Jumat, 05 Maret 2010

Perempuan (Memang) Pencemburu

Di inbox saya ada 38 email (jumlah ini sepertinya akan terus bertambah) dari cowok-cowok yang curhat karena frustrasi menghadapi ceweknya yang—menurutnya—terlalu pencemburu. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa cewek sangat cemburuan begitu…???”

Karena saya pasti akan capek jika harus membalasnya satu per satu, lebih baik saya posting saja jawabannya di sini. Semoga catatan ini dapat memberikan jawaban buat cowok-cowok, juga dapat menjadi bahan masukan dan renungan buat cewek-cewek.

Jadi, mengapa cewek sangat cemburuan atau mudah cemburu…? Jawabannya, SAYA JUGA TIDAK TAHU!

Well, ini serius. Saya benar-benar tidak tahu mengapa cewek sangat pencemburu atau mudah cemburu. Boleh percaya boleh tidak, cewek sendiri pun sebenarnya tidak tahu mengapa mereka mudah cemburu. Kalau cewek ditanya, “Hei, kenapa sih kamu cemburuan begitu?” Hampir semua cewek akan menjawab kira-kira seperti ini, “Namanya juga cewek!” Jadi, para cewek merasa bahwa kecemburuan mereka yang (terkadang terlalu) besar itu sah-sah saja—karena mereka cewek!

Ini tentu saja tidak menjawab pertanyaan, I know. Tetapi, kalau kita mau melihat secara lebih dalam, kita tahu bahwa cewek adalah makhluk emosi, dan karena faktor emosi itulah yang kemudian menjadikan mereka—kaum cewek—lebih mudah merasa cemburu. Cowok terkadang juga cemburuan, atau mudah cemburu, tetapi lebih banyak yang tidak begitu. Mengapa? Karena cowok lebih menggunakan nalar dan pikirannya, sehingga lebih dapat menimbang secara objektif, termasuk dalam hal perasaan cemburunya.

Agar pemaparan di atas tidak menimbulkan salah paham, berikut ini adalah contoh bagaimana respon emosi-pikiran kita terhadap perasaan yang kita alami. Karena cowok-cowok yang berkirim email ke saya sudah menceritakan pengalaman pribadinya masing-masing, maka contoh berikut ini pun diambil langsung dari pengalaman pribadi saya.

Dulu, waktu masih kuliah, saya berpacaran dengan seorang cewek teman sekampus. Namanya pacar, saya tentu juga terkadang merasakan cemburu pada waktu-waktu tertentu. Ada kalanya, tanpa sengaja, saya melihat pacar saya didekati cowok-cowok di kampus. Ketika melihat hal semacam itu, sejujurnya, saya juga ingin cemburu. Tetapi saya kemudian berpikir, pacar saya itu cantik—tentunya wajar kalau cowok-cowok suka mendekatinya.

Jadi saya pun tidak mempersoalkan hal itu, selama dia juga dapat menjaga diri dengan baik. TETAPI, giliran saya yang dikerubuti cewek-cewek, pacar saya selalu cemburu, bahkan marah-marah, bahkan tidak jarang hal itu jadi bahan pertengkaran.

Kalau menggunakan logika kita (kaum cowok), tentunya saya dapat berkata pada pacar saya, “Hei, coba dengar. Aku tidak marah sama kamu waktu melihatmu dekat dengan cowok-cowok. Tapi kenapa kamu selalu cemburu dan marah-marah kalau melihatku dekat dengan cewek-cewek?”

Oh, dulu saya juga sempat berpikir seperti itu. Tetapi, cewek tidak berpikir dalam kerangka seperti itu! Ketika pernyataan seperti di atas saya ungkapkan kepadanya, apa jawab pacar saya? “Lho, itu kan beda!”

See…? Mereka berpikir tidak dalam kerangka logika, tetapi dalam kerangka emosi.

Kalau contoh di atas dianggap kurang kuat, berikut ini satu contoh lain yang akan semakin jelas menunjukkan bagaimana perbedaan cowok dan cewek dalam menghadapi perasaannya—khususnya perasaan cemburunya.

Ini masih pengalaman pribadi. Suatu hari, pacar saya sakit, dan saya menjenguk ke rumahnya. Oleh nyokapnya, saya diantar ke kamarnya—dan itulah kali pertama saya melihat isi kamar pacar saya. Sewaktu duduk di sofa di dekat tempatnya berbaring, tanpa sengaja saya melihat di dinding kamar ada sebuah poster besar bergambar Ariel Peterpan yang sedang bertelanjang dada. Saya ulangi, POSTER BESAR BERGAMBAR ARIEL PETERPAN BERTELANJANG DADA.

