Televisi di rumah kita setiap hari menyiarkan dan mengajarkan hidup yang konsumtif dengan ratusan ragam iklan yang menggiurkan mata dan keinginan, sekaligus memperlihatkan gaya hidup yang hedonis dalam banyak sinetron yang mereka tayangkan. Bagi sekian banyak orang, televisi telah menjadi semacam kiblat hidup yang harus diikuti agar tidak dibilang ketinggalan jaman. Bagi sebagian besar orang, televisi adalah kebenaran yang harus diikuti dan kita akan dikatakan tidak up to date kalau tidak bisa sama dengan yang ada di televisi. Dan jika kita berpacu mengejar laju ‘modernitas’ seperti yang ditayangkan televisi, kapankah pacuan itu akan selesai? Kapankah pacuan itu akan mencapai garis akhir...?
Hidup kita ini seringkali ditekan oleh banyak hal di luar kita yang sesungguhnya bisa dipandang sebagai bukan tekanan namun kita menjadikannya sebagai tekanan. Kita selalu bisa menganggap bahwa apa yang kita miliki sebagai kekurangan dan kita tak akan pernah tenang, atau kita juga bisa menganggap bahwa apa yang telah kita miliki sebagai kelebihan dan kita tenang dan menjadi damai karenanya.
Memang menyenangkan kalau kita bisa memanjakan diri dengan setiap keinginan yang terlintas dalam pikiran. Namun bukan berarti bahwa hidup kita tidak lengkap kalau kita tak bisa melakukan itu. Memang sungguh menggembirakan jika kita bisa memanjakan diri dengan barang-barang indah dan mahal seperti yang dimiliki oleh orang lain. Namun bukan berarti bahwa kita tidak bisa bahagia jika tak dapat melakukan itu.
Sudah saatnya untuk hidup dengan berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri artinya; mensyukuri apapun yang telah dan pernah kita miliki, tenang dengan kehidupan kita sendiri, tenteram dalam menjalani hari demi hari, dan bahagia meski tidak sama dengan orang lain.
Bayangkan ilustrasi berikut ini. Ada seorang lelaki yang bekerja sebagai mandor di sebuah pabrik. Setiap pagi dalam perjalanan ke tempat kerjanya, dia akan melewati sebuah toko yang khusus menjual jam. Dia akan berhenti sebentar di depan toko itu dan mencocokkan jam tangannya, kemudian melanjutkan perjalanannya.
Karena seringnya melihat hal itu, pemilik toko jam itu pun jadi penasaran dan suatu pagi dia menanyakan hal tersebut ketika lelaki itu tengah berdiri di depan tokonya. Lelaki itu menjawab bahwa yang biasa dilakukannya setiap pagi di depan toko jam itu adalah mencocokkan jamnya, karena ia bertanggung jawab agar waktu pulang para karyawan tepat pada waktunya, pukul 16.00, saat berakhirnya kerja setiap hari.
Mendengar penjelasan itu, si pemilik toko menjadi bingung dan mengatakan, “Lho, setiap hari pada jam 16.00 ketika pabrik Anda membunyikan bel tanda pulang, saya cepat-cepat mencocokkan jam saya.”
Apakah ini aneh atau konyol? Tetapi begitulah yang biasanya terjadi dalam lingkungan pergaulan kita sehari-hari, kan? Kita terkadang, tanpa disadari, berusaha untuk bisa sama dengan orang lain. Padahal...orang lain pun mungkin tengah berusaha untuk bisa sama dengan diri kita. Bukankah hidup akan lebih menyenangkan dan hati terasa lebih damai ketika kita telah menerima diri kita apa adanya dan mencoba berdamai dengan semuanya itu?
Mengikuti budaya konformitas atau selalu berupaya agar sama dengan orang lain adalah sebuah kompetisi yang melelahkan karena hal itu seolah tak pernah selesai. Tetapi jika kita telah berdamai dengan apapun yang ada dalam hidup kita dan mensyukurinya dengan sepenuh hati, maka hidup pun akan berjalan secara lebih ringan dan membahagiakan.