Pertanda utama kegeniusan bukanlah kesempurnaan,
melainkan orisinalitas, pembukaan wilayah-wilayah baru.
—Arthur Koestler
Seperti apa film yang bagus? Dalam definisi saya, film yang bagus bukan hanya pameran gambar yang indah atau akting yang menawan saja, tetapi film itu juga harus memiliki dialog yang cerdas dan menghadirkan sesuatu yang baru bagi para penontonnya—bisa jalan cerita yang menawan, karakter tokohnya yang unik, ataupun filosofi baru yang ditawarkannya. Kelebihan-kelebihan itu saya dapatkan dalam film yang—bagi saya—luar biasa bagus, berjudul A Beautiful Mind.
Film yang diangkat dari buku atau novel biasanya menawan, dan A Beautiful Mind juga begitu. Film ini diangkat dari buku berjudul sama, yang ditulis Sylvia Nasar. A Beautiful Mind menceritakan kisah hidup ilmuwan penerima hadiah Nobel, John Nash, seorang pakar matematika yang menderita schizofrenia. Tokoh genius ini diperankan dengan sangat bagus oleh Russel Crowe, sehingga para penonton bisa merasa dekat dengan karakter asli John Nash.
Siapakah John Nash? Tokoh ini benar-benar ada. Dia seorang lelaki tampan tapi kurang bisa bergaul. Memiliki otak yang genius, tetapi kurang mampu menghadapi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadiannya ini ‘diperparah’ dengan kenyataan schizofrenia yang dideritanya. Akibatnya, John Nash menjadi sosok yang—kesannya—antisosial. Meski pada dasarnya dia sosok yang baik, tetapi orang lain menjauhi dirinya karena ‘keanehan’ sosoknya. Bahkan kawan-kawannya sendiri pun tidak jarang mempermainkan dan mengolok-oloknya.
Karena kurang bisa bergaul, John Nash pun menjadi lelaki yang kurang dapat mengenal apalagi berhubungan dengan lawan jenisnya. Pertama kalinya dia memberanikan diri mendekati gadis sekampusnya, John Nash gagal total, dan pendekatannya berbuah tamparan. Sejatinya, John Nash memang hanya memiliki kawan-kawan dalam khayalan schizoprenic-nya sendiri, meski ia tidak pernah menyadari kenyataan itu.
Ketika telah lulus dari kuliah dan mulai mengajar di kampus, John Nash memiliki seorang mahasiswi bernama Alicia (diperankan dengan sangat bagus oleh Jennifer Connelly), dan Alicia inilah yang kelak menjadi istri John Nash, sekaligus menjadi kawan pendamping terbaik dalam hidupnya.
Salah satu adegan yang sangat indah dalam film ini adalah saat John Nash dan Alicia berkencan pertama kali, dan mereka berdiri berdua di bawah langit setelah makan malam. Alicia menatap taburan bintang di langit, dan John Nash memintanya agar membayangkan sesuatu.
“Sekarang aku membayangkan payung,” ujar Alicia pada kekasihnya.
John Nash meraih tangan Alicia, memegangi jari telunjuknya, lalu bersama mereka menunjuk ke langit. Karena pakar matematika dan telah terbiasa dengan pola acak angka-angka, John Nash dengan mudah menggerak-gerakkan telunjuk Alicia, dan... dengan takjub Alicia menemukan sebuah pola bintang bergambar payung di langit malam.
“Perlihatkan lagi!” pinta Alicia pada kekasihnya, dengan mata berbinar.
Perjalanan hidup John Nash sesungguhnya akan lancar-lancar saja, kalau tidak ada schizofrenia yang dideritanya. Penyakit itulah yang menjadikan hidup si orang genius itu menjadi kacau, bahkan nyaris hancur berantakan—kalau saja ia tak memiliki seorang istri yang luar biasa.
Alicia bukan hanya seorang kekasih, atau istri, bagi John Nash—wanita itu seperti sesosok malaikat yang sengaja dipertemukan dengannya untuk menjadi penjaga, pendamping, bahkan penyelamatnya. Sebegitu berartinya Alicia bagi hidupnya, sampai John Nash pun secara khusus menyatakan kata-kata berikut ini ketika memberikan sambutan pada penganugerahan hadiah Nobel yang diterimanya...
“Aku selalu percaya pada angka. Dalam persamaan dan logika, yang membawa pada akal sehat. Tapi setelah seumur hidup mengejar, aku bertanya, apa logika sebenarnya? Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal? Pencarianku membawaku ke alam fisik, metafisik, delusional, dan kembali. Telah kudapatkan penemuan penting dalam karirku. Penemuan penting dalam hidupku. Hanya di persamaan misterius cinta, alasan logis bisa ditemukan. Aku di sini karenamu. Kau alasan diriku ada. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.”
Film A Beautiful Mind tidak menyuguhkan adegan konflik yang berdarah-darah, karena memang bukan film action. Ini film drama yang lebih mengedepankan konflik psikologis dari para tokohnya, dan... amazing, semua pemeran dalam film ini memerankan aktingnya dengan luar biasa menawan.
Adegan yang paling menyentuh hati saya adalah ketika para mahasiswa di kampus memberikan polpennya satu demi satu kepada John Nash, sebagai bentuk penghormatan mereka kepada ilmuwan ini. Pemberian polpen di kalangan ilmuwan adalah simbol penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang telah membaktikan hidupnya bagi ilmu pengetahuan.
Waktu itu John Nash sudah tua, ia mengajar mahasiswa pascasarjana, dan baru diberitahu kalau namanya direkomendasikan sebagai penerima hadiah Nobel. Saat berbincang di kantin kampus, mantan dosennya mendekatinya, meletakkan polpennya di meja di hadapan John Nash, dan berkata sambil menyalami John Nash, “Profesor Nash, senang Anda di sini.”
John Nash mengucapkan terima kasih atas pemberian—penghargaan—polpen itu, dan para dosen serta mahasiswa kemudian mengikuti memberikan polpennya di meja di hadapan John Nash. Adegan itu sederhana, tetapi luar biasa menyentuh.
Film ini memberikan pesan moral yang amat bagus, bahwa di balik kesempurnaan fisik atau bahkan kehebatan pikiran serta kegeniusan otak seseorang, selalu—dan selalu—ada kekurangan di dalamnya, karena tak ada manusia yang sempurna. Manusia dikaruniai kelebihan, tetapi juga dilengkapi kekurangan—karena itulah sejatinya manusia; keseimbangan, ekuilibrium, tiada yang tunggal, saling berpasangan.
Terpujilah sutradara Ron Howard dan penulis skenario Akiva Goldsman yang telah menghadirkan film yang luar biasa menawan ini. A Beautiful Mind adalah makanan yang benar-benar bergizi tinggi untuk otak, pikiran, sekaligus hati.