Sewaktu melihat poster-besar-bergambar-Ariel-Peterpan-bertelanjang-dada itu, reaksi saya cuma tersenyum. Setitik pun tidak ada rasa cemburu dalam hati saya. Mengapa? Karena saya masih waras! Saya tidak mungkin cemburu pada Ariel! Pertama, Ariel tidak kenal pacar saya, meskipun mungkin pacar saya merasa sangat mengenalnya. Kedua, yang tertempel di dinding kamar itu hanya poster—sungguh gila kalau saya cemburu hanya karena selembar poster. Ketiga, ada jutaan cewek lain yang tergila-gila pada Ariel, tentunya wajar kalau cewek saya juga begitu. Jadi, saya pun sama sekali tidak mempermasalahkan poster itu.

TETAPI, ternyata reaksi cewek tidak begitu ketika dihadapkan pada kenyataan yang sama—khususnya cewek saya. Tiga minggu setelah itu, pacar saya sudah sehat kembali, dan suatu hari dia datang ke rumah saya. Kami ngobrol-ngobrol di rumah. Kebetulan waktu itu saya ada acara mendadak yang tidak bisa ditunda. Maka saya pun meminta dia menunggu di rumah. Agar dia lebih nyaman selama menunggu, saya pun mempersilakannya menunggu di kamar—dan itulah pertama kalinya dia melihat isi kamar saya.

Satu jam kemudian, saya pulang ke rumah, dan mendapati pacar saya dalam keadaan ngambek parah. Dengan bingung saya bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah membuatnya ngambek seperti itu? Kau tahu sendirilah bagaimana ekspresi cewek yang sedang ngambek, jadi saya tidak mungkin bertanya kepadanya secara langsung.

Saya mencoba mengingat-ingat apa saja isi kamar saya, apa yang telah dilihatnya di kamar yang mungkin telah membuatnya ngambek…? Seingat saya, semua barang di kamar baik-baik saja—cambuk, borgol, topeng, dildo…

(Halah, itu kamar tidur apa museum sado…???)

Oke, oke, soal cambuk, borgol dan lainnya itu—saya bercanda!

Lanjut. Jadi, apa yang telah dilihatnya di kamar yang kemudian membuatnya ngambek? Padahal kamar saya dan seisinya baik-baik saja. Karena tidak juga paham apa yang membuat pacar saya ngambek, saya pun bertanya kepadanya. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak mau menjawab, bahkan meminta agar saya memikirkannya sendiri (mengapa oh mengapa, cewek selalu berpikir kalau cowok dapat membaca pikiran ceweknya???).

Akhirnya, dengan sedikit dongkol, saya pun berkata, “Jujur, aku nggak tahu apa yang membuatmu marah begini. Dan kalau kamu nggak mau bilang, aku nggak akan pernah tahu.”

Akhirnya juga, dengan amarah yang membara, pacar saya menunjuk ke dinding kamar saya dan berteriak lirih, “Kenapa poster cewek itu harus ada di situ…???”

Ternyata oh ternyata, pacar saya marah karena ada poster Titi Kamal di kamar saya. Padahal poster itu sangat sopan dan tidak bertelanjang dada. Saya ulangi, PADAHAL POSTER ITU SANGAT SOPAN DAN TIDAK BERTELANJANG DADA. Dibanding poster Ariel yang saya lihat di kamarnya, poster Titi Kamal yang ada di kamar saya jauh lebih adil dan beradab. Jadi mengapa pacar saya harus ngambek dan marah dan cemburu…???

Saya sudah menanyakan hal itu kepadanya. Mengapa dia harus cemburu pada poster Titi Kamal—padahal saya sama sekali tak mempermasalahkan poster Ariel di kamarnya? Pacar saya menjawab, “Itu kan beda!”

Hei cowok-cowok, “Itu kan beda!”. Padahal—kalau memang mau berdebat—bedanya dimana…??? Dia memasang poster di kamar, saya juga memasang poster di kamar. Dia mengagumi artis bernama Ariel, saya mengagumi artis bernama Titi Kamal. Ariel tidak mengenal dia, Titi Kamal juga tidak mengenal saya. Di mana bedanya…??? Tetapi, “Itu kan beda!”

Jadi, di mana bedanya, coba…?

Bedanya adalah pada cara kita dalam menghadapi perasaan, dalam hal ini perasaan cemburu. Ketika menghadapi rasa cemburu atas sesuatu, saya—cowok—menghadapinya dengan nalar dan pikiran, sementara pacar saya—cewek—menghadapinya dengan hati dan emosi.

Ketika sampai pada pemahaman dan kesadaran semacam itu, saya pun kemudian melepaskan poster Titi Kamal dari dinding kamar saya—bukan untuk memanjakan ego pacar saya, tetapi karena kesadaran bahwa setiap perempuan ingin dianggap istimewa, tak tergantikan, satu-satunya.

Jadi, mengapa cewek mudah cemburu...?

 
;