Kamis, 20 Mei 2010

Buat Teman-teman, nih…



Pertama-tama (yup, jadi ingat sambutan politikus) saya atas nama penulis, pemilik dan pengelola blog ini, mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya atas semua email, komentar atau celoteh apapun yang telah dikirimkan ke alamat email saya. Oke, ini mungkin terdengar tidak penting, tetapi saya ingin kalian tahu bahwa beberapa hari ini inbox email saya sudah hampir meledak karena banyaknya email yang masuk—dan saya benar-benar berterima kasih atas respon kalian yang luar biasa.

Dua hari kemarin saya benar-benar tidak melakukan apa-apa selain membaca email kalian satu persatu, mempelajari dan menikmatinya. Karenanya, melalui posting kali ini, saya ingin memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan penting kalian.

Mengenai komentar untuk setiap post di blog ini—sekali lagi saya ingin menyatakan bahwa saya sengaja meniadakan komentar dari pembaca atau pengunjung blog ini. Penjelasan mengenai hal ini sudah saya tuliskan di post berjudul Blog yang Hening. Jadi buat teman-teman yang ingin sekali berkomentar untuk post yang saya tulis di sini, silakan kirimkan komentar langsung via email.

Pertanyaan lain—mengapa ada tanggal posting yang sama? Salut untuk yang memperhatikan hal ini. Saya memang blogger yang malas. Terkadang saya memang tidak memposting tulisan setiap hari atau satu post perhari. Ada kalanya saya memposting beberapa post sekaligus untuk beberapa hari ke depan. Biasanya itu dikarenakan saya ada kegiatan lain yang tidak memungkinkan saya online, sehingga saya menyiasatinya dengan memposting beberapa tulisan sekaligus untuk beberapa hari ke depan.

Karenanya, untuk membaca semua posting yang ada di blog ini dalam setiap bulannya, jangan perhatikan posting utama saja, tapi perhatikan juga judul-judul post yang ada di side bar (halaman samping) untuk memastikan kalian sudah membaca semua post yang ada dalam setiap bulan. Intinya, saya akan berusaha melakukan posting sejumlah hari dalam satu bulan berjalan—meski tidak teratur setiap hari.

Kemudian mengenai usulan kalian agar saya banyak-banyak bikin post soal belajar menulis—don’t worry! Sepertinya ini nih permintaan terbanyak menyangkut posting. Oke, saya akan usahakan untuk memenuhi permintaan ini, dan juga akan berupaya untuk membahas setiap pertanyaan yang telah masuk. Saat ini sudah banyak sekali pertanyaan seputar kepenulisan yang masuk lewat email, dan saya berencana untuk menjawab serta membahasnya satu persatu di blog ini. Jadi tunggu saja.

Betewe, pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kepenulisan yang saat ini sudah masuk juga sepertinya sangat variatif dan menyentuh banyak hal, sehingga nantinya dapat menjadi seri posting yang menarik untuk dipelajari. Sekali lagi, oke, saya akan memenuhi permintaan ini, dan nantinya kita akan belajar bersama all about writing di blog ini. Dari cara menulis, hal-hal yang berhubungan dengan dunia kepenulisan, kisah tentang buku dan para penulis, sampai soal penerbitan dan banyak hal lainnya. I promise. Ini akan menjadi pengalaman belajar yang pasti akan mengasyikkan!

Terus…apa lagi ya? Oh ya, ada banyak teman yang bilang kalau post-post di blog ini sering ‘dikopi-paste’ di tempat lain, entah di blog, di notes Facebook dan lain-lain. Untuk hal yang satu ini…saya harus bilang apa…?

Buat teman-teman yang mengkopi post-post di blog ini untuk ditampilkan di tempat lain, saya mengucapkan terima kasih atas penghargaan kalian. Kenyataan bahwa kalian membawa catatan saya untuk dibaca di tempat lain adalah bukti kepercayaan kalian kepada saya—dan, sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih untuk itu. Hanya saja, agar pembaca setia blog ini tidak bingung, dan agar kalian juga lebih nyaman, tolonglah untuk menyebutkan sumber post yang kalian salin itu. Kalian tidak perlu memberikan link ke blog ini—cukuplah cantumkan nama blog ini sebagai sumbernya. Oke, pal…?

Kemudian, berbagai masukan dan saran kalian untuk isi posting—wah, kalau ini agak repot untuk memenuhinya secara cepat. Seperti yang pernah saya tuliskan di post beberapa waktu yang lalu, ternyata pembaca blog ini sangat beragam—dari berbagai usia, dari anak-anak SMA sampai bocah-bocah yang sedang melanjutkan S2. Karena beragamnya pembaca, maka tentunya permintaan yang masuk pun jadi beragam pula. Sepertinya saya tidak akan mampu jika harus memenuhi semuanya, apalagi secara cepat.

Jadi, begini saja. Saya akan berupaya untuk menjawab dan membahas setiap pertanyaan kalian yang masuk ke email saya, namun saya akan membahasnya dengan gaya seperti biasa—tidak terlalu rumit, tapi juga tidak terlalu menggampangkan. Oke? Sepakat ya…? Bagus! Hehe…

Lanjut lagi. Bagi teman-teman yang selama ini sudah banyak memberikan masukan, saran dan juga pertanyaan lewat email—jawabannya tak jauh beda dengan yang di atas. Saya akan berupaya memenuhi semua permintaan kalian di blog ini, tetapi tolong bersabarlah, karena tentunya semuanya harus antri. Saya juga harus memilah-milah mana-mana topik atau pertanyaan yang harus secepatnya dibahas dan mana yang sekiranya bisa ditunda—ya, ya, tentu saja ini subjektif, dan (kalau boleh jujur) juga tergantung mood saya. Hehe lagi…

Terakhir, dan ini adalah KABAR GEMBIRA buat kita semua, aduh…saya jadi agak deg-degan nih… Blog ini akan dibukukan! Saya ulangi, BLOG INI AKAN DIBUKUKAN…!

Pada mulanya, ide ini juga datang dari teman-teman yang sudah ‘gemas bukan main’ dengan post-post kontemplatif di blog ini dan meminta agar saya membukukannya biar lebih mudah dibaca dan dipelajari.

Oke, sekarang permintaan kalian ini pun sudah hampir terpenuhi. Saya sudah menulis ulang post-post kontemplatif di blog ini, dan menyusunnya menjadi sebuah buku yang bisa dibaca dan dinikmati secara utuh. Saya juga melengkapi naskahnya dengan catatan-catatan kontemplasi lain yang sama sekali belum pernah diposting di blog ini. Saat ini Penerbit Elex Media Komputindo (Kompas-Gramedia Group) sudah siap untuk menerbitkannya. Nanti, seperti biasa, sampul dan sinopsis bukunya akan saya posting di sini kalau bukunya sudah terbit.

So, buat teman-teman semua, sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih, matur nuwun, horas, ya’ahowu, muchas gracias, namaste, syukron katsir, kamsia, thank you...!!!


Abadilah Engkau

Lestarilah setiap rindu yang kukirimkan untukmu
Abadilah engkau terpahat dalam mimpi-mimpiku

Wasiat Kasih



Kalau kau telah berhasil menemukan seseorang yang merupakan cinta sejatimu; yang ingin kau jadikan teman hidup seumur hidupmu; yang merupakan inspirasimu menuju masa depan; yang menjadikan hidup ini terasa lebih berarti dan terasa semakin bermakna untuk dijalani; yang merupakan pusat kehidupanmu; yang menarik, baik dalam fisik maupun dalam perilaku dan pemikiran; yang dapat ikut tertawa denganmu, menangis bersamamu; yang mencintaimu dengan sepenuh hatinya; yang ingin bekerja bersama-sama dirimu membentuk kedamaian, cinta dan kekuatan; yang memenuhi dirimu masing-masing dengan keteduhan, maka yakinilah bahwa kau sungguh beruntung dan terberkati.

Dan jika tidak...?

Itu hanyalah berarti bahwa kau belum mendapatkannya.


Tempat yang (Terlalu) Indah



Melihatnya berkali-kali, dan melihatnya lagi berkali-kali, tetap saja aku mengakui dan meyakini bahwa ini tempat yang indah—terlalu indah. Tak seharusnya ada tempat yang terlalu indah seperti ini. Karena, orang akan terlupa pada esensinya dan hanya mengagumi keindahannya. Karena, kita akan terlena dengan kulitnya dan terlupa pada isinya. Tempat yang terlalu indah ini berbahaya—menurutku, terlalu berbahaya.

Ada juga yang tidak terlalu indah seperti itu—aku mengakui. Tetapi tetap saja, tempat itu tetap indah. Dan bukankah keindahan itu sesuatu yang relatif? Jadi meski ada yang menyatakan di sini tidak indah atau di sana kurang indah, tetap saja semuanya terlalu indah—karena relativitasnya.

Kemarin, hari ini, esok atau kapan pun, aku akan selalu melihatnya, bahkan mengunjunginya. Ya, ya, tempat itu—tempat yang terlalu indah itu. Bahkan kalau pun aku tidak datang, maka tempat itu yang akan datang kepadaku, atau memanggil-manggilku, dan menggodaku, dan…aku terlena lagi dalam keindahannya. Tidak seharusnya tempat seindah itu. Tidak seharusnya…

Jadi aku tak pernah paham. Apakah yang tersimpan di sini, di tempat ini, hingga dibuat seindah itu. Rahasia apakah yang sebenarnya ada di sini? Jangan-jangan semua ini hanya jebakan—yeah, katakan saja semacam daging segar yang dipasang dalam perangkap tikus. Kau akan tergoda saat melihatnya, tetapi kemudian kau akan terkurung sampai mati begitu mencoba menyentuhnya.

Kemana pun saja kaki melangkah dan kemana saja mata memandang, tempat itu tetap ada—dimana-mana, beserta keindahannya. Oh, tempat yang terlalu indah, bukan? Kita tahu—dan kemudian kita berperang memperebutkan tempat itu. Keramat atau keparat…? Yang kukhawatirkan kalau kita semua ternyata tertipu—memperebutkan keindahannya semata-mata, tetapi terlupa pada esensi tempatnya.

Ada pula yang telah tergila-gila pada tempat itu—yeah, kebanyakan begitu—dan kemudian membangun cukup banyak tempat yang (terlalu) indah seperti itu. Tak tahulah apa yang ada dalam kepalanya, tapi kupikir mungkin itu karena ada semacam rasa ekstase—perasaan sakaw secara mental dan spiritual kalau tak melakukannya. Ya, ya, ada cukup banyak yang seperti itu. Bahkan, terkadang, aku juga begitu. Atau ingin begitu.

Tempat ini terlalu indah. Oh, sialan, mengapa ada tempat yang seindah itu…? Dan tidak berhenti di sini saja, keindahan itu terus bertumbuh—dari waktu ke waktu, bahkan dari niscaya ke niscaya. Entahlah, apa sesungguhnya yang dimaksud di sana. Sepertinya ada firman tersembunyi di dalamnya, yang hanya dapat kau temukan kalau kau telah memasukinya—entahlah. Aku hanya tahu kalau itu tempat yang terlalu indah, yang menurutku tidak seharusnya begitu.

Tetapi, well, bagaimana kalau tempat itu tidak (terlalu) indah seperti itu?

Uh, oh, itulah mengapa aku bertanya-tanya sendiri dari tadi.

Ada yang bisa menjawabku, mengapa ada tempat yang terlalu indah seperti itu?


Kepada Cinta Aku Percaya



Aku menulis kata cinta
Pada pasir pesisir pantai
Ombak yang datang menghapuskannya
Namun aku tak pernah peduli
Aku kembali menuliskan cinta di pasir itu
Meski ombak kembali menghilangkannya

Aku terus menuliskan cintaku meski terhapus
Karena aku tahu bahwa yang penting
bukan berapa banyak yang telah terhapus
Namun berapa banyak yang telah kutuliskan

Aku menanam bunga cinta
Di tanah gersang, subur dan tandus
Angin yang kencang menerbangkannya
Namun aku tak pernah menghiraukan
Aku kembali menanamnya
Meski angin kembali menghancurkannya

Aku terus menanam bunga-bunga cinta
Karena aku yakin bahwa yang penting
bukan berapa banyak yang mati
Namun berapa banyak yang kutanam

Aku mengirimkan ketulusan cinta
Pada hati siapapun yang kutemui
Kenaifan mungkin menepiskannya
Namun aku selalu tersenyum
Aku kembali mengirimkan ketulusan cinta
Meski kutahu cintaku belum tentu terbalas

Aku terus mengirimkan cinta meski tak terbalas
Karena aku memahami bahwa yang penting
bukan berapa banyak yang kuterima
Namun berapa banyak yang kuberikan


Kau

Kau bukan milik siapapun
Jadilah dirimu sendiri

Rabu, 19 Mei 2010

Dari Mana Datangnya Ide

"Dari mana sih datangnya ide untuk menulis? Bagaimana cara mendapatkan ide untuk sebuah tulisan?" Itu pertanyaan yang biasa muncul dalam benak banyak orang.

Ide untuk tulisan itu gampang-gampang susah dalam mendapatkannya. Ada kalanya ide mudah ditemukan, bahkan di saat-saat tak terduga, tapi ada kalanya pula ide susah didapatkan meski pikiran dan hati sudah siap menangkapnya, meski kita sudah berjam-jam duduk di depan layar komputer dan siap menuliskannya. Tidak jarang seorang penulis bengong di depan laptop atau di depan komputer dan hanya dapat bertanya-tanya, “Uh-oh, mau menulis apa ya…?”

Saya sendiri kadang mengalami saat-saat semacam itu. Tidak jarang saya duduk bengong di depan komputer sampai berjam-jam tanpa tahu apa yang akan saya tulis, tanpa mampu menemukan apa pun yang dapat saya tulis. Otak seperti kosong. Tak ada ide. Tak ada apa pun yang sepertinya cukup bagus atau cukup menarik untuk ditulis—dan… waktu itu pun saya bertanya-tanya dalam hati, dari mana sih sebenarnya ide bisa datang?

