciptakan untukku?

Kau tak akan pernah tahu sedalam apa rasa cinta yang kurasakan—karena aku tak akan pernah menyatakannya kepadamu... karena pernyataan cinta itu hanya akan merenggutkan tangismu dan mendera rasa beratku untuk meninggalkanmu.

Jadi inilah pernyataan cintaku, hei jiwa lembut yang pernah mengetuk-ngetuk dinding hatiku. Jadi inilah ungkapan kasihku, hei kekasih yang pernah mengusik-usik kerinduanku. Inilah tanganku, rengkuhlah dengan halusnya jemarimu. Inilah bibirku, ciumlah dengan manisnya kecupanmu. Inilah mataku, tataplah dengan keteduhan pandanganmu. Inilah tubuhku, peluklah dengan kelembutan dekapanmu. Inilah diriku, cintailah jika memang itu hasratmu... namun kau tak akan pernah mampu memiliki aku... karena sayap-sayap kematian telah lebih dulu merengkuhkan jemarinya dalam kehidupanku.

Dan sayap-sayap itu kini makin dekat... makin mendekat... ia turun dari langit untuk menjumpaiku... melepaskan hidupku dari dirimu... Aku tahu, sebagaimana kau akan kehilanganku, aku pun akan kehilanganmu.

Jika cinta harus memilih antara kehidupan dan kematian, aku memilih kematian. Di dalam kematian, aku mendekap keabadian.

 
;