Minggu, 28 Maret 2010

Kulit Manusia di Pameran Buku

Hati-hati dengan seseorang
yang belajar hanya dari sebuah buku.
—Peribahasa Latin


Bagi orang seperti saya, pameran buku adalah berkat, sebuah karunia. Di pameran buku, kita bisa membawa modal minimal dan memperoleh buku dalam jumlah yang cukup maksimal. Di acara pameran seperti itu, harga buku dipangkas, dipotong dan didiskon, hingga terkadang sampai delapan puluh persen dari harga normal di toko.

Jadi, ketika beberapa waktu yang lalu ada pameran buku di kota saya, mau tak mau saya pun ‘tersedot’ ke sana. Dalam satu tahun, kira-kira ada dua sampai empat kali acara pameran buku, dan saya selalu menjadi ‘pengunjung tetap’. Yang mengasyikkan di pameran buku bukan hanya dapat menyaksikan lautan buku yang melimpah-ruah, tetapi juga bisa memperoleh buku-buku terbitan lama yang sudah tak lagi beredar di toko buku.

Nah, saya merasa perlu menuliskan cerita pameran buku ini, sama sekali bukan untuk menceritakan aktivitas atau keasyikan selama berada di pameran, melainkan lebih karena kegelisahan yang saya rasakan ketika mengunjungi pameran itu beberapa waktu yang lalu.

Pameran buku itu diadakan di sebuah gedung yang cukup luas, dan di dalam gedung itulah berpuluh-puluh stand dibangun untuk berpuluh-puluh penerbit dan distributor menggelar buku-buku mereka.

Di hari pertama pembukaannya, saya pun datang ke sana, dan telah bersiap untuk merenangi lautan buku yang sudah saya bayangkan keasyikannya. Gedung pameran itu cukup ramai, dan ada bertumpuk-tumpuk buku seperti yang saya bayangkan. Tetapi, yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya, ada sederetan stand penjual baju di antara stand-stand penjual buku. Dan, yang membuat saya gelisah bukan main, stand-stand penjual baju itu tampak lebih ramai dibanding stand-stand penjual buku di sekelilingnya.

Saya gelisah! Pameran yang saya datangi ini adalah pameran buku, tetapi kenapa harus ada penjual baju yang ikut ‘nyempil’ di sana? Sepanjang yang saya tahu, penjual buku tidak pernah ‘ngerusuhi’ setiap kali ada pameran fashion atau penjualan dan bazar baju. Yang membuat saya lebih gelisah, para pengunjung pameran itu terlihat lebih menyukai berdesak-desakan di stand baju dan mencoba fashion baru, daripada menyentuh sampul-sampul buku!

Kenyataan kecil tapi ironis yang saya dapati di pameran buku itu, mau tak mau membuat saya gelisah memikirkannya. Ironis, karena buku dan pengetahuan adalah isi manusia, sementara baju dan pakaian hanyalah kulitnya. Tetapi, seperti yang sudah saya katakan tadi, ternyata kebanyakan manusia lebih asyik dengan kulit semata-mata dan terkesan mengesampingkan isi, lebih sibuk memikirkan penampilan fisik dibanding isi otak dan luasnya hati. Kebanyakan manusia lebih mudah membuang uang untuk baju-baju baru, dibanding menggunakan uangnya untuk buku dan ilmu.

Pakaian adalah kulit kedua yang melapisi kulit inti manusia, sedangkan pengetahuan adalah jantung dan hatinya. Sebagus, sehebat, bahkan seagung apa pun pakaian yang dikenakan, manusia membutuhkan hati dan denyut jantung untuk dapat menjalani kehidupan.

Pakaian adalah ciri kebudayaan, tetapi pengetahuan adalah kebudayaan itu sendiri. Pakaian adalah bukti peradaban manusia, tetapi pengetahuan adalah peradaban itu sendiri. Sibuk membeli baju di antara stand-stand penjual buku sama halnya sibuk memamah kulit kacang tapi membuang isi kacangnya.

Dan kenyataan semacam itulah yang saya dapati di pameran buku di kota saya beberapa waktu yang lalu. Inilah untuk pertama kalinya, sejauh yang saya tahu, ada stand penjual baju di antara stand penjual buku. Dan untuk pertama kalinya pula, saya baru mengetahui, ternyata ada cukup banyak orang yang lebih mementingkan kulit dibanding isi, lebih menomorsatukan penampilan dibanding pikiran dan jiwanya.

 
;