Para penulis senior sering kali menyarankan agar kita selalu menyiapkan kertas dan polpen kemana pun pergi, dan dimana pun berada. Karena, menurut mereka, ide bisa datang dari mana saja—dan begitu ia datang, kita pun telah siap menuliskannya, setidaknya menuliskan ide itu hingga tidak lupa lagi. Apakah saran ini efektif? Sebenarnya, saran ini efektif. Hanya saja, kita kadang tidak mau repot membawa-bawa kertas dan polpen, apalagi repot-repot menulis di sela-sela aktivitas atau kesibukan.

Sebenarnya, saat ini kendala semacam di atas sudah cukup teratasi. Sekarang, para penulis tidak perlu lagi membawa-bawa kertas dan polpen untuk menuliskan ide yang datang, karena ponsel atau laptop atau netbook atau bahkan iPhone dapat menggantikan fungsi kertas dan polpen. Tetapi, semuanya kembali lagi pada niat si orang bersangkutan. Jika malas menuliskannya, tetap saja semua sarana dan ide yang datang tak akan berguna.

Well, ide sebenarnya bisa datang dari mana saja. Saat pergi ke suatu tempat, saat membaca sebuah buku, saat bersama seseorang, saat mengunjungi sebuah acara, atau dalam kesempatan apa pun—ide bisa saja datang untuk kemudian dijadikan bahan tulisan. Sesungguhnya, yang diperlukan untuk menangkap ide adalah kesiapan pikiran—dan hati. Ide muncul dari mana saja, melayang di atas kepala siapa pun, tetapi hanya yang siaplah yang akan dapat menangkapnya, pikiran dan hati yang terbukalah yang akan mampu memperolehnya.

Ketika pertama membuat blog, saya sebenarnya juga panas-dingin karena berpikir, apa saya bisa menulis setiap hari? Meskipun telah cukup terbiasa menulis, tetapi saya tetap merasa tidak yakin dapat menulis secara teratur—karena ide menulis itu tidak datang setiap hari. Ada kalanya ide datang melimpah, namun ada kalanya pula sungai ide itu mengering, dan saya tidak lagi mampu mendapatkannya. Tetapi, ketika akhirnya memberanikan diri membuat blog, ide menulis itu sepertinya datang terus-menerus, tak pernah berhenti—setidaknya sampai saat ini.

Ketika membaca email-email yang masuk, misalnya, saya mendapatkan banyak masukan, saran ataupun pertanyaan yang dapat dijadikan ide untuk tulisan sebuah posting. Inbox email saya bisa dikatakan seperti mata air ide yang tak pernah kering—karena dari sana saya dapat memperoleh banyak ide penulisan yang sebelumnya bahkan belum pernah saya bayangkan. Kalau dulu saya biasa menjawab email yang datang secara personal, sekarang saya bisa memberikan jawabannya melalui posting di blog—termasuk posting ini.

Saya juga banyak mendapatkan ide dari buku-buku atau media lain yang saya baca—atau ketika saya memaksa diri untuk diam dan berpikir. Ketika melihat sesuatu yang aneh atau unik, saya juga dapat memperoleh ide dari situ. Jadi, sekali lagi, ide sesungguhnya bisa datang dari mana saja—selama kita mau membuka mata, menata pikiran, dan menyiapkan hati.

Mungkin ide tidak turun dari langit, tetapi ia akan mendatangi siapa saja yang memang telah menantikannya. Jika kita menginginkan sesuatu, alam semesta akan mendengarkannya. Dan jika kita memang sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, alam semesta akan memberikannya.

Begitu pula dengan ide.

Mengapa Orang Menulis

Apa yang memotivasi orang untuk menulis?

Ada banyak alasan dan motivasi yang menggerakkan orang menulis. Di antara banyaknya alasan dan motivasi itu, ada tiga hal yang bisa dianggap sebagai penyebab atau motivasi terbesar. Pertama adalah uang, kedua adalah popularitas, dan ketiga karena memang ingin menulis.

Di luar hal itu tentu masih ada alasan atau motivasi lain hingga seseorang menulis—misalnya karena tuntutan pekerjaan atau upaya meningkatkan jenjang karir—tetapi ketiga alasan di atas itulah yang selama ini dianggap sebagai alasan terbesar dalam pikiran para penulis yang kemudian karya-karyanya diterbitkan. Kita akan mempelajarinya satu per satu.

Motivasi pertama, yakni karena uang. Ada cukup banyak penulis yang menulis dengan motivasi utama untuk mendapatkan uang. Lebih tepat lagi; untuk mendapatkan banyak uang. Tentu sah-sah saja kalau menulis dengan motivasi seperti itu, toh aktivitas menulis memang dapat dijadikan profesi yang memberikan penghasilan—setidaknya penghasilan tambahan. Penulis yang menulis dengan motivasi uang juga tidak selamanya karyanya tidak berkualitas. Uang hanyalah motivator dalam berkarya—berkualitas atau tidaknya sebuah karya tidak sepenuhnya bergantung pada motivatornya.

Motivasi kedua, yakni ingin terkenal, juga banyak menjadi alasan yang mendasari orang menulis. Menulis, khususnya menulis buku, adalah kerja dengan faktor kali. Kita hanya menulis satu kali, tetapi kemudian tulisan itu diterbitkan dalam bentuk buku dalam jumlah ribuan eksemplar.

Umpamakan saja buku karya kita diterbitkan sejumlah lima ribu eksemplar, dan semuanya habis, maka setidaknya ada lima ribu orang yang akan mengenal kita—minimal mengenal nama kita. Belum lagi kalau kemudian buku itu dicetak ulang, belum lagi kalau kita terus menerbitkan karya yang lain. Semakin banyak menulis, semakin sering buku kita diterbitkan, semakin banyak pula orang yang akan mengenal kita. Jika ada jalan untuk menjadi terkenal, menulis adalah salah satunya.

Kemudian motivasi ketiga, yakni karena memang ingin menulis. Orang yang menulis dengan motivasi ini biasanya tidak peduli apakah akan menghasilkan uang dari tulisannya atau tidak, tak peduli apakah namanya akan dikenal karena tulisannya atau tidak—dia hanya ingin menulis. Tak peduli akan ada penerbit yang mau menerbitkan karyanya atau tidak, tak peduli apakah ada orang yang membaca tulisannya atau tidak—dia akan terus menulis. Motivasi semacam ini biasanya keluar karena dorongan hati—sebuah keinginan yang tak bisa dilakukan dengan cara lain, sebuah hasrat yang hanya dapat tersalurkan dengan cara menulis.

Di antara ketiga motivasi di atas, manakah yang lebih baik? Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk—semuanya benar, dan sah. Orang bisa melakukan sebuah pekerjaan yang sama namun dengan motivasi berbeda, begitu pula halnya dengan menulis. Ketika kita memutuskan untuk menulis—atau menulis sesuatu—kita pun berhak untuk menggunakan motivasi apa saja, entah karena ingin mendapatkan uang, karena ingin memperoleh popularitas, ataupun karena semata-mata ingin menulis.

Lebih dari itu, ketika sebuah tulisan akhirnya diterbitkan atau dibaca orang lain, pada akhirnya yang menentukan bukan lagi motivasi penulisnya semata-mata, tetapi lebih pada kualitas tulisannya. Karenanya, silakan saja menulis dengan motivasi ingin banyak uang, atau karena ingin terkenal, atau karena apa pun—tetapi, yang lebih penting dari itu, menulislah dengan sepenuh kesungguhan, menulislah sebaik yang kita bisa. Apa motivasi kita tak pernah penting bagi pembaca, karena yang penting bagi pembaca adalah hasil dari karya kita.

Jadi, sudah siap untuk menulis…?

Aku

Aku adalah binatang yang terluka
Jerit rintih di kelam malam
Lolong serigala pada rembulan

Bagaimana Ramalan Diciptakan (4)



Hakikatnya, ramalan dibuat berdasarkan siklus pengulangan—sesuatu yang telah terjadi berulang-ulang kali—hingga orang pun kemudian menjadi tahu gejalanya. Seperti ramalan cuaca, umpamanya. Orang seringkali mengatakan (atau lebih tepatnya meramalkan) bahwa bulan Desember-Januari adalah musim penghujan. Mengapa mereka bisa meramalkan seperti itu? Karena selama puluhan tahun hal itulah yang terjadi. Selama puluhan tahun hujan selalu saja turun di bulan-bulan itu. Karena ada siklus pengulangan, maka orang pun kemudian bisa meramalkan.

Nah, salah satu warisan berharga dari nenek moyang kita adalah ramalan ini. Selama ratusan tahun nenek moyang kita hidup dengan memperhatikan gejala alam, siklus perputaran hidup, dan juga ‘kebiasaan’ yang terjadi ketika sebuah kepribadian bertemu dengan kepribadian yang lain. Di dalam perspektif orang Jawa, hal semacam itu disebut sebagai ‘ilmu titen’ atau pengetahuan yang disadap secara alami karena tekun memperhatikan.

Pada awalnya, ilmu atau pengetahuan yang didapat dengan cara itu hanya disampaikan dari mulut ke mulut—selama ratusan tahun—hingga kemudian literatur menuliskannya dalam bentuk tulisan. Dalam perspektif modern, literatur semacam itu mungkin terkesan tidak ilmiah, tetapi orang-orang mempercayainya, karena hal itu telah teruji selama ratusan tahun.

Lebih dari itu, pengetahuan atau keyakinan orang atas sesuatu karena ketekunan memperhatikan bukan hanya terjadi pada orang Jawa. Masyarakat Chaldean di Babilonia juga melakukan hal yang serupa, dan pengetahuan yang mereka sadap dari pengamatan yang amat tekun itu kemudian terkenal dengan istilah ‘ilmu astrologi’. Hal itu bahkan telah dilakukan semenjak tiga ribu tahun sebelum Masehi.

Sementara masyarakat Cina juga melakukan hal yang sama semenjak dua ribu tahun sebelum Masehi, dan mereka bahkan secara lebih jauh mengembangkan astrologi dengan prinsip-prinsip kepribadian manusia, dimana pengetahuan yang didasarkan atas pengamatan ini kelak disebut sebagai ‘cap dji shio’ atau yang sekarang lebih terkenal dengan istilah ‘shio’ saja. Hal serupa itu juga terjadi pula di suku-suku Indian kuno ataupun pada suku-suku bangsa Maya di Amerika Tengah, juga pada suku Aztec kuno dan ratusan masyarakat lain di muka bumi.

Kemudian, lima ratus tahun sebelum Masehi, bangsa Yunani juga mulai mengembangkan pengetahuan yang sama, dimana Plato dan Phytagoras saat itu begitu sibuk menuliskan ramalan-ramalan mereka atas pengetahuan yang mereka sadap dari siklus pergeseran letak bintang-bintang yang berulang.

Jauh-jauh hari sebelum itu, sebelum Plato dan Phytagoras di Yunani sibuk mengamati peredaran bintang dan pergeseran antar planet, masyarakat Mesopotamia bahkan telah melakukan hal itu semenjak dua ribu tahun sebelum Masehi, dan mereka bahkan telah memberikan nama-nama bagi rasi bintang yang saat ini dikenal dengan sebutan ‘zodiak’.

See...? Semuanya adalah ramalan, sesuatu yang berasal dan bermula dari pengamatan atas siklus yang berulang. Tetapi pengetahuan atas hal itu telah teruji selama ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, bahkan semenjak tahun Masehi belum diciptakan. Orang mengamati, memperhatikan, mencermati dan kemudian melihat bahwa ada satu siklus tertentu yang terus berputar dan berulang—dan dari situlah kemudian orang membuat ramalan-ramalan.

Ramalan atas zodiak (yang didasarkan pada tanggal dan bulan lahir), ramalan atas shio (yang didasarkan pada tahun kelahiran dan watak dasar manusia), ramalan atas weton (yang didasarkan pada hari pasaran orang Jawa), ramalan atas numerologi (yang didasarkan pada perhitungan misteri matematika), ramalan atas feng shui (yang didasarkan pada elemen kelahiran seseorang) dan segala bentuk ramalan lain, hakikatnya adalah refleksi atas pengamatan siklus yang berulang. Begitu pula dengan ramalan-ramalan yang dikaitkan dengan kepribadian seseorang—itu semua juga didasarkan pada sandaran yang sama.

Jadi, meskipun pengetahuan atas ramalan bukanlah pengetahuan yang eksak dan penuh kepastian, namun pengetahuan atas hal itu telah teruji selama ribuan tahun sehingga orang mempercayainya. Tetapi, terlepas dari benar-tidaknya ramalan, terlepas dari positif-negatifnya efek ramalan dan terlepas dari bagaimana sikap serta kepercayaan orang atas suatu ramalan, langkah paling bijak dalam menghadapi suatu ramalan adalah dengan menempatkannya sebagai sebuah pengetahuan. Lebih dari itu, orang mempelajari ramalan pun bukan untuk dijadikan sebagai acuan yang pasti dalam melangkah atau melakukan sesuatu, namun lebih pada upaya persiapan dalam menghadapi sesuatu.

Yang lebih penting dari itu, fungsi ramalan juga mengajak kita untuk bercermin dan melihat diri, untuk melakukan koreksi dan introspeksi, untuk secara jernih dan objektif melihat dimana kelebihan yang kita miliki untuk kita pertahankan dan kita kembangkan, dan mana kelemahan yang kita miliki untuk kita perbaiki atau bahkan kita hilangkan. Ramalan yang bagus mungkin benar—dan kita patut merayakannya. Namun jika ramalan terdengar buruk, maka kita dapat mengubah ramalan itu dengan cara mengubah sesuatu yang mungkin juga buruk yang ada pada diri kita.

Selamat meramal—semoga harimu menyenangkan...


Bagaimana Ramalan Diciptakan (3)



Salah satu hal yang tidak pernah membosankan meski telah dikonsumsi orang berulang-ulang kali adalah ramalan. Orang seperti ‘kecanduan’ dengan ramalan, sehingga setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan mereka akan mengecek ramalan nasib kehidupannya, baik melalui ramalan zodiak, shio ataupun yang lainnya. Sebegitu tergantungnya orang pada ramalan, hingga ada begitu banyak orang yang sampai berlangganan layanan ramalan harian via ponsel demi untuk dapat selalu ‘memantau’ keadaan hidupnya setiap saat.

