(Posting ini ditulis atas masukan dari Andika Setyawan, Riany Wijayantie, Andi Nursalam, Gunawan Winarno, Marhamah, Nurul Hakim, Dika Fairuzzaman, Mila Hayati, Muhamad Furqan, Muhamad Sobirin, Endri Wulandari, Cahya Fajar, Elistyaningrum, Kamal Mustafa, Muhamad Yusron, Arifin Hidayat, dan teman-teman lain yang telah berkirim email—terima kasih atas masukan dan ide kalian).
***
Apabila kita berkata buruk terhadap seseorang, apabila kita mencaci-maki seseorang, maafkan saya, itu sama saja halnya dengan meludahi orang tepat di mukanya. Satu hari dua hari atau satu minggu dua minggu yang akan datang, kita mungkin sudah lupa. Tapi satu tahun atau bahkan lima tahun yang akan datang, orang yang kita caci-maki itu belum tentu dapat melupakannya.
Sebagaimana kita perlu menjaga mulut saat berhadapan dengan seseorang, kita pun perlu menjaga mulut untuk tidak mengucapkan hal-hal buruk menyangkut orang lain meski kita tidak berhadapan dengannya. Jika saya bertemu denganmu dan kemudian saya menjelek-jelekkan seseorang, apa reaksi yang kemudian timbul dalam pikiranmu? Benar, bisa saja saya akan menjelek-jelekkanmu jika saya bersama orang lain. Kalau saya memburuk-burukkan seseorang di depan yang lainnya, sama saja halnya saya tengah memburuk-burukkan diri saya sendiri.
Lebih dari itu, apabila kita berkata buruk tentang seseorang, anehnya, kata-kata itu selalu saja sampai pada telinga orang yang kita tuju. Barangkali kita bisa saja berkata, “Tapi ini rahasia lho, jangan sampai dia tahu.” Nyatanya tetap saja dia tahu.
Kata-kata yang kita keluarkan itu seperti bulu yang mudah diterbangkan angin. Barangkali jarak antara kita dengan objek yang kita omongkan itu jauh, tetapi sejauh apapun, angin selalu mampu menerbangkan bulu ke tempatnya. Jika kita berbicara baik tentang orang lain, sejauh apapun, biasanya kata-kata itu akan sampai ke telinganya. Begitu pun jika kita bicara buruk tentang orang lain, sejauh apapun, biasanya kata-kata itu pun akan sampai ke telinganya. Jangan tanya saya bagaimana prosesnya, karena saya sendiri masih bingung bagaimana menjelaskan mengapa hal yang ‘aneh’ semacam itu bisa terjadi.
Ada kisah tentang seseorang yang menyesal karena terlanjur menyebarkan keburukan seseorang yang lainnya. Karena penyesalannya, orang ini pun mendatangi seorang yang bijak untuk meminta nasihat demi memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya.
Orang bijak yang didatangi itu mengatakan, “Kalau kau memang ingin berdamai dengan dirimu sendiri, ambillah sebuah kantong yang besar, lalu isilah dengan bulu ayam. Setelah itu, pergilah ke setiap rumah di kampungmu, dan jatuhkan sehelai bulu ayam itu di setiap halaman depan rumah yang kau lewati.”
Karena sungguh-sungguh ingin memperbaiki kesalahannya, orang tadi pun menuruti nasihat itu. Ia mengambil kantong dan mengisinya dengan bulu ayam seperti yang dinasihatkan, kemudian pergi berkeliling kampung untuk melakukan petunjuk si orang bijak. Setelah selesai, ia kembali pada si orang bijak dan bertanya, “Saya sudah melakukan apa yang Anda nasihatkan. Apa lagi yang harus saya lakukan?”
Si orang bijak menjawab, “Ambillah kembali kantungmu, lalu pungutlah kembali setiap helai bulu ayam yang tadi telah kau taruh di depan rumah setiap orang.”
Sekali lagi orang itu patuh, dan ia pun mulai berkeliling kampung untuk mengumpulkan kembali semua bulu yang telah disebarkannya ke setiap rumah. Butuh waktu yang amat lama untuk melakukan itu, sampai kemudian ia kembali pada si orang bijak sambil mengeluh, “Saya tidak berhasil mendapatkan semua bulu ayam itu karena sebagian telah terbang tertiup angin.”
Si orang bijak menjawab, “Begitu pula halnya dengan apa yang telah keluar dari mulutmu. Kata-kata yang buruk itu mudah untuk diucapkan, tapi kita tak pernah bisa menariknya kembali.”
Setiap kali ingin mengatakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, ada baiknya untuk mengingat; apakah kita akan menyesal setelah mengatakannya? Karena seperti bulu yang ringan dan tak dapat diambil kembali karena tertiup angin, begitu pun sesuatu yang telah keluar dari mulut sebagai ucapan kita.