Selasa, 16 Maret 2010

Bahagia Tanpa Syarat



Kebahagiaan itu seperti kupu-kupu. Jika kita bergerak mengejarnya, ia akan terbang dan menjauh. Namun jika kita diam dan tenang, dia pun akan mendekat.

Saya sangat terkejut ketika membaca buku sejarah yang menceritakan biografi Napoleon Bonaparte. Napoleon Bonaparte yang hebat itu, yang telah menundukkan seluruh daratan Eropa di bawah kekuasaannya, mengaku bahwa dalam sepanjang hidupnya belum pernah merasakan kebahagiaan sampai seminggu. Dalam seluruh hidupnya, Napoleon mengakui, ia hanya baru bisa merasakan kebahagiaan beberapa hari saja.

Apakah ini tidak ironis? Penguasa yang namanya hingga hari ini ditulis oleh tinta sejarah itu belum pernah bahagia selama seminggu dalam sepanjang hidupnya! Sekali lagi, apakah itu bukan fakta yang mengejutkan?

Tetapi, bukankah begitu pula kita, kebanyakan dari manusia? Kita terlalu sering mengajukan banyak syarat untuk bisa merasakan kebahagiaan. Kita tidak terbiasa untuk bahagia tanpa syarat. Selalu saja ada hal-hal yang harus tersedia sebelum kita mampu bahagia.

Ada cukup banyak orang yang terbiasa menunda-nunda waktu untuk bahagia. Mereka biasanya mengatakan, “Saya baru akan merasa bahagia kalau sudah memiliki sesuatu,” atau, “Saya akan bahagia kalau telah mendapatkan apa yang saya inginkan.”

Tanpa kita sadari, kita seringkali menunda kebahagiaan kita sendiri hingga kita pun kemudian tanpa sadar menganggap bahwa hidup kita tidak bahagia. Tetapi yang sesungguhnya terjadi hanyalah bahwa kita sendirilah yang menolak untuk bahagia. Kita lebih memilih untuk bahagia dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana orang-orang lain yang menyatakan baru akan merasa bahagia jika telah memiliki sesuatu atau setelah mendapatkan sesuatu.

Mungkin terkesan lebih logis saat orang mengatakan, “Bagaimana mungkin saya bisa bahagia kalau saat ini sedang terlilit hutang? Saya tentunya baru bisa bahagia kalau hutang sudah terbayar.”

Dan kemudian, ketika hutang telah lunas terbayar, anak masuk rumah sakit karena kecelakaan, kita pun menunda lagi untuk bahagia. Setelah anak sembuh, televisi rusak dan harus masuk servis hingga tak bisa menonton acara favorit, dan rasanya tak masuk akal kalau sampai bahagia. Setelah televisi selesai diperbaiki atau bisa mengganti yang baru, genteng rumah bocor dan air hujan mengalir masuk, dan sekali lagi kebahagiaan ditunda.

Kalau kita memilih untuk bahagia dengan syarat-syarat tertentu, kalau kita terbiasa menyandarkan kebahagiaan pada benda atau pada sesuatu, maka kebahagiaan hanya akan menjadi seperti bayang-bayang. Ia begitu tampak dalam pandangan, namun sulit untuk didapatkan.

Bukankah kehidupan yang kita jalani ini sesuatu yang luar biasa sehingga menjadikan kita tidak mungkin tidak bahagia? Setiap kali kita bangun dari tidur, mengapa tak pernah memikirkan bahwa itu adalah berkat yang tak terkirakan besarnya yang mampu membuat hati bahagia? Orang-orang yang kita kenal, sanak-saudara yang kita punya, teman dan sahabat yang kita miliki, orang-orang baik yang ada dalam hidup kita, bukankah semuanya itu adalah karunia besar yang semestinya layak membuat kita bahagia? Pertumbuhan yang ada dalam diri kita, kemajuan dalam banyak hal yang kita peroleh meski sekecil apapun, bukankah semua itu adalah rahmat yang seharusnya menjadikan kita bahagia?

Kita lebih sering melihat keluar untuk bisa bahagia, padahal kebahagiaan bersemayam di dalam lubuk terdalam diri kita.

Apakah bahagia itu memiliki banyak uang? Apakah kita berpikir bahwa yang bahagia adalah yang memiliki jabatan atau popularitas? Apakah bahagia itu adalah orang yang memiliki tanah, rumah mewah dan perusahaan?

Jika memang seperti itu kenyataannya, maka hidup ini sungguh tidak adil, karena setiap orang memiliki jumlah uang yang berbeda, jabatan yang berbeda, dan hak milik yang berbeda. Karena hidup ini begitu adil, maka tentu rumusan menjadi bahagia bukanlah sebatas semua itu. Ada hal-hal yang lebih hakiki untuk dapat merasakan kebahagiaan, karena keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup ini bukanlah hasil dari apa yang kita miliki, tetapi dari cara kita hidup.

Kalau meminjam istilah yang digunakan ahli fisika Amerika, Goddard, “Happiness is the art of making a bouquet of those flowers within reach.” Kebahagiaan adalah seni merangkai buket dengan bunga-bunga yang ada di sekitar kita. Jadi bukan bunga apa yang membuat kita bahagia, tetapi bagaimana cara kita merangkai bunga itulah yang menjadi nilai sejati dari kebahagiaan.

 
;