Mengapa orang merasa butuh dengan ramalan…?

Jika ditinjau dari sudut pandang yang ilmiah—terlepas dari keyakinan orang terhadap suatu ramalan—orang memerlukan ramalan karena membutuhkan semacam ‘pegangan’ dalam mengarungi kehidupan yang dianggap tak pasti ini. Ramalan menjadi semacam ‘panduan’ dalam menghadapi setiap hari yang dilewati, setiap waktu yang akan dihadapi. Selain itu, ramalan juga menjadi semacam sandaran untuk melakukan antisipasi terhadap kemungkinan negatif yang mungkin akan terjadi, sekaligus sebagai penyegar semangat atas harapan positif untuk sesuatu yang mungkin akan terjadi.

Ketika orang membaca ramalan mingguannya, misalnya, dan kemudian mendapati bahwa ramalannya mengatakan bahwa selama seminggu ke depan dia akan memperoleh sesuatu yang menyenangkan, maka orang itu pun akan menjalani kehidupannya seminggu ke depan dengan perasaan yang bahagia, optimis dan juga penuh harap. Jika ramalan itu tepat seperti yang digambarkan, maka dia akan semakin bersyukur. Namun jika tidak, maka setidaknya dia telah menjalani kehidupan dengan hati yang senang.

Begitu pula sebaliknya. Ketika seseorang membaca ramalan mingguannya dan mendapati bahwa ramalannya seminggu ke depan akan penuh dengan masalah, maka orang pun akan dapat mempersiapkan mental, hati serta jiwanya untuk menghadapi masalah yang mungkin ada sebagaimana yang dinyatakan oleh ramalan itu. Jika ramalan itu terbukti benar, dia telah mempersiapkan dirinya dengan segala antisipasi. Dan jika ternyata ramalan itu keliru, dia pun tidak akan menyesali antisipasinya—setidaknya dia telah berlaku hati-hati.

Di dalam kerangka semacam itulah mengapa orang (selalu) membutuhkan ramalan, karena mereka membutuhkan semacam pegangan dalam mengarungi ketidakpastian hidup.

Kemudian, seberapa tepatkah sesungguhnya ramalan dalam memprediksi atau meramalkan sesuatu…?

Jawabannya bisa saja relatif—tergantung objek ramalannya. Ramalan atas sesuatu yang pasti dan terukur tentu saja akan menghasilkan kepastian yang sama terukurnya, sama halnya ramalan atas sesuatu yang tidak pasti dan juga tak terukur pun akan membuahkan hasil yang sama.

Mengapa rudal atau peluru kendali dapat melesat dan menancap serta meledak di tempat yang tepat seperti yang diramalkan meskipun rudal itu diluncurkan dari jarak yang bermil-mil jauhnya? Karena rudal itu telah diprogram dengan sedemikian rapi, dengan tingkat ramalan yang begitu tinggi, dan itu didukung dengan posisi garis edar dan koordinat yang begitu pasti. Karena didasarkan pada kepastian dan juga didukung oleh kepastian, maka ramalan atas titik ledak rudal itu pun menjadi mutlak.

Tetapi berbeda halnya dengan ramalan atas sesuatu yang tidak bisa disandarkan pada kepastian yang mutlak semacam itu. Ramalan nasib, misalnya. Ramalan nasib seseorang biasanya disandarkan atas kepribadian dari orang itu. Nah, ini adalah ramalan yang tidak bisa dikatakan memiliki sandaran kepastian yang mutlak, karena orang selalu bisa mengubah kepribadiannya—dan dia memang memiliki kekuatan untuk melakukan hal itu. Karena orang bisa saja mengubah kepribadiannya, maka ramalan nasib yang disandarkan atas kepribadiannya itu pun bisa berubah.

Masih tertarik membaca kelanjutannya? Silakan lanjut di post berikutnya.


Bagaimana Ramalan Diciptakan (2)



Nah, sekarang tentang zodiak. Kata ‘zodiak’ berasal dari bahasa Yunani (Zodiakos) yang secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘sekumpulan bintang’. Apa yang disebut sebagai zodiak ini sesungguhnya adalah bidang imajiner dalam ruang langit yang terbentang sekitar delapan derajat di sisi lain ekliptik, suatu pergerakan matahari yang sangat jelas di antara bintang-bintang.

Zodiak kemudian dibagi menjadi dua belas bagian dengan masing-masingnya ditandai dengan nama dan simbol-simbol tertentu, semisal Pisces dengan simbol pembawa ikan, Scorpio dengan simbol kalajengking, dan lain-lainnya. Pemberian simbol-simbol atas zodiak ini dipercaya pertama kali muncul di Mesopotamia pada awal tahun 2000 sebelum Masehi.

Orang-orang Yunani mengadopsi simbol-simbol tersebut dari orang-orang Babilonia dan kemudian menyebarkannya pada peradaban lainnya pada masa itu. Masyarakat Mesir kuno mengadopsi hal itu dan kemudian mereka memberi nama sendiri bagi zodiak-zodiak yang ada, begitu pula dengan masyarakat Cina dan suku Aztec ataupun beberapa suku lainnya di berbagai tempat.

Selama ini, kita mengenal adanya dua belas bintang atau zodiak, namun sesungguhnya ada bintang atau zodiak ketiga belas, yang dinamai ‘Ophiucus’. Banyak orang yang mengira kalau bintang atau zodiak ketiga belas itu baru ditemukan pada masa sekarang ketika masyarakat manusia telah menemukan teknologi canggih bernama teleskop. Tetapi sesungguhnya, keberadaan bintang Ophiucus itu telah dikenal dan diketahui semenjak abad ke-2 atau sekitar 100 tahun setelah Masehi.

Setiap bintang atau zodiak pada umumnya memiliki periode waktu antara 28 sampai 31 hari. Dengan adanya bintang atau zodiak ketiga belas ini, maka susunan tanggal lahir orang dengan bintang tertentu pun kemudian mengalami sedikit perubahan (kalau Ophiucus diikutsertakan). Letak zodiak Ophiucus adalah di antara zodiak Scorpio dan Sagitarius. Berikut ini adalah susunan selengkapnya jika Ophiucus disertakan dalam susunan zodiak:

Capricornus (21 Januari – 16 Februari)
Aquarius (17 Februari – 11 Maret)
Pisces (12 Maret – 18 April)
Aries (19 April – 13 Mei)
Taurus (14 Mei – 22 Juni)
Gemini (23 Juni – 21 Juli)
Cancer (22 Juli – 10 Agustus)
Leo (11 Agustus – 16 September)
Virgo (17 September – 29 Oktober)
Libra (30 Oktober – 23 November)
Scorpio (24 November – 29 Desember)
Ophiucus (30 November – 18 Desember)
Sagitarius (19 Desember – 20 Januari)

Karena masuknya zodiak Ophiucus, maka dapat dibilang bahwa secara keseluruhan zodiak seseorang akan banyak berubah. Orang yang lahir pada tanggal 4 Mei, misalnya, akan berubah berzodiak Aries, dari sebelumnya berzodiak Taurus. Karena itulah kemudian kebanyakan orang di dunia kurang menyukai versi yang baru ini, dan merasa lebih cocok dengan versi ramalan bintang yang lama, yang hanya memiliki dua belas zodiak. Para ahli astrologi pun secara umum tetap berpedoman pada dua belas rasi bintang, meskipun telah lama mengetahui keberadaan Ophiucus.

Sampai di sini, mungkin uraian dua post ini terkesan agak rumit ya? Don’t worry. Dua post setelah ini akan lebih mudah dicerna, karena akan mengulas mengapa orang membutuhkan ramalan, dan mengapa ramalan seringkali mendekati kebenaran. Siap untuk melanjutkan...?


Bagaimana Ramalan Diciptakan (1)



Post ini ditulis untuk memenuhi permintaan beberapa teman yang telah berkirim email, yang meminta agar saya membahas soal ramalan—tentunya dalam perspektif yang ilmiah—dari alasan mengapa ramalan dibuat dan diciptakan, sampai mengapa ramalan seringkali mendekati kebenaran. Tentunya dibutuhkan penjabaran yang sangat luas untuk membicarakan hal ini, karenanya saya akan membatasi topik ini pada poin-poin pentingnya saja, sehingga ulasan mengenai hal ini tidak sampai menyita banyak posting di blog ini. Ready…?

***

Salah satu rubrik yang sangat digemari di majalah-majalah atau di media-media populer, seperti tabloid mingguan, adalah ramalan zodiak. Orang-orang sepertinya selalu ingin tahu bagaimana nasib zodiaknya untuk minggu ini atau bulan ini, dan karena itulah ramalan melalui zodiak bisa dikatakan sebagai ramalan paling populer di antara berbagai bentuk ramalan yang lainnya.

Tentu saja masing-masing zodiak memang memiliki watak dan karakter yang berbeda, sekaligus juga akan menarik ‘nasib’ yang berbeda pula dalam pergerakan hidupnya. Para astrolog mempercayai bahwa posisi badan astronomis ada pada moment atau waktu yang pasti dari kelahiran seseorang, dan gerakan-gerakan berikutnya dari badan astronomis ini akan dapat merefleksikan karakter dari seseorang, begitu pula dengan pergerakan nasibnya.

Sesungguhnya, popularitas astrologi sudah terjadi semenjak beribu-ribu tahun yang lalu. Masyarakat Chaldean yang hidup di Babilonia telah mengembangkan ilmu astrologi semenjak 3000 tahun sebelum Masehi. Sementara masyarakat Cina mulai mempraktekkan astrologi pada 2000 tahun sebelum Masehi. Hal itu juga terjadi pula di suku-suku Indian kuno ataupun suku-suku bangsa Maya di Amerika Tengah.

Orang-orang yang telah menggunakan astrologi untuk mengetahui ‘apa yang akan terjadi’ ini telah mengamati bahwa badan-badan astronomis tertentu, khususnya matahari, mempengaruhi perubahan musim dan juga tingkat kesuburan tanah pertanian. Berdasarkan observasi-observasi inilah mereka kemudian mengembangkan sebuah sistem yang lebih luas dengan mengeksplorasi gerakan-gerakan dari badan-badan astronomis yang lain, semisal planet-planet yang mempengaruhi atau yang merepresentasikan aspek-aspek tambahan dari kehidupan.

Kemudian, pada tahun 500 sebelum Masehi, astrologi semakin berkembang secara luas, khususnya di Yunani, karena pada saat itu para filsuf semacam Plato dan Pythagoras telah menggabungkannya dengan kajian-kajian astronomi, bahkan dengan keyakinan agama. Astrologi kemudian dipraktekkan secara luas di Eropa pada Abad Pertengahan, meskipun pada waktu itu ditentang oleh St. Augustine yang kala itu menjabat sebagai Uskup Agung di Canterbury.

Sampai pada tahun 1500-an, banyak ilmuwan yang memandang astrologi (dan juga astronomi) sebagai ilmu pelengkap. Pada kurun waktu itu, berbagai penemuan dibuat oleh para astronom seperti Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus.

Di dalam astrologi, para astrolog menciptakan bagan yang disebut sebagai ‘horoskop’, yang berfungsi untuk memetakan posisi dari badan astronomis pada waktu tertentu, semisal ketika seseorang dilahirkan. Sebuah horoskop diilustrasikan dengan sebuah lingkaran yang disebut sebagai ekliptik (ecliptic). Apa yang disebut ekliptik ini adalah bidang dimana orbit bumi mengelilingi matahari dalam waktu satu tahun.

Ekliptik dibagi menjadi dua belas bagian, yang disebut sebagai tanda-tanda zodiak. Dua belas bagian itulah yang kemudian dinamai Aquarius, Pisces, Gemini, Aries, Taurus, Leo, Cancer, Scorpio, Libra, Virgo, Capricornus dan Sagitarius.

Para astrolog kemudian menandai setiap planet—yang dalam hal ini mencakup bulan dan matahari—dengan sebuah tanda khusus, yang bergantung pada dimana planet itu terlihat pada ekliptik pada waktu horoskop itu masuk. Setiap planet merepresentasikan perilaku dasar manusia, dan setiap tanda akan mewakili seperangkat karakteristik manusia. Karenanya, ketika para astrolog menunjuk seseorang dengan sebuah tanda tertentu, misalnya Aries atau Pisces, maka sesungguhnya mereka sedang mengacu pada tanda matahari seseorang, yaitu tanda bahwa matahari berkuasa atas waktu kelahiran seseorang.

Jadi, horoskop adalah ilustrasi dari posisi matahari, bulan dan juga planet-planet dari posisi garis lintang dan garis bujur bumi pada suatu moment tertentu, yang dalam hal ini adalah moment kelahiran seseorang. Konstruksi horoskop ini didasarkan pada sistem Ptolemaic (berasal dari nama Ptolomeus atau Ptolemy, seorang ahli astrologi Mesir) yang di dalamnya bumi tidak berubah dan badan-badan langit bergerak mengelilinginya dalam pola yang tetap.

Para astrolog juga membagi langit ke dalam 12 (dua belas) bagian, yang tiap bagiannya diatur oleh sebuah tanda zona zodiak yang berbeda melalui matahari, bulan dan planet-planet yang bergerak dalam dua belas posisi yang tetap yang disebut rumah (home).

Dua belas bagian rumah tersebut menyusun periode 24 jam selama bumi melakukan rotasi pada porosnya. Tiap rumah tersebut berhadapan dengan wilayah kehidupan seseorang, seperti pertumbuhan, tingkat kesehatan, cinta dan pernikahan, pekerjaan, perjalanan, hingga kematian. Nah, dari situ kemudian para astrolog membuat prediksi-prediksi dengan cara menginterpretasikan posisi badan astronomis dalam tanda-tanda dan rumah-rumah horoskop.

Ketika tanda dan rumah partikular tersebut mulai terbentuk, maka karakteristik dari badan-badan langit yang telah dimodifikasi oleh hubungan yang geometris di antara mereka pun mulai dapat digunakan untuk meramalkan segala peristiwa dalam kehidupan seseorang yang memiliki horoskop atau zodiak yang telah digambarkan. Dari situ pulalah kemudian akan terlihat bagaimana sifat dan karakter serta kepribadian seseorang, berkaitan dengan zodiaknya.


Selasa, 11 Mei 2010

Belajar: Bukti Adaptasi Manusia (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Saya percaya dan selalu percaya bahwa hanya pembelajaranlah satu-satunya cara sehat yang dapat ditempuh manusia untuk dapat terus survive menjalani kehidupan yang makin keras dan kompetitif.

Pembelajaran adalah bukti bahwa manusia mau beradaptasi dengan kehidupannya. Pembelajaran adalah bukti bahwa manusia mau menyesuaikan diri dengan perubahan peradabannya. Sebagaimana berjuta-juta tahun lalu dinosaurus punah karena tak sanggup beradaptasi, begitu pun manusia hari ini akan tersingkir dan punah jika tak mau beradaptasi.

Di dalam buku The Road Ahead, Bill Gates, sang pendiri Microsoft, menyatakan, “Di dunia yang terus berubah, pendidikan adalah modal utama bagi seseorang agar bisa beradaptasi. Ketika perekonomian berubah, setiap orang dan kelompok masyarakat yang terdidik dengan baik cenderung melakukan hal yang terbaik. Karenanya, dapatkan keterampilan dan kecakapan baru sepanjang hayat.”

Pikirkanlah fakta yang penting ini: Jika kita hanya mengandalkan tenaga atau fisik semata-mata untuk bekerja, dan kita sudah merasa puas dengan itu, maka mesin-mesin dan robot-robot komputer akan selalu mampu menggantikan tenaga kita—kapan pun waktunya tiba—dan mereka lebih cepat sekaligus lebih kuat dibanding fisik kita. Tetapi, mesin-mesin dan robot-robot itu selamanya tidak akan pernah mampu menggantikan akal pikiran manusia!

Nah, orang terkadang berpikir untuk mencari profesi atau pekerjaan yang aman. Sepertinya, jika kita perhatikan, tidak ada pekerjaan ataupun profesi yang aman.

Mungkin kita berpikir bahwa menjadi karyawan swasta di sebuah perusahaan yang bonavid tergolong aman? Sekarang pertimbangkan hal ini; karyawan swasta yang paling kompeten sekalipun belum tentu aman. Bahkan mungkin terjadi orang yang paling kompeten justru menjadi orang yang paling awal dipecat.

Kalau kita berkarir dari bawah, dan menjalani pekerjaan hingga mendapatkan jenjang demi jenjang yang terus meningkat dalam perusahaan tempat kita bekerja, hingga kemudian menjadi direktur atau bahkan presiden direktur dalam perusahaan itu, kita tentu orang yang sangat kompeten. Tetapi, jika suatu saat terjadi merger, akuisisi, atau perusahaan tempat kita bekerja diambil alih oleh pemerintah, siapakah yang kira-kira akan diganti (dipecat) pertama kali? Benar, presiden direktur dan jajaran direkturnya!

Mungkin kita berpikir bahwa menjadi pegawai negeri adalah pekerjaan yang aman? Sejarah telah membuktikan kepada kita, bahwa ketika masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, dua buah departemen besar (Departemen Sosial dan Departemen Penerangan) dihapuskan, dan ada sekian ribu pegawai negeri yang kehilangan pekerjaannya!

Mungkin kita berpikir bahwa pekerjaan sebagai usahawan atau pedagang adalah pekerjaan yang aman, karena tidak ada pihak yang dapat memecat? Jangan salah sangka. Pedagang pun bisa dipecat. Supplier dan para pelanggan atau konsumen dapat memecat seseorang dari usaha atau perdagangannya! Di kota saya sendiri, ada cukup banyak toko yang tutup karena tak laku, ada banyak usaha gulung tikar karena tak sanggup bertahan dan bersaing, ada banyak perusahaan dan pabrik yang bangkrut karena tak dapat beradaptasi dengan perubahan.

Nah, mungkin kita berpikir bahwa bekerja sebagai seorang profesional akan lebih aman dibanding jenis pekerjaan lain? Jawabannya tetap saja; tidak! Kita bisa melihat bukti-bukti nyatanya. Para artis, atlit, penulis, pemusik, dan para profesional lain pun banyak yang terpaksa berganti pekerjaan yang amat jauh berbeda dari profesinya semula.

Itu adalah ilustrasi-ilustrasi yang mudah kita lihat, untuk membuktikan bahwa tidak ada pekerjaan apa pun yang bisa dianggap aman. Satu-satunya sandaran keamanan yang paling dapat diandalkan adalah diri kita sendiri. Dan kita dapat bersandar pada diri sendiri jika kita mau terus meng-update dan meng-upgrade diri kita dengan pembelajaran yang tanpa henti. Sekali lagi, belajar tanpa henti!

Seperti yang telah dinyatakan di atas, pikiran serta pengetahuan kita harus terus berkembang dua kali lipat dalam waktu 2 sampai 3 tahun. Sebagaimana baterai ponsel, dia harus di-charge untuk dapat terus digunakan. Proses pengisian energi (charge) adalah sesuatu yang tidak menyenangkan karena selama baterai di-charge, kita tidak dapat leluasa menggunakan ponsel. Tetapi itu syarat mutlak untuk dapat terus menggunakan ponsel.

Jika kita malas mengisi energi baterai ponsel kita, dan memilih untuk menelantarkannya, apa yang kemudian terjadi? Kita sudah tahu jawabannya; baterai ponsel akan cepat aus, atau dalam istilah kita, akan nge-drop. Jika baterai sudah aus atau nge-drop, dia sudah tak dapat dipakai lagi. Dia harus dibuang untuk digantikan baterai yang baru.

Brian Tracy, dalam bukunya yang bagus, Maximum Achievement, mengatakan, “Dulu, perbedaan utama antar orang dalam masyarakat adalah antara yang kaya dan yang miskin. Sekarang, perbedaan utamanya adalah antara yang kaya pengetahuan dan yang miskin pengetahuan. Percayalah, masa depan adalah milik mereka yang mampu untuk tetap terus berlatih dan belajar.”

Dulu, hubungan antara karyawan dengan perusahaan tempatnya bekerja seperti hubungan anak dengan orangtua. Tetapi, sekarang, hubungan karyawan atau pekerja dengan perusahaan tempatnya bekerja hanya ditandai sebuah kontrak di atas kertas yang dapat selesai sewaktu-waktu.

Dulu, segala hal yang hebat, canggih, dan luar biasa, hanya ada dalam angan-angan fiktif yang ditulis dalam kisah-kisah imajinasi. Sekarang, semua yang hebat, canggih, dan luar biasa, telah dapat diciptakan dan ditunggu hanya dalam hitungan hari.

Di tengah-tengah arus perubahan dan kemajuan yang luar biasa cepat itu, kita berada tepat di tengah-tengahnya. Siapa pun yang dapat beradaptasi, ia akan tetap hidup. Siapa yang tidak, dia akan tersingkir dan punah. Anthony Robbins mengatakan, “The past does not equal the future.”

Masa lalu tidak sama dengan masa depan. Dan... saya percaya sepenuhnya.

Belajar: Bukti Adaptasi Manusia (1)

Setiap keberhasilan yang saya ketahui telah diperoleh orang lain
adalah karena orang bersangkutan mampu menganalisa kekalahan,
dan benar-benar belajar darinya untuk menghadapi tantangan berikutnya.
William Marston


Belum lama, di kota saya ada demonstrasi para buruh/karyawan yang menuntut dicabutnya peraturan buruh/karyawan kontrak.

Fenomena pekerja atau karyawan kontrak memiliki dua sisi—negatif maupun positif. Negatifnya, dengan adanya surat kontrak menyangkut masa kerja karyawan, maka sewaktu-waktu si karyawan bisa kehilangan pekerjaannya ketika masa kontraknya selesai, dan dia tak bisa menuntut apa-apa. Ini tentu mengerikan bagi kehidupan si karyawan bersangkutan, apalagi jika ia menggantungkan hidupnya semata-mata pada pekerjaan tersebut.

Tetapi, sisi positifnya, kontrak kerja itu akan menjaga kualitas kinerja dari karyawan bersangkutan. Dia tidak bisa main-main atau seenaknya sendiri dalam pekerjaannya jika ingin tetap memiliki pekerjaan itu. Dia harus menunjukkan bahwa dia karyawan terbaik, pekerja paling hebat yang dapat menghasilkan kualitas kinerja paling tinggi.

Dengan perspektif semacam itu, maka akan timbul suatu persaingan yang bagus dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas kinerja masing-masing karyawan di sebuah perusahaan.

Nah, dalam skala sempit semacam itu pun kita dapat melihat bahwa pembelajaran memiliki peran amat penting—bahkan menentukan—bagi nasib seorang karyawan atau pekerja di sebuah perusahaan.

Para pekerja yang mau terus meng-upgrade dirinya dengan pembelajaran yang meningkatkan kualitas dirinya akan terus selamat dan tetap memiliki pekerjaannya, namun para pekerja yang malas belajar dan tak mau meningkatkan kualitas dirinya akan tersingkir dan kehilangan pekerjaan. Di masa yang amat kompetitif seperti sekarang, pembelajaran menempati posisi paling penting dalam mempertahankan karir setiap orang.

Di dunia kerja abad ini, kita tidak hanya bersaing dengan para pekerja lain dalam sebuah bidang usaha atau profesi, tetapi kita juga terancam persaingan dengan mesin dan robot-robot. Diperkirakan, setiap tahun robot akan menggantikan tiga sampai empat ratus jenis pekerjaan yang semula dikerjakan oleh manusia. The Financial Times bahkan memperkirakan peningkatan penggunaan robot industri di dunia akan meningkat dari jumlah 600 ribu menjadi 2,4 juta robot. Jika perkiraan ini benar, maka akan ada lagi penghapusan bagi 7 (tujuh) juta jenis pekerjaan yang semula ditangani oleh manusia.

Bukankah ini ancaman yang amat mengerikan?

Karena penggunaan mesin dan robot inilah, perusahaan sebesar General Electric terus mengurangi jumlah karyawannya. Pada tahun 1981, mereka memecat 400 ribu karyawan. Ketika memasuki tahun 1993, jumlah karyawan yang dipecat mencapai 230 ribu orang—dan jumlah penjualan mereka meningkat tiga kali lipat dari jumlah semula sebelum adanya pemecatan. Tenaga para pekerja itu telah digantikan oleh mesin-mesin dan komputer, dan itu terbukti lebih efektif serta lebih menguntungkan.

Karena adanya teknologi pengenal suara, perusahaan AT&T mengganti (baca: memecat) 6 ribu pekerja operator jarak jauh dan menggantinya dengan komputer. Selama sepuluh tahun berjalan semenjak digunakannya komputer, 40 persen pekerja di AT&T telah dipecat, dan perusahaan ini terus mampu meningkatkan jumlah pelanggannya, bahkan hingga mencapai 50 persen. Apa artinya itu? Jelas, bahwa tenaga manusia sudah tak bisa dianggap efektif lagi jika dibandingkan dengan mesin dan robot komputer.

Bisnis komunikasi, secara keseluruhan, telah menghapuskan 180 ribu jenis pekerjaan dalam waktu 8 tahun. Ada 180 ribu pekerjaan dalam bidang telekomunikasi yang tadinya ditangani manusia kini digantikan oleh mesin dan komputer. Itu artinya, kalau di setiap satu jenis pekerjaan ditangani oleh satu orang saja, maka selama 8 tahun ini setiap perusahaan telekomunikasi telah memecat 180 ribu karyawannya.

Dulu, proses pencetakan surat kabar membutuhkan 3.000 (tiga ribu) orang untuk menangani pekerjaan itu. Namun, setelah ditemukan mesin dan robot yang terhubung dengan komputer, prosesnya hanya membutuhkan 3 (tiga) orang saja. Lalu kemana yang 2.997 orang lainnya? Jawabannya begitu jelas; mereka dipecat!

Kalau kita ke luar negeri dan mengisi bensin untuk mobil kita, tak ada orang yang melayani mengisikan bensin dari selang ke dalam tangki. Kita harus turun dari mobil, menekan angka liter yang kita pilih, kemudian mengisikan bensin ke dalam tangki mobil kita sendiri. Angka liter yang tercatat itu akan sampai di meja kasir, dan kita kemudian membayarnya pada petugas kasir yang ada di sana.

Hal semacam itu, cepat atau lambat, akan sampai pula di Indonesia, dan itu artinya akan ada sekian ribu petugas pengisi bensin yang kelak akan kehilangan pekerjaannya.

Hal lain semacam itu yang kini mulai masuk ke negeri ini adalah mesin pelayanan pembelian minuman ringan. Dulu, atau pun sekarang, ada sekian banyak orang yang bekerja menjadi pengasong minuman yang dijajakan di tempat-tempat yang ramai. Tapi lambat-laun orang-orang ini akan terus digantikan oleh mesin-mesin yang lebih praktis dan higienis. Orang tinggal memasukkan koin seharga minuman yang diinginkan, dan mesin akan mengeluarkan minuman yang kita inginkan.

Fenomena semacam itu akan terus merayap dan terus menggantikan pekerjaan manusia yang selama ini kita kenal. Mungkin kita berpikir itu akan membutuhkan proses serta waktu yang lama, dan mungkin kita bisa selamat dari serbuan mesin-mesin yang akan menggantikan manusia tersebut. Tetapi jangan lupa, bahwa menurut para ahli, pengetahuan meningkat dua kali lipat dalam setiap 2 sampai 3 tahun di hampir setiap lapangan pekerjaan.

Dalam waktu 2 sampai 3 tahun, pengetahuan meningkat 200 persen, dan itu artinya laju pertumbuhan dan kemajuan peradaban ini semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat.

Ilmu pengetahuan nano teknologi bahkan akan mengubah secara revolusioner industri manufaktur dalam waktu 20 tahun mendatang. Karenanya, untuk dapat terus bertahan dalam bidang pekerjaan apa pun yang kita miliki sekarang, pengetahuan kita harus ikut meningkat dua kali lipat dalam waktu 2 sampai 3 tahun. Ini adalah jalan paling logis yang dapat kita tempuh jika tidak ingin tersingkir dari laju kehidupan yang makin cepat ini.

Lanjut ke sini.

Visi: Sebuah Catatan



Bagi saya, PR terbesar negeri ini bukan saja memberantas budaya korupsi yang telah berurat dan berakar dalam birokrasi pemerintahannya, bukan hanya sekadar memikirkan bagaimana cara membayar hutang-hutang negara yang teramat besar, tetapi juga harus mulai memikirkan langkah dan paradigma baru untuk para generasi penerusnya, untuk mulai memahami dan menyadari bahwa hakikat hidup dan inti kemajuan (dari kemajuan pribadi sampai kemajuan sebuah negeri) berada dalam proses pembelajaran...dan kecintaan terhadap belajar.

Saya mengimpikan adanya lembaga pendidikan yang benar-benar menanamkan kecintaan belajar kepada para anak didiknya—sebuah sekolah yang mengajarkan tentang agungnya mencintai proses pembelajaran dalam kehidupan—dengan guru-guru yang arif, yang dengan rendah hati mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa pembelajaran manusia atas hidupnya tak pernah bisa dibatasi oleh dinding-dinding kampus, atau ruang-ruang kuliah, atau pun sekadar tumpukan kertas-kertas makalah.

Saya mengimpikan adanya tempat-tempat pembelajaran dengan suasana menyenangkan, yang mengajarkan tentang betapa menyenangkannya menikmati setiap apapun yang kita pelajari—dan bukannya menjadikan belajar sekadar sebagai tugas yang harus dinilai dan dikumpulkan.

Saya mengimpikan tentang hari-hari indah di muka bumi ini, ketika menyaksikan anak-anak yang bercengkerama dengan senyum polosnya bersama kawan-kawan mereka di sekolah—belajar tentang segala sesuatu bersama guru-gurunya dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan—hingga merasa tak ingin pulang dari tempat mereka belajar...

Saya mengimpikan tentang hidup yang penuh makna—sebuah perjalanan hidup yang mulia—ketika manusia telah sampai pada kesadaran bahwa hakikat hidup berada di tengah-tengah proses pembelajaran—sebuah pembelajaran yang agung, sebuah pembelajaran manusia terhadap kehidupannya, sebuah pembelajaran makhluk atas kesejatian kemanusiaannya, untuk mengenal keagungan dan ketakterhinggaan Tuhannya...


Hidup adalah Proses Belajar



Ajaran kuno mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam dosa dan merupakan cacing dari tanah yang perlahan-lahan mendapatkan jalan ke arah Tuhan Yang Maha Mulia, membuat manusia memperoleh citra yang luhur, mengangkatnya untuk mendapatkan nilai surga.

Tetapi filsafat baru mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang luhur, mulia, dengan martabat baru, makna baru, di samping juga kelemahan dan kekurangannya. Semakin lama kita makin menganggap bahwa pandangan yang merendahkan manusia sebagai pandangan yang jahat, karena manusia adalah makhluk Tuhan.

Filsafat baru juga menunjukkan bahwa bagian terbesar dari kita adalah hasil produk atau buatan kita sendiri. Jika kita adalah cacing-cacing dari tanah, maka kita sendirilah yang telah membuatnya demikian; melalui pemikiran, kata-kata, pilihan dan tindakan kita sendiri. Benar bahwa Tuhan yang menciptakan kita, tetapi kita sendirilah yang mengolah diri dan menentukan kehidupan kita.

Hari ini, hidup kita belum berhenti. Napas masih berhembus, jantung masih berdetak dan urat nadi dalam tubuh kita masih berdenyut. Hidup kita masih mengalir seperti darah dalam tubuh kita yang masih lancar mengalir. Selama hidup masih belum berhenti, kita pun masih memiliki kewajiban untuk mengisinya, untuk menjadikan ia baik, karena dengan inilah kita akan memperoleh bekal yang cukup untuk perjalanan hidup kita selanjutnya. Selama Tuhan masih memberikan kita hidup, tidak ada hari tanpa upaya perbaikan diri.

Dalam legenda kuno ada kisah tentang Narciscus yang jatuh cinta kepada dirinya sendiri, sehingga ia begitu menyukai saat-saat ia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin. Dalam masa sekarang ini, ada cukup banyak orang yang menjadi Narciscus modern. Mereka bukan jatuh cinta kepada dirinya sendiri, tetapi mereka telah begitu terbiasa dengan dirinya sendiri.

Orang-orang semacam itu menjalani kehidupannya dengan rutinitas seperti biasa, menganggap segalanya tak ada persoalan sepanjang menyangkut dirinya. Yang menyedihkan adalah bahwa mereka begitu terbiasa dengan dirinya sendiri sehingga mereka lalai untuk melihat cara-cara untuk memperbaiki diri. Mereka sudah puas dengan dirinya sendiri dan apabila ada yang tidak beres, mereka pun menganggap bahwa yang tidak beres adalah segala sesuatu yang ada di luar mereka.

Sekolah-sekolah kepribadian dibangun, kursus-kursus kepemimpinan dibuka dan buku-buku pengembangan diri ditulis, semuanya itu salah satunya bertujuan untuk memperbaiki diri. Bukan hanya sekadar memperbaiki apa yang tampak di mata orang lain, tetapi yang lebih penting adalah memperbaiki apa yang tidak tampak di mata orang lain. Jika kita cantik di dalam, saya percaya kita pun akan tampak cantik di luar. Jika kita mampu membangun keindahan di dalam batin, saya pun yakin kita bisa membangun dan menyaksikan hidup yang sama indahnya.

Hidup adalah proses pembelajaran tanpa henti, dan setiap hari kita dihadapkan pada serangkaian pelajaran yang mau tak mau harus kita terima dan kita pelajari.

Sebagaimana di sekolah saat guru tengah menerangkan pelajaran di depan kelas, kita bisa duduk dengan tenang dan mendengarkan uraian pelajarannya, kita pun bisa melamun atau bahkan tertidur dan menganggap seolah guru dan pelajaran itu tidak ada. Hasil dari proses pembelajaran itu pun nantinya akan bisa dilihat dari setiap akhir tahun ajaran. Yang serius memahami setiap pelajaran akan mendapatkan nilai tinggi, yang ogah-ogahan dan santai juga akan memperoleh hasil yang sepadan. Sekali lagi, begitu pulalah hidup yang kita jalani ini.

Di dalam ‘sekolah’ kehidupan ini pula, ada tiga jenis manusia. Yang pertama adalah mereka yang belajar dari pengalaman mereka sendiri; mereka adalah orang yang bijaksana. Yang kedua adalah mereka yang belajar dari pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bahagia. Sedangkan yang ketiga adalah mereka yang tidak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang lain; mereka adalah orang yang bodoh.

Jika hidup adalah sebuah sekolah yang lebih besar, tentu akan menyenangkan dan lebih membanggakan jika kita selalu naik kelas dan memperoleh nilai yang selalu tinggi, kan...?


Suara-suara di Otakku



“Bocah-bocah itu sibuk, benar?” suara pertama.

“Lebih dari yang bisa kau bayangkan,” suara kedua.

“Senang mendengarnya. So…?”

“Kau dulu.”

“Oke, dengar, sejak semula aku sudah menduga akan seperti itu. Mereka kan tidak tahu. Tapi setelah tahu, dan menghadapi kenyataannya seperti itu—well, mereka jadi seperti menemukan lahan baru, tempat yang bagus, atau apalah sebutanmu. Dan mereka kini sibuk—benar-benar sibuk. Jadi, kupikir, well…permainan sudah dimulai.”

“Berapa banyak yang kau temukan?”

“Tidak banyak, jika yang kau maksudkan jumlahnya. Tetapi kita kan tidak menarik kesimpulan dari jumlah. Mereka itu seperti bocah-bocah yang baru menemukan permainan aneh yang belum pernah mereka temui. Jadi mereka sibuk sekali—atau seperti itulah yang pada awalnya kupikir. Kau tahu tentang kotak-kotak di tempat itu?”

“Ya.”

“Kotak-kotak itu tidak dirancang untuk urusan biasa—kita sama-sama tahu. Orang akan merasa butuh—atau merasa tidak butuh—dan kita akan tahu. Bocah-bocah itu tidak akan mendekati kotak-kotak itu tanpa merasa butuh, jadi sekarang kita tahu. Pertama kalinya mendapati kenyataan itu, jujur saja, aku tidak langsung paham. Tapi setelah beberapa kali memasukinya kembali, lama-lama aku paham sendiri. Jadi inilah permainannya.”

“Dan kau suka?”

“Aku tidak bisa menjawab apakah aku suka atau tidak. Di satu sisi, aku merasa tersanjung, tapi di sisi lain juga membuatku merasa tidak nyaman. Well, kau tahu hal-hal semacam ini.”

“Yeah…”

“Kemudian perubahan-perubahan yang terjadi seiring dengan itu—well, itu semakin memberikan petunjuknya kepadaku. Maksudku, bukan perubahan kecil. Ada perubahan yang sangat besar di sini. Kalau kau berubah, apakah kau berubah untuk sesuatu, ataukah hanya karena memang ingin berubah?”

“Aku tahu maksudmu.”

“Bagus. Ada beberapa hal lain yang juga menopang pendapatku akan hal itu—tapi aku sudah terlalu banyak bicara. Oke, sekarang aku mendengarmu. Berceritalah kepadaku.”

“Well…pendapatku sama persis denganmu.”

Suara pertama tertawa terbahak-bahak. Dan suara kedua menimpalinya. Tawa mereka membahana, merobek langit, menembus malam, memecah bintang-bintang. Dan aku kemudian terkejut saat tersadar…dua suara itu sesungguhnya satu.


Jumat, 07 Mei 2010

Jadikan Hidup Luar Biasa



Setiap hari adalah hari baru, waktu baru, dan rasanya kita perlu menyaksikannya dengan pandangan yang juga baru. Terkadang kita perlu belajar kepada anak-anak kecil yang selalu bergairah ketika dihadapkan pada apapun. Anak-anak kecil selalu mampu tersenyum ketika mendapati kenyataan apapun, dan mereka begitu bergairah ketika diberi mainan apapun. Di mata seorang anak kecil, semua hal adalah baru bagi penglihatannya, dan mereka menjadi bahagia karena itu.

Barangkali hidup yang kita jalani ini sudah terasa menjenuhkan, semua telah kita lihat, kita dengar, dan kita saksikan. Semua yang ada dalam hidup kita telah kita pegang, kita raba dan kita miliki. Apabila hidup kita tidak mewujud dalam bentuk yang baru, kita selalu punya kemampuan untuk menyaksikannya dengan pandangan yang baru, bukan?

Rumah yang kita tempati mungkin tempat yang kemarin, kawan-kawan yang kita miliki adalah orang-orang yang kemarin. Semua aktivitas yang kita lakukan sekarang mungkin juga kegiatan kita yang kemarin. Semua barang yang ada di sekeliling kita juga mungkin benda-benda yang kemarin. Namun jangan lupa bahwa waktu ini, hari ini, saat ini, adalah waktu yang benar-benar baru, hari yang benar-benar baru, saat yang benar-benar baru. Kita tidak pernah mendapatkannya sebelumnya, dan baru sekaranglah kita menikmatinya. Bukankah itu sudah cukup menjadi alasan bahwa kita perlu bersyukur dan bahagia hari ini?

Setiap detik yang berjalan dalam hidup kita adalah detik yang baru, dan kita tak pernah mampu untuk kembali ke detik sebelumnya, sebagaimana kita pun tak pernah tahu apakah kita masih bisa bernapas setelah detik ini. Setiap detik adalah rahmat, setiap detak jantung adalah berkat, setiap denyut nadi adalah karunia, setiap hembusan napas adalah anugerah. Dan setiap kesempatan hidup yang diberikan, itu adalah pemberian agung yang tidak punya sedikit pun alasan untuk tidak disyukuri.

Maka marilah kita berbahagia hari ini, bahagia sepenuh-penuhnya dengan segala yang terjadi, bahagia sepenuh-penuhnya dengan kesadaran yang utuh bahwa hidup ini begitu indah.

Kesempatan hidup yang kita jalani ini bukanlah kesempatan yang tanpa batas. Ia adalah waktu yang diberikan dengan batas pasti kapan akan berakhir, hanya saja kita tak pernah diberitahu kapan akan berakhirnya. Sepanjang apapun waktu yang diberikan, hidup ini akan tetap saja terasa singkat, dan karenanya tidak ada alasan mengapa kita tidak bisa bahagia hari ini.

Ya, hidup ini singkat, benar-benar singkat. Kenyataan itu dilukiskan dengan amat indah dalam sebuah film klasik berjudul Dead Poets Society. Ini adalah film yang mengisahkan tentang kehidupan sekolah di Welton Academy, sebuah sekolah yang sangat kuat tradisinya.

Pada hari pertama masuk sekolah ini, Profesor Keating, guru Bahasa Inggris, mengajak murid-muridnya yang sebanyak dua puluh lima anak ke luar ruangan untuk melihat-lihat foto-foto hitam putih dari pemuda-pemudi yang sekolah di asrama itu lebih dari satu setengah abad sebelumnya.

“Kita ini hanya makanan cacing, Anak-anak,” kata sang Profesor kepada murid-muridnya sambil terus mengamati foto-foto di dinding itu. “Percaya atau tidak, kita semua, di ruangan ini, suatu hari nanti akan berhenti bernapas, membeku, dan mati. Coba, perhatikan baik-baik wajah-wajah dari masa lalu ini.”

Murid-muridnya pun menatap gambar-gambar itu dengan lebih penuh perhatian. Dan sang guru melanjutkan, “Mereka tidak ada bedanya dengan kalian, bukan? Tak terkalahkan, seperti yang kalian rasakan. Dunia ibarat kerang bagi mereka. Mereka percaya mereka ditakdirkan menjadi besar, seperti kebanyakan dari kalian. Mata mereka penuh harapan, sama seperti kalian. Apakah mereka kemudian mampu memperpanjang usia hidupnya meski hanya satu jam saja? Tidak, Anak-anak. Mereka ini sekarang telah menjadi tanah. Kalau kalian mau mendengar secara saksama, kalian bisa mendengar mereka membisikkan pesan warisan mereka kepada kalian. Silakan, dengarkan... Nah, dengar tidak?”

Anak-anak itu pun segera menempelkan telinga mereka ke bingkai-bingkai kaca foto-foto itu. Dan sambil menyaksikan murid-muridnya mencoba mendengarkan dengan serius, sang Profesor pun berbisik kepada mereka, “Car-pe. Car-pe. Carpe diem. Nikmatilah hari ini, Anak-anak. Jadikanlah hidup kalian luar biasa!”

Nikmatilah hari ini! Jadikanlah hidup kita luar biasa!


Lepaskanlah yang Kemarin



Di dalam kehidupan ini, ada cukup banyak orang yang hidup dengan membawa beban masa lalu. Akibatnya, hidup mereka menjadi berat, bahkan begitu berat. Mereka hidup di masa sekarang namun beban kehilangan, kesedihan, dan penyesalan masa lalu tetap dibawa hingga sekarang. Itu sungguh suatu cara hidup yang amat memberatkan. Bahkan tanpa beban masa lalu pun hidup ini terkadang sudah berat, bukan?

Orang-orang yang hidup dengan membawa penyesalan dari masa lalu itu seolah-olah ingin dan berharap bisa kembali ke masa itu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Bukankah itu hal yang mustahil? Jangankan untuk bisa kembali ke masa lalu yang mungkin jaraknya terhitung bulan atau tahun, bahkan untuk kembali ke satu detik yang lalu pun kita tidak pernah mampu. Jadi, mengapa harus mengimpikan untuk memperbaiki masa lalu dengan membayangkan, “Kalau saja...”

Memang, kehidupan kita tidak sempurna. Selalu ada hal-hal yang salah dan keliru yang pernah kita lakukan dalam hidup, di masa lalu. Tetapi itu manusiawi. Manusia tidak akan dikutuk hanya karena itu. Tidak setiap orang dapat menjalani hidup tanpa kesalahan sama sekali, dan apabila kita memang melakukannya, kita tidak perlu terus menyesali atau menangisinya, namun yang dapat kita lakukan sekarang hanyalah membenahi apa yang masih bisa dibenahi, dan itu bukan lagi di masa lalu, namun di masa sekarang, untuk mempersiapkan kehidupan esok yang lebih baik.

Hidup ini menjadi berat bukan karena hidup itu sendiri berat, tetapi karena kita seringkali memberatinya dengan beban-beban yang tak perlu, semisal beban dari masa lalu. Terkadang, ada orang yang masih juga menyesali kesalahan yang pernah dilakukannya lima tahun yang lalu. Ada pula yang masih mengingat-ingat kekeliruannya tujuh tahun yang lalu. Jika gaya hidup semacam ini yang masih dilakukan, kapankah hati menjadi tenang dan tenteram, kapankah hidup menjadi terasa indah dan membahagiakan?

Apakah kau pernah menggergaji kayu? Mungkin pernah, atau mungkin pernah menyaksikan orang yang tengah menggergaji kayu. Kau lihat, dari hasil penggergajian kayu itu akan muncul remah-remah kayu yang biasa kita sebut sebagai serbuk gergaji. Nah, sekarang, apakah kau bisa menggergaji serbuk gergaji? Atau, pernahkah kau melihat orang yang dapat menggergaji serbuk gergaji? Tidak pernah? Saya juga tidak pernah!

Apakah pertanyaan ini terkesan aneh? Tak masuk akal? Tetapi bukankah kebanyakan kita menghadapi realitas semacam itu meski dalam versi yang berbeda? Ada cukup banyak orang yang berusaha menggergaji sebuk gergaji meski itu jelas tak mungkin.

Setiap hari yang kita lalui adalah kayu yang utuh. Setiap kali kita melewatinya, kita menggergaji kayu itu. Hari-hari di masa lalu, bahkan hari yang kemarin, sudah menjadi serbuk gergaji. Kita memang selalu dapat menggergaji kayu, tetapi kita selalu tak pernah dapat menggergaji serbuk gergaji. Jadi, mengapa harus membuang-buang energi untuk sesuatu yang jelas tak mungkin? Buang saja serbuk gergaji itu, dan hadapilah kayu yang masih dapat digergaji. Itu lebih logis dan lebih masuk akal, bukan?

Orang-orang mencari kebahagiaan hidup, namun seringkali mereka menyalahi aturan untuk bahagia. Kehidupan memberikan resep pasti untuk menjadi bahagia, yakni dengan hidup di hari ini. Orang yang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang mampu ‘hidup di hari ini’. Orang-orang ini tidak hidup di masa lalu, juga tidak hidup di masa depan. Mereka hidup di hari ini, masa sekarang, dan menikmati hari ini dengan sepuas-puasnya, dengan rasa syukur dan hati bahagia, serta mengisinya dengan cara terbaik yang ia bisa. Jika kita mau hidup dengan cara ini, kebahagiaan bukan lagi bayang-bayang utopia. Tetapi jika kita masih membawa-bawa beban masa lalu ditambah lagi dengan beban-beban masa depan, kebahagiaan akan menjadi sesuatu yang sulit untuk diwujudkan.

Mungkin, ada di antara kita yang berpikir, “Seharusnya, kalau saja dulu hal itu tak terjadi, hari ini mungkin aku sudah bahagia”. Atau, “Kalau masa depanku begini begini, aku pasti akan bahagia”. Bukankah pemikiran-pemikiran semacam ini seolah-olah ingin menyatakan bahwa kita ingin memaksakan hidup ini mengikuti apa mau kita?

Jika kita tidak bahagia dalam hidup, itu biasanya karena hidup tidak sesuai dengan keinginan kita. Nah, mengapa hidup harus sesuai dengan keinginan kita? Tidak ada hukum yang mengatakan bahwa kehidupan harus menyesuaikan dirinya dengan kita, namun kita selalu dapat menyesuaikan diri kita dengan kehidupan, dan tepat seperti itulah inti dari hakikat mencapai kebahagiaan.

Jauh sebelum diri kita dilahirkan, kehidupan telah ada dan sudah lama berjalan. Ia tidak akan mengubah prinsip dan aturannya hanya karena kehadiran kita di dalamnya. Maka, aturan yang pasti untuk dapat merasakan kebahagiaan hidup adalah dengan menyesuaikan diri dengannya, menjalani aturan dan hukum-hukumnya. Keputusan kita akan menentukan hal itu dan akan mempengaruhi seluruh usia kehidupan kita.

Kita bisa memutuskan untuk bahagia sekarang, atau besok pagi, atau minggu depan, atau bulan depan atau bahkan tahun depan. Kita bisa memutuskan untuk bahagia hari ini atau suatu saat nanti. Namun, jika kita bisa memutuskan untuk bahagia sekarang, mengapa harus menunggu hingga di waktu yang akan datang? Sebagaimana dulu kita tak tahu kapan akan dilahirkan, kita pun tak pernah tahu kapan kita akan meninggalkan kehidupan. Selagi ada kesempatan untuk bahagia dalam hidup, mengapa harus menundanya…?


Memilih untuk Bahagia

Kita melihat kebahagiaan seperti pelangi,
selalu berada di atas kepala orang lain, bukan di kepala kita.
Thomas Hardy

Kebahagiaan bukanlah ideal akal, tapi imajinasi.
Immanuel Kant


Beberapa tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan parah, dan harus terbaring di rumah sakit selama berhari-hari. Pada waktu itu saya punya dua pilihan. Saya bisa merasa tertekan dan tersiksa dengan kondisi saya saat itu, atau juga bisa menggunakan waktu-waktu tak berdaya itu untuk sesuatu yang lebih konstruktif.

Waktu itu tubuh saya seolah remuk. Kaki saya sakit, luka, dan berdarah, satu tangan saya patah tulang, satunya lagi penuh luka dan ditancapi jarum infus. Saya tak bisa melakukan apa-apa, tak bisa pergi kemana-mana, tak dapat mengerjakan segala sesuatu yang biasa saya kerjakan. Namun, sekali lagi, saya tetap memiliki dua pilihan. Memilih untuk tertekan dengan segala keadaan itu, atau memilih untuk tetap tenang (dan bahagia) dengan segala kondisi yang ada.

Mungkin ada yang ingin mengatakan, “Mungkinkah orang bisa bahagia dalam kondisi tubuh yang hancur semacam itu?”

Pertama kali saya pun meragukannya. Tetapi ketika kenyataan semacam itu terjadi dan saya mencoba melakukannya, saya bisa melakukannya. Sebelum kejadian kecelakaan itu, kehidupan saya sehari-hari adalah kehidupan yang berlangsung dengan cepat. Saya melewati setiap hari seperti pelari melintasi jalur pacuan, dan saya tak pernah punya waktu untuk menikmati hidup selain dikejar-kejar pekerjaan. Saya merasakan jarum jam setiap hari seperti tidak berdetak tapi berputar cepat, dan saya menginginkan sehari semalam tidak hanya 24 jam.

Tetapi ketika saya terbaring tak berdaya di rumah sakit, seluruh kehidupan saya berubah, dan perspektif saya pun berubah. Sesuatu yang dulu saya pikir tidak mungkin, sekarang tampak menjadi mungkin. Sekarang saya tahu bahwa saya bisa beristirahat dengan tenang, sekarang saya tahu bahwa saya bisa menikmati satu hari dengan penuh khidmat, sekarang saya pun tahu bahwa jarum jam tetap berdetak. Dan siapa yang menyangka kalau berbaring di rumah sakit yang hening sambil mendengarkan detak jarum jam bisa memberikan kebahagiaan...?

Ketika saya berpacu melawan waktu kehidupan, hidup juga seperti berpacu melawan saya. Tetapi ketika saya diam dan tenang, hidup juga seperti melambatkan waktunya dan memberi saya kesempatan untuk menikmatinya.

Di saat-saat itu, saya pun mulai bisa memiliki gambaran yang lebih pasti tentang hidup macam apa sesungguhnya yang saya inginkan. Saya jadi teringat kata-kata yang pernah ditulis Jennie Jerome Churchill, “Hidup tidak selalu mewujudkan apa yang kita inginkan, tapi membuat sesuatu menjadi baik, karena itulah cara mencapai kebahagiaan.”

Ya, bukankah begitu seharusnya? Tidak selamanya hidup ini mewujudkan apa pun yang kita inginkan, namun hidup selalu memberikan kesempatan kepada kita untuk menjadi semakin baik, dan itulah kebahagiaan.

Karenanya, satu-satunya hal yang selalu bisa kita kendalikan adalah diri kita, sikap kita, pikiran kita. Apakah kita bahagia atau tidak bahagia dalam hidup, itu tidak tergantung pada hal-hal di luar kita, tetapi tergantung pada apa yang ada di dalam diri kita.

Situasi, keadaan, dan hal-hal di luar diri kita mungkin tak bisa kita ubah, namun kita selalu bisa mengubah sikap pikiran kita. Kalau kita mau mengubah sikap pikiran kita, maka keadaan di luar kita pun akan ikut berubah. Kalau memang tidak berubah, maka setidaknya kita bisa menatapnya dengan pandangan yang berubah.

Ada sebuah cerita yang bagus sekali untuk mengilustrasikan hal ini.

Seorang petani tua berencana menjual tanah ladangnya yang sudah tak terawat. Ia sudah bosan dengan lingkungan tempat tinggalnya di desa yang terpencil, dan menginginkan bisa tinggal di daerah yang lebih menyenangkan, dengan suasana yang berbeda sebagaimana yang ia bayangkan.

Maka ia pun pergi ke sebuah biro iklan, dan meminta mereka untuk mengiklankan tanahnya yang akan dijual melalui surat kabar. Petugas biro iklan mengunjungi tanah pemukiman petani itu untuk memperoleh data-data buat iklannya. Satu minggu kemudian, iklan itu pun muncul dalam surat kabar dengan kata-kata yang menarik hati.

“Dijual; tanah pemukiman dengan luas dua hektar di daerah sejuk dekat pantai yang indah. Anda bisa membangun rumah besar di sini dengan taman yang alami, karena pohon-pohon besar masih terdapat di tanah ini. Anda juga bisa menjadikannya sebagai tempat berlibur karena daerah ini masih bebas polusi, udaranya bersih, dan suasananya sangat tenang serta nyaman. Anda juga bisa membangun kandang-kandang untuk hewan kesayangan Anda, dan…”

Besoknya, satu hari setelah iklan itu muncul di surat kabar, si petani buru-buru mendatangi biro iklannya, dan meminta mereka untuk membatalkan iklan tersebut.

“Mengapa dibatalkan?” tanya petugas di biro iklan.

“Karena,” jawab si petani dengan gugup, “itulah tempat yang selama ini saya bayangkan bisa saya miliki!”

Kehidupan kita ini terkadang telah memberikan segala hal yang kita inginkan dan kita angankan, hanya saja terkadang pikiran kita tertutup untuk dapat menyaksikannya. Dibutuhkan suatu cara pandang yang lain, dibutuhkan sudut perspektif yang berbeda dan cara berpikir yang baru agar kita bisa melihatnya, untuk kemudian mensyukurinya, dan hidup bahagia di dalamnya.

Kondisi Kebahagiaan



Jika kita bertekad untuk merasa bahagia,
maka kehidupan pun akan memberikannya.


Seorang teman kuliah saya dulu pernah mengalami stres berat ketika menggarap skripsinya. Bukan stres karena skripsinya semata-mata, tapi karena keadaan di rumahnya yang selalu bising. Tiap malam, dia bercerita, ketika dia sudah duduk di depan meja dan siap untuk menggarap skripsinya, suara televisi di ruang tengah mulai mengganggu konsentrasinya. Seluruh keluarganya pecandu sinetron dan mereka tentu tak mau ketinggalan acara favoritnya.

Maka teman saya pun keluar dari kamar dan dengan penuh emosi memarahi keluarganya dan membentak-bentak adiknya. Lalu, ketika volume televisi telah dikecilkan atau bahkan dimatikan sama sekali, teman saya pun kembali ke kamarnya untuk mengurus skripsinya. Tapi sesampai di depan meja, dia tetap tak bisa menulis karena bahan-bahan yang akan ia tulis yang masih ada dalam otaknya telah buyar ketika ia emosi tadi. Ia memulai konsentrasi kembali, tapi emosinya yang belum reda sulit diajak kompromi.

Keadaan seperti itu terus berlanjut sampai berminggu-minggu kemudian, sampai ia merasa takkan bisa menyelesaikan skripsinya.

Ketika hari wisuda tiba, saya melihatnya berada di tengah kerumunan wisudawan yang lain, lengkap dengan jubah dan toga, dan dengan senyumnya yang mengembang. Saya mendekatinya, mengucapkan selamat karena akhirnya ia bisa menyelesaikan skripsinya.

“Akhirnya keluargamu bisa juga memahami kebutuhan konsentrasimu,” kata saya mengingatkan.

“Oh...?” Dia memandang dengan mata kebingungan. “Keluargaku tetap sama saja dengan kebanyakan keluarga yang lain, dan mereka tetap menonton sinetron tiap malam dengan volume keras-keras!”

“Tapi akhirnya kamu tetap bisa konsentrasi?”

Dia tertawa. “Itu karena aku kemudian membeli kapas dan menyumpalkannya ke kupingku sampai aku tidak mendengar apa-apa lagi…!”

Terkadang, bahkan sering, solusi bagi suatu masalah yang terjadi pada diri dan hidup kita tidak membutuhkan penyelesaian dari orang lain, namun membutuhkan penyelesaian dari diri kita sendiri.

Ada begitu banyak orang yang merasa hidupnya tertekan dan merasa susah karena merasa orang lain atau keadaan dan hal-hal di luar dirinya telah mengganggunya. Orang-orang semacam ini akan menjadi sulit untuk bisa hidup bahagia karena dia selalu menginginkan orang lain atau hal-hal di luar dirinya berubah. Mereka ingin orang lain mengubah sikapnya, mereka ingin keadaan di luar dirinya menjadi seperti apa yang diinginkannya agar dia tak lagi merasa tertekan.

Tetapi harapan yang semacam itu tidak bisa dipastikan, bukan? Adalah suatu kenyataan yang sulit untuk bisa mengubah orang lain atau mengubah keadaan di sekeliling kita. Tetapi satu hal yang pasti dan selalu dapat kita lakukan adalah apabila kita mau mengubah diri kita sendiri untuk tidak lagi merasa tertekan—dan hidup bahagia.

Alexander Sholzenitsyn menyatakan, “Seseorang akan bahagia sejauh ia memilih untuk bahagia, dan tak ada sesuatu pun yang mampu menghentikannya.”

Hidup bahagia bukan soal kondisi. Itu adalah soal pilihan. Jika kita memilih untuk bahagia, maka kita akan bahagia, terlepas dari apa dan bagaimana kondisi yang terjadi. Namun jika kita menggantungkan kebahagiaan kita pada suatu situasi tertentu, pada kondisi dan keadaan tertentu, atau pada orang-orang tertentu, maka kebahagiaan kita akan menjadi begitu rapuh. Ketika situasi terkendali, ketika keadaan sesuai dengan harapan, kita bahagia; namun jika tidak, kita pun tidak bahagia.

Hidup ini tergantung pada diri kita, pada sikap pikiran kita, dan kita bisa mengisinya dengan rasa tertekan yang tak kunjung selesai, atau juga bisa menjadikannya sebagai saat-saat yang membahagiakan yang perlu disyukuri.


Percayalah Kepada Hati



Jika ada satu resep paling pasti untuk hidup bahagia, maka resep itu adalah hidup dengan benar, dan mengikuti apa yang dibisikkan oleh hati.

Jauh di dalam diri kita masing-masing, ada keinginan untuk benar, untuk berpikir benar, dan juga bertindak benar. Jika kita menentang keinginan ini, kita memasukkan penyakit kanker ke dalam hati nurani kita. Kanker itu akan berkembang dan berkembang dengan memakan habis hati nurani kita.

Seperti yang sering dikatakan orang, hati tak pernah berbohong. Hati nurani yang kita miliki adalah sensor yang sangat peka terhadap apa pun yang kita pikirkan dan yang akan kita lakukan. Selalu timbul dalam diri kita suatu perasaan tidak enak, tidak nyaman, setiap kali akan melakukan sesuatu yang tidak benar. Itu adalah sinyal yang dikirimkan dari hati yang mendeteksi terhadap apa yang akan kita lakukan.

Karena itu pula, kunci dari hidup yang penuh kedamaian dan kebahagiaan adalah hanya melakukan hal-hal yang benar. Setiap perbuatan yang tidak benar hanya akan membuat kita tidak tenang dan gelisah.

Lalu bagaimana untuk memastikan sesuatu yang kita kerjakan itu benar ataukah tidak? Jawabannya tetap sama; kembalikanlah kepada hati.

Mungkin kau pernah melihat dan ingin mengatakan bahwa kau menyaksikan orang yang hidup secara salah, tetapi masih juga hidup makmur. Saya pun melihat orang yang semacam itu. Ada orang-orang yang hidup secara salah, menyalahi aturan yang dibenarkan, namun tetap saja hidup secara berkelimpahan.

Tetapi jangan lupa...Tuhan tidak menuntaskan urusan-Nya tanggal tiga puluh setiap bulan, atau setiap akhir tahun, atau tahun berikutnya, atau yang berikutnya lagi. Dan kehidupan ini toh pada akhirnya menunjukkan bahwa orang yang menjalani hidup dengan cara tidak baik akan meninggalkan kehidupan ini dengan cara yang tidak baik pula. Memang tidak selalu terjadi perhitungan yang cepat atau dramatis, tetapi cepat ataupun lambat, perhitungan itu pasti akan datang.

Saya hampir dapat memastikan bahwa setiap orang mempunyai kesadaran ketika mereka melakukan sesuatu yang benar atau yang salah. Bahkan para penjahat yang biasa melakukan kejahatan pun menyadari hal itu. Mereka sadar bahwa merampok itu salah, mencuri itu salah, merampas milik orang lain itu salah. Akibatnya, karena menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan sebuah kesalahan, hidup mereka pun menjadi tidak tenang. Tidak pernah ada seorang penjahat pun yang hidup tenang, nyaman dan bahagia dari hasil kejahatannya. Semua kehidupan yang dicapai dengan cara yang tidak benar tak akan mendatangkan ketenangan apalagi kebahagiaan, sebaliknya hanya akan membuat perasaan dikejar-kejar dan dihantui oleh rasa bersalah dan tidak tenang.

Jadi, salah satu resep untuk menjadi bahagia adalah ini; jalanilah hidup ini dengan benar, dan jangan mencoba untuk melenceng dari kebenaran! Semua orang bahagia adalah orang yang hidupnya benar, sebagaimana hampir semua orang yang sering khawatir dan ketakutan adalah orang yang menjalani hidup dengan cara tidak benar.

Mungkin ada hal-hal tertentu yang buram; tidak jelas sebagai benar atau salah, dan kita bingung membedakannya? Jika harus menghadapi hal semacam itu, gunakanlah suara hati. Sederhana saja; jika kita tidak merasa enak dengan diri sendiri sewaktu mengerjakan sesuatu, maka perbuatan itu salah. Namun, jika kita memiliki perasaan enak dan nyaman dalam mengerjakan sesuatu, maka kita boleh yakin perbuatan itu benar. Sederhana, bukan?

Hati tidak pernah berbohong, dan jika kita mau percaya kepadanya, hidup kita selamat dan bahagia.


Sesuatu yang Membebaskan



Apakah yang paling membebaskan di dunia ini? Kejujuran. Tidak ada yang lebih membebaskan diri kita selain kejujuran. Jika kita menjalani hidup dengan jujur dan di dalam kejujuran, maka kita pun bisa berharap hidup dengan tenang dan damai. Begitu pun ketidakjujuran. Sesuatu yang amat menggelisahkan dan menekan batin dalam hidup adalah ketidakjujuran.

Tidak ada orang yang tidak jujur namun hidupnya tenang dan bahagia. Semua orang yang tidak jujur selalu dihantui rasa gelisah, ketakutan dan kekhawatiran kalau-kalau ketidakjujurannya terungkap. Semakin besar ketidakjujuran yang dilakukannya, semakin besar pula rasa takut dan khawatirnya.

Ketidakjujuran atau kebohongan tidak ubahnya lingkaran setan. Sekali kita masuk ke dalamnya, maka kita harus berputar-putar dalam kebohongan. Satu kebohongan selalu menuntut kebohongan yang lain, dan jika kita bohong satu kali, selalu ada keadaan yang kemudian menuntut kita untuk berbohong lagi karena dasar kebohongan yang pertama.

Mungkin saja kita bisa yakin, “Aku akan bohong sekali ini saja,” tapi kenyataannya, begitu sekali kita berbohong, selalu ada keharusan untuk berbohong lagi sebagai upaya kita untuk menutupi kebohongan yang pertama, dan begitu seterusnya.

Karenanya, untuk bisa lepas dari jerat kebohongan, maka satu resepnya yang paling pasti adalah selalu jujur. Kejujuran adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan. Begitu pun sebaliknya.

Kejujuran adalah salah satu tanda bahwa kita masih percaya kepada kebaikan manusia, bahwa kita masih meyakini eksistensi Tuhan. Kejujuran adalah jalan yang akan membawa kita kepada kebahagiaan, ketenteraman dan hati yang nyaman, meskipun mungkin kita hidup secara kekurangan. Tanpa kejujuran, orang akan kesulitan menggapai kebahagiaan. Saya percaya itu, dan saya pun berharap kau juga mempercayainya.


Rabu, 05 Mei 2010

Seperti Apakah Cinta



Seperti apakah cinta? Cinta mempunyai tangan untuk menolong orang lain. Cinta mempunyai kaki untuk menemui yang miskin dan membutuhkan. Cinta mempunyai mata untuk melihat penderitaan dan keinginan. Cinta mempunyai telinga untuk mendengar rintihan dan kesengsaraan. Seperti itulah cinta.
(St. Agustinus)

Cinta telah mengilhami buku-buku, lagu, karya seni, prestasi besar dan bahkan jalan sejarah. Cinta adalah ikatan yang menjaga kesatuan umat manusia.

Ada begitu banyak definisi tentang cinta yang pernah ditulis, diucapkan ataupun diajarkan, tapi sepertinya semua definisi itu tak pernah memadai. Dan memang, kita tidak membutuhkan satu definisi sempit menyangkut cinta, karena cinta merupakan sesuatu yang bersifat universal dan tak terdefinisikan. Ia merangkum banyak hal dan menyetubuhi inti kehidupan.

Untuk memahami apa itu cinta, kita harus memahami apa yang tidak termasuk cinta. Cinta bukanlah kebencian, kekerasan, ambisi yang buta atau persaingan. Cinta juga bukan kegila-gilaan. Kegila-gilaan adalah keadaan neurotik yang mengisi kebutuhan pribadi sehingga seringkali hanya menciptakan kekecewaan.

Cinta juga bukan hanya sekadar seks. Orang bisa mendapatkan seks tanpa cinta, begitu pun orang dapat memiliki cinta tanpa seks.

Jadi, apakah cinta itu...?

Cinta adalah kekuatan alam semesta yang menarik, mempersatukan dan menyelaraskan. Cinta adalah keinginan untuk berada bersama seseorang lebih dari orang lainnya dan keinginan untuk mendukung orang itu dengan segala kemampuan mereka. Cinta adalah membantu seseorang bertumbuh secara emosional, mental dan spiritual. Pendeknya, cinta adalah memberi orang lain kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri dan menerima orang itu tanpa mencoba untuk mengubahnya. Agar konsep-konsep ini berhasil, maka konsep ini harus ditaati oleh kedua belah pihak. Kesulitan pada kebanyakan hubungan adalah bahwa cinta itu bersifat sepihak.

Cinta adalah pengalaman saat demi saat. Cinta yang kemarin telah habis, cinta hari esok belum tiba, dan cinta hari ini harus dinikmati. Kenyataannya adalah bahwa cinta hanya berlanjut selama masing-masing orang memberi sumbangsih kepada hubungan mereka. Dan cinta harus tetap ada jika suatu hubungan ingin tetap utuh. Kontrak hukum tidak dapat melakukan itu!

Cinta yang tahan lama bergantung pada hubungan yang benar-benar bebas. Seseorang tidak boleh berusaha untuk mengubah orang yang lainnya; pasangannya. Hal ini terlalu sering terjadi dan merupakan faktor pendukung utama terjadinya perselisihan, bahkan perpisahan dalam suatu hubungan.

Cinta, percintaan dan kegairahan, semuanya memungkinkan jika kita mengijinkan pasangan kita untuk mengungkapkan kepribadiannya sendiri. Jika suatu hubungan tidak dilumpuhkan oleh tuntutan dan harapan yang tidak masuk akal, hubungan itu sebenarnya akan semakin kuat. Semakin kita merasa merdeka, kita pun semakin menghargai pasangan kita. Cinta yang sejati bergantung pada kebebasan yang sejati. Hanya mereka yang bebas yang dapat mengasihi tanpa syarat.


Ingat Sherina Sebelum Bicara

Setelah aku mengubah pandanganku terhadap diriku sendiri,
orang-orang lain pun dipaksa untuk mengubah
pandangan mereka terhadap diriku.
Joanna Slan


Di album terbarunya, Sherina punya satu lagu yang sangat bagus, berjudul “Pikir Lagi”. Meski lagu-lagunya ditujukan untuk kalangan remaja, namun lagu berjudul Pikir Lagi memiliki makna yang amat dalam. Saya tidak tahu apakah Sherina belajar psikologi atau tidak, tetapi barisan lirik dalam lagu yang dinyanyikannya itu adalah bait-bait pelajaran penting mengenai psikologi manusia.

Pikir lagi sebelum kau menulis tentang diriku
Pikir lagi tanpa sadar kau menulis tentang dirimu
Pikir lagi sebelum kau menjual kisah hidupku
Pikir lagi mungkin saja lebih laku kisah hidupmu

Empat baris kalimat di atas adalah bait pertama dari lirik lagu Pikir Lagi. Pikirkan lagi sebelum kau menulis tentang diriku—karena tanpa sadar sesungguhnya kau menulis tentang dirimu sendiri. Pikirkan lagi sebelum kau menjual kisah hidupku—karena mungkin lebih laku kisah hidupmu sendiri.

Deretan kalimat itu adalah sindiran keras terhadap kebanyakan kita yang lebih suka melihat ke luar, namun jarang meluangkan waktu untuk menengok ke dalam. Kebanyakan kita sering kali lebih mudah menilai dan mengkritik orang lain, tanpa mau melakukan introspeksi terlebih dulu pada diri sendiri. Menulis tentang orang lain itu mudah—semudah menilai, mengkritik, dan mencari-cari kekurangan mereka. Tetapi, menurut Sherina, tanpa sadar kau sedang menulis tentang dirimu sendiri.

Sherina benar. Sering kali, dan yang ironis, sesuatu yang kita benci dari orang lain adalah sesuatu yang justru melekat pada diri kita sendiri. Orang arogan selalu membenci orang lainnya yang arogan—tanpa mau melihat arogansi dirinya sendiri yang bahkan mungkin lebih besar dari tingkat arogansi orang yang ia benci.

Pikir lagi sebelum berkeputusan tentang gayaku
Pikir lagi tanpa sadar gayamu adalah gayaku

Manusia adalah makhluk yang aneh. Manusia diciptakan dalam bentuk dan karakter yang berbeda-beda, tetapi berusaha mati-matian agar bisa sama dengan orang yang lainnya. Itu saja belum cukup—karena kebanyakan manusia juga berkeinginan agar manusia lainnya bisa sama seperti dirinya. Tetapi, ironisnya, kebanyakan manusia kemudian akan membenci sesuatu pada diri orang lain, yang nyata-nyata sama dengan dirinya!

Cobalah endapkan hati dan pikiran kita sejenak, dan lihat diri kita sendiri. Ingat-ingatlah orang yang saat ini mungkin sedang kita benci, atau tingkah laku seseorang yang mungkin tidak kita sukai, atau sifat dan perilaku tertentu dari orang lain yang mungkin tidak kita senangi. Kemudian, pikirkan dan lihatlah diri kita sendiri. Apakah kita sama dengan orang yang kita benci itu? Anehnya, dalam sebagian besar hal, kita pun ternyata tidak berbeda dengan orang yang sedang kita benci!

Kalau kita mau melihat ke dalam diri, kita akan melihat bahwa orang yang kita benci adalah sama seperti diri kita, bahwa sifat orang lain yang kita caci-maki adalah sifat yang juga kita miliki, dan perilaku yang tidak kita sukai pada orang lain ternyata juga merupakan perilaku diri kita sendiri!

Semua aksi yang pernah aku lakukan
Jugalah aksi yang pernah kau lakukan
Semua kata yang pernah aku ucapkan
Jugalah kata yang pernah kau ucapkan

Ketika kita menudingkan jari telunjuk ke muka orang lain, sesungguhnya—pada saat yang sama—kita sedang menudingkan tiga jari lainnya ke muka kita sendiri. Ilustrasi ini seharusnya sudah cukup menyadarkan bahwa sesungguhnya kita belum tentu lebih baik dibanding orang yang kita tuding buruk, bahwa yang kita anggap salah pada diri orang lain bisa saja juga melekat pada diri kita sendiri.

Pelajaran penting tentang manusia adalah kenyataan bahwa kita tak pernah bisa selesai berhenti mempelajarinya—tetapi kita selalu saja tak pernah belajar dari apa yang telah kita pelajari tentang manusia. Kita tak pernah lulus dari belajar memahami, karena kita selalu lebih ingin dipahami. Dan kemudian, kita menganggap telah dapat memahami orang lain, tanpa pernah mau melihat diri sendiri dan menyadari bahwa kita tak jauh beda dengan orang lain.

Mungkin kenyataan rumit sekaligus ironis ini terjadi karena kompleksitas psikologi manusia—atau mungkin juga karena kenaifan dan kebodohan kita. Tetapi, meski begitu, belajar memahami jauh lebih baik daripada tidak pernah belajar sama sekali. Dan, cara paling mudah untuk belajar memahami, menurut saya, adalah dengan selalu mengingat suara Sherina menyanyikan lagunya. Setiap kali kita ingin berbicara hal buruk apa pun tentang orang lain, ingatlah bahwa…

Semua rasa yang pernah aku rasakan
Jugalah rasa yang pernah kau rasakan
Semua rahasia yang pernah kusembunyikan
Jugalah rahasia yang pernah kau sembunyikan


*) Bait-bait yang ditulis miring adalah syair lagu Sherina.

Pelajaran Kecil Tentang Cinta



Ada begitu banyak buku yang pernah ditulis untuk membahas persoalan cinta dengan berbagai dimensi dan perspektif, namun pembahasan mengenai hal yang satu ini sepertinya tak pernah menemui garis akhir. Cinta seolah terlalu besar jika hanya diungkapkan dengan satu sudut pandang, satu definisi, satu perspektif ataupun satu dimensi. Ia adalah sesuatu yang bebas dan tak terdefinisikan; ia memberontak pada segala belenggu perspektif dan dimensi apapun yang mencoba mendefinisikannya, dan inilah yang menjadikan cinta tak pernah menemui garis akhir dalam pembahasannya.

Di dalam kehidupan manusia, cinta telah menjadi sesuatu yang mewarnai, bahkan mendominasi dalam setiap denyut jantung dan detak nadi bahkan aliran darah dalam hidup sehari-hari. Ada begitu banyak kejahatan dan kehancuran yang dilatarbelakangi oleh cinta, juga ada begitu banyak kebahagiaan dan kemuliaan yang diciptakan oleh cinta.

Para pakar kriminologi menyatakan bahwa ada dua alasan besar yang menyebabkan seorang manusia sampai melakukan pembunuhan terhadap manusia lainnya. Alasan yang pertama adalah harta, sedang alasan yang kedua adalah cinta. Ketika mata hati digelapkan oleh cinta yang buta, maka cinta itu pun bisa menjadi pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan yang bahkan belum pernah dibayangkannya.

Tetapi cinta pulalah yang menjadi penggerak utama dari begitu banyak keajaiban hidup yang dilakoni manusia. Seorang lelaki renta dengan fisik yang lemah bisa bertahan bekerja di bawah sengatan terik panas matahari dan diguyur dingin hujan karena cintanya kepada keluarganya. Seorang ibu yang kelelahan di tengah malam dapat terbangun dari tidurnya tanpa mengeluh demi untuk menenangkan tangis bayinya. Dua anak manusia yang pada mulanya tidak saling mengenal dan terpisah bermil-mil jauhnya bisa disatukan dalam sebuah rumah, membangun dan membina hidup bersama, juga disebabkan oleh cinta.

Cinta adalah energi yang besar, luar biasa besar, dan energi besar itu bisa digunakan untuk membangun, ataupun merusak. Ia adalah sarana sekuat mukjizat yang dapat digunakan manusia sebagai alat untuk membawanya kepada kemuliaan, ataupun juga kerendahan. Karena cinta hanya sarana, ia hanya mengikuti pada siapapun yang membawa dan menggunakannya. Karena cinta hanya alat, ia bisa digunakan untuk sesuatu yang konstruktif, ataupun destruktif...dan kitalah yang akan mempertanggungjawabkannya.

Memang tidak salah bila dikatakan bahwa cinta seumpama pisau bermata dua. Sebilah pisau dapat digunakan untuk mengupas bawang dan mengiris kentang, namun juga dapat digunakan untuk menggorok leher orang. Baik dan buruknya pisau itu tergantung penuh pada pemiliknya, pembawanya, penggunanya.

Seperti sarana yang lain apapun, cinta bersifat netral, dan juga relatif. Ia tidak baik, ia juga tidak jahat, dan kitalah yang membuatnya baik atau menjadikannya jahat. Dan apabila cinta itu kemudian membawa seseorang pada kelamnya kejahatan, maka cinta tak pernah salah, sebagaimana apabila cinta menjunjung seseorang pada tingginya kemuliaan, pun cinta tak pernah disanjung atas hasilnya. Pemiliknyalah yang akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, pemiliknya pula yang akan memperoleh hasilnya. Cinta tetap cinta.

Kita selalu punya hak serta kebebasan untuk membawa dan memilikinya, serta untuk menggunakannya. Kita bisa menjadikan cinta sebagai jalan terjal yang menggelincirkan kita ke jurang kehancuran, namun kita juga dapat menjadikan cinta sebagai jembatan yang akan menyeberangkan kita kepada kebahagiaan dan kehidupan yang penuh suka cita dan kemuliaan. Karena cinta tetap cinta...semuanya terserah kita.


J’Came A Sure*



Saat ketika waktu, ya ya, saat ketika waktu. Saat ketika waktu seharusnya tak datang tapi memilih datang, seharusnya tak tiba tapi entah mengapa. Kalau bisa mengulang, kalau bisa memutar, ya ya, kalau saja bisa mengulang dan bisa memutar.

Kosong dari awal sampai akhir. Seharusnya tak datang, ya ya, seharusnya tak datang. Karena tempatnya tidak di sini—bukan di sini. Dimana hanya yang tahu, letak tepat tempatnya yang terang itu. Atau yang gelap itu. Entahlah.

Pada akhirnya toh tak sesuai—tak pernah ada yang sesuai sepanjang menyangkut tentang sesuatu yang tak sesuai. Begitu pula sesuatu malam itu. Isi yang tak sesuai dengan harapan isi atau yang diisi. Tak sesuai konteks, mungkin begitu. Ya ya, tak sesuai konteks—aku suka istilah itu. Jadi hanya melayang saja seperti balon gas yang terbang di udara—tak berisi, dan anak-anak senang melihatnya. Aku suka istilah ini. Tapi tidak ketika itu terjadi. Tidak…tidak…

Sepertinya memang sudah ada yang berkata—sebelum ada yang berkata. Mungkin seperti itu. Dan seharusnya tidak kesana—tidak datang kesana—bukankah begitu? Itu…sepertinya kesalahan, atau sesuatu yang seharusnya ditinggalkan saja. Kenapa tergoda? Ya ya, ini aneh. Biasanya tidak begitu, kan? Uh oh, biasanya tidak begitu. Hanya saja waktu itu, entah kenapa, bisa datang.

“Aku boleh berkata jujur…?” Itu suaraku.

“Tentu, katakanlah.” Itu suaramu—atau yang kuharap itu suaramu. Tapi tentu saja kau tak menjawab apa-apa—aku hanya mengangankan kau menjawab suaraku.

“Aku tak tahu kalau ternyata isinya seperti itu. Kau tahu siapa aku—seperti apa diriku, bahkan seperti apa jiwaku. Ketika panggilan itu datang, yang kupahami hanyalah bahwa itu panggilan ketulusan, dan kupikir kita akan berbicara dari hati ke hati, seperti dulu—atau yang kupikir begitu. Tapi, well…ternyata isinya cuma…bagaimana aku harus menyebutnya? Mengapa harus kau tunjukkan kepadaku? Dan juga…beberapa hal yang membingungkan dan tak bisa kupahami.”

“Seperti…?”

“Yeah, seperti mata, atau sekitar itu. Seperti telinga, atau sekitar itu. Seperti kata, atau sekitar itu. Seperti laku, atau sekitar itu. Aku tidak mengerti, tapi kupikir aku mengerti—well, kau tahu seperti apa aku. Jadi waktu aku menyaksikan semuanya itu, yang kupikir adalah apa yang biasanya kupikirkan. Dan aku tahu aku benar—atau setidaknya aku berharap benar, meski sesungguhnya aku ingin bayanganku tidak benar. Ini aneh—atau keliru. Atau mungkin cuma bayanganku. Orang-orang tidak jelas dengan ucapan yang tak jelas. Aku tidak paham. Kau mengerti maksudku…?”

“Ya, I know. Lanjutkan…”

“Mustahil untuk mengatakan apa yang sesungguhnya kupikirkan, atau kurasakan. Tapi aku merasa…well, aku merasa…oke, aku tak bisa mengatakannya. Kita bayangkan saja sebuah puzzle. Oke? Aku sudah melihat gambaran jelasnya, aku sudah mencoba meletakkan potongan-potongan puzzle itu pada tempatnya yang tepat, tapi kemudian menyadari bahwa beberapa potong terakhir dari keping puzzle itu ada yang tidak benar—maksudku tidak sesuai dengan gambar dasarnya. You know, aku bisa saja berteriak seperti anak kecil, atau seperti bajingan yang sedang mabuk, ‘Hei keparat, ini bukan salahku! Keping puzzle sialan ini yang tak sesuai dengan gambar dasarnya!’ Tapi kau tahu aku tak mungkin berkata seperti itu. Kau paham maksudku?”

“Ya, aku paham. Teruskan.”

“Aku senang kau paham—aku senang kau bisa memahamiku. Tapi, tidakkah ini aneh?”

“Tidak, ini alami. Maksudku, ini tidak aneh. Kau sama sepertiku.”

“Thanks, aku suka kata-kata itu. Kau mau mengulanginya untukku?”

“Kau sama sepertiku.”

“Oh, kau hampir membuatku menangis. Senang rasanya mengetahui ada orang lain yang sama denganmu—saat kau menyadari bahwa ternyata kau tak sendirian, seperti yang kau duga. Senang rasanya kalau kau bisa mendengar, ‘kau sama sepertiku’. Dan kata-kata itu sungguh jauh berbeda dengan ‘aku sama sepertimu’. Aku suka yang pertama—kedengarannya lebih jujur. Oh, aku…aku tak tahu harus ngomong apa lagi. Sepertinya, sepertinya…kata-kata kecil itu sudah cukup bagiku. Sudah cukup, sudah cukup…”

*Jangan dibaca.


 
;